Selasa, 19 Januari 2010

[TELISIK SASTRA] Napas Kepenyairan: Sebuah Epilog

Catatan: Epilog ini ditulis untuk menyertai penerbitan Antologi Puisi Lekas.




NAPAS KEPENYAIRAN: SEBUAH EPILOG
Oleh KHRISNA PABICHARA



I

TIDAK ADA jalan pintas menjadi penyair. Siapa saja yang berhasrat menjadi penyair, harus membangun intelegensia dan kepekaan. Harus rajin mengendapkan rasa dan membuka diri agar kecerdasan estetika masuk sebanyak-banyaknya. Harus disiplin dan berani mengambil risiko melatih kecerdasan gramatikal secara bertahap—setapak demi setapak. Harus bernyali untuk mematut gaya kepenyairan lewat beragam eksperimen. Tak boleh mengenal kata berhenti. Tak layak berpuas diri. Setiap hari mengasah pena. Biar lebih padat, lebih sarat. Biar bersua dengan kekhasan dan kesadaran estetika yang tidak semata menjadi epigon yang manut pada pendahulunya.

Terlepas dari hajat penciptaannya, setiap puisi menjadi pertaruhan bagi penyair untuk menawarkan kebermaknaan bagi khalayak pembacanya. Sebuah puisi seyogianya adalah sodoran tumpukan kata dengan kejernihan dan kedalaman makna. Semakin digali semakin bernilai. Bukan semata “makna kias” (makna yang bukan makna sebenarnya, melainkan mengiaskan sesuatu), tetapi juga “makna afektif” (makna yang berkenaan dengan emosi, perasaan, atau keadaan), dan “makna leksikal” (makna perlambangan benda atau peristiwa).

Dengan rendah hati saya menyatakan bahwa dari sanalah bermula keyakinan: Tidak mudah menjadi penyair. Ibarat dokter spesialis bedah, penyair harus memiliki kepekaan dan keahlian menyayat atau merobek kata demi kata, lalu merajutnya kembali dengan penuh pikat sembari meniupkan “ruh estetika” kepadanya, agar karyanya terbaca dan dapat dinamai puisi. Jika diamsalkan lari marathon, penyair adalah pelari yang piawai menjaga dan mengatur “napas kepenyairan”. Antologi atau pembukuan puisi bukanlah terminal akhir yang hendak dituju, melainkan tonggak awal yang menandai sejarah kepenyairannya. Tak ada kata “pensiun” bagi penyair selama nyawa masih menyatu dengan raganya. Ia selalu bertumbuh bersama kata. Selalu, dan selalu.

Jelaslah kiranya betapa beratnya beban yang dipikul para penyair. Ia mengemban amanat perubahan sosial dan kultural dalam masyarakat yang melahirkannya. Seperti tutur Damhuri Muhammad, “Beban penyair sama halnya dengan tanggung jawab para nabi yang dengan teks-teks suci memikul risalah guna menyempurnakan watak dan moralitas umat.” Ini bukan upaya menakut-nakuti. Ini semata ajakan agar kita—dan siapa saja—yang berhajat jadi penyair: serius melakoni lelaku kepenyairannya. Itu saja. Tak lebih, tak kurang.



II

Judul buku ini, Antologi Puisi Lekas. Selayaknya antologi lain, buku ini adalah kumpulan puisi beberapa “penyair” yang—pada mulanya menjadikan puisi sebagai kegemaran belaka, lalu—berniat menjadi penyair beneran. Terlepas dari kekuatan dan kelebihan puisi yang dirangkum dalam buku ini, tampak keseriusan para punggawa LEKAS dalam menggamit dan mengumpulkan puisi demi puisi. Wilayah mukim yang berjauhan, rentang usia dan latar pendidikan yang beragam, serta profesi yang tidak sama, menjadi titik-tolak keberagaman. Intensitas dan konsintensi berpuisi juga mengayakan warna buku ini. Tidak heran jika kita bersua puisi yang kuat—dari sudut intrinsik maupun ekstrinsik—setelah kita berlalu dari puisi yang “masih” butuh pengendapan dan pendalaman.

Lumrahnya, antologi puisi diikat oleh satu simpul tema. Atau, karakter penulisan yang selaras antarpuisi. Namun hal itu tidak tersua pada antologi ini. Tema garapan beragam. Karakter dan gaya berpuisi pun beragam. Dari keberagaman itulah saya memulakan silaturrahmi pembacaan.



III

KEGELISAHAN. Inilah undak pertama yang saya pijak dalam pembacaan antologi ini. Kesan pertama yang saya temukan ketika membaca buku ini adalah kegelisahan, rasanya seperti menyaksikan geliat tak berkesudahan dari seorang yang tak terpuaskan oleh keadaan. Tentu saja ini bukan sesuatu yang baru. Banyak penyair yang lebih dulu mendedahkan kegelisahan ke dalam puisi-puisinya. Dan, beberapa di antaranya memperlihatkan gejala keterpengaruhan. Meskipun ada juga yang berusaha menempatkan diri dalam bayang-bayang generasi terdahulu. Bagi saya, ini sah-sah saja. Tak ada seorang pun yang bisa lolos dari pengaruh orang lain.

Pada mulanya saya terkikik membaca puisi “pecicilan” khas Poncowae Lau. Dalam puisi Perintis Kemerdekaan misalnya.

perintis kemerdekaan?
; ya!
tinggal lurus saja
ketemu perempatan belok kiri
.


Luar biasa, dengan lugas Ponco meneguhkan kesan keterpinggiran para pahlawan “perintis kemerdekaan”. Nama-nama para pahlawan itu semata dipajang di setiap mulut jalan atau rahang gang. Bahkan, ada beberapa keluarga pahlawan itu yang hidup “senin-kamis”. Puisi ini reflektif, tapi menggelitik kesadaran kita dengan lembut dan santun.

Hal sama juga dikabarkan oleh Jejak Sandi. Melalui Malam Sepotong Harapan, Sandi merekam kegelisahan hatinya pada hitam—warna yang diyakininya sebagai perlambang malam pekat.

”aku takut, maria, aku takut!”
(dalam kegelapan betapa butanya aku
betapa kosongnya aku)



Dengan enteng ia mengakui ketakutannya pada gelap. Ada nada getir dan pahit dari cara Sandi memainkan imaji. Kata-kata yang ditautkannya mewakili ketakberdayaan, kelemahan, dan ketaksanggupan. Dengan unik, Sandi mengajak kita mengeja kegelisahan itu, menyeret kita masuk ke dalam pengalaman yang menyehari. Puisi-puisi Jejak Sandi yang lain pun menyiratkan keseriusan seorang “pendatang baru” di kancah perpuisian kita. Sebut misalnya puisi Kisah Sunyi.

dengan bulan aku berbagi
sisanya kubur sunyi
mencekik
.


Lantas, tersaji pula puisi-puisi MH Poetra. Dengan langgam tipografi yang tak lumrah, ia menganggit puisi Hujan dalam Doa. Huruf demi huruf ditata sedemikian rupa hingga membentuk sosok yang sedang bertelimpuh, asyik-masyuk mengumandangkan munajat hati.

maka beri aku tempat bernaung, di mana
Kau sendiri bernaung. sebelum nanti,
aku meninggi, antara kita tak terbatas
.


Poetra seakan menegaskan kebiasaan manusia (sebagai hamba) dalam melantunkan doa kepada Tuhannya (sebagai Tuan)—yang kerap sangat sulit dibedakan antara “meminta” atau “menyuruh”. Begitu pula dalam puisi Sepenggal Kisah Haru. Poetra menerang-jelaskan kegelisahan hatinya. Seolah memanggungkan keseharian kita yang sering mengecap luka dengan sengaja, lalu memintalnya sebagai kenangan yang tak lekang dari ingatan.

sehari ini kita bermuka-muka
bercakap-cakap lewat luka
aku ini karat, bukan pusaka
masih meminta diri, padamu punya hati
.


Ia membangun keliaran eksperimentasi bentuk dalam meneroka jalan kepenyairannya.

Demikian halnya dengan Tri Wahyuni. Ia membingkai kegelisahan hatinya dengan figura puisi yang “nakal”. Ia menyentil dengan takzim lewat puisi Kuciptakan Sajak Ini Untukmu. Ada napas Rendra dan Widji dalam “ruh” puisinya. Tetapi itulah pilihannya. Baginya kegelisahan itu harus diungkapkan, karena jika dierami berhari-hari bakal menjadi virus yang menggerogoti hati.

Kau bangun istana termegah
Pada lahan-lahan yang gersang
Lalu gedung menjulang
Menimbun petani bersama ladangnya
.


Apalagi yang tersisa jika sumber penghidupan dimatikan dengan sengaja? Begitulah kabar yang dideklarasikan oleh Yuni.

Dan, kegelisahan itu memuncak pada puisi Bolehkah Aku Menitip Bangkai? yang digubah oleh Arie Oktara. Ia dengan cergas menguarkan kegelisahannya menyaksikan rumah ibadat hanya menjadi panggung puja-puji semata, hanya sekadar upacara pengguguran kewajiban, dan kehilangan kekhidmatan dan kesakralannya.

Bolehkah aku titipkan bangkai?
Bangkai Tuhan
aku dapat dari surau,
sedang meratapi mimbar
.


Simbol-simbol diletakkannya dalam puisi ini: bangkai-Tuhan-surau-mimbar. Kesemuanya menisbahkan rutinitas upacara keagamaan.

Kegelisahan yang dikabarkan oleh Ponco, Sandi, Poetra, Yuni, dan Oktara adalah gambaran realitas kehidupan yang tampak sedemikian nyata.



IV

KEYAKINAN. Kesan kedua yang saya rasakan seusai pembacaan buku ini adalah keyakinan. Febimiss seolah menempatkan diri sebagai penyair romantik yang mengumandangkan puisinya sebagai “pusat” getaran jiwa terdalam, dengan keyakinan sebagai saripati imannya. Ia meyakini bahwa puisi tidak mengusung makna afektif yang bertautan dengan perasaan, tetapi juga sekaligus sebagai alat efektif untuk menelusupkan semangat, gairah, dan kepedulian. Pada puisi Bila misalnya, Febimiss mendedahkan kegigihannya menjaga keyakinan hidup.

Bila rawa bermuram durja
Sungai ‘kan setia dengarkan keluh kesah
.


Seperti halnya Febimiss, Damai Prasetyo pun menyampaikan pesan lewat kemasan yang “disamarkan”. Ia seolah mengajak kita untuk menemukan hakikat Cinta, ketika kegelisahan, kemarahan, keputusasaan, bahkan ketakberdayaan menerpa kita, Damai mengajak kita berpulang pada Cinta. Dengan Cinta: yang berat akan terasa ringan, yang rumit akan menjadi indah. Yakinlah, dengan cinta yang buram akan menjadi benderang. Begitulah ia sampaikan secara terselubung melalui puisi Cinta Pun Berpulang.

Cinta pun tetap berpulang
Bahkan ketika ia adalah satu-satunya alasan
.



Metafora adalah salah satu kelengkapan puisi. Eko Putra membingkai keteguhan hatinya lewat metafora. Ia beramsal tentang kegigihan yang tak boleh punah karena terjangan rintangan. Hal itu dianggitnya dalam puisi Lelaki Penunggu Sungai.

kucari lagi kearifan bersama musim dan pasang
tapi perahu tak lagi mendayung lajuku
ke muara
.


Kita tak boleh berhenti mencari dan menemukan hajat pribadi, impian yang kita dambakan. Kita harus terus bergerak, meski situasi paling sulit menerjang dari segenap peenjuru. Tak mengapa laju perahu terhenti, kita masih bisa terjun ke sungai, lalu berenang ke muara. Seperti itulah pesan tersirat yang hendak dikabarkan olehnya.

Sementara itu, Faradina Izdhihary mendaraskan keyakinan ke dalam puisinya, Takdirmu. Baginya, takdir itu terletak di tangan kita. Itulah mengapa sehingga ada istilah “suratan tangan” yang bisa diterjemahkan sebagai “sesuatu yang tersurat di tangan”. Dengan lirih Faradina mengungkapkan keyakinannya.

di tanganmu tulisan takdir
melebihi kepastian
betapa nelayan pasti pulang
menemu suluh
sehabis subuh
.


Ia menegaskan bahwa kitalah yang berkuasa atas “perjalanan” nasib kita. Dan, keyakinan itu pula yang akan menggerakkan hasrat untuk segera berbuat, bukan terus-menerus bertelekan tangan menunggu keajaiban.

Begitulah. Febimiss, Damai, Eko, dan Faradina mengawin-silangkan keyakinan dengan kecerdasan puitiknya. Meski masih agak tersendat—dalam keterbatasan pembacaan saya—tapi terlihat keseriusan dalam meracik metafora dan membangun tamsil.



V

KEBAHAGIAAN. Inilah kesan ketiga yang mengendap di benak saya. Setiap kita pasti merindukan kebahagiaan. Tak ada seorang pun yang menghendaki hidupnya didera rupa-rupa derita. Boleh jadi apa yang kita impikan belum tercapai, tidak berarti kita harus mencaci-maki diri sendiri. Boleh saja segala hal yang kita dambakan belum tercukupi, namun bukan alasan untuk menyalahkan diri sendiri. Bahkan dalam kegagalan kita bisa merasa bahagia. Setidaknya karena kita sudah berbuat.

Pada puisi Geliat, Delima Lestari Widya menyampirkan rasa bahagia secara eksplisit—gamblang, terang-terangan, dan tidak ditutup-tutupi.

pijar mataku oleh kenikmatan
tercapai apa yang belum kudapatkan
.


Pencapaian terbaik bukanlah pada hasil akhir, melainkan pada proses. Melalui proses itu pula kita belajar menemukan eksistensi diri. Dengan proses kita akan terus menggeliat, bergerak maju, dan belajar dari rangkaian kesalahan. Tanpa itu, kenikmatan rasa bahagia akan tereduksi.

Hakikatnya, puisi bisa menjadi apa saja. Ia bisa menjadi mesin pencatat, baik peristiwa penting maupun hal paling remeh. Ia bisa menjadi perekam ingatan, baik sejarah maupun lelaku keseharian. Begitulah yang didaras oleh Fatimah lewat puisi Keajaiban Cinta (2). Dengan penuh gelora ia menyatakan kebahagiaannya: laksana bayi yang ketemu mainan kegemarannya.

ajaib, begitu ajaib menggelorakan percik-percik impianku
hingga menjelma samudra harapan yang menjadi nyata
.


Dan, aku lirik dalam puisi ini meluapkan kegembiraannya setelah ketersisihan yang dijalaninya menemukan “mutiara”.

Lain halnya dengan Guswar. Coba kita simak petikan yang saya kutip dari puisinya, Ia Bergerak dalam Sebuah Bingkai.

apa yang jadi kemenangan kita
terhadap apa yang disebut diri
sejatinya kita hanyalah kekalahan
namun bergerak dikelilingi kemenangan
.


Kita boleh bersuka-ria merayakan kemenangan, tapi jangan sampai lupa diri. Kita tidak perlu menepuk dada atau mendongakkan kepala hanya karena kebahagian yang tumpah-ruah. Kita harus tetap mawas, betapa perjalanan masih teramat panjang.

Begitulah, puisi itu harus hidup. Ia harus mampu menerjemahkan kehidupan. Ia harus berdiri kukuh berdampingan dengan kenyataan, muasal puisi itu sendiri. Delima, Fatimah, dan Guswar telah berusaha keras agar puisi tidak terasing dari kenyataan kehidupan itu.



VI

KEGIGIHAN. Ini antonim dari ketakberdayaan. Begitulah kesan keempat yang menyapa jiwa saya. Kesan itu saya temukan ketika menyambangi puisi Nyanyi Sumbang Anak Pinggiran karya Imron Tohari. Ia tak menembukkan harapannya pada tembok beton, tapi menajamkan hatinya untuk terus mencari solusi.

Di engsel mana
Harus kurekat lagi cita-citaku
.


Semestinya begitulah sikap kita, tak berhenti mencoba jalan baru ketika semua jalan buntu. Saya sendiri meyakini bahwa ketika semua pintu tertutup, masih ada jendela sebagai alternatif jalan masuk. Artinya, selalu ada jalan selama kita berani mencoba. Dan, kepasrahan tidak dimaknai sebagai ketakberdayaan, melainkan sebagai penguat hati.

Setelah itu, sandingkan dengan puisi Retak yang dirangkai oleh Lany Sulystiawati. Seperti halnya Imron, Lany juga “tak berhenti mencari”. Hal ini tersirat dalam petikan puisinya.

dalam kaca yang retak jadi serpih
masih kukenali bayang itu
tetap berdiri di tempatnya
.


Meskipun agak “membingungkan” ketika saya membaca retak jadi serpih—berapa kali kaca retak dan jadi bubuk—namun saya tetap berusaha menelaah arah capaian makna yang hendak disasar oleh Lany. Jangan berhenti mencari, bahkan dalam cermin retak sekalipun bisa terlihat begitu nyata sosok yang kita cari.

Dengan sedikit ngebanyol, M. Kusuma Al-Franz menutup puisi Tik Tok Tik Tok. Katanya,

tik tok tik tok
Adakah hatimu terketuk?



Sebuah penutup puisi yang sederhana, tetapi di situlah letak kekuatan puisi ini. Di balik kesederhanaan itu tersimpan sebuah alegori tentang kegigihan “aku lirik” dalam memperjuangkan harapannya. Tak ada kata pasrah, tak ada kata menyerah. Sekali-dua kali tak terdengar jawaban, ketuk lagi. Lagi, dan lagi. Berkait dengan puisi di atas, Pandeka Minang pun menawarkan puisi yang beraroma kegigihan, Secangkir Kopi. Suatu saat, ketika kita menemukan secangkir kopi pahit yang tak sesuai dengan selera kita, tak perlu bermuram durja.

”kita tambah saja banyak gula.”


Begitu katanya. Ya, itu jelas. Hidup ini sederhana. Barulah menjadi rumit jika kita merumitkannya.

Dan, kegigihan itu dipuncaki oleh Yayan R. Triyansyah. Ia menyatakannya lewat puisi Perempuan Keberapa. Saya petikkan satu larik dalam puisi itu.

karena pekatnya secangkir kopi di setiap pagi, tak pernah basi
walau sudah malam hari
.


Artinya, jangan cemas. Selalu ada waktu untuk berbenah. Apa yang kita anggap sudah usai di siang hari, bisa saja kita perbaiki lagi ketika malam sudah tiba.

Begitulah. Imron, Lany, Franz, Pandeka, dan Yayan telah menggoreskan warna puisinya. Mereka mengusung optimisme dalam menghadapi kenyataan, termasuk yang paling getir, dan menjadikan puisi sebagai “menu spiritualitas” yang inspiratif.



VII

PADA AKHIRNYA, keempat kesan itu—kegelisahan-keyakinan-kebahagiaan-kegigihan—hanyalah bacaan semata. Dan setiap bacaan pastilah menyertakan keterbatasan. Namun, tetap saja kita perlu mencermati bahwa menjadi penyair tak lebih enteng daripada menjadi penyelam. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu berenang, kita harus melengkapi diri dengan peralatan selam. Termasuk di antaranya tabung oksigen, agar kita bisa tahan berjam-jam menikmati keindahan dasar laut. Tapi, itu saja belum cukup. Kita butuh nyali, kita harus berani melawan rasa takut. Selama perlengkapan dan nyali itu belum cukup, jangan berkecil hati, kita masih bisa jadi perenang yang rajin mencuri napas pada setiap ayunan tangan. Sebagai penyair, kita harus rajin membaca. Baik kitab sajak, maupun kitab terbuka di alam sekitar kita.

Lalu, kita camkan kembali fatwa Lao Tze, bahwa langkah ke-1.000 berawal dari langkah pertama. Dan, buku ini barulah langkah pertama.

Jakarta, Januari 2010.


Khrisna Pabichara, motivator kecakapan belajar dan penyuka sastra. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Jakarta, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.

3 komentar:

  1. Langkah kecil saja yang tiba-tiba mentelantarkan saya di sini pagi-pagi.

    BalasHapus
  2. @Alrezamittariq: Salam kenal juga, senang rasanya jika bisa bersahabat.

    @Ivan Kavalera: Sahabat, mari menyeruput kopi, dan meengajak mati menari di tengah riuh kata.

    Salam takzim

    BalasHapus