Jumat, 18 Juni 2010

CERPEN "Hati Perempuan Sunyi"

Catatan: Cerpen ini dimuat di Padang Ekspres, Edisi Minggu (11 April 2010). 



HATI PEREMPUAN SUNYI
Oleh Khrisna Pabichara


1
AKU TEMUKAN diriku terkapar di ruang penyekapan. Sebuah ruang yang tak lebih lapang dari penjara. Pada siang hari tak ada kata-kata yang kudengar. Pada malam hari telingaku dipenuhi suara-suara aneh, suara bising yang gasal dan membuatku sulit tidur, suara-suara yang merangkak dari kamar sebelah, kamar tempat suamiku menjalankan ritual puja-puji ganjil—dengan rupa-rupa mantra demi membuka pintu gaib menuju alam halus, tempat ia leluasa memanggil-manggil roh atau leluhurnya atau makhluk sesembahan lain yang tak kasatmata. Malam ini, bau dupa kembali menyengat, merambat dari kamar sebelah. 

Aku tak tahu seberapa lama aku pingsan. Seharikah, atau dua harikah? Entahlah. Aku juga tak tahu bagaimana bisa aku disekap di ruang senyap ini. 

Yang kutahu hanya satu: aku belum mati. 

2
GRANDE MOSQUEE DE PARIS. Tiba-tiba saja aku sudah berdiri di sini. La Cour d’Honneur, sebuah halaman luas yang juga berfungsi sebagai ruang pertemuan komunitas Muslim di Prancis. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku dipaksa mengikuti Tayu dan Caya—dua perempuan yang kelak jadi maduku—melewati sebuah pintu besar dari kayu oak yang bertatahkan perunggu dengan mozaik yang terbuat dari kayu ekaliptus dan hiasan koral. 

Aku tidak tahu kenapa, bagaimana, dan untuk apa aku berada di sini. 

Lalu, tibalah aku di sebuah taman bercorak Andalusia, taman yang dipenuhi keran yang sewaktu-waktu akan menyemburkan air dan menyirami bunga-bunga. Tampak pula beranda dan teras-teras yang dilapisi marmer hitam, juga patio—ruang pertemuan utama yang terbuka—diapit dua paviliun, dengan tembok besar berwarna putih dan dikelilingi pilar-pilar menjulang tinggi bergaya Spanyol-Maroko, layaknya pilar-pilar bangunan kuno di Alhambra. 

Seharusnya hari ini aku duduk di pelaminan: denganmu.

“Kita mau ke mana?” tanyaku.

Tayu menoleh padaku tanpa menghentikan langkahnya. “Kamu akan segera tahu!”

“Bilamana?”

“Ikut saja!” bentak Caya. “Ini urusan darurat.”

Aku tersentak. Darurat? Sejak aku dilarikan Rangka, semuanya sudah darurat. Aku dipaksa kawin lari oleh lelaki pemuja setan itu, juga sesuatu yang darurat. Tiba-tiba berada di Masjid Raya Prancis—tempat dulu orang-orang Yahudi bersembunyi dengan aman dari incaran hawa kematian yang ditebarkan Hitler, itu juga darurat. Aku tidak ingin berada di sini untuk sesuatu yang sama sekali tak kumengerti. 

Kamu pasti sedang berduka, karena pengantin perempuanmu hilang begitu saja. 

Dengan perasaan kecut, aku ikuti kedua istri Rangka itu melewati tangga marmer dan tembok yang dipenuhi dekorasi serupa lukisan sederhana yang terlihat kontras dengan arsitektur Arab klasik. Tibalah aku di pintu. Aku tahu, pintu ini pasti terbuat dari kayu oak pilihan. Dan ukiran itu, o, ukiran itu sekonyong-konyong mengingatkan aku pada ukiran-ukiran di Makam Raja-raja Binamu—tempat leluhurku bersemayam. Indah. Pola mozaik dengan kombinasi warna merah marun dan hijau giok. Tapi keindahan itu tak memukau hatiku. Ya, aku begitu berduka. Hatiku disesaki tanda tanya, bagaimana situasi hari ini bisa semakin buruk.

Ini urusan darurat? Di Grande Mosquee de Paris? 

Dan, oh, seandainya kamu ada di sini, kamu bisa melihat siapa yang sedang berdiri sambil bertelekan tangan di salah satu tiang penyangga kubah. Ya, Rangka, lelaki yang beberapa hari silam kamu kalahkan di sebuah pertarungan, kini sedang menyeringai dengan tubuh berbalut jas dan dasi mewah. Ada apa ini? Ia pun tersenyum semringah, bertepuk tangan dengan halus, dan matanya yang selalu merah itu diruahi cahaya.

“Selamat datang pengantinku?”

Pengantin? Aku? 

Bagaimana semua ini bisa terjadi? Sungguh, aku tak percaya. Apa yang membuatku pingsan begitu lama hingga ketika siuman tiba-tiba sudah berada di dekat mihrab masjid pertama di Prancis dan harus menikah dengan lelaki yang sangat kubenci? Seharusnya kamu yang menyambut pengantinmu, bukan Rangka. Bagaimanapun juga, aku tidak bisa membiarkan diri terpuruk semakin dalam. Aku harus melarikan diri. Tapi, bagaimana? Apa bisa? Dengan putus asa aku berbalik dan melesat secepat yang aku bisa. Dan aku segera tahu, semuanya sia-sia. Lima orang anak buah Rangka berdiri memagari pintu. Aku lemas. Aku mengempaskan diri ke lantai dan memikirkan langkah selanjutnya.

Langkah apa? Caranya?

“Jangan berharap bisa melarikan diri, Sayang. Tidak mungkin. Tak ada seorang pun bisa menolongmu. Tidak Tutu, kekasih ringkihmu itu, bahkan Tuhan yang kamu sembah sejak kecil. Sudahlah. Pasrah saja. Terimalah takdirmu sebagai perempuan pilihan Rangka.”

“Terkutuklah kau!” teriakku. 

Aku merasa sangat gelisah. Oh, nasibku. Rasanya takdir memilihku menjadi jelmaan Annette Herskovits, menyaksikan kebiadaban begitu mudah terjadi di depan mata.

3
AKU BERUSAHA tidak memikirkan segala yang telah terjadi. Sunyi selalu bisa menempatkan diri sebagai labirin paling mengerikan bagi siapa saja yang sedang putus asa. 

Aku masih di sini, di ruang penyekapan yang sangat pampat ini. Sementara suara-suara menggelisahkan itu makin gencar terdengar. Aku dikuasai oleh ketakutan. Bayang-bayang panjang yang diciptakan oleh lampu badai di salah satu dinding tampak sangat mengerikan. Seolah lidah kematian yang dijulur-julurkan Malaikat Maut kepadaku. Aku belum juga bisa mengenali di mana sebenarnya kini aku berada. Otakku buntu. Pada mulanya membayang peristiwa Rangka melarikan aku ke Paris, dan menikahiku secara paksa di sana. Lalu, ya, aku ingat sekarang. Aku ingat. Seharusnya kita sedang bulan madu di Bali. Aroma dupa kembali membesek hidungku. Aku berjalan mondar-mandir, tak tahu harus berbuat apa. Melarikan diri? Mustahil. Bunuh diri lagi? Tidak mungkin. Tak ada satu alat pun yang disisakan Rangka—dan kedua perempuan maduku—untuk memudahkan aku menjemput sendiri kehidupan baru yang membebaskan. Bagaimana jika membesek kulit tangan dan menggigit nadi hingga putus dengan gigi? Ah, itu terlalu menyakitkan. 

Aku tidak bisa bertahan lebih lama. Aku harus keluar dari ruang pengap ini! Lalu, aku merasa pusing. Bisa jadi karena efek dupa. Bisa juga karena putus asa. 

4
NIKOLAIVIERTEL, BERLIN. Aku tidak tahu kenapa Rangka begitu memuja Lenin, Hitler dan Mussolini. Aku juga tidak tahu kenapa hari ini aku harus berada di jantung kota Berlin, Nikolaiviertel, sebuah prototipe kota masa lampau yang kerap muncul dalam film-film berlatar Abad Pertengahan. Aku bahkan tidak tahu bagaimana bisa aku meninggalkan kamu dan mimpi masa depan kita demi lelaki durjana beristri dua beranak delapan itu. Yang kutahu, sejak aku diperistri oleh Rangka, siksaan demi siksaan kuterima lebih ringan dari sarapan pagi atau lebih pahit dari kopi Toraja yang kerap kita seruput bersama. Yang kutahu, semenjak pernikahan mengerikan di Grande Mosquee de Paris, aku sudah tak berniat hidup lebih lama. 

Demi kamu, aku berkali-kali berusaha bunuh diri, Sayang, tapi selalu gagal.

Sore ini, ketika melewati The Nikolaikirche, gereja tertua bermenara kembar di Berlin, ketika suhu di udara terbuka mulai mendekati angka nol, ketika sisa-sisa salju di pengujung musim dingin baru saja berhenti mengguyur kota, aku membebaskan diri dari Tayu dan Caya. Mereka terlelap setelah mereguk teh chamomile yang kucampuri obat tidur. Lari, ayo lari! Tapi aku tak tahu harus lari ke mana. Sepanjang siang aku hanya menyusuri pedestrian yang lapang dan menikmati romantisme Berlin Lama yang pernah hilang. 

Seharusnya kamu yang menemaniku di sini, Sayang, bukan Rangka.

Akhirnya aku bisa bebas, lepas. Tapi, bagaimana caranya kembali ke tanah air dan menemuimu? Semua dokumen ada di tangan Rangka. Tidak mungkin juga aku ke KBRI, itu sama dengan bunuh diri. Rangka adalah Raja Kecil yang sudah merecoki saudara setanah air di kedutaan itu dengan suap dan sogokan. Tapi aku harus pergi, bentakku pada diri sendiri. 

Lalu, di depan sebuah kafe, aku melihat Rangka berdiri bersama dua orang lelaki berwajah seperti kita. Sepertinya mereka sedang terlibat pembicaraan serius. Tampang mereka sengit. Dan, ketika perlahan aku berjalan mendekat secara diam-diam, mereka masuk ke dalam kafe. Aku gemetar. Adrenalinku melonjak. Dengan hati-hati aku mengintai—tentu saja ia tak boleh merasa curiga dan memergoki kehadiranku. Dan, aku mendengar sesuatu. Suara-suara. Suara-suara para lelaki. 

“Anda harus percaya padaku.”

Aku tahu itu suara Rangka. 

“Bagaimana kalian mengatasi pejabat Bea Cukai?” tanya seseorang.

Rangka terkekeh, “Itu sepele. Pejabat-pejabat di negeri kita gampang diatasi. Begitu mulut mereka disumpal dengan cek, mereka pasti diam. Dan perempuan-perempuan eksotik akan segera tiba di kafe-kafe Nikolaiviertel dan memuaskan lelaki-lelaki haus seks di sini.”

“Kami butuh perempuan belia.”

“Tenang saja, Indramayu dan Ketapang punya stok perawan yang banyak.” 

Jadi ini bisnis yang dijalankan Rangka selama ini? Menumpuk harta dari hasil penjualan tubuh-tubuh elok putri Ibu Pertiwi? Darahku serasa mengalir hanya ke satu arah, kepalaku. “Setan! Dasar psikopat!” Amarah membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat. Kontan saja lelaki-lelaki di dalam kafe itu berdiri, dan melongok keluar dari jendela. Dan, itu kepala Rangka! Aku harus melarikan diri, harus. Tapi Rangka memang bisa melakukan apa saja. Sebelum aku menjauh, tangan kirinya sudah menodongkan pistol ke dadaku, tangan kanannya mengelus-elus rambutku. “Lepaskan aku!” Bentakku sambil meronta, berusaha melepaskan diri dari dekapannya. Tapi aku tak bisa mengalahkan tenaganya. Aku terkulai. Dan dua lelaki temannya, sedang menyeringai kepadaku dengan pandangan sarat nafsu.

Ia memang aktor, Sayang, pintar memukau banyak orang.

5
AKU masih di sini, di ruang penyekapan ini. Bau dupa dan suara-suara ganjil itu masih juga merambat dari kamar sebelah. Aku merasa disekap di selubung rahasia. Aku merasa menua bersama waktu, tak lagi bisa membedakan kapan malam pergi atau kapan pagi tiba. Aku merasa akan terkubur di sini. Dan ia, Rangka, sibuk menyusun rencana menjual perawan demi perawan dan mengirimnya ke Nikolaiviertel, atau kota-kota lain di luar sana.

Sungguh, banyak yang ingin kukabarkan padamu, tapi jarak menjauhkan kita! 

●●●

Jakarta, Maret 2010

Khrisna Pabichara
, lahir di Makassar, 10 November 1975. Saat ini bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen. 

1 komentar: