Catatan: Tulisan ini bisa juga Anda baca di http://www.facebook.com/note.php?note_id=285910186398
MEMBINCANGKAN SEPI MENYATAKAN PUISI
Oleh Khrisna Pabichara
I
PUISI, bagi saya, bukan semata setumpuk kata. Ia adalah kaca bening tempat saya bisa mengacakan hati. Setiap membaca kiriman puisi di facebook, saya seolah mendaki ke puncak hening, lalu ekstasi setelah menikmatinya. Karenanya, tidaklah aneh jika saya berani menyatakan bahwa puisi adalah sarana paling tepat untuk melembutkan hati dalam kerangka meningkatkan kecerdasan spiritual. Tentu saja pendapat ini bukanlah harga mati, melainkan ihwal yang dapat digugat setiap saat.
Sebagai bukti kecintaan saya pada puisi, saya berusaha tidak hanya “mengaji” setiap puisi yang mampir di beranda facebook saya, tetapi juga berusaha “mengkajinya”—sebagai upaya menafsirkan perasaan dari hasil pembacaan itu.
Maka, terdaraslah telisik ringan ini.
II
TAHUKAH Anda apa itu sepi? Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia(Edisi Daring), sepi berarti lengang atau sunyi. Dengan demikian, menyepi dapat kita maknai sebagai mengasingkan diri ke tempat yang sunyi. Kata ini bukanlah lema yang asing bagi kita. Setiap diri pasti pernah merasa sepi. Bahkan ada yang secara sengaja “mencari” sepi. Semacam alienasi, mengasingkan diri dari keramaian untuk menemukan sesuatu yang didambakan. Seniman mencari sepi demi meracik ilham. Pelaku bisnis mengayak sepi untuk mematangkan rencana. Dan, para Nabi memburu sepi demi menajamkan pemahaman terhadap larik demi larik wahyu.
Pada telisik ini, saya berhajat mendedahkan rupa-rupa rasa seusai membaca tiga puisi karya tiga “pepuisi” berbeda. Namanya juga telisik ringan, pastilah tidak dirumitkan dengan pelbagai teori. Namanya juga telisik sederhana, pastilah bebas dari rujukan referensi yang berat-berat. Seperti membaca “sepi”, hanya terasa ketika bening hening benar-benar singgah di hati.
III
KIAMAT. Itulah hal pertama yang terbetik di benak saya ketika membaca puisi Riwayat Sehelai Rambut Terbelah Tujuh Warna Pelangi yang dianggit dengan “serius” oleh Handoko F. Zainsam. Ihwal apa dan bagaimana kejadian setelah kiamat inilah yang didedahkan secara tersirat oleh Handoko. Ada semacam upaya menafsirkan sendiri lalu meniupkan “ruh” pemahamannya ke dalam sebuah puisi. Sehelai-Rambut-Terbelah-Tujuh-Warna-Pelangi adalah penerjemahan terhadap titian yang bakal dilewati manusia—dan segala makhluk yang pernah ada(?)—ketika dibangkitkan kembali, sebagaimana termakhtub dalam banyak kitab suci agama samawi. Lewat puisi ini, Handoko mencoba mereka-reka wajah manusia yang seolah tidak mempercayai kejadian yang baru saja mereka alami. Setelah diamuk mala paling petaka—bernama kiamat—mereka merasakan sepi paling sunyi. Manusia—ketika itu—hanya bisa jadi penyaksi atas segala peristiwa yang telah mereka perbuat dan harus dipertanggungjawabkan.
Mari kita tafsirkan sajak ini. Supaya lebih jelas, kita simak bait pertama. //Sehelai rambut seorang putri terbelah menjadi tujuh warna pelangi. Melayang dan rubuh berdebum mencipta jembatan ruang kebangkitan menuju kota sunyi.// Pilihan kata yang diletakkan dalam puisi ini berasa seolah bumbu penyedap yang dapat merangsang hajat pembacaan dan menyeret pembaca ke samudera tanda tanya. Saya pribadi memaknai tujuh warna pelangi sebagai penggolongan manusia berdasarkan lelakunya selama di dunia. Sementara menuju kota sunyi adalah tempat kelak manusia itu “diletakkan”.
Begitulah. Ada maklumat yang disampaikan secara tersirat oleh Handoko, sebuah ajakan untuk menyandera perilaku “buruk” lewat fasilitas akal yang dimiliki setiap manusia. Kita diajak menyeruput rasa sepi secara “terselubung”, tanpa harus merasa digurui, apalagi dihakimi.
IV
LAIN lubuk lain ikan. Begitu uar pepatah. Cara Handoko membincangkan sepi tentulah berlainan dengan pola Syaiful Alim meneriakkan hajat sunyi yang dirasanya. Melalui sajak Susu Sepi, Syaiful seolah menegaskan aroma “ketidakpuasan” terhadap perlakuan yang dialami “Sang Aku” dalam sajaknya—pengkhianatan, kepalsuan, kelabu-mengelabui—yang dilakukan oleh “yang dicintanya”. Bahwa kita kerap mendengar “susu sapi”, itu jelas. Tetapi tidak dengan "susu sepi". Coba kita simak. //susu sepi ini bagai susu sapi/ menguatkan tulang tangisku/ sehabis kau iris.// Pedih memang selalu menyisakan nyeri, tapi jika didaur-ulang dengan tepat, ia akan menjadi asupan berharga yang bisa menguatkan hati.
Pada penghujung puisinya, Syaiful seolah ingin memastikan kepada “khalayak pembaca”, bahwa semua manusia itu bertopeng. Baginya, manusia tidak bisa memaklumatkan apa-apa selain basa-basi, kepalsuan, dan kebohongan. Kalaupun ada sosok yang menawarkan kesetiaan dan kekukuhan cinta, itu semu dan palsu. Tetap menyertakan pamrih. Semacam isyarat: memberi karena ingin menerima. //aku kini penggembala kata. merawat sakit dan minum susu sepi/ sedikit demi sedikit supaya kumelupa gigit genitmu di leherku yang purba.// Tentulah ada argumen bagaimana dan kenapa puisi ini dilahirkan. Bagaimana pun, puisi ini mengajak kita merenung, menyapa sepi, lalu membaca diri. Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan manusia yang lalai pada lelaku sendiri.
Begitulah. Syaiful membincangkan sepi dengan takzim. Menuangkannya ke cawan puisi, agar bisa kita reguk setiap saat.
V
KETIKA Handoko menajamkan sepi pada akhir kehidupannya, dan Syaiful menisbahkan sepi sebagai aroma “ketidakpuasannya”, maka Yayan R. Triyansyah menanggungkan haru-biru rindu yang dirasanya ke dalam sepi. Sunyi baginya bukanlah musuh, layaknya ombak yang selalu dirindukan saat lidahnya menjilat pantai. Kerinduan baginya adalah “sari” dari Cinta. Ia menyatu, bukan berdiri sendiri. Semisal laut dan pantai, salah satunya tak bisa mengada, jika yang lainnya tiada. Maka, pengabaran lewat kombinasi cantik antara kecerdasan estetis dan etis dalam Cerita Cinta Laut, belumlah bermakna apa-apa sebelum kita letakkan kembali fitrah “mencinta” dan “dicinta”, lengkap dengan segala warna yang menyertainya—hitam atau putih, buram atau terang.
Itulah gagas-pikir yang didedahkan Yayan ke dalam sajaknya, Cerita Cinta Laut. Kita bisa menyimak bait pertamanya. //Aku ceritakan sedikit tentang laut tempatku tinggal; di sana ada sepasang kerinduan yang melukiskan tawa senyummu. Lalulewat debur ombak menyampaikan pesan langit pada pantai, karena ombak adalah cakrawala garis lengkung suatu cinta; jarak napas kerinduan yang nyata.//
Tak ada riuh di sana. Ombak pun bukanlah gemuruh, tapi semata debur yang menyampaikan pesan: jarak napas kerinduan yang nyata.
Lalu, pada bait kedua, Yayan dengan gesit menyatakan “rasa sepi” yang meripit di hatinya. Ia menyampaikan gundahnya dengan alegori lembut yang berkait mesra pada kata: gunung-muara-garam-asin-laut-setia-cinta. Hal ini bisa kita temukan pada bait kedua. //Kemudian ada pesan di bibir muara. Darinya, kabar tentang gunung tak terbendung, yang selalu mengirim garam untuk memberi rasa lautan, sebagai bukti kesetiaan. Begitulah sedikit cerita tentang laut, yang kini menelanku menjadikan satu dengan cintaku.//
Tidak perlu lagi kita pertanyakan kesetiaan gunung mengirim garam lewat sungainya yang bermuara pada laut. Seperti itulah “kesetiaan” yang diusung “Sang Aku” dalam puisi ini. Kesetiaan yang berwarna, meliuk di setiap kelok sungai, sesekali menderas atau tumpah sebagai air terjun. Namun, tetap saja ia akan mengalir menuju laut, seberapa pun jauh perjalanan “sepi” itu harus ditempuh.
VI
SEPI ketika dibincangkan dengan ringan dan dinyatakan lewat puisi, bisa menjadi teman yang asyik. Maka, jika tiba-tiba sepi menyeruak, tak perlu panik. Jadikan itu puisi. Selain mengayakan, juga bisa menenangkan hati. Dan facebook bisa menjadi sarana berbagi, menebar keindahan “sepi” itu ke segala penjuru. Pastilah banyak jempol, komentar basa-basi atau komentar sejati, bahkan puja-puji dan caci-maki. Tapi itu adalah proses pembelajaran. Seperti belajar “membaca sepi”.
Maka, mari bersulang: kita rayakan keriuhan sastra di ranah maya ini.
Mata Aksara, 14|01|2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar