Judul buku: Veronika Memutuskan Mati
Judul Asli: Veronika Decides to Die
Penulis: Paulo Coelho
Penerjemah: Lina Yusuf
Penyunting: Candra Gautama
Cetakan: Keenam, November 2009
Halaman: viii + 258 halaman, 11,5 cm x 19 cm
Penerbit: KPG (Kepustakaan Gramedia Populer)
VERONIKA MEMUTUSKAN MATI
Khrisna Pabichara
1
"ADA saat-saat di mana bertahan hidup saja sudah merupakan tindakan yang berani." Begitu petuah Lucius Annaeus Seneca dalam bukunya Epistulae Morales ad Lucilium (Clarendon, 1965). Ya, bertahan hidup itu tidaklah mudah. Butuh upaya, butuh usaha. Persaingan sengit--kadang saling sikut dan saling sikat--memaksa kita untuk bersikeras meneguhkan hati. Jika tidak, akan lahir putus asa, kekecewaan, dan kepedihan. Ujung-ujungnya: hasrat untuk mati.
Inilah yang dibabar Coelho dalam novel Veronika Memutuskan Mati. Seperti lumrahnya novel-novel Coelho lainnya, novel ini pun menghadirkan rupa-rupa pertanyaan yang menuntun kita dengan lembut ke ruang permenungan, yang dapat lebih mengayakan pemahaman kita ihwal hakikat kehidupan. Novel ini berkisah tentang Veronika yang merasa tak sanggup lagi menanggung beban kehidupan. Segala terasa amat berat baginya. Maka, ia putuskan bunuh diri. Alkisah, empat bungkus pil tidur yang dilahapnya sekali telan, ternyata belum cukup mengantarnya bertemu dengan Malaikat Maut. Takdir berkehendak lain. Ia diselamatkan seseorang. Begitu sadar, Veronika menemukan dirinya di tengah kerumunan orang-orang gila.
Ya, ia terlempar ke rumah sakit jiwa, bersama orang gila-orang gila lainnya--yang dicemooh masyarakat lainnya karena hasrat, impian, perilaku, dan sikap hidup mereka menyimpang dari yang dianggap kehidupan normal oleh masyarakat lainnya. Padahal, Veronika tidak merasa gila. Satu-satunya yang ia yakini hanyalah bahwa ia ingin mati.
2
TERSEBUT dalam sebuah riwayat, seorang tukang sihir dengan kesaktian mahaampuh bermaksud menghancurkan seluruh kerajaan. Ia masukkan ramuan ajaib ke dalam sumur tempat semua orang minum. Siapa pun yang meminum air itu akan menjadi gila. Keesokan harinya, semua penduduk kerajaan itu mengambil air di sumur itu dan meminumnya, kecuali Raja dan keluarganya yang minum dari sumur lain. Akibatnya, selain Raja dan keluarganya, seluruh penduduk kerajaan itu gila.
Melihat kondisi rakyatnya, Raja berusaha mengendalikan keadaan. Aturan untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan kesehatan umum mulai dimaklumatkan. Tetapi, polisi dan kepala polisi yang juga meminum air dari sumur bertulah itu menganggap aturan yang ditetapkan Raja sangatlah aneh dan musykil diterapkan. Rakyat pun menuding Raja telah gila karena membuat aturan yang tak bisa diterima oleh akal mereka. Lantas, rakyat pun meminta Raja segera turun tahta--karena mereka tak mau diperintah oleh orang gila.
Raja putus asa dan berniat turun tahta. Namun, Ratu memintanya bersabar dan meminum air di sumur bertulah itu. Alhasil, setelah minum air sumur itu, Raja pun bersikap gila sama gilanya dengan rakyatnya.
Petikan kisah di atas dapat kita temukan dalam novel ini di halaman 42. Sepertinya Coelho hendak bertanya kepada kita, "Sebenarnya siapa yang gila?"
3
APA saja yang ditawarkan novel ini? Semula saya berpikir pastilah keindahan pembacaan yang ditawarkan Coelho sama seperti novel-novel sebelumnya. Ternyata, saya tenggelam dalam kenikmatan membaca. Setiap demi setiap lembar serasa menghadirkan kejutan yang menyenangkan, meneduhkan, dan menantang. Hati saya seolah diseret ke sebuah negeri misterius yang mencengangkan dan menakjubkan.
Sebutlah kisah menggelitik seperti tertera pada bagian dua di atas. Apakah manusia yang dianggap normal adalah mereka yang patuh pada kelaziman, sementara mereka yangg bertingkah di luar kelaziman itu akan dicap gila? Benarkah yang gila itu Rakyat, Raja dan keluarganya, atau Sang Penyihir yang menyebabkan kegilaan itu? Bagaimanakah menentukan sesuatu disebut normal atau gila, baik atau buruk, mulia atau jahat?
Tidak berhenti di sana, Coelho juga mengajak batin saya untuk menikmati perjalanan spiritual. Saya seolah diajak ke labirin indah tentang hakikat penciptaan manusia dan makrifat keberadaan saya sebagai manusia. Pun pergolakan psikologis yang menyingkap tabir keindahan di balik kegelapan, bahwa tak semua yang menyakitkan selalu harus disikapi dengan air mata. Dan, lebih mengejutkan lagi, Coelho juga mengajak saya menyaksikan pertarungan klasik antara kesadaran seksual dan cinta.
Maka, setamat membacanya, saya yakin tak rugi menyempatkan diri membaca novel ini.
4
APA pun yang terjadi dan menimpa kita di kehidupan ini, selalu ada hikmah dan rahasia yang kerap tak kita sadari. Seperti Veronika yang lebih memilih mati ketimbang menikmati hidup yang serba gelap, serba hitam.
Dan, seperti pesan Seneca, bertahan hidup itu sulit. (*)
Jakarta, Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar