CATATAN: Tulisan ini karya seorang munsyi, Jos Daniel Parera, disebarluaskan pertama kalo oleh Kompas (Jumat, 23/11/2007) di Rubrik Bahasa Halaman 15. Saya sebar luaskan kembali dalam rangka Bulan Bahasa, Oktober 2009.
IBADAT ATAU IBADAH?
ADA apalagi dengan judul ini? Bahasa Indonesia menyerap cukup banyak kata bahasa Arab. Salah satu masalah dalam penyerapan kata-kata Arab ke dalam bahasa Indonesia ialah pengalihan aksara Arab ke dalam aksara Latin, karena ejaan bahasa Indonesia menggunakan aksara Latin. Nah, muncul pengalihaksaraan huruf ta aksara Arab ke dalam aksara Latin. Huruf ta yang disebut ta marbutah itu pada akhir kata dialihaksarakan ke huruf latin dengan huruf h dan dengan huruf t. Bagaimana kisah dan sejarahnya kita serahkan kepada para pakar linguistik Arab dan Indonesia.
Yang menjadi masalah bagi pemakai bahasa Indonesia ialah terjadi penggunaan huruf h dan t pada akhir kata serapan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia yang cenderung bersifat eksklusif dan inklusif. Mari kita perhatikan contoh-contoh berikut ini.
Kita temukan ungkapan jemaah haji dan jemaat Kristen, rumah ibadah dan rumah ibadat, ibadah umroh dan ibadat sabda. Ketika Amien Rais membentuk PAN, saya kira muncul pilihan. Apakah kepada partai itu akan diberi nama Partai Amanah Nasional atau Partai Amanat Nasional? Jika kepada partai itu diberi nama Partai Amanah Nasional, maka partai itu diterima sebagai partai yang eksklusif. Ternyata para pendiri PAN memilih amanat, lalu jadilah Partai Amanat Nasional yang bersifat inklusif. Ternyata, Harian Kompas pun mempunyai judul bawahan Amanat Hati Nurani Rakyat.
Dalam dunia perguruan tinggi yang bersifat badan hukum terdapat sebuah lembaga bernama Majelis Wali Amanah atau Majelis Wali Amanat (WMA). Untuk rasa aman, mungkin redaktur surat kabar lebih sering menuliskan singkatan WMA karena ragu-ragu menuliskan amanah atau amanat. Penulisan ejaan yang bersifat kembar ini tentu membawa berkah atau berkat. Masalahnya adalah soal pilihan yang cenderung bersifat eksklusif dan inklusif.
Penggunaan bahasa Indonesia yang bersifat eksklusif dan inklusif ini juga terjadi pada ucapan salam pembuka dalam seminar dan pertemuan, dan lebih-lebih lagi dalam sambutan-sambutan resmi pemerintah dengan ungkapan “Assalamu’alaikum dan salam sejahtera [dulu lain] bagi kita semua.” Dua ungkapan ini bersifat eksklusif, sepertinya sudah dibakukan dan berterima begitu saja.
Ada sinetron berjudul “Hidayah”. Kata hidayah tak dijumpai di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam edisi kedua KBBI, bentuk hidayah dirujuk kepada hidayat. Ada orang yang bernama Hidayat (laki-laki), tetapi tidak terdapat nama dalam bentuk Hidayah, melainkan dalam bentuk Hidayati.
Ta marbutah yang tetap dituliskan dengan huruf h tanpa kembaran dengan t, misalnya mukadimah, musyawarah, majalah, masalah, nafkah, khazanah, dan ta marbutah yang tetap dituliskan dengan huruf t, seperti umat, rakyat, istirahat, hakikat, dan beberapa yang lain (baca dan periksa kamus). Akan tetapi terdapat Majelis Permusyawaratan Rakyat dan bukan Majelis Permusyawarahan Rakyat.
Semoga penulisan ta marbutah dengan h dan t tidak mengarah kepada penggunaan yang bersuasana eksklusif dan inklusif. Mari kita musyawarahkan dan bukan musyawaratkan.
JOS DANIEL PARERA, Munsyi
Selasa, 29 September 2009
Minggu, 27 September 2009
ARTIKEL "Mengemas Tujuan Belajar"
Catatan: Tulisan ini dimuat di Jurnal Bogor (Jumat, 18/09/2009)
Mengemas Tujuan Belajar
Oleh Khrisna Pabichara
TAHUKAH ANDA apa tujuan Anda belajar selama ini? Kadang-kadang, tujuan belajar kita tampak jelas, seperti “ingin menambah wawasan”, “memperluas cakrawala pengetahuan”, atau “menjadi lebih cerdas”. Namun, kerap pula, tujuan belajar kita tampak samar-samar dan membingungkan. Kita belajar tanpa tujuan dan arah yang jelas. Kita selalu membela diri dengan kalimat, “Biarlah mengalir seperti air.”
Jika kita menginginkan hasil terbaik, kita harus mengemas tujuan belajar. Secara bahasa, kata “kemas” berarti (1) teratur rapi, dan (2) rapi; beres; bersih. Maka, “mengemas” dapat diartikan sebagai (1) mengatur rapi, (2) menata agar beres dan bersih. Sedangkan kata “tujuan” bermakna (1) arah (yang hendak dicapai atau ditempuh), dan (2) maksud (mengapa melakukan sesuatu). Merujuk dari makna kata tersebut, mengemas tujuan belajar bisa kita maknai sebagai “tindakan sadar untuk menata arah yang hendak dicapai dan bagaimana mencapainya”.
Ya, tujuan belajar memang harus dikemas. Benar, dengan kemasan yang rapi dan menarik, tujuan bisa merangsang kesungguhan. Sebab, tujuan belajar yang jelas dan spesifik bukan hanya dapat mengarahkan seseorang ke jalan yang mudah ditempuh, melainkan juga dapat merangsang tumbuhnya motivasi untuk habis-habisan dan sungguh-sungguh dalam belajar.
Coba simak secara saksama kata habis-habisan dan sungguh-sungguh di atas. Kata-kata inilah yang kita butuhkan. Kata-kata ini memiliki makna penting dan strategis bagi kita dalam usaha menjadikan proses belajar sebagai upaya untuk mengubah diri ke arah yang lebih baik.
Tujuan yang jelas akan merangsang motivasi kita untuk bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu. Apabila tidak, tentu saja, kita tidak akan mendapatkan proses belajar yang efektif dan berkualitas.
Tujuan yang spesifik akan menuntun kita, secara otomatis, untuk lebih memacu diri dengan menjalani proses belajar benar-benar dalam keadaan bersungguh-sungguh. Dan, pada gilirannya, kesungguhan dalam belajar akan menuntun kita untuk mementingkan proses, bukan hasil akhir.
Sebelum kita memasuki bagaimana mengemas tujuan belajar dengan baik, marilah kita memastikan apa yang sudah kita peroleh dari prolog tulisan ini. Pertama, kita telah berhasil menafsirkan dan memahami makna kata “mengemas tujuan belajar”. Kedua, kita juga sudah mengetahui pelbagai manfaat mengemas tujuan belajar. Dan, ketiga, kita telah berhasil menggugah diri untuk segera mengemas tujuan belajar kita.
Apabila ketiga tahap tersebut sudah kita lalui, tentulah kita ingin menjadikan diri kita sebagai sosok yang lebih baik, yang lebih berdaya. Caranya? Ya, segera merancang dan mengemas tujuan belajar itu.
Mari kita mulai dengan mulai menggali diri kita, terutama soal (1) arah yang hendak dituju, (2) maksud yang hendak dicapai, (3) potensi apa saja yang kita miliki, dan (4) apa saja yang bisa menjadi aral perintang.
Sebagai kita menjadi manusia pembelajar yang memiliki tujuan yang jel;as dan spesifik dalam belajar.
☼☼☼
KHRISNA PABICHARA, motivator pembelajaran dan penyuka sastra, tinggal di pinggiran Jakarta.
Khrisna Pabichara di Harian Global Medan
Catatan: Sajak-sajak ini dimuat di Harian Global Medan (Sabtu, 06/09/2009)
Berkubang di Genang Kenang
Aku tidak bisa begitu saja berhenti memeram segala jenis kenangan dalam rabun ingatan. Pada ilalang kering tempat duka berbaring, di setiap gerimis, kita racik geletar hati yang selalu ngilu. Hawa dingin dengan sempurna merekam jejak tempias hujan pagi, kelindan rindu yang mengendap dalam bulir harapan. Rasanya, tak mudah melangkah pergi, meninggalkan tumpak-tumpak sejarah.
Aku lebih suka sendiri di lubuk sepi, seperti saat pertama kali dilahirkan dan merapal isak-tangis: sesak perkabungan. Ada beruk mabuk berayun-ayun, memanjat pohon-pohon purba. Ada hikayat seludang menolak mayang. Ada sendu sirih meminang perih. Ada desir doa parau kemarau. Ada mantra jerih batang ilalang. Ada selasar sunyi daun cemara. Ada gurinda luka daun kelapa. Dan, ah, aku seorang lajang yang belum siap mengecap pedas lada.
Aku ingin, sejenak saja, menurunkan gerimis: membangun jembatan lengang ke masa lalu, menjemputmu yang tenang berdiang dalam lipatan kenang. Tapi, aku seperti ikan yang asing di lubuk, atau belalang yang berang di padang.
Aku cuma sanggup mengenang hujan, terus menyisir landai sungai: berkubang di genang kenang.
Bogor, Desember 2008
Perjalanan Rindu
Rindu berdiri di halaman hari. Matahari masih mengepul di mata sepinya. Mata pengap: menjerang air mata dan senyap. Kupu dan serangga berloncatan: melenting, menggelinding. Dukanya tanak, mengepul di cangkir kopi: menguapi cinta yang sederhana.
Rindu sekarang berjalan di beranda senja. Langkahnya ringan menapak pucuk rumputan sunyi. Wajahnya masih sama: tenang-terang, hening-bening. Detik dan menit berlomba-melaju: melompat, menjingkat. Rindu yang sepi menimang-nimang kenangan: menjaga cinta yang sederhana.
Rindu pulang ke pangku malam. Matahari sampirkan letih di kening bulan. Rindu gemeretak menahan gigil, berderit di telikung pilu. Malam ini ingin sekali dia menangis. Sudah lama dia tidak menangis: terakhir dia menangis ketika pacarnya pergi selepas merampok selembar selaput dara. Dan dia tercatat sebagai bekas perawan: meratapi cinta yang tidak sederhana.
Bogor, November 2008
Lelaki Paling Puisi
Aku, lelaki paling sepi, menyelam ke perut laut. Memetik ingatan mencari kenang yang dulu karam di cangkang karang. Mengeruk arus. Menandai wajah ibu: ada rindu terdampar di pantai. Berkali-kali.
Hari ini, kubangun rumah pasir. Membayangkan ibu duduk tenang di salah satu lengang ruang, menyulam rabuk perahu yang lapuk ditulah usia. Tapi gelombang selalu menyapu rumah itu, bahkan sebelum aku usai memasang atapnya.
Aku, lelaki paling puisi, melepas matahari ke rahim laut. Agar tak ada lagi senja atau camar yang riang mengajak pulang. Sepanjang siang aku menjala kenangan: ibu, dulu dirimbun bakau, aku selalu membuang risau. Sekarang, sunyi:
Menghitung sesak.
Depok, Pebruari 2009
Dan Pias Menahan Laju Kenangan
—Untuk Atisatya Arifin
Lagi-lagi aku terseok sepanjang gigil ingatan. Jalan setapak di sebelah rumahmu, lagu-lagu yang selalu menumbuhkan rindu, kelecer yang bergerak searah gelinjang daun ketapang, ayah-bundamu yang selalu datang memecah angan dengan tutur-sapa yang selalu bisa menyalakan senyuman. Dan, ah, jantungmu berdetak terburu-buru. Tanpa rima, tanpa irama.
Masih pagi waktu kuseruput wajahmu lewat secangkir teh hangat, mengundang kenangan melindap di jantung pagi. Seperti adam yang tak henti menyasar bumi hingga arafah mempertemukannya dengan hawa.
Langit keburu pecah pagi ini, memuntahkan rupa-rupa sungkawa purba. Apalagi yang melambai dari arah barat laut, jika bukan tembangmu dengan pelan menidurkan ombak. Tanpa riak, tanpa sesak.
Beranjak siang aku masih di beranda, ongkang-ongkang kaki mengaji rindu. Bunga ketapang, kembang bulan, dan sepi rumput teki: semua bersepakat menyeret-nyeret ingatan. Mengapa aku tak pernah bisa menggulung ingatan? Ya, rasanya aku tak bisa beranjak pergi, selangkah saja, melarung luka dari celah-celah jiwa ketika senja mulai hamil tua. Sepanjang pandang, bayangmu merupa lukisan. Tanpa senyuman, tanpa harapan.
Parung, November 2008
Berkubang di Genang Kenang
Aku tidak bisa begitu saja berhenti memeram segala jenis kenangan dalam rabun ingatan. Pada ilalang kering tempat duka berbaring, di setiap gerimis, kita racik geletar hati yang selalu ngilu. Hawa dingin dengan sempurna merekam jejak tempias hujan pagi, kelindan rindu yang mengendap dalam bulir harapan. Rasanya, tak mudah melangkah pergi, meninggalkan tumpak-tumpak sejarah.
Aku lebih suka sendiri di lubuk sepi, seperti saat pertama kali dilahirkan dan merapal isak-tangis: sesak perkabungan. Ada beruk mabuk berayun-ayun, memanjat pohon-pohon purba. Ada hikayat seludang menolak mayang. Ada sendu sirih meminang perih. Ada desir doa parau kemarau. Ada mantra jerih batang ilalang. Ada selasar sunyi daun cemara. Ada gurinda luka daun kelapa. Dan, ah, aku seorang lajang yang belum siap mengecap pedas lada.
Aku ingin, sejenak saja, menurunkan gerimis: membangun jembatan lengang ke masa lalu, menjemputmu yang tenang berdiang dalam lipatan kenang. Tapi, aku seperti ikan yang asing di lubuk, atau belalang yang berang di padang.
Aku cuma sanggup mengenang hujan, terus menyisir landai sungai: berkubang di genang kenang.
Bogor, Desember 2008
Perjalanan Rindu
Rindu berdiri di halaman hari. Matahari masih mengepul di mata sepinya. Mata pengap: menjerang air mata dan senyap. Kupu dan serangga berloncatan: melenting, menggelinding. Dukanya tanak, mengepul di cangkir kopi: menguapi cinta yang sederhana.
Rindu sekarang berjalan di beranda senja. Langkahnya ringan menapak pucuk rumputan sunyi. Wajahnya masih sama: tenang-terang, hening-bening. Detik dan menit berlomba-melaju: melompat, menjingkat. Rindu yang sepi menimang-nimang kenangan: menjaga cinta yang sederhana.
Rindu pulang ke pangku malam. Matahari sampirkan letih di kening bulan. Rindu gemeretak menahan gigil, berderit di telikung pilu. Malam ini ingin sekali dia menangis. Sudah lama dia tidak menangis: terakhir dia menangis ketika pacarnya pergi selepas merampok selembar selaput dara. Dan dia tercatat sebagai bekas perawan: meratapi cinta yang tidak sederhana.
Bogor, November 2008
Lelaki Paling Puisi
Aku, lelaki paling sepi, menyelam ke perut laut. Memetik ingatan mencari kenang yang dulu karam di cangkang karang. Mengeruk arus. Menandai wajah ibu: ada rindu terdampar di pantai. Berkali-kali.
Hari ini, kubangun rumah pasir. Membayangkan ibu duduk tenang di salah satu lengang ruang, menyulam rabuk perahu yang lapuk ditulah usia. Tapi gelombang selalu menyapu rumah itu, bahkan sebelum aku usai memasang atapnya.
Aku, lelaki paling puisi, melepas matahari ke rahim laut. Agar tak ada lagi senja atau camar yang riang mengajak pulang. Sepanjang siang aku menjala kenangan: ibu, dulu dirimbun bakau, aku selalu membuang risau. Sekarang, sunyi:
Menghitung sesak.
Depok, Pebruari 2009
Dan Pias Menahan Laju Kenangan
—Untuk Atisatya Arifin
Lagi-lagi aku terseok sepanjang gigil ingatan. Jalan setapak di sebelah rumahmu, lagu-lagu yang selalu menumbuhkan rindu, kelecer yang bergerak searah gelinjang daun ketapang, ayah-bundamu yang selalu datang memecah angan dengan tutur-sapa yang selalu bisa menyalakan senyuman. Dan, ah, jantungmu berdetak terburu-buru. Tanpa rima, tanpa irama.
Masih pagi waktu kuseruput wajahmu lewat secangkir teh hangat, mengundang kenangan melindap di jantung pagi. Seperti adam yang tak henti menyasar bumi hingga arafah mempertemukannya dengan hawa.
Langit keburu pecah pagi ini, memuntahkan rupa-rupa sungkawa purba. Apalagi yang melambai dari arah barat laut, jika bukan tembangmu dengan pelan menidurkan ombak. Tanpa riak, tanpa sesak.
Beranjak siang aku masih di beranda, ongkang-ongkang kaki mengaji rindu. Bunga ketapang, kembang bulan, dan sepi rumput teki: semua bersepakat menyeret-nyeret ingatan. Mengapa aku tak pernah bisa menggulung ingatan? Ya, rasanya aku tak bisa beranjak pergi, selangkah saja, melarung luka dari celah-celah jiwa ketika senja mulai hamil tua. Sepanjang pandang, bayangmu merupa lukisan. Tanpa senyuman, tanpa harapan.
Parung, November 2008
Label:
Harian Global,
khrisna pabichara,
sajak
Sabtu, 12 September 2009
CERPEN "Rumah Panggung di Kaki Bukit"
Catatan: Cerpen ini dimuat di Republika (Minggu, 13/09/2009).
SAYA sudah kaya. Sudah berilmu. Dan, alim. Karena dengan tiga syarat itu aku sudah bisa menyuntingmu, besok pagi aku tiba di kampung halaman.
“AKHIRNYA engkau pulang, Bori,” desis Kana perlahan-lahan. Kana membaca pesan pendek itu sekali lagi. Lalu, dia memasukkan handphone ke saku roknya. Pesan pendek itu diterimanya kemarin sore. Sudah berkali-kali dibacanya, tapi Kana tak pernah bosan. Wajahnya berseri. Matanya bercahaya. Di pucuk lontar, dia lihat wajah Bori tersenyum. Sangat menawan. Masih seperti senyumnya lima belas tahun silam. Dan, ketika Kana mengalihkan pandangan ke halaman rumah, senyum Bori kembali memenuhi semua ruang yang terlihat olehnya. Lalu, dicobanya membongkar ingatan. Bagaimana sesungguhnya mata Bori. Bagaimana alisnya, hidungnya, dahinya, dan bibirnya. Tapi, tak satu pun bisa diingatnya lagi dengan pasti. Semua samar. Lamur.
Sungguh, Bori itu lelaki idaman semua perempuan. Tiada nila-cela pada dirinya. Tegap badannya. Berwibawa penampilannya. Taat ibadahnya. Santun tutur-lakunya. Pandai membawa diri. Dan, tatapan matanya! Alamak! Maka, banyaklah perempuan menaruh hati padanya. Termasuk Kana. Tak disangka, Bori pun jatuh cinta padanya. Senang tiada terkira hati Kana.
Sayang, Bori bukan laki-laki keturunan bangsawan. Darahnya biasa, merah. Bukan darah biru. Meski demikian, mereka nekat. Diam-diam menjalin cinta. Ibarat lubuk, permukaan airnya tampak tenang. Tak beriak. Tapi di bawah, arusnya deras. Terus bergolak, terus bergerak.
WAKTU itu, Kana baru kelas satu SMP, sedang Bori sudah kelas tiga. Sebenarnya sangat tidak nyaman menjalin cinta dengan terus sembunyi, tapi tak ada cara lain yang bisa mereka lakukan. Apalagi setelah ayahnya secara tersirat melarang hubungan mereka.
“Kaeng tahu hubungan kalian. Cinta memang tidak memandang martabat. Tapi, pikirkan kehormatan keluarga. Tak layak kamu bersanding dengan Bori, Nak.”
Sejak itu, mereka tidak lagi pacaran. Namun, mereka masih saling mencinta. Setamat SMP, Bori merantau ke Jakarta. Katanya, ia ingin melanjutkan sekolah, mengumpulkan uang, dan nyantri biar jadi orang alim. Jika Bori memiliki ketiga hal itu, barulah berhak Kana dilamarnya. Ya, begitulah adat orang Turatea. Adat yang dipiara turun-temurun. Adat yang meletakkan manusia berdasarkan derajat. Adat yang menakar harkat karena warna darah.
Kelas terendah disebut ata. Golongan rakyat biasa. Pada jaman dulu, mereka kaum pekerja atau budak para bangsawan. Di atas golongan ata, namanya daeng. Seperti ata, lelaki berdarah daeng tidak bisa menikahi perempuan berdarah karaeng. Kecuali mereka memenuhi tiga syarat. Pertama, kaya. Kedua, berilmu. Ketiga, alim. Dulu, Syekh Yusuf Al-Makassari, ulama besar yang dibuang penjajah ke Afrika Selatan, pernah mengalami hal sama. Ia tidak bisa menikahi putri Sultan Gowa, maka ia merantau ke Banten. Namun, ketika ketiga syarat sudah dipenuhinya, Syekh Yusuf tidak kembali ke tanah Gowa.
Kelas tertinggi, karaeng namanya. Biasanya turunan raja atau bangsawan. Keistimewaan golongan ini, lelaki berdarah karaeng bisa menikahi perempuan mana saja yang mereka suka. Baik daeng maupun ata.
Kana sendiri merasa ada ketidakadilan adat dalam memperlakukan manusia. Bayangkan, orang dari kasta terendah ”tidak dibenarkan” menikahi golongan di atas mereka, sementara mereka yang berkasta lebih tinggi bisa dengan leluasa menikahi golongan di bawah mereka. Tapi Kana, juga Bori dan umat adat lainnya, tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali tunduk dan menyerah pada ketentuan adat.
Tidak adil memang, tapi begitulah kenyataannya.
HARI ini Bori pulang. Kana bangun pagi-pagi benar. Mandi sejenak, hanya satu-dua timba. Biasanya, Kana bisa mandi berjam-jam. Sampai-sampai pintu kamar mandinya sering diketuk ibunya. Tapi, hari ini ibunya tak perlu mengingatkannya. Sekarang Kana sudah berdiri di depan cermin. Mematut diri. Memoles pipi dan bibir dengan rupa-rupa kosmetik. Sudah tiga kali dia berganti baju. Namun belum juga bersua yang pantas. Selalu ada yang terasa kurang. Hingga dia memilih baju berwarna putih. Baju kiriman Bori ketika dia ulang tahun ke dua puluh. Lalu, disemprotkannya parfum ke tubuhnya. Bau harum segera tercium. Merebak ke pojok-pojok kamar. Kana tertawa girang. Mengangkat tangan kiri, menghidu ketiaknya. Memastikan yang tercium bau wangi, bukan wangi kecut tubuhnya.
Kana tak pernah membayangkan kalau Bori akan kembali, meskipun dia sering berharap lebih. Setiap hari dia menutup salat dengan doa yang sama, Tuhanku, jadikan hanya Bori sebagai jodohku. Doa sama, harapan sama. Doa dengan pembuka dan penutup yang sama. Begitu setiap hari. Dan, akhirnya Tuhan mengabulkan harapannya. Hari ini Bori pulang untuk meminangnya.
Jangan dikira Kana tidak banyak peminat. Sudah banyak lelaki datang melamarnya. Ada tentara, ada polisi. Ada dosen, ada guru. Ada pengusaha ternama dari ibukota. Bahkan keturunan kesultanan dari negeri jiran. Semuanya berdarah biru. Karaeng. Tapi Kana menampiknya. Kana tak silau oleh harta dan kegagahan fisik. Juga pada gelar dan tahta. Hingga kemudian tersiar kabar: Bori telah menjadi “orang kaya” di Jakarta. Menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi terkemuka. Dan sering mengisi ceramah agama di televisi. Ya, Bori telah memenuhi tiga syarat untuk menaklukkan benteng tradisi ─ilmu, harta, dan alim. Karena itu, hanya Bori yang ditunggunya.
“Akhirnya engkau pulang, Bori.”
Kana meraih handphone di ujung meja riasnya. Lalu berjalan ke tempat tidur. Membaringkan tubuh. Dan, membaca kembali pesan pendek dari Bori, sekali lagi. Sepertinya kurang percaya, dia baca lagi. Benar. Tidak berubah, baik koma maupun titiknya. Kalau sms ini tidak bohong, hari ini Bori pulang. Berarti pula, hari ini kaeng bakal punya menantu. Tak perlu lagi kaeng mengeluh tentang usianya yang kian renta. Dan takut tak bisa menimang cucu hingga ajal keburu menjemput. Tak akan ada lagi gunjing tetangga, kasak-kusuk di belakang kupingnya, tentang hikayat perawan tua. Apalagi cibiran bahwa dia perempuan tak laku. Tidak lagi. Hari ini semuanya akan berubah.
Semua gonjang-ganjing itu akan terjawab sempurna: Bori.
Perempuan sekampung bakal iri padanya. Siapa yang tidak bangga disunting lelaki ternama. Bori sekarang kebanggaan orang-orang Turatea. Keluarga kerajaan telah menisbahkan gelar Karaeng Marewa, karena jasanya menggugah semangat pemuda dan remaja. Lelaki berdarah daeng, yang dulu ditampik adat hingga tak mungkin menyuntingnya, kini telah jadi idola. Harapan semua perempuan, dari karaeng hingga ata. Namun lelaki kebanggaannya itu tidak maruk pada ketenaran.
TIBA-TIBA handphone Kana berdering. Sebuah isyarat pesan pendek telah diterima. Bergegas Kana membacanya: Saya sudah tiba di kampung tercinta, sebentar lagi ke rumahmu. Dada Kana serasa hendak pecah berantakan disesaki rasa bahagia. Air mata bahagia ingin meloncat keluar dari matanya. Tapi, dia tidak membiarkannya. Hidungnya yang mancung bergerak-gerak. Jodoh, jika sudah ditentukan, tak bakal ke mana. Begitulah yang Kana yakini. Sekali lagi Kana membaca pesan pendek itu.
Sekarang dia masih gadis, sebentar lagi dia bersuami. Menjadi milik Bori. Seutuhnya. “Akhirnya engkau pulang, Bori.”
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Lamat terdengar suara kaeng.
“Ada tamu mencarimu, Nak.”
Itulah kalimat yang paling ditunggunya.
Kana segera melompat dari pembaringan. Tergesa merapikan bajunya. Mematut diri di cermin. Lalu berjalan ke pintu kamar. Dia tak sempat melihat air muka kaeng-nya yang muram. Dia bahkan tak sempat menangkap bening air mata tergenang di mata kaeng-nya. Dia ingin segera bertemu cintanya, Bori. Langkahnya terasa ringan. Ringan sekali. Hingga akhirnya dia tiba di ruang tamu. Dan matanya menangkap sosok yang lama dirindunya.
Masih seperti dulu.
Ya, Bori tidak banyak berubah. Tetap ganteng. Bahkan sekarang terlihat lebih matang. Lebih dewasa. Makin membuat jantungnya berdetak tak beraturan.
Saya takkan melupakanmu, Kana. Hanya satu perempuan yang hendak kusunting jadi ibu dari anak-anakku, hanya kamu. Betapapun keras adat menentang cinta kita.
Tiba-tiba membayang kilap masa lalu, ketika Bori pamit hendak merantau, mengadu untung ke Jakarta. Waktu itu, Kana tak bisa berkata sepatah pun. Hanya air mata. Dan bayangan perpisahan yang mengerikan.
Jangan ragu, Kana. Tunggu saya pulang. Biar saya penuhi semua ketentuan adat. Baru kita tunaikan mimpi: rumah panggung di kaki bukit, dengan pelataran laut Makassar dan pemandangan menawan setiap senja.
Kala itu, Kana tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk Bori. Ah, cinta terlarang. Dia rasakan geletar jemari Bori mengelus punggung dan rambutnya. Menenangkan hatinya.
Jangan lupa mimpi kita, Kana. Rumah panggung di kaki bukit, keluarga bahagia dan cinta sepanjang masa.
“Apa kabar, Kana?” Bori membuyarkan lamunan Kana.
Bori segera berdiri menyongsong Kana. Tangannya terulur. Kana tersenyum. Menyambut uluran tangan Bori, merasakan darah mengaliri telapaknya, dan terus menjalar memenuhi seluruh pori wajahnya. Ah, lama sekali aku rindukan pertemuan ini. Rasanya dadanya bakal pecah karena gelegak rasa bahagia.
Bori tidak sendirian. Ada juga ayah dan ibunya. Kana sangat akrab pada mereka. Pasti ini dalam rangka melamar saya, pikir Kana. Tidak pernah sebelumnya Bori bertandang bersama orangtuanya. Lalu, untuk apa jika bukan karena ingin meminangnya?
TAPI, ah, siapa gadis yang duduk di sisi Bori? Kenapa tiba-tiba sembilu mengiris jantungnya? Duh, cemas menyergap dan memiuh-miuh uluhatinya. Siapa gadis itu, tanya Kana dalam hati. Wajahnya akrab di matanya. Seperti pemain sinetron. Atau, bintang iklan. Yang jelas, Kana merasa sering melihatnya. Tapi, di mana? Entah.
“Kenalkan, ini istri saya, Kayla.”
BUG! Jantung Kana bergetar-getar. Berdenyar tak karuan. Mata Kana langsung berkunang-kunang.
Jadi, apa maksud sms itu? Bukankah kedatangan Bori, hari ini, karena ingin melamar saya? Apa saya hendak dijadikan istri keduanya? Tidak! Tidak mungkin! Lalu, bagaimana dengan impian dan cita-cita masa lalu: rumah panggung di kaki bukit dengan pelataran laut Makassar dan pemandangan menawan setiap senja? Bagaimana dengan mimpi indah: keluarga penuh tawa, cinta, dan bahagia sepanjang masa?
Rasanya semua darah di tubuh Kana mengalir ke satu arah, ke wajahnya. Panas. Merah. Panas membara. Panas membakar. Tangannya mengeras, mengepal. Sia-sia penantian selama puluhan tahun. Penantian yang menyulut gelegak amarahnya. Yang membuatnya kalap dan gelap mata. Ingin rasanya dia cincang tubuh Bori. Juga, istrinya.
Tapi, Kana tak bergerak sama sekali. Hanya air matanya jatuh satu-satu.
Apa Bori sengaja ingin melunaskan amarah masa lalunya? Jika memang Bori mau menentang adat, mengapa harus saya yang dikorbankan? Jika ya, mengapa Bori balas dendam dengan cara sekeji ini? Biadab! Benar-benar lelaki biadab. Bisakah saya memaafkannya?
Sejak itu, Kana tak ingat apa-apa lagi.
Catatan kaki:
Kaeng: Panggilan Bapak bagi kalangan karaeng di Jeneponto.
Turatea: Sebutan lain dari Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Ata: Kelas terendah di kalangan masyarakat Turatea. Pada jaman dulu, mereka kaum pekerja atau budak para bangsawan.
Daeng: Golongan di atas ata, terdiri dari laskar kerajaan (tubarani) dan kaum ahli (tupanrita)
Karaeng: Kelas tertinggi, biasanya golongan bagsawan dan keturunan raja.
Pammole cera': Syarat untuk memenuhi ketentuan adat penitahan gelar.
RUMAH PANGGUNG DI KAKI BUKIT
Khrisna Pabichara
SAYA sudah kaya. Sudah berilmu. Dan, alim. Karena dengan tiga syarat itu aku sudah bisa menyuntingmu, besok pagi aku tiba di kampung halaman.
☼☼☼
“AKHIRNYA engkau pulang, Bori,” desis Kana perlahan-lahan. Kana membaca pesan pendek itu sekali lagi. Lalu, dia memasukkan handphone ke saku roknya. Pesan pendek itu diterimanya kemarin sore. Sudah berkali-kali dibacanya, tapi Kana tak pernah bosan. Wajahnya berseri. Matanya bercahaya. Di pucuk lontar, dia lihat wajah Bori tersenyum. Sangat menawan. Masih seperti senyumnya lima belas tahun silam. Dan, ketika Kana mengalihkan pandangan ke halaman rumah, senyum Bori kembali memenuhi semua ruang yang terlihat olehnya. Lalu, dicobanya membongkar ingatan. Bagaimana sesungguhnya mata Bori. Bagaimana alisnya, hidungnya, dahinya, dan bibirnya. Tapi, tak satu pun bisa diingatnya lagi dengan pasti. Semua samar. Lamur.
Sungguh, Bori itu lelaki idaman semua perempuan. Tiada nila-cela pada dirinya. Tegap badannya. Berwibawa penampilannya. Taat ibadahnya. Santun tutur-lakunya. Pandai membawa diri. Dan, tatapan matanya! Alamak! Maka, banyaklah perempuan menaruh hati padanya. Termasuk Kana. Tak disangka, Bori pun jatuh cinta padanya. Senang tiada terkira hati Kana.
Sayang, Bori bukan laki-laki keturunan bangsawan. Darahnya biasa, merah. Bukan darah biru. Meski demikian, mereka nekat. Diam-diam menjalin cinta. Ibarat lubuk, permukaan airnya tampak tenang. Tak beriak. Tapi di bawah, arusnya deras. Terus bergolak, terus bergerak.
☼☼☼
WAKTU itu, Kana baru kelas satu SMP, sedang Bori sudah kelas tiga. Sebenarnya sangat tidak nyaman menjalin cinta dengan terus sembunyi, tapi tak ada cara lain yang bisa mereka lakukan. Apalagi setelah ayahnya secara tersirat melarang hubungan mereka.
“Kaeng tahu hubungan kalian. Cinta memang tidak memandang martabat. Tapi, pikirkan kehormatan keluarga. Tak layak kamu bersanding dengan Bori, Nak.”
Sejak itu, mereka tidak lagi pacaran. Namun, mereka masih saling mencinta. Setamat SMP, Bori merantau ke Jakarta. Katanya, ia ingin melanjutkan sekolah, mengumpulkan uang, dan nyantri biar jadi orang alim. Jika Bori memiliki ketiga hal itu, barulah berhak Kana dilamarnya. Ya, begitulah adat orang Turatea. Adat yang dipiara turun-temurun. Adat yang meletakkan manusia berdasarkan derajat. Adat yang menakar harkat karena warna darah.
Kelas terendah disebut ata. Golongan rakyat biasa. Pada jaman dulu, mereka kaum pekerja atau budak para bangsawan. Di atas golongan ata, namanya daeng. Seperti ata, lelaki berdarah daeng tidak bisa menikahi perempuan berdarah karaeng. Kecuali mereka memenuhi tiga syarat. Pertama, kaya. Kedua, berilmu. Ketiga, alim. Dulu, Syekh Yusuf Al-Makassari, ulama besar yang dibuang penjajah ke Afrika Selatan, pernah mengalami hal sama. Ia tidak bisa menikahi putri Sultan Gowa, maka ia merantau ke Banten. Namun, ketika ketiga syarat sudah dipenuhinya, Syekh Yusuf tidak kembali ke tanah Gowa.
Kelas tertinggi, karaeng namanya. Biasanya turunan raja atau bangsawan. Keistimewaan golongan ini, lelaki berdarah karaeng bisa menikahi perempuan mana saja yang mereka suka. Baik daeng maupun ata.
Kana sendiri merasa ada ketidakadilan adat dalam memperlakukan manusia. Bayangkan, orang dari kasta terendah ”tidak dibenarkan” menikahi golongan di atas mereka, sementara mereka yang berkasta lebih tinggi bisa dengan leluasa menikahi golongan di bawah mereka. Tapi Kana, juga Bori dan umat adat lainnya, tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali tunduk dan menyerah pada ketentuan adat.
Tidak adil memang, tapi begitulah kenyataannya.
☼☼☼
HARI ini Bori pulang. Kana bangun pagi-pagi benar. Mandi sejenak, hanya satu-dua timba. Biasanya, Kana bisa mandi berjam-jam. Sampai-sampai pintu kamar mandinya sering diketuk ibunya. Tapi, hari ini ibunya tak perlu mengingatkannya. Sekarang Kana sudah berdiri di depan cermin. Mematut diri. Memoles pipi dan bibir dengan rupa-rupa kosmetik. Sudah tiga kali dia berganti baju. Namun belum juga bersua yang pantas. Selalu ada yang terasa kurang. Hingga dia memilih baju berwarna putih. Baju kiriman Bori ketika dia ulang tahun ke dua puluh. Lalu, disemprotkannya parfum ke tubuhnya. Bau harum segera tercium. Merebak ke pojok-pojok kamar. Kana tertawa girang. Mengangkat tangan kiri, menghidu ketiaknya. Memastikan yang tercium bau wangi, bukan wangi kecut tubuhnya.
Kana tak pernah membayangkan kalau Bori akan kembali, meskipun dia sering berharap lebih. Setiap hari dia menutup salat dengan doa yang sama, Tuhanku, jadikan hanya Bori sebagai jodohku. Doa sama, harapan sama. Doa dengan pembuka dan penutup yang sama. Begitu setiap hari. Dan, akhirnya Tuhan mengabulkan harapannya. Hari ini Bori pulang untuk meminangnya.
Jangan dikira Kana tidak banyak peminat. Sudah banyak lelaki datang melamarnya. Ada tentara, ada polisi. Ada dosen, ada guru. Ada pengusaha ternama dari ibukota. Bahkan keturunan kesultanan dari negeri jiran. Semuanya berdarah biru. Karaeng. Tapi Kana menampiknya. Kana tak silau oleh harta dan kegagahan fisik. Juga pada gelar dan tahta. Hingga kemudian tersiar kabar: Bori telah menjadi “orang kaya” di Jakarta. Menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi terkemuka. Dan sering mengisi ceramah agama di televisi. Ya, Bori telah memenuhi tiga syarat untuk menaklukkan benteng tradisi ─ilmu, harta, dan alim. Karena itu, hanya Bori yang ditunggunya.
“Akhirnya engkau pulang, Bori.”
Kana meraih handphone di ujung meja riasnya. Lalu berjalan ke tempat tidur. Membaringkan tubuh. Dan, membaca kembali pesan pendek dari Bori, sekali lagi. Sepertinya kurang percaya, dia baca lagi. Benar. Tidak berubah, baik koma maupun titiknya. Kalau sms ini tidak bohong, hari ini Bori pulang. Berarti pula, hari ini kaeng bakal punya menantu. Tak perlu lagi kaeng mengeluh tentang usianya yang kian renta. Dan takut tak bisa menimang cucu hingga ajal keburu menjemput. Tak akan ada lagi gunjing tetangga, kasak-kusuk di belakang kupingnya, tentang hikayat perawan tua. Apalagi cibiran bahwa dia perempuan tak laku. Tidak lagi. Hari ini semuanya akan berubah.
Semua gonjang-ganjing itu akan terjawab sempurna: Bori.
Perempuan sekampung bakal iri padanya. Siapa yang tidak bangga disunting lelaki ternama. Bori sekarang kebanggaan orang-orang Turatea. Keluarga kerajaan telah menisbahkan gelar Karaeng Marewa, karena jasanya menggugah semangat pemuda dan remaja. Lelaki berdarah daeng, yang dulu ditampik adat hingga tak mungkin menyuntingnya, kini telah jadi idola. Harapan semua perempuan, dari karaeng hingga ata. Namun lelaki kebanggaannya itu tidak maruk pada ketenaran.
☼☼☼
TIBA-TIBA handphone Kana berdering. Sebuah isyarat pesan pendek telah diterima. Bergegas Kana membacanya: Saya sudah tiba di kampung tercinta, sebentar lagi ke rumahmu. Dada Kana serasa hendak pecah berantakan disesaki rasa bahagia. Air mata bahagia ingin meloncat keluar dari matanya. Tapi, dia tidak membiarkannya. Hidungnya yang mancung bergerak-gerak. Jodoh, jika sudah ditentukan, tak bakal ke mana. Begitulah yang Kana yakini. Sekali lagi Kana membaca pesan pendek itu.
Sekarang dia masih gadis, sebentar lagi dia bersuami. Menjadi milik Bori. Seutuhnya. “Akhirnya engkau pulang, Bori.”
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Lamat terdengar suara kaeng.
“Ada tamu mencarimu, Nak.”
Itulah kalimat yang paling ditunggunya.
Kana segera melompat dari pembaringan. Tergesa merapikan bajunya. Mematut diri di cermin. Lalu berjalan ke pintu kamar. Dia tak sempat melihat air muka kaeng-nya yang muram. Dia bahkan tak sempat menangkap bening air mata tergenang di mata kaeng-nya. Dia ingin segera bertemu cintanya, Bori. Langkahnya terasa ringan. Ringan sekali. Hingga akhirnya dia tiba di ruang tamu. Dan matanya menangkap sosok yang lama dirindunya.
Masih seperti dulu.
Ya, Bori tidak banyak berubah. Tetap ganteng. Bahkan sekarang terlihat lebih matang. Lebih dewasa. Makin membuat jantungnya berdetak tak beraturan.
Saya takkan melupakanmu, Kana. Hanya satu perempuan yang hendak kusunting jadi ibu dari anak-anakku, hanya kamu. Betapapun keras adat menentang cinta kita.
Tiba-tiba membayang kilap masa lalu, ketika Bori pamit hendak merantau, mengadu untung ke Jakarta. Waktu itu, Kana tak bisa berkata sepatah pun. Hanya air mata. Dan bayangan perpisahan yang mengerikan.
Jangan ragu, Kana. Tunggu saya pulang. Biar saya penuhi semua ketentuan adat. Baru kita tunaikan mimpi: rumah panggung di kaki bukit, dengan pelataran laut Makassar dan pemandangan menawan setiap senja.
Kala itu, Kana tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk Bori. Ah, cinta terlarang. Dia rasakan geletar jemari Bori mengelus punggung dan rambutnya. Menenangkan hatinya.
Jangan lupa mimpi kita, Kana. Rumah panggung di kaki bukit, keluarga bahagia dan cinta sepanjang masa.
“Apa kabar, Kana?” Bori membuyarkan lamunan Kana.
Bori segera berdiri menyongsong Kana. Tangannya terulur. Kana tersenyum. Menyambut uluran tangan Bori, merasakan darah mengaliri telapaknya, dan terus menjalar memenuhi seluruh pori wajahnya. Ah, lama sekali aku rindukan pertemuan ini. Rasanya dadanya bakal pecah karena gelegak rasa bahagia.
Bori tidak sendirian. Ada juga ayah dan ibunya. Kana sangat akrab pada mereka. Pasti ini dalam rangka melamar saya, pikir Kana. Tidak pernah sebelumnya Bori bertandang bersama orangtuanya. Lalu, untuk apa jika bukan karena ingin meminangnya?
☼☼☼
TAPI, ah, siapa gadis yang duduk di sisi Bori? Kenapa tiba-tiba sembilu mengiris jantungnya? Duh, cemas menyergap dan memiuh-miuh uluhatinya. Siapa gadis itu, tanya Kana dalam hati. Wajahnya akrab di matanya. Seperti pemain sinetron. Atau, bintang iklan. Yang jelas, Kana merasa sering melihatnya. Tapi, di mana? Entah.
“Kenalkan, ini istri saya, Kayla.”
BUG! Jantung Kana bergetar-getar. Berdenyar tak karuan. Mata Kana langsung berkunang-kunang.
Jadi, apa maksud sms itu? Bukankah kedatangan Bori, hari ini, karena ingin melamar saya? Apa saya hendak dijadikan istri keduanya? Tidak! Tidak mungkin! Lalu, bagaimana dengan impian dan cita-cita masa lalu: rumah panggung di kaki bukit dengan pelataran laut Makassar dan pemandangan menawan setiap senja? Bagaimana dengan mimpi indah: keluarga penuh tawa, cinta, dan bahagia sepanjang masa?
Rasanya semua darah di tubuh Kana mengalir ke satu arah, ke wajahnya. Panas. Merah. Panas membara. Panas membakar. Tangannya mengeras, mengepal. Sia-sia penantian selama puluhan tahun. Penantian yang menyulut gelegak amarahnya. Yang membuatnya kalap dan gelap mata. Ingin rasanya dia cincang tubuh Bori. Juga, istrinya.
Tapi, Kana tak bergerak sama sekali. Hanya air matanya jatuh satu-satu.
Apa Bori sengaja ingin melunaskan amarah masa lalunya? Jika memang Bori mau menentang adat, mengapa harus saya yang dikorbankan? Jika ya, mengapa Bori balas dendam dengan cara sekeji ini? Biadab! Benar-benar lelaki biadab. Bisakah saya memaafkannya?
Sejak itu, Kana tak ingat apa-apa lagi.
☼☼☼
Catatan kaki:
Kaeng: Panggilan Bapak bagi kalangan karaeng di Jeneponto.
Turatea: Sebutan lain dari Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Ata: Kelas terendah di kalangan masyarakat Turatea. Pada jaman dulu, mereka kaum pekerja atau budak para bangsawan.
Daeng: Golongan di atas ata, terdiri dari laskar kerajaan (tubarani) dan kaum ahli (tupanrita)
Karaeng: Kelas tertinggi, biasanya golongan bagsawan dan keturunan raja.
Pammole cera': Syarat untuk memenuhi ketentuan adat penitahan gelar.
Label:
cerpen,
Kabupaten Jeneponto,
khrisna pabichara,
Republika,
turatea
Jumat, 11 September 2009
ARTIKEL: Jangan Bilang Tidak Bisa!
ADA satu kalimat yang enteng, tapi akibatnya luar biasa. Kalimat itu adalah, “Saya tidak bisa!” Begitu kalimat ini melekat dalam benak Anda, menjadi stimulus yang setiap hari meracuni otak Anda, maka Anda akan menjelma sebagai pribadi yang tidak bisa melakukan apa saja. Karena itu, yakinkan diri Anda. Pastikan bahwa Anda bisa! Pastikan bahwa Anda memang menghendaki terjadinya perubahan. Anda memang mau mencapai tujuan hidup yang telah Anda canangkan sebelumnya. Baiklah, Anda hanya perlu merenung sejenak, lalu bertanya pada nurani Anda, “Benarkah saya ingin sukses?” Ingat: SUKSES, SUKSES, dan SUKSES.
Jangan tegang, santai saja. Menentukan tujuan hidup atau menuliskan visi yang hendak Anda raih tidak berarti harus dengan mengerutkan kening, apalagi sambil memeras otak. Buang jauh-jauh perasaan itu. Relaks, bro! Banyak yang bisa Anda lakukan, jika Anda berpikir Anda bisa melakukannya.
Reka atau susun ulang kembali tujuan hidup Anda. Apa sebenarnya yang ingin Anda capai? Dan, bagaimana Anda akan mencapainya? Juga, apa yang sudah Anda lakukan untuk mencapai tujuan itu? Kaji kembali tujuan hidup Anda. Coba renungkan sedalam-dalamnya. Jika perlu, ketik ulang di komputer, lalu cetak. Tempelkan pada dinding kamar, di meja kerja, atau pada tempat mana saja yang mudah Anda lihat setiap hari. Sehingga, setiap kali Anda melihatnya, setiap kali pula Anda akan membacanya, lalu termotivasi untuk terus mewujudkan tujuan tersebut.
Ingatlah, tidak ada yang bisa mengubah nasib Anda, kecuali Anda sendiri yang mengubahnya. Sekarang, coba telisik kembali diri Anda. Saya sarankan Anda membaca beberapa terapi berikut ini.
Benarkah Anda sudah merancang tujuan hidup Anda? Merancang tujuan hidup Anda memang bukan satu-satunya garansi yang dapat menjamin keberhasilan Anda. Namun, setidaknya, hal tersebut akan mengarahkan Anda pada 3 (tiga) hal, yakni (1) dari mana Anda akan memulai, (2) ke mana arah yang akan Anda tuju, dan (3) bagaimana Anda melakukannya.
Benarkah Anda sudah mengetahui potensi diri, terutama kelemahan dan kekuatan Anda? Jika belum, telisik kembali diri Anda. Baca dan terapkan kembali tindak latih sebelumnya, terutama tentang penelusuran kelemahan dan kekuatan. Jika Anda sudah mengetahui potensi Anda, berarti Anda telah melakukan lompatan besar dalam hidup Anda, dengan memetakan kekuatan dan kelemahan Anda. Karenanya, Anda akan mampu untuk, (1) memperdalam kekuatan, dan (2) memperkecil kelemahan.
Benarkah Anda telah siap menghadapi problematika kehidupan? Jika Anda memimpikan kesuksesan hidup, Anda harus selalu ceria dan tampak hidup. Pepatah menegaskan bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Jadi, tak perlu mencemaskan kegagalan. Anda juga tak perlu merisaukan masalah yang menghadang. Bukankah jika kita tidak pernah mendapat masalah, kita tak akan pernah tumbuh dan berkembang?
Benarkah Anda berani mengatur jadwal hidup Anda secara sadar dan penuh disiplin? Jangan biarkan waktu mengatur Anda. Andalah yang seharusnya mengatur waktu. Para pengusaha ternama atau orang-orang yang sukses memiliki jatah waktu yang sama seperti jatah waktu yang Anda miliki. Sama-sama 24 jam dalam sehari. Hanya saja, mereka berhasil mengendalikan, mengatur, dan menguasai waktu.
Bagaimana dengan Anda? Tentu saja, Anda pun bisa. Ingatlah, jangan sampai Anda yang dikendalikan, diatur, apalagi dikuasai oleh waktu. Yang penting bagi kita adalah keyakinan. Dan keyakinan paling mendasar adalah percaya diri. Karena itu, jangan bilang tidak bisa.
Salam Cemerlang
Jangan tegang, santai saja. Menentukan tujuan hidup atau menuliskan visi yang hendak Anda raih tidak berarti harus dengan mengerutkan kening, apalagi sambil memeras otak. Buang jauh-jauh perasaan itu. Relaks, bro! Banyak yang bisa Anda lakukan, jika Anda berpikir Anda bisa melakukannya.
Reka atau susun ulang kembali tujuan hidup Anda. Apa sebenarnya yang ingin Anda capai? Dan, bagaimana Anda akan mencapainya? Juga, apa yang sudah Anda lakukan untuk mencapai tujuan itu? Kaji kembali tujuan hidup Anda. Coba renungkan sedalam-dalamnya. Jika perlu, ketik ulang di komputer, lalu cetak. Tempelkan pada dinding kamar, di meja kerja, atau pada tempat mana saja yang mudah Anda lihat setiap hari. Sehingga, setiap kali Anda melihatnya, setiap kali pula Anda akan membacanya, lalu termotivasi untuk terus mewujudkan tujuan tersebut.
Ingatlah, tidak ada yang bisa mengubah nasib Anda, kecuali Anda sendiri yang mengubahnya. Sekarang, coba telisik kembali diri Anda. Saya sarankan Anda membaca beberapa terapi berikut ini.
Benarkah Anda sudah merancang tujuan hidup Anda? Merancang tujuan hidup Anda memang bukan satu-satunya garansi yang dapat menjamin keberhasilan Anda. Namun, setidaknya, hal tersebut akan mengarahkan Anda pada 3 (tiga) hal, yakni (1) dari mana Anda akan memulai, (2) ke mana arah yang akan Anda tuju, dan (3) bagaimana Anda melakukannya.
Benarkah Anda sudah mengetahui potensi diri, terutama kelemahan dan kekuatan Anda? Jika belum, telisik kembali diri Anda. Baca dan terapkan kembali tindak latih sebelumnya, terutama tentang penelusuran kelemahan dan kekuatan. Jika Anda sudah mengetahui potensi Anda, berarti Anda telah melakukan lompatan besar dalam hidup Anda, dengan memetakan kekuatan dan kelemahan Anda. Karenanya, Anda akan mampu untuk, (1) memperdalam kekuatan, dan (2) memperkecil kelemahan.
Benarkah Anda telah siap menghadapi problematika kehidupan? Jika Anda memimpikan kesuksesan hidup, Anda harus selalu ceria dan tampak hidup. Pepatah menegaskan bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Jadi, tak perlu mencemaskan kegagalan. Anda juga tak perlu merisaukan masalah yang menghadang. Bukankah jika kita tidak pernah mendapat masalah, kita tak akan pernah tumbuh dan berkembang?
Benarkah Anda berani mengatur jadwal hidup Anda secara sadar dan penuh disiplin? Jangan biarkan waktu mengatur Anda. Andalah yang seharusnya mengatur waktu. Para pengusaha ternama atau orang-orang yang sukses memiliki jatah waktu yang sama seperti jatah waktu yang Anda miliki. Sama-sama 24 jam dalam sehari. Hanya saja, mereka berhasil mengendalikan, mengatur, dan menguasai waktu.
Bagaimana dengan Anda? Tentu saja, Anda pun bisa. Ingatlah, jangan sampai Anda yang dikendalikan, diatur, apalagi dikuasai oleh waktu. Yang penting bagi kita adalah keyakinan. Dan keyakinan paling mendasar adalah percaya diri. Karena itu, jangan bilang tidak bisa.
Salam Cemerlang
Label:
khrisna pabichara,
learning revolution,
motivasi
ARTIKEL: Meramu Semangat Baru
SIAPA di antara kita yang tidak pernah men-dengar atau membaca kata semangat? Pasti kita semua pernah mendengarnya. Setidaknya, kita sering meneriaki diri sendiri dengan, “AYO, SEMANGAT!”
Ya, bagi seorang karyawan atau pekerja keras dan pekerja cerdas, semangat adalah hal yang niscaya. Setiap hari menghadapi tugas yang sama, menyelesaikan masalah yang sama, melihat suasana tempat kerja yang sama, dan melihat teman-teman kerja yang melulu sama, pasti bisa memicu bertumbuh-kembangnya rasa bosan. Dan obatnya hanya satu, semangat.
Setiap karyawan tentunya dituntut bertanggung jawab memberikan hasil yang baik dalam mengerjakan tugas-tugas yang diembannya. Pemilik perusahaan ataupun atasan langsung, pasti tidak akan menerima alasan “saya sedang tidak bersemangat” jika hasil pekerjaan Anda tidak memenuhi harapan.
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan dan terus menyalakan bara semangat.
Bersikap rendah hati. Bersikap rendah hati itu adalah tantangan besar yang tidak semua orang mampu melakukannya. Apalagi jika orang-orang di sekitar kita dipenuhi oleh orang-orang yang gemar beternak prasangka, selalu memandang dengan tatapan curiga, berpandangan sempit, dan suka menggali kuburan bagi rekan kerjanya. Namun, Anda harus tetap berusaha rendah hati. Ketika Anda adalah seorang komandan yang memimpin beberapa anak-buah, tetaplah rendah hati. Jika bawahan Anda melakukan kesalahan, tidak perlu berkoar dan membuatnya malu. Ajaklah bicara, kalau perlu empat mata, tanyakan kenapa terjadi kesalahan. Dengan begitu, selain Anda tidak mendapat musuh baru dalam selimut, kinerja bawahan Anda pun bisa meningkat.
Sadarilah bahwa hidup ini persaingan. Di luar, banyak yang antri menunggu lowongan kerja. Sekali Anda tergelincir yang mengakibatkan Anda terpaksa diberhentikan, banyak yang siap menggantikan posisi Anda. Jadi, terus pelihara semangat bekerja Anda. Persaingan sering tidak bersahabat, siapa yang tanggap pasti lebih berpeluang. Sedang yang lebih memilih bersantai ria, malas-malasan, pasrah pada keadaan, tidak kreatif, pasti akan tergusur. Meyakini bahwa dunia kerja adalah persaingan yang dahsyat adalah modal awal untuk membangkitkan semangat.
Jangan suka menang sendiri. Mentang-mentang atasan, segalanya diputuskan sendiri. Sebaliknya, jangan karena Anda karyawan rendahan lalu enggan meminta saran pimpinan. Belajarlah untuk meminta pendapat, baik pada atasan maupun pada bawahan atau rekan kerja Anda. Ketika Anda bertemu masalah yang membuat Anda berdiri di simpang ragu, cepatlah meminta pendapat orang yang Anda percayai. Jangan memendam suka ataupun duka sendirian. Kadang Anda perlu teman curhat, tempat mencurahkan perhatian.
Hilangkan kebiasaan bekerja setengah hati. Jangan tunda pekerjaan sampai menumpuk. Jangan ambil risiko dengan menunda penyelasaian masalah. Petuah leluhur kita pantas menjadi dasar pijakan, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Segera tangani tugas dan tanggung jawab Anda. Segera selesaikan amanah yang Anda pikul.
Jika tidak yakin pada satu jalan, segera pindah ke jalan yang lain. Laksana memutar rekaman film, jika tidak suka, jangan paksa diri untuk terus menonton sampai selesai. Matikan saja, ganti filmnya. Mudah, kan? Hidup ini pilihan. Terkadang kita salah memilih jalan. Dan, ketika itu terjadi, tidak perlu menepak kening atau meratapi kesalahan. Cukup dengan satu langkah, cari jalan lain untuk dicoba. Pada setiap ke-putusan dan perubahan selalu ada risiko: sukses atau gagal. Itu saja!
Jaga wibawa memang perlu, tapi tak perlu berdusta. Dalam cerita Wiro Sableng, ada tokoh yang bernama Kakek Segala Tahu. Dalam kehidupan sehari-hari, ada tokoh bernama Seseorang Yang Sok Tahu. Jangan sampai saya, juga Anda, menjadi pemeran tokoh itu. Ada kalanya memang kita harus jaga wibawa. Namun, ketika teman kerja menanyakan sesuatu yang tidak kita ketahui, tidak perlu sibuk menjaga wibawa, lalu menjadi sok tahu. Ingatlah, mengatakan tahu padahal tidak tahu akan merugikan diri sendiri, teman yang bertanya, bahkan perusahaan tempat Anda bekerja. Jadi, lebih baik berkata tidak tahu daripada pura-pura tahu, tapi membawa bencana.”
Atur pekerjaan Anda berdasarkan skala prioritas. Seringkali banyak orang yang bekerja berdasarkan apa yang mereka suka, bukan apa yang seharusnya segera diselesaikan. Padahal, setiap pekerjaan memiliki beban dan tanggung jawab yang berbeda. Karena itu, pilihlah pekerjaan yang lebih penting dan mendesak untuk lebih dahulu diselesaikan.
Usahakan tidak bergunjing. Tanpa Anda sadari, kerapkali pekerjaan kantor terabaikan karena rekan kerja yang datang tiba-tiba mengajak berbincang-bincang. Hal ini, bisa saja, membuat Anda larut hingga melupakan pekerjaan. Demikian halnya dengan internet jika ada di kantor, sering menjadi pemecah konsentrasi dan semangat kerja, terutama kebiasaan chatting atau main facebook pada jam sibuk. Sekali lagi, lebih baik Anda menghabiskan waktu dulu untuk menyelesaikan pekerjaan Anda daripada menggunjingkan sesuatu yang belum tentu jelas kebenaran dan manfaatnya.
Utamakan kejujuran dan loyalitas. Ada banyak cara untuk menggali kuburan sendiri. Di antaranya, berbuat curang dan tidak jujur. Namun, yakin saja, begitu seseorang ketahuan melakukan kecurangan, akibatnya akan sangat menyakitkan. Misalnya, kehilangan pekerjaan. Jadi, mari kita berusaha sekuat tenaga untuk menjaga loyalitas dan kejujuran. Lebih baik mendapat sedikit tetapi halal dan jelas-jelas hak kita, daripada berbuat curang yang akibatnya sangat merugikan, baik bagi kita secara pribadi maupun bagi perusahaan.
Akhirnya, berilah waktu bagi tubuh Anda untuk istirahat. Ketika tubuh merasa lelah, tidak ada salahnya Anda meregangkan dan melemaskan otot. Ketika pekerjaan selesai, ada untungnya jika Anda coba mengendurkan ketegangan.
Ayo, tetap semangat!
Ya, bagi seorang karyawan atau pekerja keras dan pekerja cerdas, semangat adalah hal yang niscaya. Setiap hari menghadapi tugas yang sama, menyelesaikan masalah yang sama, melihat suasana tempat kerja yang sama, dan melihat teman-teman kerja yang melulu sama, pasti bisa memicu bertumbuh-kembangnya rasa bosan. Dan obatnya hanya satu, semangat.
Setiap karyawan tentunya dituntut bertanggung jawab memberikan hasil yang baik dalam mengerjakan tugas-tugas yang diembannya. Pemilik perusahaan ataupun atasan langsung, pasti tidak akan menerima alasan “saya sedang tidak bersemangat” jika hasil pekerjaan Anda tidak memenuhi harapan.
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan dan terus menyalakan bara semangat.
Bersikap rendah hati. Bersikap rendah hati itu adalah tantangan besar yang tidak semua orang mampu melakukannya. Apalagi jika orang-orang di sekitar kita dipenuhi oleh orang-orang yang gemar beternak prasangka, selalu memandang dengan tatapan curiga, berpandangan sempit, dan suka menggali kuburan bagi rekan kerjanya. Namun, Anda harus tetap berusaha rendah hati. Ketika Anda adalah seorang komandan yang memimpin beberapa anak-buah, tetaplah rendah hati. Jika bawahan Anda melakukan kesalahan, tidak perlu berkoar dan membuatnya malu. Ajaklah bicara, kalau perlu empat mata, tanyakan kenapa terjadi kesalahan. Dengan begitu, selain Anda tidak mendapat musuh baru dalam selimut, kinerja bawahan Anda pun bisa meningkat.
Sadarilah bahwa hidup ini persaingan. Di luar, banyak yang antri menunggu lowongan kerja. Sekali Anda tergelincir yang mengakibatkan Anda terpaksa diberhentikan, banyak yang siap menggantikan posisi Anda. Jadi, terus pelihara semangat bekerja Anda. Persaingan sering tidak bersahabat, siapa yang tanggap pasti lebih berpeluang. Sedang yang lebih memilih bersantai ria, malas-malasan, pasrah pada keadaan, tidak kreatif, pasti akan tergusur. Meyakini bahwa dunia kerja adalah persaingan yang dahsyat adalah modal awal untuk membangkitkan semangat.
Jangan suka menang sendiri. Mentang-mentang atasan, segalanya diputuskan sendiri. Sebaliknya, jangan karena Anda karyawan rendahan lalu enggan meminta saran pimpinan. Belajarlah untuk meminta pendapat, baik pada atasan maupun pada bawahan atau rekan kerja Anda. Ketika Anda bertemu masalah yang membuat Anda berdiri di simpang ragu, cepatlah meminta pendapat orang yang Anda percayai. Jangan memendam suka ataupun duka sendirian. Kadang Anda perlu teman curhat, tempat mencurahkan perhatian.
Hilangkan kebiasaan bekerja setengah hati. Jangan tunda pekerjaan sampai menumpuk. Jangan ambil risiko dengan menunda penyelasaian masalah. Petuah leluhur kita pantas menjadi dasar pijakan, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Segera tangani tugas dan tanggung jawab Anda. Segera selesaikan amanah yang Anda pikul.
Jika tidak yakin pada satu jalan, segera pindah ke jalan yang lain. Laksana memutar rekaman film, jika tidak suka, jangan paksa diri untuk terus menonton sampai selesai. Matikan saja, ganti filmnya. Mudah, kan? Hidup ini pilihan. Terkadang kita salah memilih jalan. Dan, ketika itu terjadi, tidak perlu menepak kening atau meratapi kesalahan. Cukup dengan satu langkah, cari jalan lain untuk dicoba. Pada setiap ke-putusan dan perubahan selalu ada risiko: sukses atau gagal. Itu saja!
Jaga wibawa memang perlu, tapi tak perlu berdusta. Dalam cerita Wiro Sableng, ada tokoh yang bernama Kakek Segala Tahu. Dalam kehidupan sehari-hari, ada tokoh bernama Seseorang Yang Sok Tahu. Jangan sampai saya, juga Anda, menjadi pemeran tokoh itu. Ada kalanya memang kita harus jaga wibawa. Namun, ketika teman kerja menanyakan sesuatu yang tidak kita ketahui, tidak perlu sibuk menjaga wibawa, lalu menjadi sok tahu. Ingatlah, mengatakan tahu padahal tidak tahu akan merugikan diri sendiri, teman yang bertanya, bahkan perusahaan tempat Anda bekerja. Jadi, lebih baik berkata tidak tahu daripada pura-pura tahu, tapi membawa bencana.”
Atur pekerjaan Anda berdasarkan skala prioritas. Seringkali banyak orang yang bekerja berdasarkan apa yang mereka suka, bukan apa yang seharusnya segera diselesaikan. Padahal, setiap pekerjaan memiliki beban dan tanggung jawab yang berbeda. Karena itu, pilihlah pekerjaan yang lebih penting dan mendesak untuk lebih dahulu diselesaikan.
Usahakan tidak bergunjing. Tanpa Anda sadari, kerapkali pekerjaan kantor terabaikan karena rekan kerja yang datang tiba-tiba mengajak berbincang-bincang. Hal ini, bisa saja, membuat Anda larut hingga melupakan pekerjaan. Demikian halnya dengan internet jika ada di kantor, sering menjadi pemecah konsentrasi dan semangat kerja, terutama kebiasaan chatting atau main facebook pada jam sibuk. Sekali lagi, lebih baik Anda menghabiskan waktu dulu untuk menyelesaikan pekerjaan Anda daripada menggunjingkan sesuatu yang belum tentu jelas kebenaran dan manfaatnya.
Utamakan kejujuran dan loyalitas. Ada banyak cara untuk menggali kuburan sendiri. Di antaranya, berbuat curang dan tidak jujur. Namun, yakin saja, begitu seseorang ketahuan melakukan kecurangan, akibatnya akan sangat menyakitkan. Misalnya, kehilangan pekerjaan. Jadi, mari kita berusaha sekuat tenaga untuk menjaga loyalitas dan kejujuran. Lebih baik mendapat sedikit tetapi halal dan jelas-jelas hak kita, daripada berbuat curang yang akibatnya sangat merugikan, baik bagi kita secara pribadi maupun bagi perusahaan.
Akhirnya, berilah waktu bagi tubuh Anda untuk istirahat. Ketika tubuh merasa lelah, tidak ada salahnya Anda meregangkan dan melemaskan otot. Ketika pekerjaan selesai, ada untungnya jika Anda coba mengendurkan ketegangan.
Ayo, tetap semangat!
Label:
khrisna pabichara,
learning revolution,
motivasi
EPILOG Kumcer "Tangan untuk Utik" karya Bamby Cahyadi
Catatan: Tulisan ini termuat di Kumpulan Cerpen "Tangan untuk Utik" karya Bamby Cahyadi.
"Kabar Sederhana Seorang Pengarang"
1
BAMBY CAHYADI, manajer sebuah restoran cepat saji di kawasan Jakarta ini, memiliki ciri dan karakter khas dalam menulis cerita. Ia menyuguhkan pergumulan kekuatan pikiran, terutama kekuatan pemaknaan atas ihwal remeh dan sederhana dalam keseharian kita, namun kita sering abai menyikapinya. Pergumulan itu disampaikannya secara sederhana, tapi sarat kejutan. Memang ada celah pada keterampilan bertutur—kadang tercium aroma tersendat dalam penceritaan. Namun, itu tidak mengurangi kegairahan saya dalam pembacaan cerpen demi cerpen. Mengapa? Karena setiap cerpen dihiasi kejutan, kelokan, bahkan tikungan tajam.
Kelebihan Bamby dalam bercerita adalah kesanggupannya menyuguhkan akhir cerita yang ”mengagetkan”. Rasa kaget yang membidani lahirnya ”keheranan”, bahkan ”ketakjuban”. Kumpulan cerita pendek Tangan untuk Utik menisbahkan kekuatan Bamby dalam bercerita. Sebagai pengarang yang meneruka jalan kepengarangan lewat ”dunia maya”, dunia yang dicap sebagai alam lain oleh banyak sastrawan, ia menawarkan hal remeh yang sederhana. Hal yang biasa. Seperti mimpi. Ya. Bukankah mimpi adalah hal biasa bagi kita?
Mimpi itu yang dikuak dengan cerdas oleh pengarang kelahiran Manado ini. Mimpi yang menyuguhkan keperihan, ketegangan, dan kemalangan. Sesekali hadir keindahan, kepuasan, dan kebahagiaan.
Semula, menulis cerita menjadi terapi hati bagi Bamby. Merupakan kebahagiaan baginya ketika cerpen yang ditulisnya terbaca, dan mendapat apresiasi dari orang lain. Dari sana lelaku kepengarangannya bermula. Ada gairah meletup setiap ia menerima tanggapan pembaca cerpennya. Komentar pedas, kritik tajam, bahkan caci maki sesama Kemudianers—sebutan bagi anggota situs penulis Kemudian.com—tidak lantas membuat nyalinya ciut. Malah menyulut gairahnya untuk belajar lebih keras dan lebih cerdas.
Hasilnya, kita bisa temukan kejutan demi kejutan dalam kumpulan cerpen perdananya ini.
2
APA yang bisa Anda lakukan jika Anda terlahir tanpa sepasang tangan? Bagaimana cara Anda menyuap makanan? Seberapa terampil Anda menunaikan hajat pribadi—semisal mengelap keringat di alis mata, membersihkan kuping, menutup hidung ketika mencium aroma tak sedap, atau ritus remeh lainnya—jika Anda tak memiliki sepasang tangan? Dalam realitas yang menyehari, tangan memiliki fungsi strategis dalam melakukan apa saja. Kehilangan tangan, berarti kehilangan peluang dan potensi untuk berbuat banyak hal. Tak soal bila Anda hanya memiliki otak standar, Anda masih bisa merasa sejajar dan bergaul dengan banyak orang. Tak soal ketika kemampuan berbicara Anda sering gagap, Anda masih leluasa menyelesaikan banyak tugas. Tapi, apa jadinya jika cacat bawa lahir yang Anda miliki adalah tidak memiliki sepasang tangan?
Inilah gagas-pikir sederhana yang didedahkan Bamby Cahyadi ke dalam cerpen unggulan, Tangan untuk Utik. Ketika pertama kali membaca cerpen itu, yang mengendap di memori saya adalah kenyataan bahwa cerita ini sebentuk ”karib-intim” persahabatan yang menyertakan perhatian mendalam dan tulus. Saya membaca cerpen ini dengan tiga hal mendasar—dengan mata terbuka dan membayangkannya, dengan pikiran terbuka dan memercayainya, serta dengan hati terbuka dan merasakannya. Tidak mudah melakoni hidup dengan cacat bawaan lahir. Namun, lebih tidak mudah lagi menjadi sahabat ”lahir-batin” dari seorang penderita cacat.
Alkisah, Udin berhasrat menyerahkan sepotong tangannya bagi Utik, sahabatnya yang yatim piatu dan cacat semenjak rahim. Pada mulanya, kisah ini berasa sederhana. Namun mulai pelik ketika Udin tak mampu lagi membendung hasratnya untuk membantu Utik. Maka, diambilnya gergaji lalu dipotongnya tangan kirinya. Potongan tangan itu disambungkan pada lengan kiri Utik dan diikat dengan tali plastik. Tapi, alangkah kecewanya Udin, ketika tersadar dari lamunannya, ternyata tangan kirinya masih utuh dan sepasang tangan Utik tetap buntung di pangkal lengannya.
Begitulah Bamby Cahyadi sebagai seorang pengarang mengajak kita memaknai secara utuh hakikat persahabatan. Empati itu keniscayaan dalam menjalin persahabatan. Tidak ada persahabatan tulus tanpa disertai rasa empati. Baik dalam gelimang air mata, maupun ketika riuh tertawa bahagia. Sahabat sejati, dalam bayangan Bamby, selalu bisa memberi dan menerima. Dengan tulus, dengan ikhlas. Tanpa pamrih, tanpa pretensi.
3
LEWAT Televisi Ibu, Bamby menampilkan suasana intim antar-ibu-dan-anak dari titik tolak sederhana. Pada cerpen ini, Bamby menuturkan kisah tiga orang anak yang silih berganti mencoba membelikan televisi bagi ibunya, sebagai tanda bakti, untuk mengganti televisi ibunya yang makin usang digerogoti jaman dan menjadi langganan tukang servis. Uniknya, semua pemberian anaknya itu ditolak dan dikembalikan oleh sang ibu. Aku—tokoh utama dalam cerita ini—lantas dicecar penasaran. Maka bergegas ”aku” mencari tahu penyebab kegigihan ibunya mempertahankan televisi tua peninggalan bapaknya.
Kenapa ibu begitu setia dengan televisi peninggalan almarhum ayah yang sering rusak itu? Apakah ibu sering memintal serat-serat kenangan setiap kali melihat televisi itu? Apakah ibu selalu merindukan sosok ayah dan bisa membentang ingatan tentang ayah lewat televisi itu? Mengapa ibu selalu mengembalikan televisi baru yang kami belikan untuknya?
Demikian tanda tanya yang merasuki benak ”Aku”. Setiap hari. Maka, ”Aku” dan keluarganya bertandang ke rumah ibunya. Selain melepas kangen, juga untuk sebuah misi rahasia: menyibak misteri televisi ibu. Cerita menjadi tidak sederhana ketika ”Aku” diajak ibunya menonton televisi tepat pada jam sembilan. Dari layar kaca memancar kilau dengan warna-warni cahaya. Seketika ”Aku” merasa berada di sebuah ruangan luas. Tak bertepi. Dan, secara ajaib, ”Aku” melihat dan merasakan kedatangan ayahnya yang tersenyum hangat.
Tak ada yang istimewa dari cerita ini. Hanya kisah tentang anak yang ingin membahagiakan ibunya. Kita pasti sering menjumpai hal sama dalam keseharian. Tetangga kita pasti banyak yang pernah melakukan hal seperti itu. Bahkan, kita pun pernah melakukannya. Tapi, menjadi ”luar biasa” ketika Bamby menggiring kita pada ”penutup cerita” yang khas dan mengejutkan. Saya seperti membaca cerpen Danarto atau Putu Wijaya, dengan karakter berbeda dalam mengakhiri ceritanya dengan penuh kejutan. Mengherankan, sekaligus menakjubkan.
4
JIKA Nabi Sulaiman dikabarkan memiliki kesaktian menguasai segala jenis bahasa, termasuk bahasa binatang, dalam Percakapan dengan Bayi, Bamby berkisah tentang Kinar yang menguasai bahasa bayi. Bukan hanya itu, Kinar malah mampu bercakap-cakap dengan semua bayi. Kapan dan di mana saja. Pada mulanya, cerita ini pun bertolak dari gagasan sederhana, perihal bagaimana semestinya orang dewasa memasuki dunia bayi, agar terjalin komunikasi yang laras dan harmoni. Namun, menjadi unik dan tidak sederhana ketika Kinar mengetahui dirinya memiliki kemampuan luar biasa: bercakap dengan bayi.
Mengapa saya menyebut cerita ini bertolak dari hal sederhana? Lihat sekeliling kita, bayi ada di mana-mana. Setiap hari ada bayi dilahirkan. Setiap hari banyak orang berkomunikasi dengan bayi. Namun, tidak banyak orang yang bisa memahami bahasa bayi. Apalagi menguasainya. Lebih rumit lagi, ketika Kinar bertemu dengan Andrea, bayi yang menolak menjadi dewasa. Mengapa? Bagi Andrea, dunia orang dewasa adalah dunia palsu. Dunia kemunafikan. Dunia kebohongan. Dan Andrea enggan tenggelam atau terseret arus kepalsuan, kemunafikan dan kebohongan itu.
Gagasan yang diusung Bamby lewat cerita ini, juga sederhana. Semata mengajak kita menjalin keintiman dengan anak-anak kita. Semacam permintaan sederhana agar orang dewasa mencoba memasuki dunia bayi dari sisi berbeda, bukan malah memaksa sang bayi untuk memasuki dunia mereka, dunia orang dewasa. Selain itu, ada pesan etis yang disampaikan secara estetis: mari belajar menghentikan kebohongan.
Masalahnya, apakah kita sanggup menghentikan pembelajaran ”kebohongan-kepalsuan-kemunafikan” agar generasi sesudah kita lebih bermoral?
Ini yang tidak sederhana.
5
MENARIK membaca pemikiran pengarang tentang rasa kebangsaan. Melalui Bendera itu Tidak Berkibar Di Sini, pengarang seakan mengabarkan keprihatinan mendalam karena menipisnya nasionalisme kita. Bermula dari kejutan yang dialami Topo ketika terlelap dan bermimpi. Ia terkejut ketika terbangun dari tidurnya, dan mendapati istrinya tidak menyiapkan kopi seperti pagi-pagi sebelumnya. Lebih kaget lagi, ia tidak melihat satu pun warga mengibarkan bendera merah putih. Padahal, hari itu hari kemerdekaan. Biasanya selalu ramai. Jika tidak dihiasi keramaian rutin tujuh-belasan—semisal panjat pinang, balap karung, bahkan menangkap bebek berkalung gambar teroris—setidaknya ada kibaran bendera negara. Tapi, hari itu, tak ada satu pun bendera menghiasi halaman rumah tetangganya. Bahkan, bendera merah putih yang dikibarkannya satu hari sebelumnya, juga raib. Topo makin bingung.
Sekali lagi, ide yang diusung Bamby pada cerpen ini, juga sederhana. Hal rutin yang setiap tahun kita lakukan, perayaan tujuh-belasan. Tentu saja kita sudah sering mengalaminya. Namun, menjadi tidak sederhana jika ditarik pada ranah ”rasa memiliki”. Bamby seakan menyentil haru-biru kebangsaan kita. Coba tengok lelaku negeri tetangga yang suka pamer kapal perang di perairan kita. Belum lagi kepongahan mendaku budaya kita sebagai budaya mereka. Reog, batik, lagu Rasa Sayange, lanun, dan paling mutakhir Tari Pendet. Konon, mereka juga sedang bersiap mengklaim bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka, dengan sedikit polesan baru, bahasa Melayu.
Hal menggelitik dari cerpen ini, seberapa tebal nasionalisme yang masih kita miliki? Ayo, kita telisik diri kita masing-masing. Cerita ini alegorik. Sindiran telak.
6
KABAR sederhana yang diuarkan Bamby, juga dapat kita simak pada cerpen lain dalam Kumpulan cerita pendek Tangan untuk Utik. Ia menegaskan gunjingan metaforis lewat Mimpi dalam Stoples Kaca. Sebuah totalitarianisme kekuasaan yang mengabarkan penderitaan akibat perburuan mimpi. Mimpi berkuasa, mimpi menguasai. Kabar sederhana ini, sebenarnya, berpijak dari sebuah gagasan besar, semacam amsal tentang keserakahan.
Melalui Tameng untuk Ayah, kita bakal bersua dengan etos kepahlawanan seorang anak, Jamal Ahmad Fayyad, dalam melindungi ayahnya dari keganasan pucuk bedil serdadu Israel. Juga mimpi sederhana seorang Surip, seorang anak yang selalu dikejar mimpi aneh tentang berbakti pada orang tua, dalam Hadiah untuk Ibu. Surip, yang tidur dan awasnya selalu menawarkan kegelisahan, akhirnya bisa membahagiakan ibunya dengan memenangkan sebuah sayembara berhadiah uang. Dan, piagam.
Tak kalah dahsyatnya dengan cerpen lainnya, Koran Minggu berkabar tentang hajat sederhana seorang suami untuk membahagiakan istrinya. Namun, kenyataan hidup tidak sesederhana itu, pilihan menjadi penulis atau pengarang, seperti tutur Putu Wijaya, adalah pilihan yang tidak menjanjikan. Dunia gelap tanpa harapan. Hal itu dianggit dengan gesit oleh Bamby. Pada akhirnya, tidak cukup kegembiraan saya, sebelum menuntaskan pembacaan kumpulan cerpen ini. Sejumlah kisah sederhana yang menjadi ”teror indah” dan membahagiakan. Bamby berhasil mendedahkan konflik di alam bawah sadar (baca: mimpi), sekaligus mengabarkan masalah sosial dengan penceritaan yang bermula pada ”hulu sederhana”, tapi bisa mengecoh pembaca karena ”hilir penuh kejutan”.
Bagaimana dengan Anda? Saya yakin, Anda akan temukan kejutan menakjubkan, sama seperti yang saya alami.
7
TANGAN untuk Utik menjadi pintu masuk bagi Bamby Cahyadi ke dunia sastra. Ia datang dengan kunci rahasia sebagai ”juru kabar” yang andal dan menjanjikan. Ia mengantar amsal, tamsil, dan umpama yang sederhana. Ia mengusung metafora dan alegori, ajakan untuk merujuk-bandingkan antara kemasan penceritaan dengan kenyataan kehidupan. Ia membawa ”kabar baik” bagi semua ”umat sastra”.
Meski demikian, ini harus jadi batu loncatan dan monumen bersejarah baginya untuk membuktikan kapasitas lebih yang dimiliki sebagai seorang pengarang ”masa depan”.
Selamat datang mimpi sederhana. Selamat datang, Bamby Cahyadi.
Khrisna Pabichara,
penyair dan penyuka cerpen, tinggal di pinggiran Jakarta.
"Kabar Sederhana Seorang Pengarang"
1
BAMBY CAHYADI, manajer sebuah restoran cepat saji di kawasan Jakarta ini, memiliki ciri dan karakter khas dalam menulis cerita. Ia menyuguhkan pergumulan kekuatan pikiran, terutama kekuatan pemaknaan atas ihwal remeh dan sederhana dalam keseharian kita, namun kita sering abai menyikapinya. Pergumulan itu disampaikannya secara sederhana, tapi sarat kejutan. Memang ada celah pada keterampilan bertutur—kadang tercium aroma tersendat dalam penceritaan. Namun, itu tidak mengurangi kegairahan saya dalam pembacaan cerpen demi cerpen. Mengapa? Karena setiap cerpen dihiasi kejutan, kelokan, bahkan tikungan tajam.
Kelebihan Bamby dalam bercerita adalah kesanggupannya menyuguhkan akhir cerita yang ”mengagetkan”. Rasa kaget yang membidani lahirnya ”keheranan”, bahkan ”ketakjuban”. Kumpulan cerita pendek Tangan untuk Utik menisbahkan kekuatan Bamby dalam bercerita. Sebagai pengarang yang meneruka jalan kepengarangan lewat ”dunia maya”, dunia yang dicap sebagai alam lain oleh banyak sastrawan, ia menawarkan hal remeh yang sederhana. Hal yang biasa. Seperti mimpi. Ya. Bukankah mimpi adalah hal biasa bagi kita?
Mimpi itu yang dikuak dengan cerdas oleh pengarang kelahiran Manado ini. Mimpi yang menyuguhkan keperihan, ketegangan, dan kemalangan. Sesekali hadir keindahan, kepuasan, dan kebahagiaan.
Semula, menulis cerita menjadi terapi hati bagi Bamby. Merupakan kebahagiaan baginya ketika cerpen yang ditulisnya terbaca, dan mendapat apresiasi dari orang lain. Dari sana lelaku kepengarangannya bermula. Ada gairah meletup setiap ia menerima tanggapan pembaca cerpennya. Komentar pedas, kritik tajam, bahkan caci maki sesama Kemudianers—sebutan bagi anggota situs penulis Kemudian.com—tidak lantas membuat nyalinya ciut. Malah menyulut gairahnya untuk belajar lebih keras dan lebih cerdas.
Hasilnya, kita bisa temukan kejutan demi kejutan dalam kumpulan cerpen perdananya ini.
2
APA yang bisa Anda lakukan jika Anda terlahir tanpa sepasang tangan? Bagaimana cara Anda menyuap makanan? Seberapa terampil Anda menunaikan hajat pribadi—semisal mengelap keringat di alis mata, membersihkan kuping, menutup hidung ketika mencium aroma tak sedap, atau ritus remeh lainnya—jika Anda tak memiliki sepasang tangan? Dalam realitas yang menyehari, tangan memiliki fungsi strategis dalam melakukan apa saja. Kehilangan tangan, berarti kehilangan peluang dan potensi untuk berbuat banyak hal. Tak soal bila Anda hanya memiliki otak standar, Anda masih bisa merasa sejajar dan bergaul dengan banyak orang. Tak soal ketika kemampuan berbicara Anda sering gagap, Anda masih leluasa menyelesaikan banyak tugas. Tapi, apa jadinya jika cacat bawa lahir yang Anda miliki adalah tidak memiliki sepasang tangan?
Inilah gagas-pikir sederhana yang didedahkan Bamby Cahyadi ke dalam cerpen unggulan, Tangan untuk Utik. Ketika pertama kali membaca cerpen itu, yang mengendap di memori saya adalah kenyataan bahwa cerita ini sebentuk ”karib-intim” persahabatan yang menyertakan perhatian mendalam dan tulus. Saya membaca cerpen ini dengan tiga hal mendasar—dengan mata terbuka dan membayangkannya, dengan pikiran terbuka dan memercayainya, serta dengan hati terbuka dan merasakannya. Tidak mudah melakoni hidup dengan cacat bawaan lahir. Namun, lebih tidak mudah lagi menjadi sahabat ”lahir-batin” dari seorang penderita cacat.
Alkisah, Udin berhasrat menyerahkan sepotong tangannya bagi Utik, sahabatnya yang yatim piatu dan cacat semenjak rahim. Pada mulanya, kisah ini berasa sederhana. Namun mulai pelik ketika Udin tak mampu lagi membendung hasratnya untuk membantu Utik. Maka, diambilnya gergaji lalu dipotongnya tangan kirinya. Potongan tangan itu disambungkan pada lengan kiri Utik dan diikat dengan tali plastik. Tapi, alangkah kecewanya Udin, ketika tersadar dari lamunannya, ternyata tangan kirinya masih utuh dan sepasang tangan Utik tetap buntung di pangkal lengannya.
Begitulah Bamby Cahyadi sebagai seorang pengarang mengajak kita memaknai secara utuh hakikat persahabatan. Empati itu keniscayaan dalam menjalin persahabatan. Tidak ada persahabatan tulus tanpa disertai rasa empati. Baik dalam gelimang air mata, maupun ketika riuh tertawa bahagia. Sahabat sejati, dalam bayangan Bamby, selalu bisa memberi dan menerima. Dengan tulus, dengan ikhlas. Tanpa pamrih, tanpa pretensi.
3
LEWAT Televisi Ibu, Bamby menampilkan suasana intim antar-ibu-dan-anak dari titik tolak sederhana. Pada cerpen ini, Bamby menuturkan kisah tiga orang anak yang silih berganti mencoba membelikan televisi bagi ibunya, sebagai tanda bakti, untuk mengganti televisi ibunya yang makin usang digerogoti jaman dan menjadi langganan tukang servis. Uniknya, semua pemberian anaknya itu ditolak dan dikembalikan oleh sang ibu. Aku—tokoh utama dalam cerita ini—lantas dicecar penasaran. Maka bergegas ”aku” mencari tahu penyebab kegigihan ibunya mempertahankan televisi tua peninggalan bapaknya.
Kenapa ibu begitu setia dengan televisi peninggalan almarhum ayah yang sering rusak itu? Apakah ibu sering memintal serat-serat kenangan setiap kali melihat televisi itu? Apakah ibu selalu merindukan sosok ayah dan bisa membentang ingatan tentang ayah lewat televisi itu? Mengapa ibu selalu mengembalikan televisi baru yang kami belikan untuknya?
Demikian tanda tanya yang merasuki benak ”Aku”. Setiap hari. Maka, ”Aku” dan keluarganya bertandang ke rumah ibunya. Selain melepas kangen, juga untuk sebuah misi rahasia: menyibak misteri televisi ibu. Cerita menjadi tidak sederhana ketika ”Aku” diajak ibunya menonton televisi tepat pada jam sembilan. Dari layar kaca memancar kilau dengan warna-warni cahaya. Seketika ”Aku” merasa berada di sebuah ruangan luas. Tak bertepi. Dan, secara ajaib, ”Aku” melihat dan merasakan kedatangan ayahnya yang tersenyum hangat.
Tak ada yang istimewa dari cerita ini. Hanya kisah tentang anak yang ingin membahagiakan ibunya. Kita pasti sering menjumpai hal sama dalam keseharian. Tetangga kita pasti banyak yang pernah melakukan hal seperti itu. Bahkan, kita pun pernah melakukannya. Tapi, menjadi ”luar biasa” ketika Bamby menggiring kita pada ”penutup cerita” yang khas dan mengejutkan. Saya seperti membaca cerpen Danarto atau Putu Wijaya, dengan karakter berbeda dalam mengakhiri ceritanya dengan penuh kejutan. Mengherankan, sekaligus menakjubkan.
4
JIKA Nabi Sulaiman dikabarkan memiliki kesaktian menguasai segala jenis bahasa, termasuk bahasa binatang, dalam Percakapan dengan Bayi, Bamby berkisah tentang Kinar yang menguasai bahasa bayi. Bukan hanya itu, Kinar malah mampu bercakap-cakap dengan semua bayi. Kapan dan di mana saja. Pada mulanya, cerita ini pun bertolak dari gagasan sederhana, perihal bagaimana semestinya orang dewasa memasuki dunia bayi, agar terjalin komunikasi yang laras dan harmoni. Namun, menjadi unik dan tidak sederhana ketika Kinar mengetahui dirinya memiliki kemampuan luar biasa: bercakap dengan bayi.
Mengapa saya menyebut cerita ini bertolak dari hal sederhana? Lihat sekeliling kita, bayi ada di mana-mana. Setiap hari ada bayi dilahirkan. Setiap hari banyak orang berkomunikasi dengan bayi. Namun, tidak banyak orang yang bisa memahami bahasa bayi. Apalagi menguasainya. Lebih rumit lagi, ketika Kinar bertemu dengan Andrea, bayi yang menolak menjadi dewasa. Mengapa? Bagi Andrea, dunia orang dewasa adalah dunia palsu. Dunia kemunafikan. Dunia kebohongan. Dan Andrea enggan tenggelam atau terseret arus kepalsuan, kemunafikan dan kebohongan itu.
Gagasan yang diusung Bamby lewat cerita ini, juga sederhana. Semata mengajak kita menjalin keintiman dengan anak-anak kita. Semacam permintaan sederhana agar orang dewasa mencoba memasuki dunia bayi dari sisi berbeda, bukan malah memaksa sang bayi untuk memasuki dunia mereka, dunia orang dewasa. Selain itu, ada pesan etis yang disampaikan secara estetis: mari belajar menghentikan kebohongan.
Masalahnya, apakah kita sanggup menghentikan pembelajaran ”kebohongan-kepalsuan-kemunafikan” agar generasi sesudah kita lebih bermoral?
Ini yang tidak sederhana.
5
MENARIK membaca pemikiran pengarang tentang rasa kebangsaan. Melalui Bendera itu Tidak Berkibar Di Sini, pengarang seakan mengabarkan keprihatinan mendalam karena menipisnya nasionalisme kita. Bermula dari kejutan yang dialami Topo ketika terlelap dan bermimpi. Ia terkejut ketika terbangun dari tidurnya, dan mendapati istrinya tidak menyiapkan kopi seperti pagi-pagi sebelumnya. Lebih kaget lagi, ia tidak melihat satu pun warga mengibarkan bendera merah putih. Padahal, hari itu hari kemerdekaan. Biasanya selalu ramai. Jika tidak dihiasi keramaian rutin tujuh-belasan—semisal panjat pinang, balap karung, bahkan menangkap bebek berkalung gambar teroris—setidaknya ada kibaran bendera negara. Tapi, hari itu, tak ada satu pun bendera menghiasi halaman rumah tetangganya. Bahkan, bendera merah putih yang dikibarkannya satu hari sebelumnya, juga raib. Topo makin bingung.
Sekali lagi, ide yang diusung Bamby pada cerpen ini, juga sederhana. Hal rutin yang setiap tahun kita lakukan, perayaan tujuh-belasan. Tentu saja kita sudah sering mengalaminya. Namun, menjadi tidak sederhana jika ditarik pada ranah ”rasa memiliki”. Bamby seakan menyentil haru-biru kebangsaan kita. Coba tengok lelaku negeri tetangga yang suka pamer kapal perang di perairan kita. Belum lagi kepongahan mendaku budaya kita sebagai budaya mereka. Reog, batik, lagu Rasa Sayange, lanun, dan paling mutakhir Tari Pendet. Konon, mereka juga sedang bersiap mengklaim bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka, dengan sedikit polesan baru, bahasa Melayu.
Hal menggelitik dari cerpen ini, seberapa tebal nasionalisme yang masih kita miliki? Ayo, kita telisik diri kita masing-masing. Cerita ini alegorik. Sindiran telak.
6
KABAR sederhana yang diuarkan Bamby, juga dapat kita simak pada cerpen lain dalam Kumpulan cerita pendek Tangan untuk Utik. Ia menegaskan gunjingan metaforis lewat Mimpi dalam Stoples Kaca. Sebuah totalitarianisme kekuasaan yang mengabarkan penderitaan akibat perburuan mimpi. Mimpi berkuasa, mimpi menguasai. Kabar sederhana ini, sebenarnya, berpijak dari sebuah gagasan besar, semacam amsal tentang keserakahan.
Melalui Tameng untuk Ayah, kita bakal bersua dengan etos kepahlawanan seorang anak, Jamal Ahmad Fayyad, dalam melindungi ayahnya dari keganasan pucuk bedil serdadu Israel. Juga mimpi sederhana seorang Surip, seorang anak yang selalu dikejar mimpi aneh tentang berbakti pada orang tua, dalam Hadiah untuk Ibu. Surip, yang tidur dan awasnya selalu menawarkan kegelisahan, akhirnya bisa membahagiakan ibunya dengan memenangkan sebuah sayembara berhadiah uang. Dan, piagam.
Tak kalah dahsyatnya dengan cerpen lainnya, Koran Minggu berkabar tentang hajat sederhana seorang suami untuk membahagiakan istrinya. Namun, kenyataan hidup tidak sesederhana itu, pilihan menjadi penulis atau pengarang, seperti tutur Putu Wijaya, adalah pilihan yang tidak menjanjikan. Dunia gelap tanpa harapan. Hal itu dianggit dengan gesit oleh Bamby. Pada akhirnya, tidak cukup kegembiraan saya, sebelum menuntaskan pembacaan kumpulan cerpen ini. Sejumlah kisah sederhana yang menjadi ”teror indah” dan membahagiakan. Bamby berhasil mendedahkan konflik di alam bawah sadar (baca: mimpi), sekaligus mengabarkan masalah sosial dengan penceritaan yang bermula pada ”hulu sederhana”, tapi bisa mengecoh pembaca karena ”hilir penuh kejutan”.
Bagaimana dengan Anda? Saya yakin, Anda akan temukan kejutan menakjubkan, sama seperti yang saya alami.
7
TANGAN untuk Utik menjadi pintu masuk bagi Bamby Cahyadi ke dunia sastra. Ia datang dengan kunci rahasia sebagai ”juru kabar” yang andal dan menjanjikan. Ia mengantar amsal, tamsil, dan umpama yang sederhana. Ia mengusung metafora dan alegori, ajakan untuk merujuk-bandingkan antara kemasan penceritaan dengan kenyataan kehidupan. Ia membawa ”kabar baik” bagi semua ”umat sastra”.
Meski demikian, ini harus jadi batu loncatan dan monumen bersejarah baginya untuk membuktikan kapasitas lebih yang dimiliki sebagai seorang pengarang ”masa depan”.
Selamat datang mimpi sederhana. Selamat datang, Bamby Cahyadi.
Khrisna Pabichara,
penyair dan penyuka cerpen, tinggal di pinggiran Jakarta.
Label:
Bamby Cahyadi,
esai,
khrisna pabichara,
resensi buku
Rabu, 09 September 2009
ARTIKEL: Robohkan Penjara Mental
Catatan: Sebuah tulisan sederhana untuk sekadar mengukuhkan kembali "semangat" dan "gairah" hidup kita.
ROBOHKAN PENJARA MENTAL
Khrisna Pabichara
HAL TERBURUK yang paling sering kita lakukan adalah tidak percaya pada kemampuan diri sendiri. Padahal, logikanya, jika kita saja tidak percaya diri sendiri, lantas siapa yang bisa memercayai bakat atau talenta yang kita miliki?
Apalagi jika kita sedang dalam kondisi tertekan, tanpa sengaja kita membelenggu diri sendiri dan memenjara keyakinan diri. Meragukan diri sendiri. Bahkan, ada yang cenderung menghakimi diri sendiri dengan cap pecundang atau si bodoh seperti katak di bawah tempurung.
Pada saat Anda merasa kaya dan sukses, kemampuan berpikir Anda akan berbeda sekali dengan ketika Anda merasa miskin dan gagal. Ketika Anda baru diterima bekerja pada sebuah perusahaan, perasaan Anda akan sangat berbeda dengan ketika Anda di PHK atau diberhentikan. Begitu pula, pada saat Anda merasa depresi dan sangat tertekan, imajinasi dan ide Anda akan berbeda sekali dengan ketika Anda sedang gembira dan sangat bahagia.
Jadi, intinya, kita sendiri yang menciptakan kondisi mental kita. Al-Gazhali berpesan, "Kita menjadi seperti apa yang kita yakini."
Ya, jika kita merasa sebagai seorang pecundang, jangan harap kita akan bisa menjadi pemenang, karena perilaku dan usaha kita adalah perilaku dan usaha pecundang. Para ilmuwan telah membuktikan bahwa respons fisiologis dapat diubah dengan sengaja. Artinya, jika kita bisa memilih menjadi lebih baik, mengapa harus memilih menjadi lebih buruk?
Ada dua prinsip kuat, meminjam istilah Prescott Lecky, yang dapat mengubah kepercayaan dan mengatasi ketakutan, hal yang hampir menimpa semua orang.
Pertama, keyakinan bahwa kita mampu mengerjakan tanggung jawab kita sehingga kita cukup mampu menunjukkan kemandirian kita. Dan, kedua, keyakinan bahwa ada sesuatu dalam diri kita yang membuat kita sejajar dengan orang lain dalam hal bakat dan kemampuan, dan bahwa kita tidak semestinya meremehkan diri sendiri atau membiarkan diri kita merasa terhina.
Ada beberapa contoh penjara mental yang sering kita bangun sendiri. Semisal:
“Saya terlanjur kecewa, tidak mungkin berubah lagi...”
“Menunggu itu pekerjaan yang paling membosankan...”
“Hanya ada satu cara...”
“Saya tidak akan mencoba lagi, sudah gagal satu kali...”
“Masalah ini sangat berat, tidak ada solusi yang tepat...”
“Saya merasa tidak nyaman dengan si B...”
“Ini bukan kesalahan saya, ini rekayasa, sabotase...”
Sesuatu yang kita pikirkan, katakan atau lakukan, sangat memengaruhi kondisi mental kita. Sekarang, bagaimana jika kita merobohkan penjara mental tadi, dengan menanamkan tekad yang teguh dalam hati.
Coba kita ubah kalimat negatif dalam mental kita.
“Saya dapat pulih dengan cepat sesudah merasa kecewa.”
“Jika memang harus menunggu, saya akan melakukannya dengan sabar...”
“Selalu ada cara lain untuk melakukan hal yang sama...”
“Kegagalan itu terjadi karena ada proses yang tidak tepat, maka saya akan melakukannya lagi dengan membenahi kekurangan itu...”
“Semua masalah selalu bisa dipecahkan...”
“Banyak hal yang bisa saya pelajari dari si B...”
“Ada beberapa hal yang belum optimal, segera saya perbaiki...”
Hubungan antara kecerdasan hati dengan kemampuan berpikir mirip dengan hubungan antara mobil dengan pengendaranya. Seorang pengendara andal, bisa jadi, tidak bisa berbuat apa-apa, jika mobil yang dikendalikannya “tidak hebat”. Sebaliknya, sebuah mobil hebat pun tidak berguna sama sekali, jika pengendaranya tidak bisa mengendalikan kendaraan dengan baik.
Kecerdasan hati, ibarat seorang sopir, adalah pengendali. Keterampilan berpikir, laksana sebuah mobil, adalah potensi. Keduanya laksana dua sisi uang logam, saling mendukung dan saling melengkapi, layaknya mobil dan pengendaranya.
Dan, kita semua, jika berharap sukses dalam hidup ini, harus bisa memiliki keduanya, kecerdasan hati dan kemampuan berpikir. Karena itu, robohkan penjara itu! Sekarang!
Jangan tunggu keajaiban datang untuk mengubah hidup Anda.
ROBOHKAN PENJARA MENTAL
Khrisna Pabichara
HAL TERBURUK yang paling sering kita lakukan adalah tidak percaya pada kemampuan diri sendiri. Padahal, logikanya, jika kita saja tidak percaya diri sendiri, lantas siapa yang bisa memercayai bakat atau talenta yang kita miliki?
Apalagi jika kita sedang dalam kondisi tertekan, tanpa sengaja kita membelenggu diri sendiri dan memenjara keyakinan diri. Meragukan diri sendiri. Bahkan, ada yang cenderung menghakimi diri sendiri dengan cap pecundang atau si bodoh seperti katak di bawah tempurung.
Pada saat Anda merasa kaya dan sukses, kemampuan berpikir Anda akan berbeda sekali dengan ketika Anda merasa miskin dan gagal. Ketika Anda baru diterima bekerja pada sebuah perusahaan, perasaan Anda akan sangat berbeda dengan ketika Anda di PHK atau diberhentikan. Begitu pula, pada saat Anda merasa depresi dan sangat tertekan, imajinasi dan ide Anda akan berbeda sekali dengan ketika Anda sedang gembira dan sangat bahagia.
Jadi, intinya, kita sendiri yang menciptakan kondisi mental kita. Al-Gazhali berpesan, "Kita menjadi seperti apa yang kita yakini."
Ya, jika kita merasa sebagai seorang pecundang, jangan harap kita akan bisa menjadi pemenang, karena perilaku dan usaha kita adalah perilaku dan usaha pecundang. Para ilmuwan telah membuktikan bahwa respons fisiologis dapat diubah dengan sengaja. Artinya, jika kita bisa memilih menjadi lebih baik, mengapa harus memilih menjadi lebih buruk?
Ada dua prinsip kuat, meminjam istilah Prescott Lecky, yang dapat mengubah kepercayaan dan mengatasi ketakutan, hal yang hampir menimpa semua orang.
Pertama, keyakinan bahwa kita mampu mengerjakan tanggung jawab kita sehingga kita cukup mampu menunjukkan kemandirian kita. Dan, kedua, keyakinan bahwa ada sesuatu dalam diri kita yang membuat kita sejajar dengan orang lain dalam hal bakat dan kemampuan, dan bahwa kita tidak semestinya meremehkan diri sendiri atau membiarkan diri kita merasa terhina.
Ada beberapa contoh penjara mental yang sering kita bangun sendiri. Semisal:
“Saya terlanjur kecewa, tidak mungkin berubah lagi...”
“Menunggu itu pekerjaan yang paling membosankan...”
“Hanya ada satu cara...”
“Saya tidak akan mencoba lagi, sudah gagal satu kali...”
“Masalah ini sangat berat, tidak ada solusi yang tepat...”
“Saya merasa tidak nyaman dengan si B...”
“Ini bukan kesalahan saya, ini rekayasa, sabotase...”
Sesuatu yang kita pikirkan, katakan atau lakukan, sangat memengaruhi kondisi mental kita. Sekarang, bagaimana jika kita merobohkan penjara mental tadi, dengan menanamkan tekad yang teguh dalam hati.
Coba kita ubah kalimat negatif dalam mental kita.
“Saya dapat pulih dengan cepat sesudah merasa kecewa.”
“Jika memang harus menunggu, saya akan melakukannya dengan sabar...”
“Selalu ada cara lain untuk melakukan hal yang sama...”
“Kegagalan itu terjadi karena ada proses yang tidak tepat, maka saya akan melakukannya lagi dengan membenahi kekurangan itu...”
“Semua masalah selalu bisa dipecahkan...”
“Banyak hal yang bisa saya pelajari dari si B...”
“Ada beberapa hal yang belum optimal, segera saya perbaiki...”
Hubungan antara kecerdasan hati dengan kemampuan berpikir mirip dengan hubungan antara mobil dengan pengendaranya. Seorang pengendara andal, bisa jadi, tidak bisa berbuat apa-apa, jika mobil yang dikendalikannya “tidak hebat”. Sebaliknya, sebuah mobil hebat pun tidak berguna sama sekali, jika pengendaranya tidak bisa mengendalikan kendaraan dengan baik.
Kecerdasan hati, ibarat seorang sopir, adalah pengendali. Keterampilan berpikir, laksana sebuah mobil, adalah potensi. Keduanya laksana dua sisi uang logam, saling mendukung dan saling melengkapi, layaknya mobil dan pengendaranya.
Dan, kita semua, jika berharap sukses dalam hidup ini, harus bisa memiliki keduanya, kecerdasan hati dan kemampuan berpikir. Karena itu, robohkan penjara itu! Sekarang!
Jangan tunggu keajaiban datang untuk mengubah hidup Anda.
Label:
khrisna pabichara,
motivasi,
spiritual power
ESAI "Esensi Puisi Pagar Kenyataan"
Catatan: Tulisan ini dimuat di Jurnal Bogor, (Minggu, 06/09/2009) dan Harian Fajar (Minggu, 27/09/2009)
ESENSI PUISI PAGAR KENYATAAN
Oleh Khrisna Pabichara
KAMI tahu kami makhluk yang kekal. Kami hanya lupa di mana menaruh kunci pagar. Demikian pernyataan TS Pinang—sebagai manusia dengan segala kemanusiaannya—dalam sajak Kekal (h. 51).
Jika Chairil Anwar menyebut dirinya sebagai “binatang jalang” yang ingin hidup seribu tahun lagi, maka TS Pinang menisbahkan diri sebagai makhluk kekal. Hanya saja, kekekalan itu terhambat oleh dua hal, kunci dan pagar. Jika pagar adalah sekat nilai guna baginya, maka kunci merupakan ruang lapang untuk memanfaatkan nilai guna itu. Dengan demikian, pagar lebih daripada sekadar yang dapat kita pandang sebagai pembatas, seperti kunci yang semestinya berfungsi tidak sebagai pembuka-penutup belaka.
Kunci dan kami, simbol yang digunakan penyair, berfungsi sebagai pemampat jarak, semisal kejauhan dan kedekatan. Sebutan “Kami” mengandung muatan “kita”, dengan “aku” dan “dia” di dalamnya. Bahkan, boleh jadi, “kamu”. Sebutan kami tidak berciri personal, melainkan kolektif. Menyangkut jarak antara kelompok dan kelompok: antara mereka dan kami. kami membuka gerbang langit dengan anak kunci yang kami tempa dari bijih cinta. kami berdoa dengan secawan air tanah dan daun sirih, lalu kami saling menyapa. di depan pintu ini kami membaca salam di ambang gerbang, semoga semua makhluk berbahagia, dan semoga anak-anak kami sehat sentosa (Sajak “Kunci”, 14). Tafsir kita terhadap “gerbang langit” bakal beragam, namun keragaman itu tetap menggunakan kunci yang sama, kunci tempaan “bijih cinta”.
“Kami” adalah rumah atau tubuh ego dengan ruang-ruang lapang, yang tidak secara gamblang menghadirkan koherensi yang mudah dikenali. Kami, baik dalam Kunci, maupun sajak lainnya, menjadi narasi yang bersifat sangat prosaik dengan tidak menaruh “penderitaan” ke kedalaman maknanya. Melainkan, meminjam istilah Sartre, terinspirasi oleh penderitaan-penderitaan dan harapan-harapan itu. Dari penderitaan dan harapan itulah TS Pinang membangun rumah sajaknya.
Sebanyak 62 sajak dalam antologi ini merupakan ajakan sistemis yang mampu membangkitkan hasrat berpikir kita. Begitu penyair “amatir” kelahiran Pati ini membuka antologinya dengan sajak Sumur, kita langsung dijamu dengan sajian khas: ayo kita lihat realitas kehidupan. kami masih bercakap panjang dengan timba dan tambang, hingga lupa berapa kali kami telah pergi dan pulang (h. 1).
Ia juga menyuguhkan pergumulan kekuatan pikiran, terutama kekuatan pemaknaan atas ihwal penting dalam hidup, seperti hak asasi, atau hak milik pribadi. Pergumulan itu disampaikannya lewat tampilan arsitektural yang menarik, kombinasi cantik antara sajak, kritik, dan filsafat. Pergumulan pikiran yang bisa menjebak kita ke dalam semesta yang penuh tanda tanya, terutama tentang realitas. Coba kita simak: lalu kami akan segera pulang ke kampung tempat kami berladang. membawa mentari kembali, ke negeri yang lama kehilangan siang (Sajak Arkade, 7).
Kampung dan ladang langsung menguak kesadaran kita tentang negara agraris, Indonesia, namun terhentak ketika tiba pada negeri yang lama kehilangan siang. Bagaimana rasanya negeri tanpa matahari, tanpa siang? Pasti gelap, karena terus diselubungi malam. Ini alegori. Semacam simile, bahkan sindiran telak, tentang rebaknya pengangguran di negeri ini.
Menarik membaca pandangan penyair tentang negerinya. selamat datang di negeri kami. di sinilah asal mula senyuman dan tangis, ditemukan oleh seorang penyair fakir dalam singgah kembaranya. di sini kami menanam biji tawa dan air mata, lalu menjualnya sebagai hasil bumi ke negeri tetangga (Sajak Jendela, 9).
Negeri rempah-rempah yang tenar karena kesuburan tanahnya dan keragaman hayatinya, ternyata hanya mampu mengekspor tenaga kerja murah ke negeri-negeri tetangga, kemudian mendapat perlakuan “tak senonoh” dari majikan tempat “kami” (TKI) bekerja. “Kami” dikirim ke Malaysia, Timur Tengah, Asia Timur, kemudian “kami” pulang dengan tubuh babak belur dan gaji yang dikebiri. “Kami” menghasilkan banyak devisa, tapi kami kehilangan banyak “hak asasi”. Tetap saja, kami akan pulang, ke negeri ini: ke sana pula kau pulang, kelak di akhir hayat (Sajak Kakus, 11).
Arsitek jebolan UGM ini memiliki nyali berlebih untuk menerabas batas-batas, melanggar tabu-menabu, dan membangkitkan gairah berkehendak yang selama berkurun-kurun tertimbun dalam timbunan mental “inlander”, tidak percaya diri, laksana katak yang terperangkap di bawah tempurung. kami tak secerdas yang kami inginkan, tapi pustaka kami memang bukan untuk mencerdaskan, cukuplah asal membuat kami takut tuhan (Sajak Bibliotek, 13).
Buku baginya, juga alam semesta, tidak berfungsi lebih banyak dalam mengayakan wawasan, malah lebih sering memaksanya berputar pada labirin doktrin: ajakan untuk takut pada tuhan. Lantas, jika “kami” takut pada tuhan, kepada siapa “kami” bisa berteman? Kepada setan?
Masih di sajak yang sama, penyair menohok kita dengan santun: kami tidur dan bercinta di atas buku-buku, majalah kaum lelaki, juga kamasutra versi playboy. “Kamasutra” dan “playboy” yang lazim digunakan sebagai simbol erotik atau panduan strategi perang di atas ranjang, dialih-fungsikan menjadi pengamsalan untuk melabrak penabuan seks, sesuatu yang hanya bisa diobrolkan di ruang sempit tempat tidur, yang cukup dipraktekkan saja, tanpa perlu dibincangkan, apalagi diseminarkan.
Selain itu, seperti dicatat dalam sajak Lampu (h. 16), penyair merancang sajaknya secara guyon dengan kesatuan makna yang utuh dan tak tergoyahkan: lampu di bilik kami suka mati sendiri, lalu hidup lagi. sebentar, lalu mati lagi. kami memang bukan penggemar api, tapi masih sering terpana oleh lampu kami yang agak sakti: hidup mati sendiri. lampu kami tak lagi patuh pada sakelar atau sekering. mungkin ia sedang mencoba makar, atau cuma humor yang garing. Sajak ini, mengingatkan kita pada kinerja PLN.
Sekarang, coba kita simak. kami menggoreng menumis. menggoreng menumis rempah amarah, merica cinta, bumbu cemburu: gairah yang memburu. begitulah kami memasak pagi, siang, malam, dengan api yang kecil atau besar, dengan nyala yang jinak atau liar. begitulah kami memasak pagi, siang, malam (Sajak Memasak, 57).
Juga, kami berpuasa dari sukacita, kami berpantang tertawa. kami membangun mimpi dari rasa cemas dan rasa takut yang akut. kami berpuasa agar kuat menanggung semua rasa air mata (Sajak Merebus Kesedihan, 36).
Setiap pergeseran waktu, kita dihadapkan pada banyak rintangan dan ketegangan, juga kemalangan. Kita selalu ingin beristirahat dari sergapan rintangan, ketegangan, atau kemalangan itu. Namun, jika itu terjadi, kita malah diburu-buru kebosanan. Maka, tidak heran jika Blaise Pascal (1623-1663) menyatakan bahwa kebesaran manusia adalah karena mengetahui dirinya malang. Segala rintangan-ketegangan-kemalangan-kebosanan itulah yang memproduksi kecemasan dan ketakutan. Sehingga, ada saat-saat di mana bertahan hidup saja sudah merupakan tindakan yang berani.
Bagi TS Pinang, sajak bukan semata membagus-baguskan bahasa dan makna. Sajak tidak hanya merintis jalan penemuan kosakata untuk mewakili kenyataan. Ada nilai lebih yang diburunya. Sajak harus rela merayakan penamaan dan penandaan pergerakan semesta. Segala bentuk pagar yang selama berkurun-kurun telah menyempitkan makna dan keberadaan sajak, harus selekasnya dibuka selebar-lebarnya, agar ia dapat dimasuki oleh sebanyak-banyaknya “kaum sajak”.
Memang, pendapat ini sangat terbuka untuk kita perdebatkan. Stéphane Mallarmé, misalnya, menegaskan bahwa puisi diracik dari bahasa, bukan gagasan. Bagi Mallarmé, puisi adalah soal bahasa dan bukan sesuatu yang diwakilinya, entah itu gagasan tentang dunia, narasi, ataupun ekspresi perasaan. Karena itu, sergah Mallarmé, bahasa puitis membangun dunianya sendiri.
Namun, bagi banyak orang, bahasa menjadi medium penyingkapan, sekaligus penyampaian. Bahasa adalah “sangkar kenyataan”, dan tugas penyair adalah merawat “sangkar-sangkar kenyataan” itu. Maka, tidaklah berlebihan jika banyak orang mengamini, bahwa puisi merupakan sesuatu yang membuat manusia menemukan dunia penghayatan semiotisnya untuk bertahan hidup. Selain itu, dunia puisi menjadi medium penyingkapan kenyataan. Atau, “pagar kenyataan”.
Itulah yang dilakoni TS Pinang. ternyata, siapa saja yang terbang dalam puisi, tak pernah turun kembali (Sajak Terbang, 61). Setiap kali ia berlari menjauh dari puisi, semakin dekat ia pada “maqam-kepenyairannya”.
Ia, juga kita, tidak bisa mengingkari puisi, itulah kuncinya.
KHRISNA PABICHARA, Penyair dan motivator pembelajaran, tinggal di pinggiran Jakarta
ESENSI PUISI PAGAR KENYATAAN
Oleh Khrisna Pabichara
KAMI tahu kami makhluk yang kekal. Kami hanya lupa di mana menaruh kunci pagar. Demikian pernyataan TS Pinang—sebagai manusia dengan segala kemanusiaannya—dalam sajak Kekal (h. 51).
Jika Chairil Anwar menyebut dirinya sebagai “binatang jalang” yang ingin hidup seribu tahun lagi, maka TS Pinang menisbahkan diri sebagai makhluk kekal. Hanya saja, kekekalan itu terhambat oleh dua hal, kunci dan pagar. Jika pagar adalah sekat nilai guna baginya, maka kunci merupakan ruang lapang untuk memanfaatkan nilai guna itu. Dengan demikian, pagar lebih daripada sekadar yang dapat kita pandang sebagai pembatas, seperti kunci yang semestinya berfungsi tidak sebagai pembuka-penutup belaka.
Kunci dan kami, simbol yang digunakan penyair, berfungsi sebagai pemampat jarak, semisal kejauhan dan kedekatan. Sebutan “Kami” mengandung muatan “kita”, dengan “aku” dan “dia” di dalamnya. Bahkan, boleh jadi, “kamu”. Sebutan kami tidak berciri personal, melainkan kolektif. Menyangkut jarak antara kelompok dan kelompok: antara mereka dan kami. kami membuka gerbang langit dengan anak kunci yang kami tempa dari bijih cinta. kami berdoa dengan secawan air tanah dan daun sirih, lalu kami saling menyapa. di depan pintu ini kami membaca salam di ambang gerbang, semoga semua makhluk berbahagia, dan semoga anak-anak kami sehat sentosa (Sajak “Kunci”, 14). Tafsir kita terhadap “gerbang langit” bakal beragam, namun keragaman itu tetap menggunakan kunci yang sama, kunci tempaan “bijih cinta”.
“Kami” adalah rumah atau tubuh ego dengan ruang-ruang lapang, yang tidak secara gamblang menghadirkan koherensi yang mudah dikenali. Kami, baik dalam Kunci, maupun sajak lainnya, menjadi narasi yang bersifat sangat prosaik dengan tidak menaruh “penderitaan” ke kedalaman maknanya. Melainkan, meminjam istilah Sartre, terinspirasi oleh penderitaan-penderitaan dan harapan-harapan itu. Dari penderitaan dan harapan itulah TS Pinang membangun rumah sajaknya.
Sebanyak 62 sajak dalam antologi ini merupakan ajakan sistemis yang mampu membangkitkan hasrat berpikir kita. Begitu penyair “amatir” kelahiran Pati ini membuka antologinya dengan sajak Sumur, kita langsung dijamu dengan sajian khas: ayo kita lihat realitas kehidupan. kami masih bercakap panjang dengan timba dan tambang, hingga lupa berapa kali kami telah pergi dan pulang (h. 1).
Ia juga menyuguhkan pergumulan kekuatan pikiran, terutama kekuatan pemaknaan atas ihwal penting dalam hidup, seperti hak asasi, atau hak milik pribadi. Pergumulan itu disampaikannya lewat tampilan arsitektural yang menarik, kombinasi cantik antara sajak, kritik, dan filsafat. Pergumulan pikiran yang bisa menjebak kita ke dalam semesta yang penuh tanda tanya, terutama tentang realitas. Coba kita simak: lalu kami akan segera pulang ke kampung tempat kami berladang. membawa mentari kembali, ke negeri yang lama kehilangan siang (Sajak Arkade, 7).
Kampung dan ladang langsung menguak kesadaran kita tentang negara agraris, Indonesia, namun terhentak ketika tiba pada negeri yang lama kehilangan siang. Bagaimana rasanya negeri tanpa matahari, tanpa siang? Pasti gelap, karena terus diselubungi malam. Ini alegori. Semacam simile, bahkan sindiran telak, tentang rebaknya pengangguran di negeri ini.
Menarik membaca pandangan penyair tentang negerinya. selamat datang di negeri kami. di sinilah asal mula senyuman dan tangis, ditemukan oleh seorang penyair fakir dalam singgah kembaranya. di sini kami menanam biji tawa dan air mata, lalu menjualnya sebagai hasil bumi ke negeri tetangga (Sajak Jendela, 9).
Negeri rempah-rempah yang tenar karena kesuburan tanahnya dan keragaman hayatinya, ternyata hanya mampu mengekspor tenaga kerja murah ke negeri-negeri tetangga, kemudian mendapat perlakuan “tak senonoh” dari majikan tempat “kami” (TKI) bekerja. “Kami” dikirim ke Malaysia, Timur Tengah, Asia Timur, kemudian “kami” pulang dengan tubuh babak belur dan gaji yang dikebiri. “Kami” menghasilkan banyak devisa, tapi kami kehilangan banyak “hak asasi”. Tetap saja, kami akan pulang, ke negeri ini: ke sana pula kau pulang, kelak di akhir hayat (Sajak Kakus, 11).
Arsitek jebolan UGM ini memiliki nyali berlebih untuk menerabas batas-batas, melanggar tabu-menabu, dan membangkitkan gairah berkehendak yang selama berkurun-kurun tertimbun dalam timbunan mental “inlander”, tidak percaya diri, laksana katak yang terperangkap di bawah tempurung. kami tak secerdas yang kami inginkan, tapi pustaka kami memang bukan untuk mencerdaskan, cukuplah asal membuat kami takut tuhan (Sajak Bibliotek, 13).
Buku baginya, juga alam semesta, tidak berfungsi lebih banyak dalam mengayakan wawasan, malah lebih sering memaksanya berputar pada labirin doktrin: ajakan untuk takut pada tuhan. Lantas, jika “kami” takut pada tuhan, kepada siapa “kami” bisa berteman? Kepada setan?
Masih di sajak yang sama, penyair menohok kita dengan santun: kami tidur dan bercinta di atas buku-buku, majalah kaum lelaki, juga kamasutra versi playboy. “Kamasutra” dan “playboy” yang lazim digunakan sebagai simbol erotik atau panduan strategi perang di atas ranjang, dialih-fungsikan menjadi pengamsalan untuk melabrak penabuan seks, sesuatu yang hanya bisa diobrolkan di ruang sempit tempat tidur, yang cukup dipraktekkan saja, tanpa perlu dibincangkan, apalagi diseminarkan.
Selain itu, seperti dicatat dalam sajak Lampu (h. 16), penyair merancang sajaknya secara guyon dengan kesatuan makna yang utuh dan tak tergoyahkan: lampu di bilik kami suka mati sendiri, lalu hidup lagi. sebentar, lalu mati lagi. kami memang bukan penggemar api, tapi masih sering terpana oleh lampu kami yang agak sakti: hidup mati sendiri. lampu kami tak lagi patuh pada sakelar atau sekering. mungkin ia sedang mencoba makar, atau cuma humor yang garing. Sajak ini, mengingatkan kita pada kinerja PLN.
Sekarang, coba kita simak. kami menggoreng menumis. menggoreng menumis rempah amarah, merica cinta, bumbu cemburu: gairah yang memburu. begitulah kami memasak pagi, siang, malam, dengan api yang kecil atau besar, dengan nyala yang jinak atau liar. begitulah kami memasak pagi, siang, malam (Sajak Memasak, 57).
Juga, kami berpuasa dari sukacita, kami berpantang tertawa. kami membangun mimpi dari rasa cemas dan rasa takut yang akut. kami berpuasa agar kuat menanggung semua rasa air mata (Sajak Merebus Kesedihan, 36).
Setiap pergeseran waktu, kita dihadapkan pada banyak rintangan dan ketegangan, juga kemalangan. Kita selalu ingin beristirahat dari sergapan rintangan, ketegangan, atau kemalangan itu. Namun, jika itu terjadi, kita malah diburu-buru kebosanan. Maka, tidak heran jika Blaise Pascal (1623-1663) menyatakan bahwa kebesaran manusia adalah karena mengetahui dirinya malang. Segala rintangan-ketegangan-kemalangan-kebosanan itulah yang memproduksi kecemasan dan ketakutan. Sehingga, ada saat-saat di mana bertahan hidup saja sudah merupakan tindakan yang berani.
Bagi TS Pinang, sajak bukan semata membagus-baguskan bahasa dan makna. Sajak tidak hanya merintis jalan penemuan kosakata untuk mewakili kenyataan. Ada nilai lebih yang diburunya. Sajak harus rela merayakan penamaan dan penandaan pergerakan semesta. Segala bentuk pagar yang selama berkurun-kurun telah menyempitkan makna dan keberadaan sajak, harus selekasnya dibuka selebar-lebarnya, agar ia dapat dimasuki oleh sebanyak-banyaknya “kaum sajak”.
Memang, pendapat ini sangat terbuka untuk kita perdebatkan. Stéphane Mallarmé, misalnya, menegaskan bahwa puisi diracik dari bahasa, bukan gagasan. Bagi Mallarmé, puisi adalah soal bahasa dan bukan sesuatu yang diwakilinya, entah itu gagasan tentang dunia, narasi, ataupun ekspresi perasaan. Karena itu, sergah Mallarmé, bahasa puitis membangun dunianya sendiri.
Namun, bagi banyak orang, bahasa menjadi medium penyingkapan, sekaligus penyampaian. Bahasa adalah “sangkar kenyataan”, dan tugas penyair adalah merawat “sangkar-sangkar kenyataan” itu. Maka, tidaklah berlebihan jika banyak orang mengamini, bahwa puisi merupakan sesuatu yang membuat manusia menemukan dunia penghayatan semiotisnya untuk bertahan hidup. Selain itu, dunia puisi menjadi medium penyingkapan kenyataan. Atau, “pagar kenyataan”.
Itulah yang dilakoni TS Pinang. ternyata, siapa saja yang terbang dalam puisi, tak pernah turun kembali (Sajak Terbang, 61). Setiap kali ia berlari menjauh dari puisi, semakin dekat ia pada “maqam-kepenyairannya”.
Ia, juga kita, tidak bisa mengingkari puisi, itulah kuncinya.
KHRISNA PABICHARA, Penyair dan motivator pembelajaran, tinggal di pinggiran Jakarta
Langganan:
Postingan (Atom)