Catatan: Tulisan ini dimuat di Jurnal Bogor [Minggu, 24/01/2010]
KUASA CINTA PENARI BRITTANY
Oleh Khrisna Pabichara
PADA MULANYA benak saya digayuti syak-wasangka saat pertama kali membaca novel The Music Box of Love. Betapa tidak, bagaimana mungkin pengarang yang tak pernah bermukim dalam rentang waktu lama di Britania Raya, bisa menuliskan mitos di kawasan Eropa Utara dengan sangat fasih? Tapi semuanya menguap bersama tuntasnya hajat pembacaan novel anggitan Rizu Hanika itu. Saya disuguhi kisah klasik Britania—legenda Arthur—dengan racikan konflik dan benturan alur yang sarat daya kejut.
Cerita bermula dari hasrat Ivory hengkang dari “kuasa lalim” nenek tirinya, Mrs. Maeve Wuningwell. Kejahatan sistemik berbalut cinta-kasih dilakukan neneknya untuk menguasai warisan keluarganya. Namun, waktu akhirnya menjawab segalanya. Satu demi satu selubung rahasia tersingkap. Misteri kematian ayah dan ibunya mulai bersua celah terang. Nenek yang semula “Nenek Sang Sahabat” menjadi “Nenek Sang Musuh”. Tapi hasrat membebaskan diri tidaklah mudah dilakoninya. Neneknya adalah seorang cenayang yang piawai memainkan segala jenis tipu-muslihat.
Kasih sayang yang melingkupi masa kecil Ivory semuanya bersumber dari Sang Nenek. Ia pun terjebak dalam pergulatan batin antara kuasa cinta dan hajat merdeka. Jika ingin lepas dari jerat sihir neneknya, ia harus berani melenyapkan perempuan misterius yang telah mengasuh dan membesarkannya sejak masa kanak. Dan, itu mustahil. Meski akhirnya hasrat merdeka bisa mengalahkan kuasa cinta itu. Ivory pun bertualang memburu benda keramat—kotak musik berisi Boneka Penari Brittany. Petualangan itu menyeret Ivory ke Muara Kesumba, kampung kecil di Kalimantan Timur. Di sana ia bersua dengan Varuna, tokoh lain yang pernah menggunakan jasa Boneka Brittany untuk menghabisi keluarganya.
Kisah pun bergerak dinamis memilin kepingan-kepingan peristiwa yang seolah lepas berdiri sendiri, tidak terkait antara peristiwa satu dengan yang lainnya. Kenikmatan pembacaan itu memuncak saat Ivory memutuskan kembali ke Kastil Rhuneborough demi menuntaskan hajat melenyapkan kesuraman hidupnya. Namun Kuasa Cinta meluluhkan hatinya. Boneka Brittany pun tak sempat menjalankan aksinya. Padahal, setiap kotak musik terbuka, satu nyawa mesti disiapkan sebagai tumbal.
Begitulah, Rizu—alumnus Sastra Jepang UI, menciptakan tokoh dengan pelbagai karakter dan latar budaya berbeda. Penamaan tokohnya pun tidak dilakukan serampangan. Ivory bermakna gading, Baruna—dari bahasa Sansekerta—berarti penguasa samudra, begitupun tokoh lain yang dinamai khas dan unik. Selain itu, kecerdasan meracik-ulang legenda Arthur—kisah cinta tragis Tristan dan Iseult—yang kerap didedahkan sastrawan, semisal Thomas Malory yang menulis Le Morte d’Arthur (1469), menjadi warna lain novel ini. Seperti dikabarkan Maman S. Mahayana, alur novel ini tertata dengan apik. Namun, ihwal itu berpeluang “menyesatkan” atau “menyenangkan” pembaca. Menyesatkan karena alur yang digunakan tidak lazim—lebih mirip novel terjemahan. Menyenangkan karena novel ini menyajikan nilai-nilai spiritual yang didaras secara samar di sela ketegangan demi ketegangan yang “menyihir”.
Bilamana lelaku pengarangnya hanya memindahkan wajah legenda sebagaimana yang tersurat saja—dan mengabaikan yang tersirat—maka novel ini pastilah menjemukan. Tapi Rizu cergas menyelusupkan pesan inspiratif yang “menggugah” sebagai sebuah ikhtiar mengajak pembaca memasuki lorong permenungan. Sebut misalnya ajakan memaknai amarah agar tidak lagi disembuhkan melalui serentet pembalasan dendam belaka. Atau cara keluar dari penjara kepasrahan dan kungkungan ketakberdayaan. Juga hikmah ihwal bagaimana berguru pada pengalaman—membaca gejala dan peluang—sehingga kita mampu meletakkannya sebagai cermin kesadaran.
Kuasa Cinta yang ditawarkan Rizu adalah hajat emosional—di sampul depan tertulis: membunuh adalah bagian dari cinta—yang dapat membantu kita melepaskan diri dari nafsu membunuh itu sendiri. Ya, Cinta tetap harus dikaitkan dengan dorongan hidup, baik untuk sekadar “bertahan hidup” maupun untuk “hidup lebih baik”. Meskipun pilihan tematiknya terbilang berat, Rizu berhasil menata kepingan peristiwa dengan laras di penghujung cerita. Di tangannya, jelajah prosaik yang "asing" tergarap dengan laku penuturan yang mudah dicerna. Alhasil, novel ini tidak melulu bisa dinikmati penyuka sastra belaka, tapi juga dapat digandrungi peminat cerita fiksi umumnya. Maka, ujaran Bamby Cahyadi bahwa Rizu bisa bertumbuh menjadi tandingan Shidney Sheldon dan Tolkien, suatu ketika bisa menjadi “sesuatu” yang tidak mengada-ada.
Dengan demikian, menjawab syak-wasangka saya di awal tulisan ini, tidaklah mesti kita ke bulan jika kita ingin menuliskan sesuatu tentang bulan. Begitulah. Riset serius dan lelaku mengamati selama dilakoni dengan tekun, dapat membantu kita melahirkan cerita yang “memikat” dan “menyihir”.
Khrisna Pabichara, bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.
menghampirimu, puitikamu.
BalasHapusIvan: Makasih banyak sudah menghampiriku, Mas. Salam takzim
BalasHapusJadi pengen sekali baca novelnya. setelah diulas disini kok sepertinya bagus banget ya...
BalasHapusApakah Rizu Hanika itu orang Indonesia..?
BalasHapusSoalnya aku baru tahu namanya dari sini.. :D
@Reni: Senang jika berkenan membaca novelnya. Selain asyik dan menantang, novel ini juga menyajikan rupa-rupa "pesan" spiritual secara tersirat. Bisa didapatkan di toko-toko buku terdekat di seluruh Indonesia. Jika tidak bersua, silakan menghubungi saya di 0858-8859-6468. Rizu asli Indonesia, dia kelahiran Padang dan alumni Sastra Jepang Universitas Indonesia.
BalasHapus