Catatan: Cerpen ini dimuat di Republika, Minggu (31/01/2010)
ARAJANG
Oleh Khrisna Pabichara
[Kepada M. Aan Mansyur & Puang Matowa Saidi’]
|1|
Sudahkah kau memeluk dirimu hari ini?[1]
TIDAK MUDAH menjadi lelaki. Begitu pun menjadi perempuan. Tapi lebih tidak mudah lagi menjadi calabai—lelaki yang menyerupai perempuan. Di kampung kelahiranku, Malakaji—sebuah kampung di kaki Gunung Lompobattang, lelaki hanya butuh mahir berkuda, beladiri, bertani, atau berdagang. Menjadi perempuan lebih gampang lagi. Yang penting bisa masak, mencuci, mengasuh suami dan anak. Tapi tidak begitu jika kamu calabai. Kamu akan digiring takdir ke negeri antara, merasakan pedihnya dicaci dan dilecehkan, dan berulang seolah sarapan pagi yang harus kamu santap setiap hari.
Begitulah nasib yang harus kuterima sebagai suratan. Lima tahun silam, dari tahun kugubah kisah ini, dengan kasar Ayah mengusirku dari rumah. Sungguh, sabda Ayah selalu tak terbantahkan. Ayah memang diktator ulung, suka mengambil keputusan semaunya. Ibu hanya terisak di tepi dipan kayu yang tak bertilam tak berseprai. Aku bergeming. Tidak dibenarkan membantah, meski sebatas membela diri. Aku tahu Ibu akan menahanku, tapi aku harus tetap pergi. Kalau tak salah, usiaku kala itu lima belas tahun. Masih terlalu muda untuk mengadu untung di rantau.
“Jangan kembali ke rumah ini sebelum kamu jadi lelaki,” begitu kata Ayah dengan muka merah dan mata nyaris meloncat dari pelupuknya.
Aku berjalan menuruni tangga. Tak menoleh barang sekilas. Padahal aku sangat ingin bersimpuh di kaki Ibu atau setidaknya berucap selamat tinggal. Atau, “Jaga diri baik-baik, Ammak[2].” Kamu tahu? Aku sangat ingin memeluk Ibu, seperti setiap pagi beliau rajin membangunkan aku dengan pertanyaan sama yang diulang setiap hari.
“Sudahkah kau memeluk dirimu hari ini?”
Tapi aku harus tetap pergi. Meski aku tak pernah berniat menjadi lelaki.
|2|
lenganmu memang terlalu pendek buat tubuhmu
tetapi tentu saja cukup panjang buat tubuhku [3]
BAIKLAH. Sebelum kutuntaskan kisah ini, akan kuceritakan padamu riwayat kelahiranku yang dulu kudengar bak renjana setiap hari. Konon, aku adalah bayi paling dinantikan oleh Ayah. Ya, kamu perlu tahu. Kebanggaan bagi setiap Ayah ketika berhasil memiliki anak lelaki. Dan tiga kakakku semuanya perempuan. Pantas kiranya jika kelahiranku disambut penuh sukacita. Satu ekor kuda, dua ekor kambing, dan berpuluh-puluh ayam dikorbankan. Hari itu Ayah menghamburkan tunai tiga juta demi sebuah pesta akikah.
Lalu, aku tumbuh menjadi bayi ajaib. Belum sembilan bulan aku sudah fasih bicara. Memasuki bulan kesepuluh aku mampu berdiri tanpa harus disangga lembut lengan Ibu. Inilah awal-mula mitos kemasyhuranku. Ayah selalu bangga, dengan mata berbinar acapkali bertutur tentang kelebihanku dibanding balita lain. Betapa tidak, di tahun keempat setelah kelahiranku, 1994, aku meramal bahwa Brasil akan keluar sebagai Juara Dunia FIFA World Cup 1994. Ayahku percaya. Alhasil, dia sukses memenangkan banyak taruhan. Dan, hadiah bagiku sebuah kecupan lembut di kening. Waktu itu, aku masih ingat, Ayah berkata dengan mata sarat cahaya, “Kamu memang lelaki paling hebat, Nak. Hidupmu bakal disesaki teka-teki, tapi kamu tak akan sendiri. Ayah akan selalu menemanimu.”
Aku selalu ingat peristiwa itu. Mengharukan. Membahagiakan.
Kamu juga harus tahu. Pada umur lima tahun aku sering bermimpi tentang sebuah rumah panggung dengan pesta tari, bau dupa, gemuruh gendang dan lengking puik-puik[4]. Juga rancak penari mengelilingi sebuah tempat—dulu aku belum tahu namanya—dan keris atau badik yang dihujamkan ke bagian tubuh paling rentan tikaman senjata. Sesekali aku bermimpi tentang lelaki asing berwajah perempuan. Aku benar-benar tak tahu apakah itu imaji kehidupan masa kini yang sedang kujalani, kehidupan sebelumnya, atau berhubungan dengan kehidupanku di masa datang. Kadang aku seolah berada di tengah sebuah ruang lapang dan semua orang serentak menyeretku ke masa kehidupan lain.
Kamu pasti merasa ganjil, tapi begitulah adanya. Ayah sangat bangga padaku. “Kamu anak ajaib. Ada banyak kekuatan mengeram di tubuhmu,” katanya setiap matahari terbit. Saat itu aku sudah bisa membaca pikiran orang. Aku juga sudah bisa meramalkan bahaya yang bisa mengintai orang yang ada di dekatku. Suatu ketika, aku sedang berada di pinggir jalan bersama Ibu. Kemudian aku dengar lirih suara menyuruhku segera menyeberang. Lalu, kutarik lengan Ibu menjauh. Tak lama berselang, sebuah pete-pete[5] menabrak rumah tempat tadi kami berdiri di depannya. Banyak lagi kejadian lain yang jika kuceritakan semua, kamu akan lelah mendengarnya.
Ketika umurku menjelang tiga belas, nasib mulai berubah. Aku tidak punya jakun seperti lumrahnya lelaki. Suaraku lebih mirip suara perempuan. Tak ada satu sisi pun pada diriku yang layak disebut gagah, apalagi lelaki. Sejak itu pula bencana bermula. Ayah mulai berubah. Tak ada lagi pelukan, tak ada lagi kecupan. Tidak juga dongeng menjelang tidur, atau tutur lembut yang meneduhkan hati.
Sungguh, itu kiamat bagiku!
|3|
tubuh memang ditakdirkan
awalnya jadi milik pelukan
lalu kemudian milik peluru [6]
TAHUKAH KAMU apa yang terjadi sesudah itu? Setelah menumpang truk sayur dari Malakaji ke Jeneponto, aku berjalan sepanjang sembilan puluh kilometer ke Makassar. Tiga hari tiga malam. Aku berjalan bak orang kesetanan dengan kaki telanjang. Tak pernah berhenti meski sekadar melemaskan kaki. Tak merasa lapar, tak merasa haus. Terus berjalan. Tak menoleh kanan-kiri. Tak menyapa sesiapa. Aku seolah sudah hafal arah jalan, padahal baru kali ini aku menapakinya. Anehnya, imaji itu terus bergelayut di benakku: Lelaki berdandan bak perempuan; musik dan tari saling berlaga; dan bau dupa. Sesekali terdengar cekikikan roh-roh. Tapi tak ada yang tampak. Semuanya lamur dan samar. Kemudian aku dengar nyanyian mendayu-dayu, seperti puja-puji yang entah ditujukan untuk siapa. Lututku gemetaran, langkahku terhuyung. Aku tetap berjalan menyemburkan bau kecut keringat dan amarah. Dan, ah, tiba-tiba aku ingat Ibu. Kamu pasti tahu bagaimana rasanya merindukan Ibu, kan?
Ibu, engkaulah perempuan paling Ibu di dunia.
Oh ya, aku ringkas saja ceritanya. Tibalah aku di lapangan Karebosi. Entah siapa yang menuntunku ke sini. Yang pasti, tiga orang perempuan tiba-tiba berdiri di hadapanku. Wanita pertama memakai baju adat kurung berwarna kuning keemasan, yang kedua berwarna merah, yang ketiga berwarna hitam. Mereka mengajakku berjalan, menembus pekat malam dan udara yang berkabut di kota Makassar yang sedang mendengkur. Dingin. Ngilu menyelusup di pori. Semuanya melangkah gemulai sepertiku. Ajaib, aku sama sekali tak mampu membaca pikiran mereka. Jadilah aku memilih diam, tak berkata apa-apa.
Lalu, sekonyong-konyong aku diserang kantuk luar biasa. Dan, pulas.
|4|
Setelah Kau pergi, aku segera mencari Rumah,
tak berpintu tak berjendela. [7]
TUNGGU, riwayat yang kuceritakan ini belum tamat. Seperti yang kujelaskan tadi, aku tertidur sepanjang perjalanan dan tak tahu kemana ketiga perempuan itu membawaku. Oh, sebentar, aku ingat sekarang. Merekalah yang kerap mengisi mimpi dan imaji-imajiku. Ya, tidak salah lagi. Itu mereka! Para bissu yang kuyakini bakal jadi Ibu baru bagiku selama di rantau. Ya, andai saja kamu bisa berada di sini. Dan, ommalek!
Lihatlah! Mereka sedang mempersiapkan upacara mapparebba, ritus sakral yang hanya dilakukan setiap hendak melantik anggota bissu baru. Tahukah kamu siapa yang akan dilantik? Aku. Ya, aku. Lihat, mereka duduk mengelilingi arajang, tempat bakal muncul Batara—Tuhan yang mereka imani. Belakangan aku tahu, tidak semua calabai bisa menjadi bissu. Hanya yang terpilih. Mereka kelak akan meneruskan lelaku penghubung antara Batara, penguasa, dan manusia. Yang akan menentukan kapan musim tanam tiba, membilang tanggal bajik, dan rupa-rupa amanat lain. Dulu mereka nyaris punah diberangus karena dituding musyrik dan menyimpang dari ajaran agama. Hari ini, aku jadi bagian tak terpisahkan dari mereka.
Sekarang, aku tak pernah lagi berniat jadi lelaki.
|5|
pada seorang perempuan
aku dikepung kenangan [8]
SEJAK ITU aku merasa dilahirkan kembali. Tanpa caci-maki, tanpa cibiran. Kini aku jadi bissu termuda. Lelaki paling lelaki yang piawai memainkan atraksi maggiri—menusuk tubuh dengan pisau, kalewang, keris, atau badik. Aku pun menjelma perempuan paling perempuan yang suci karena tak pernah menstruasi, dan tak berdarah karena tubuh tak tembus besi atau timah. Tapi, tahukah kamu apa yang paling kurindukan hari ini?
Aku rindu hangat pelukmu, Ibu.
Oh, maaf, hampir saja aku lupa. Tadi, Kanang, kakak sulungku, datang bertandang. Dia kabarkan Ayah sedang sekarat dan memanggil namaku dalam igau dan sadarnya. Ah, meleleh airmataku. Tapi, aku tak berniat pulang karena aku merasa gagal jadi lelaki seperti harapan Ayah.
“Pulanglah, andik. Sebentar saja…,” bujuk kakakku.
“Tidak, daeng. Aku tidak pernah utuh sebagai lelaki. Ayah pasti kecewa,” jawabku.
Kakakku pulang dengan tangan hampa.
Bagaimana menurutmu? Apakah aku harus menemui Ayah?
Hah! Aku harus temui Ayah? Oh, tidak bisa, kawan. Maaf, kali ini aku tak bisa menuruti saranmu. Bukan karena hatiku disungkupi dendam. Ada ihwal lain yang perlu kamu ingat: Kesetiaan pada janji. Ya, dulu kamu pernah bilang: Sekali kata terujar, pantang ludah terjilat kembali. Maaf, ya!
Tapi, tunggu dulu! Terima kasih telah mengingatkanku. Kamu telah menyentuh kedalaman rasaku. Ya, aku tak boleh egois. Baiklah, aku segera berkemas. Aku mendapat firasat umur Ayah tak lagi panjang. Lalu, aku akan pamitan pada Puang Matowa[9].
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Dan, oh! Ternyata Ibu.
“Kenapa, Ammak?”
“Ikhlaskan semuanya, Nak!”
Klik. Telepon terputus.
●●●
Khrisna Pabichara, lahir di Makassar, 10 November 1975. Saat ini bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.
Catatan Akhir:
[1] Dikutip dari sajak Pelukan karya M. Aan Mansyur.
[2] Bahasa Makassar = Ibu.
[3] Dikutip dari sajak Pelukan karya M. Aan Mansyur.
[4] Alat musik tiup khas Makassar.
[5] Mikrolet/angkutan kota di Makassar.
[6] Dikutip dari sajak Pelukan karya M. Aan Mansyur.
[7] Dikutip dari sajak Mencari Sunyi Paling Puisi karya Khrisna Pabichara.
[8] Dikutip dari sajak Suatu Sore Saat Hujan karya M. Aan Mansyur.
[9] Pemimpin Komunitas Bissu
Minggu, 31 Januari 2010
Sabtu, 30 Januari 2010
SAJAK PEREMPUAN PESOLEK
Sumber: Harian Fajar Makassar, Minggu (11/10/2009)
Sajak Perempuan Pesolek
Oleh Khrisna Pabichara
Aduhai perempuan pesolek yang berkaca setiap tiga menit sekali, berikan aku hari-hari lain. Siapa tahu kelak bisa kusulam sebagai ingatan. Mungkin dalam syair nyanyian. Mungkin serupa sajak-sajak bersayap. Mungkin lewat rapal perih doa. Bahkan, siapa tahu, lewat mimpi basah sebelum sengketa pagi.
Aku letih membenci, katanya.
Aduhai perempuan pesolek yang berkaca setiap tiga menit sekali, berikan aku pekan-pekan yang lain. Siapa tahu kelak bisa kukenang sebagai sejarah. Mungkin bersama derai air mata. Mungkin pada setiap jeda tawa. mungkin di beranda mantra bahagia. Bahkan, siapa tahu, birahi bulan sepotong membawanya pulang.
Aku letih mencari cinta, katanya, yang bertemu semata derita.
Depok, Desember 2008
Sajak Perempuan Pesolek
Oleh Khrisna Pabichara
Aduhai perempuan pesolek yang berkaca setiap tiga menit sekali, berikan aku hari-hari lain. Siapa tahu kelak bisa kusulam sebagai ingatan. Mungkin dalam syair nyanyian. Mungkin serupa sajak-sajak bersayap. Mungkin lewat rapal perih doa. Bahkan, siapa tahu, lewat mimpi basah sebelum sengketa pagi.
Aku letih membenci, katanya.
Aduhai perempuan pesolek yang berkaca setiap tiga menit sekali, berikan aku pekan-pekan yang lain. Siapa tahu kelak bisa kukenang sebagai sejarah. Mungkin bersama derai air mata. Mungkin pada setiap jeda tawa. mungkin di beranda mantra bahagia. Bahkan, siapa tahu, birahi bulan sepotong membawanya pulang.
Aku letih mencari cinta, katanya, yang bertemu semata derita.
Depok, Desember 2008
Label:
Harian Fajar,
khrisna pabichara,
sajak
[ARTIKEL MOTIVASI] Paksa, Cinta, dan Pe-De
Catatan: Tulisan ini disajikan untuk mengisi Rubrik Okelearning di www.inioke.com.
PAKSA, CINTA, DAN PE-DE
Oleh Khrisna Pabichara
SUATU KETIKA, Henry Ford berkata, “Berpikir itu pekerjaan yang paling berat, itulah sebabnya hanya sedikit orang yang menyenanginya.” Akan tetapi, tidak mengapa, selama di antara orang yang sedikit itu: Kamu ada. Artinya, kamu termasuk yang senang berpikir. Dan, senang belajar.
Ada dua kekayaan besar dalam dirimu. Apabila keduanya digunakan dengan tepat secara maksimal, akan “mengejutkan” kamu. Bahkan, boleh jadi, kamu tidak menduga bisa melakukannya. Kedua kekayaan itu adalah otak dan hati. Pertanyaan pertama yang perlu kamu ajukan: Bagaimana mendayagunakan (empowerment) kedua kekayaan itu? Jawabannya sederhana: paksa dan cinta. Paksa otakmu untuk terus berpikir dengan cara yang menyenangkan. Dan, tanamkan cinta pengetahuan di hatimu. Itulah rahasianya.
Jangan harap kamu bisa disiplin tanpa keberanian memaksa dirimu untuk mematuhi jadwal atau rencana belajar yang sudah ditetapkan. Jangan bermimpi kamu dapat menguasai pelajaran tertentu, bahkan semua mata pelajaran, jika kamu tidak mencintai pelajaran itu.
Tanamkan Rasa Percaya Diri
APAKAH kamu pernah membayangkan dirimu berdiri di atas panggung, mengikuti acara pengalungan medali, karena kamu saat itu menjadi salah satu pemenang Olimpiade Matematika? Pernahkah kamu berharap nilai-nilai Ujian Nasional sangat baik dan “mencengangkan”, sehingga kamu diterima di Perguruan Tinggi idaman? Apakah kamu berharap mendapat “kejutan” berupa hadiah dambaan dari orangtuamu, karena prestasimu yang “luar biasa” di sekolah?
Dengan dua rahasia besar di atas, paksa dan cinta, kamu bisa menggali potensi kekayaanmu—otak dan hati— untuk mewujudkan impian-impian di atas. Jangan mengerdilkan dirimu dengan kalimat-kalimat negatif, seperti: “Ah, aku cuma ini anak petani, tidak mungkin jago biologi.” Itu salah besar. Justru karena kamu anak petani, yang setiap hari bergelut di dunia hayati, kamu memiliki peluang lebih besar menjadi ahli biologi. Mengapa? Kamu bisa melakukan banyak hal, seperti praktek pencangkokan tanaman, pembuatan kompos, uji-coba pakan ternak, dan praktek-praktek lain yang dapat melapangkan jalanmu.
Ingat, selalu terbuka beragam peluang yang dapat memudahkan kamu meraih apa pun yang kamu inginkan.
Mulai sekarang, singkirkan semua pikiran-pikiran negatif yang menghambat laju prestasimu. Jangan terpengaruh pada cibiran atau cemoohan orang-orang di sekitarmu. Thomas Alva Edison dicap “idiot” oleh teman-teman sekolah dan guru-gurunya, bahkan dikeluarkan dari sekolahnya. Apakah Edison putus asa? Tidak! Ia tetap percaya diri. Lalu, ia giat belajar dan melakukan banyak percobaan. Berat memang, tapi akibat yang diterimanya pun “luar biasa”. Edison berhasil memegang ribuan hak paten sebagai “buah” dari keyakinan hatinya itu.
Kamu memiliki “segala syarat” yang dibutuhkan untuk menjadi pembelajar cemerlang. Kamu memiliki “semua kapasitas” untuk menjadi Sang Juara. Sekarang, semuanya bergantung pada bagaimana kamu melihat diri sendiri, memperlakukan diri sendiri, dan memanfatkan talenta “bawaan lahir” yang kamu miliki. Inti dari semuanya adalah “percaya diri”. Ya. Kamu harus percaya pada diri dan kemampuanmu. Jika Anda sendiri tidak percaya, bagaimana orang lain mau memercayai kemampuanmu?
Jadi, setelah paksa dan cinta, Anda harus percaya diri.
Jakarta, Januari 2010
PAKSA, CINTA, DAN PE-DE
Oleh Khrisna Pabichara
SUATU KETIKA, Henry Ford berkata, “Berpikir itu pekerjaan yang paling berat, itulah sebabnya hanya sedikit orang yang menyenanginya.” Akan tetapi, tidak mengapa, selama di antara orang yang sedikit itu: Kamu ada. Artinya, kamu termasuk yang senang berpikir. Dan, senang belajar.
Ada dua kekayaan besar dalam dirimu. Apabila keduanya digunakan dengan tepat secara maksimal, akan “mengejutkan” kamu. Bahkan, boleh jadi, kamu tidak menduga bisa melakukannya. Kedua kekayaan itu adalah otak dan hati. Pertanyaan pertama yang perlu kamu ajukan: Bagaimana mendayagunakan (empowerment) kedua kekayaan itu? Jawabannya sederhana: paksa dan cinta. Paksa otakmu untuk terus berpikir dengan cara yang menyenangkan. Dan, tanamkan cinta pengetahuan di hatimu. Itulah rahasianya.
Jangan harap kamu bisa disiplin tanpa keberanian memaksa dirimu untuk mematuhi jadwal atau rencana belajar yang sudah ditetapkan. Jangan bermimpi kamu dapat menguasai pelajaran tertentu, bahkan semua mata pelajaran, jika kamu tidak mencintai pelajaran itu.
Tanamkan Rasa Percaya Diri
APAKAH kamu pernah membayangkan dirimu berdiri di atas panggung, mengikuti acara pengalungan medali, karena kamu saat itu menjadi salah satu pemenang Olimpiade Matematika? Pernahkah kamu berharap nilai-nilai Ujian Nasional sangat baik dan “mencengangkan”, sehingga kamu diterima di Perguruan Tinggi idaman? Apakah kamu berharap mendapat “kejutan” berupa hadiah dambaan dari orangtuamu, karena prestasimu yang “luar biasa” di sekolah?
Dengan dua rahasia besar di atas, paksa dan cinta, kamu bisa menggali potensi kekayaanmu—otak dan hati— untuk mewujudkan impian-impian di atas. Jangan mengerdilkan dirimu dengan kalimat-kalimat negatif, seperti: “Ah, aku cuma ini anak petani, tidak mungkin jago biologi.” Itu salah besar. Justru karena kamu anak petani, yang setiap hari bergelut di dunia hayati, kamu memiliki peluang lebih besar menjadi ahli biologi. Mengapa? Kamu bisa melakukan banyak hal, seperti praktek pencangkokan tanaman, pembuatan kompos, uji-coba pakan ternak, dan praktek-praktek lain yang dapat melapangkan jalanmu.
Ingat, selalu terbuka beragam peluang yang dapat memudahkan kamu meraih apa pun yang kamu inginkan.
Mulai sekarang, singkirkan semua pikiran-pikiran negatif yang menghambat laju prestasimu. Jangan terpengaruh pada cibiran atau cemoohan orang-orang di sekitarmu. Thomas Alva Edison dicap “idiot” oleh teman-teman sekolah dan guru-gurunya, bahkan dikeluarkan dari sekolahnya. Apakah Edison putus asa? Tidak! Ia tetap percaya diri. Lalu, ia giat belajar dan melakukan banyak percobaan. Berat memang, tapi akibat yang diterimanya pun “luar biasa”. Edison berhasil memegang ribuan hak paten sebagai “buah” dari keyakinan hatinya itu.
Kamu memiliki “segala syarat” yang dibutuhkan untuk menjadi pembelajar cemerlang. Kamu memiliki “semua kapasitas” untuk menjadi Sang Juara. Sekarang, semuanya bergantung pada bagaimana kamu melihat diri sendiri, memperlakukan diri sendiri, dan memanfatkan talenta “bawaan lahir” yang kamu miliki. Inti dari semuanya adalah “percaya diri”. Ya. Kamu harus percaya pada diri dan kemampuanmu. Jika Anda sendiri tidak percaya, bagaimana orang lain mau memercayai kemampuanmu?
Jadi, setelah paksa dan cinta, Anda harus percaya diri.
Jakarta, Januari 2010
Label:
khrisna pabichara,
motivasi,
www.inioke.com
[SAJAK] Lelaki Paling Puisi
Lelaki Paling Puisi
Aku, lelaki paling sepi, menyelam ke perut
laut. Memetik ingatan mencari kenang yang dulu
karam di cangkang karang. Mengeruk arus. Menandai
wajah ibu: Ada rindu terdampar di pantai. Berkali-kali. Hari ini,
kubangun rumah pasir. Membayangkan Ibu duduk tenang di salah
satu lengang ruang, menyulam rabuk perahu yang lapuk ditulah usia.
Tapi gelombang selalu menyapu rumah itu, bahkan sebelum aku usai
memasang atapnya.
Aku, lelaki paling puisi, melepas matahari ke rahim
laut. Tak ada lagi senja atau camar yang riang mengajak pulang.
Sepanjang siang aku menjala kenangan: Ibu, dulu dirimbun bakau,
aku selalu membuang risau. Sekarang, sunyi: Menghitung sesak.
Bogor, Agustus 2008
khrisna pabichara
Sajak ini hasil daur ulang pada tipografi
Aku, lelaki paling sepi, menyelam ke perut
laut. Memetik ingatan mencari kenang yang dulu
karam di cangkang karang. Mengeruk arus. Menandai
wajah ibu: Ada rindu terdampar di pantai. Berkali-kali. Hari ini,
kubangun rumah pasir. Membayangkan Ibu duduk tenang di salah
satu lengang ruang, menyulam rabuk perahu yang lapuk ditulah usia.
Tapi gelombang selalu menyapu rumah itu, bahkan sebelum aku usai
memasang atapnya.
Aku, lelaki paling puisi, melepas matahari ke rahim
laut. Tak ada lagi senja atau camar yang riang mengajak pulang.
Sepanjang siang aku menjala kenangan: Ibu, dulu dirimbun bakau,
aku selalu membuang risau. Sekarang, sunyi: Menghitung sesak.
Bogor, Agustus 2008
khrisna pabichara
Sajak ini hasil daur ulang pada tipografi
Sabtu, 23 Januari 2010
[TELISIK SASTRA] Kuasa Cinta Penari Brittany
Catatan: Tulisan ini dimuat di Jurnal Bogor [Minggu, 24/01/2010]
KUASA CINTA PENARI BRITTANY
Oleh Khrisna Pabichara
PADA MULANYA benak saya digayuti syak-wasangka saat pertama kali membaca novel The Music Box of Love. Betapa tidak, bagaimana mungkin pengarang yang tak pernah bermukim dalam rentang waktu lama di Britania Raya, bisa menuliskan mitos di kawasan Eropa Utara dengan sangat fasih? Tapi semuanya menguap bersama tuntasnya hajat pembacaan novel anggitan Rizu Hanika itu. Saya disuguhi kisah klasik Britania—legenda Arthur—dengan racikan konflik dan benturan alur yang sarat daya kejut.
Cerita bermula dari hasrat Ivory hengkang dari “kuasa lalim” nenek tirinya, Mrs. Maeve Wuningwell. Kejahatan sistemik berbalut cinta-kasih dilakukan neneknya untuk menguasai warisan keluarganya. Namun, waktu akhirnya menjawab segalanya. Satu demi satu selubung rahasia tersingkap. Misteri kematian ayah dan ibunya mulai bersua celah terang. Nenek yang semula “Nenek Sang Sahabat” menjadi “Nenek Sang Musuh”. Tapi hasrat membebaskan diri tidaklah mudah dilakoninya. Neneknya adalah seorang cenayang yang piawai memainkan segala jenis tipu-muslihat.
Kasih sayang yang melingkupi masa kecil Ivory semuanya bersumber dari Sang Nenek. Ia pun terjebak dalam pergulatan batin antara kuasa cinta dan hajat merdeka. Jika ingin lepas dari jerat sihir neneknya, ia harus berani melenyapkan perempuan misterius yang telah mengasuh dan membesarkannya sejak masa kanak. Dan, itu mustahil. Meski akhirnya hasrat merdeka bisa mengalahkan kuasa cinta itu. Ivory pun bertualang memburu benda keramat—kotak musik berisi Boneka Penari Brittany. Petualangan itu menyeret Ivory ke Muara Kesumba, kampung kecil di Kalimantan Timur. Di sana ia bersua dengan Varuna, tokoh lain yang pernah menggunakan jasa Boneka Brittany untuk menghabisi keluarganya.
Kisah pun bergerak dinamis memilin kepingan-kepingan peristiwa yang seolah lepas berdiri sendiri, tidak terkait antara peristiwa satu dengan yang lainnya. Kenikmatan pembacaan itu memuncak saat Ivory memutuskan kembali ke Kastil Rhuneborough demi menuntaskan hajat melenyapkan kesuraman hidupnya. Namun Kuasa Cinta meluluhkan hatinya. Boneka Brittany pun tak sempat menjalankan aksinya. Padahal, setiap kotak musik terbuka, satu nyawa mesti disiapkan sebagai tumbal.
Begitulah, Rizu—alumnus Sastra Jepang UI, menciptakan tokoh dengan pelbagai karakter dan latar budaya berbeda. Penamaan tokohnya pun tidak dilakukan serampangan. Ivory bermakna gading, Baruna—dari bahasa Sansekerta—berarti penguasa samudra, begitupun tokoh lain yang dinamai khas dan unik. Selain itu, kecerdasan meracik-ulang legenda Arthur—kisah cinta tragis Tristan dan Iseult—yang kerap didedahkan sastrawan, semisal Thomas Malory yang menulis Le Morte d’Arthur (1469), menjadi warna lain novel ini. Seperti dikabarkan Maman S. Mahayana, alur novel ini tertata dengan apik. Namun, ihwal itu berpeluang “menyesatkan” atau “menyenangkan” pembaca. Menyesatkan karena alur yang digunakan tidak lazim—lebih mirip novel terjemahan. Menyenangkan karena novel ini menyajikan nilai-nilai spiritual yang didaras secara samar di sela ketegangan demi ketegangan yang “menyihir”.
Bilamana lelaku pengarangnya hanya memindahkan wajah legenda sebagaimana yang tersurat saja—dan mengabaikan yang tersirat—maka novel ini pastilah menjemukan. Tapi Rizu cergas menyelusupkan pesan inspiratif yang “menggugah” sebagai sebuah ikhtiar mengajak pembaca memasuki lorong permenungan. Sebut misalnya ajakan memaknai amarah agar tidak lagi disembuhkan melalui serentet pembalasan dendam belaka. Atau cara keluar dari penjara kepasrahan dan kungkungan ketakberdayaan. Juga hikmah ihwal bagaimana berguru pada pengalaman—membaca gejala dan peluang—sehingga kita mampu meletakkannya sebagai cermin kesadaran.
Kuasa Cinta yang ditawarkan Rizu adalah hajat emosional—di sampul depan tertulis: membunuh adalah bagian dari cinta—yang dapat membantu kita melepaskan diri dari nafsu membunuh itu sendiri. Ya, Cinta tetap harus dikaitkan dengan dorongan hidup, baik untuk sekadar “bertahan hidup” maupun untuk “hidup lebih baik”. Meskipun pilihan tematiknya terbilang berat, Rizu berhasil menata kepingan peristiwa dengan laras di penghujung cerita. Di tangannya, jelajah prosaik yang "asing" tergarap dengan laku penuturan yang mudah dicerna. Alhasil, novel ini tidak melulu bisa dinikmati penyuka sastra belaka, tapi juga dapat digandrungi peminat cerita fiksi umumnya. Maka, ujaran Bamby Cahyadi bahwa Rizu bisa bertumbuh menjadi tandingan Shidney Sheldon dan Tolkien, suatu ketika bisa menjadi “sesuatu” yang tidak mengada-ada.
Dengan demikian, menjawab syak-wasangka saya di awal tulisan ini, tidaklah mesti kita ke bulan jika kita ingin menuliskan sesuatu tentang bulan. Begitulah. Riset serius dan lelaku mengamati selama dilakoni dengan tekun, dapat membantu kita melahirkan cerita yang “memikat” dan “menyihir”.
Khrisna Pabichara, bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.
KUASA CINTA PENARI BRITTANY
Oleh Khrisna Pabichara
PADA MULANYA benak saya digayuti syak-wasangka saat pertama kali membaca novel The Music Box of Love. Betapa tidak, bagaimana mungkin pengarang yang tak pernah bermukim dalam rentang waktu lama di Britania Raya, bisa menuliskan mitos di kawasan Eropa Utara dengan sangat fasih? Tapi semuanya menguap bersama tuntasnya hajat pembacaan novel anggitan Rizu Hanika itu. Saya disuguhi kisah klasik Britania—legenda Arthur—dengan racikan konflik dan benturan alur yang sarat daya kejut.
Cerita bermula dari hasrat Ivory hengkang dari “kuasa lalim” nenek tirinya, Mrs. Maeve Wuningwell. Kejahatan sistemik berbalut cinta-kasih dilakukan neneknya untuk menguasai warisan keluarganya. Namun, waktu akhirnya menjawab segalanya. Satu demi satu selubung rahasia tersingkap. Misteri kematian ayah dan ibunya mulai bersua celah terang. Nenek yang semula “Nenek Sang Sahabat” menjadi “Nenek Sang Musuh”. Tapi hasrat membebaskan diri tidaklah mudah dilakoninya. Neneknya adalah seorang cenayang yang piawai memainkan segala jenis tipu-muslihat.
Kasih sayang yang melingkupi masa kecil Ivory semuanya bersumber dari Sang Nenek. Ia pun terjebak dalam pergulatan batin antara kuasa cinta dan hajat merdeka. Jika ingin lepas dari jerat sihir neneknya, ia harus berani melenyapkan perempuan misterius yang telah mengasuh dan membesarkannya sejak masa kanak. Dan, itu mustahil. Meski akhirnya hasrat merdeka bisa mengalahkan kuasa cinta itu. Ivory pun bertualang memburu benda keramat—kotak musik berisi Boneka Penari Brittany. Petualangan itu menyeret Ivory ke Muara Kesumba, kampung kecil di Kalimantan Timur. Di sana ia bersua dengan Varuna, tokoh lain yang pernah menggunakan jasa Boneka Brittany untuk menghabisi keluarganya.
Kisah pun bergerak dinamis memilin kepingan-kepingan peristiwa yang seolah lepas berdiri sendiri, tidak terkait antara peristiwa satu dengan yang lainnya. Kenikmatan pembacaan itu memuncak saat Ivory memutuskan kembali ke Kastil Rhuneborough demi menuntaskan hajat melenyapkan kesuraman hidupnya. Namun Kuasa Cinta meluluhkan hatinya. Boneka Brittany pun tak sempat menjalankan aksinya. Padahal, setiap kotak musik terbuka, satu nyawa mesti disiapkan sebagai tumbal.
Begitulah, Rizu—alumnus Sastra Jepang UI, menciptakan tokoh dengan pelbagai karakter dan latar budaya berbeda. Penamaan tokohnya pun tidak dilakukan serampangan. Ivory bermakna gading, Baruna—dari bahasa Sansekerta—berarti penguasa samudra, begitupun tokoh lain yang dinamai khas dan unik. Selain itu, kecerdasan meracik-ulang legenda Arthur—kisah cinta tragis Tristan dan Iseult—yang kerap didedahkan sastrawan, semisal Thomas Malory yang menulis Le Morte d’Arthur (1469), menjadi warna lain novel ini. Seperti dikabarkan Maman S. Mahayana, alur novel ini tertata dengan apik. Namun, ihwal itu berpeluang “menyesatkan” atau “menyenangkan” pembaca. Menyesatkan karena alur yang digunakan tidak lazim—lebih mirip novel terjemahan. Menyenangkan karena novel ini menyajikan nilai-nilai spiritual yang didaras secara samar di sela ketegangan demi ketegangan yang “menyihir”.
Bilamana lelaku pengarangnya hanya memindahkan wajah legenda sebagaimana yang tersurat saja—dan mengabaikan yang tersirat—maka novel ini pastilah menjemukan. Tapi Rizu cergas menyelusupkan pesan inspiratif yang “menggugah” sebagai sebuah ikhtiar mengajak pembaca memasuki lorong permenungan. Sebut misalnya ajakan memaknai amarah agar tidak lagi disembuhkan melalui serentet pembalasan dendam belaka. Atau cara keluar dari penjara kepasrahan dan kungkungan ketakberdayaan. Juga hikmah ihwal bagaimana berguru pada pengalaman—membaca gejala dan peluang—sehingga kita mampu meletakkannya sebagai cermin kesadaran.
Kuasa Cinta yang ditawarkan Rizu adalah hajat emosional—di sampul depan tertulis: membunuh adalah bagian dari cinta—yang dapat membantu kita melepaskan diri dari nafsu membunuh itu sendiri. Ya, Cinta tetap harus dikaitkan dengan dorongan hidup, baik untuk sekadar “bertahan hidup” maupun untuk “hidup lebih baik”. Meskipun pilihan tematiknya terbilang berat, Rizu berhasil menata kepingan peristiwa dengan laras di penghujung cerita. Di tangannya, jelajah prosaik yang "asing" tergarap dengan laku penuturan yang mudah dicerna. Alhasil, novel ini tidak melulu bisa dinikmati penyuka sastra belaka, tapi juga dapat digandrungi peminat cerita fiksi umumnya. Maka, ujaran Bamby Cahyadi bahwa Rizu bisa bertumbuh menjadi tandingan Shidney Sheldon dan Tolkien, suatu ketika bisa menjadi “sesuatu” yang tidak mengada-ada.
Dengan demikian, menjawab syak-wasangka saya di awal tulisan ini, tidaklah mesti kita ke bulan jika kita ingin menuliskan sesuatu tentang bulan. Begitulah. Riset serius dan lelaku mengamati selama dilakoni dengan tekun, dapat membantu kita melahirkan cerita yang “memikat” dan “menyihir”.
Khrisna Pabichara, bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.
Selasa, 19 Januari 2010
[TELISIK SASTRA] Napas Kepenyairan: Sebuah Epilog
Catatan: Epilog ini ditulis untuk menyertai penerbitan Antologi Puisi Lekas.
NAPAS KEPENYAIRAN: SEBUAH EPILOG
Oleh KHRISNA PABICHARA
I
TIDAK ADA jalan pintas menjadi penyair. Siapa saja yang berhasrat menjadi penyair, harus membangun intelegensia dan kepekaan. Harus rajin mengendapkan rasa dan membuka diri agar kecerdasan estetika masuk sebanyak-banyaknya. Harus disiplin dan berani mengambil risiko melatih kecerdasan gramatikal secara bertahap—setapak demi setapak. Harus bernyali untuk mematut gaya kepenyairan lewat beragam eksperimen. Tak boleh mengenal kata berhenti. Tak layak berpuas diri. Setiap hari mengasah pena. Biar lebih padat, lebih sarat. Biar bersua dengan kekhasan dan kesadaran estetika yang tidak semata menjadi epigon yang manut pada pendahulunya.
Terlepas dari hajat penciptaannya, setiap puisi menjadi pertaruhan bagi penyair untuk menawarkan kebermaknaan bagi khalayak pembacanya. Sebuah puisi seyogianya adalah sodoran tumpukan kata dengan kejernihan dan kedalaman makna. Semakin digali semakin bernilai. Bukan semata “makna kias” (makna yang bukan makna sebenarnya, melainkan mengiaskan sesuatu), tetapi juga “makna afektif” (makna yang berkenaan dengan emosi, perasaan, atau keadaan), dan “makna leksikal” (makna perlambangan benda atau peristiwa).
Dengan rendah hati saya menyatakan bahwa dari sanalah bermula keyakinan: Tidak mudah menjadi penyair. Ibarat dokter spesialis bedah, penyair harus memiliki kepekaan dan keahlian menyayat atau merobek kata demi kata, lalu merajutnya kembali dengan penuh pikat sembari meniupkan “ruh estetika” kepadanya, agar karyanya terbaca dan dapat dinamai puisi. Jika diamsalkan lari marathon, penyair adalah pelari yang piawai menjaga dan mengatur “napas kepenyairan”. Antologi atau pembukuan puisi bukanlah terminal akhir yang hendak dituju, melainkan tonggak awal yang menandai sejarah kepenyairannya. Tak ada kata “pensiun” bagi penyair selama nyawa masih menyatu dengan raganya. Ia selalu bertumbuh bersama kata. Selalu, dan selalu.
Jelaslah kiranya betapa beratnya beban yang dipikul para penyair. Ia mengemban amanat perubahan sosial dan kultural dalam masyarakat yang melahirkannya. Seperti tutur Damhuri Muhammad, “Beban penyair sama halnya dengan tanggung jawab para nabi yang dengan teks-teks suci memikul risalah guna menyempurnakan watak dan moralitas umat.” Ini bukan upaya menakut-nakuti. Ini semata ajakan agar kita—dan siapa saja—yang berhajat jadi penyair: serius melakoni lelaku kepenyairannya. Itu saja. Tak lebih, tak kurang.
II
Judul buku ini, Antologi Puisi Lekas. Selayaknya antologi lain, buku ini adalah kumpulan puisi beberapa “penyair” yang—pada mulanya menjadikan puisi sebagai kegemaran belaka, lalu—berniat menjadi penyair beneran. Terlepas dari kekuatan dan kelebihan puisi yang dirangkum dalam buku ini, tampak keseriusan para punggawa LEKAS dalam menggamit dan mengumpulkan puisi demi puisi. Wilayah mukim yang berjauhan, rentang usia dan latar pendidikan yang beragam, serta profesi yang tidak sama, menjadi titik-tolak keberagaman. Intensitas dan konsintensi berpuisi juga mengayakan warna buku ini. Tidak heran jika kita bersua puisi yang kuat—dari sudut intrinsik maupun ekstrinsik—setelah kita berlalu dari puisi yang “masih” butuh pengendapan dan pendalaman.
Lumrahnya, antologi puisi diikat oleh satu simpul tema. Atau, karakter penulisan yang selaras antarpuisi. Namun hal itu tidak tersua pada antologi ini. Tema garapan beragam. Karakter dan gaya berpuisi pun beragam. Dari keberagaman itulah saya memulakan silaturrahmi pembacaan.
III
KEGELISAHAN. Inilah undak pertama yang saya pijak dalam pembacaan antologi ini. Kesan pertama yang saya temukan ketika membaca buku ini adalah kegelisahan, rasanya seperti menyaksikan geliat tak berkesudahan dari seorang yang tak terpuaskan oleh keadaan. Tentu saja ini bukan sesuatu yang baru. Banyak penyair yang lebih dulu mendedahkan kegelisahan ke dalam puisi-puisinya. Dan, beberapa di antaranya memperlihatkan gejala keterpengaruhan. Meskipun ada juga yang berusaha menempatkan diri dalam bayang-bayang generasi terdahulu. Bagi saya, ini sah-sah saja. Tak ada seorang pun yang bisa lolos dari pengaruh orang lain.
Pada mulanya saya terkikik membaca puisi “pecicilan” khas Poncowae Lau. Dalam puisi Perintis Kemerdekaan misalnya.
perintis kemerdekaan?
; ya!
tinggal lurus saja
ketemu perempatan belok kiri.
Luar biasa, dengan lugas Ponco meneguhkan kesan keterpinggiran para pahlawan “perintis kemerdekaan”. Nama-nama para pahlawan itu semata dipajang di setiap mulut jalan atau rahang gang. Bahkan, ada beberapa keluarga pahlawan itu yang hidup “senin-kamis”. Puisi ini reflektif, tapi menggelitik kesadaran kita dengan lembut dan santun.
Hal sama juga dikabarkan oleh Jejak Sandi. Melalui Malam Sepotong Harapan, Sandi merekam kegelisahan hatinya pada hitam—warna yang diyakininya sebagai perlambang malam pekat.
”aku takut, maria, aku takut!”
(dalam kegelapan betapa butanya aku
betapa kosongnya aku)
Dengan enteng ia mengakui ketakutannya pada gelap. Ada nada getir dan pahit dari cara Sandi memainkan imaji. Kata-kata yang ditautkannya mewakili ketakberdayaan, kelemahan, dan ketaksanggupan. Dengan unik, Sandi mengajak kita mengeja kegelisahan itu, menyeret kita masuk ke dalam pengalaman yang menyehari. Puisi-puisi Jejak Sandi yang lain pun menyiratkan keseriusan seorang “pendatang baru” di kancah perpuisian kita. Sebut misalnya puisi Kisah Sunyi.
dengan bulan aku berbagi
sisanya kubur sunyi
mencekik.
Lantas, tersaji pula puisi-puisi MH Poetra. Dengan langgam tipografi yang tak lumrah, ia menganggit puisi Hujan dalam Doa. Huruf demi huruf ditata sedemikian rupa hingga membentuk sosok yang sedang bertelimpuh, asyik-masyuk mengumandangkan munajat hati.
maka beri aku tempat bernaung, di mana
Kau sendiri bernaung. sebelum nanti,
aku meninggi, antara kita tak terbatas.
Poetra seakan menegaskan kebiasaan manusia (sebagai hamba) dalam melantunkan doa kepada Tuhannya (sebagai Tuan)—yang kerap sangat sulit dibedakan antara “meminta” atau “menyuruh”. Begitu pula dalam puisi Sepenggal Kisah Haru. Poetra menerang-jelaskan kegelisahan hatinya. Seolah memanggungkan keseharian kita yang sering mengecap luka dengan sengaja, lalu memintalnya sebagai kenangan yang tak lekang dari ingatan.
sehari ini kita bermuka-muka
bercakap-cakap lewat luka
aku ini karat, bukan pusaka
masih meminta diri, padamu punya hati.
Ia membangun keliaran eksperimentasi bentuk dalam meneroka jalan kepenyairannya.
Demikian halnya dengan Tri Wahyuni. Ia membingkai kegelisahan hatinya dengan figura puisi yang “nakal”. Ia menyentil dengan takzim lewat puisi Kuciptakan Sajak Ini Untukmu. Ada napas Rendra dan Widji dalam “ruh” puisinya. Tetapi itulah pilihannya. Baginya kegelisahan itu harus diungkapkan, karena jika dierami berhari-hari bakal menjadi virus yang menggerogoti hati.
Kau bangun istana termegah
Pada lahan-lahan yang gersang
Lalu gedung menjulang
Menimbun petani bersama ladangnya.
Apalagi yang tersisa jika sumber penghidupan dimatikan dengan sengaja? Begitulah kabar yang dideklarasikan oleh Yuni.
Dan, kegelisahan itu memuncak pada puisi Bolehkah Aku Menitip Bangkai? yang digubah oleh Arie Oktara. Ia dengan cergas menguarkan kegelisahannya menyaksikan rumah ibadat hanya menjadi panggung puja-puji semata, hanya sekadar upacara pengguguran kewajiban, dan kehilangan kekhidmatan dan kesakralannya.
Bolehkah aku titipkan bangkai?
Bangkai Tuhan
aku dapat dari surau,
sedang meratapi mimbar.
Simbol-simbol diletakkannya dalam puisi ini: bangkai-Tuhan-surau-mimbar. Kesemuanya menisbahkan rutinitas upacara keagamaan.
Kegelisahan yang dikabarkan oleh Ponco, Sandi, Poetra, Yuni, dan Oktara adalah gambaran realitas kehidupan yang tampak sedemikian nyata.
IV
KEYAKINAN. Kesan kedua yang saya rasakan seusai pembacaan buku ini adalah keyakinan. Febimiss seolah menempatkan diri sebagai penyair romantik yang mengumandangkan puisinya sebagai “pusat” getaran jiwa terdalam, dengan keyakinan sebagai saripati imannya. Ia meyakini bahwa puisi tidak mengusung makna afektif yang bertautan dengan perasaan, tetapi juga sekaligus sebagai alat efektif untuk menelusupkan semangat, gairah, dan kepedulian. Pada puisi Bila misalnya, Febimiss mendedahkan kegigihannya menjaga keyakinan hidup.
Bila rawa bermuram durja
Sungai ‘kan setia dengarkan keluh kesah.
Seperti halnya Febimiss, Damai Prasetyo pun menyampaikan pesan lewat kemasan yang “disamarkan”. Ia seolah mengajak kita untuk menemukan hakikat Cinta, ketika kegelisahan, kemarahan, keputusasaan, bahkan ketakberdayaan menerpa kita, Damai mengajak kita berpulang pada Cinta. Dengan Cinta: yang berat akan terasa ringan, yang rumit akan menjadi indah. Yakinlah, dengan cinta yang buram akan menjadi benderang. Begitulah ia sampaikan secara terselubung melalui puisi Cinta Pun Berpulang.
Cinta pun tetap berpulang
Bahkan ketika ia adalah satu-satunya alasan.
Metafora adalah salah satu kelengkapan puisi. Eko Putra membingkai keteguhan hatinya lewat metafora. Ia beramsal tentang kegigihan yang tak boleh punah karena terjangan rintangan. Hal itu dianggitnya dalam puisi Lelaki Penunggu Sungai.
kucari lagi kearifan bersama musim dan pasang
tapi perahu tak lagi mendayung lajuku
ke muara.
Kita tak boleh berhenti mencari dan menemukan hajat pribadi, impian yang kita dambakan. Kita harus terus bergerak, meski situasi paling sulit menerjang dari segenap peenjuru. Tak mengapa laju perahu terhenti, kita masih bisa terjun ke sungai, lalu berenang ke muara. Seperti itulah pesan tersirat yang hendak dikabarkan olehnya.
Sementara itu, Faradina Izdhihary mendaraskan keyakinan ke dalam puisinya, Takdirmu. Baginya, takdir itu terletak di tangan kita. Itulah mengapa sehingga ada istilah “suratan tangan” yang bisa diterjemahkan sebagai “sesuatu yang tersurat di tangan”. Dengan lirih Faradina mengungkapkan keyakinannya.
di tanganmu tulisan takdir
melebihi kepastian
betapa nelayan pasti pulang
menemu suluh
sehabis subuh.
Ia menegaskan bahwa kitalah yang berkuasa atas “perjalanan” nasib kita. Dan, keyakinan itu pula yang akan menggerakkan hasrat untuk segera berbuat, bukan terus-menerus bertelekan tangan menunggu keajaiban.
Begitulah. Febimiss, Damai, Eko, dan Faradina mengawin-silangkan keyakinan dengan kecerdasan puitiknya. Meski masih agak tersendat—dalam keterbatasan pembacaan saya—tapi terlihat keseriusan dalam meracik metafora dan membangun tamsil.
V
KEBAHAGIAAN. Inilah kesan ketiga yang mengendap di benak saya. Setiap kita pasti merindukan kebahagiaan. Tak ada seorang pun yang menghendaki hidupnya didera rupa-rupa derita. Boleh jadi apa yang kita impikan belum tercapai, tidak berarti kita harus mencaci-maki diri sendiri. Boleh saja segala hal yang kita dambakan belum tercukupi, namun bukan alasan untuk menyalahkan diri sendiri. Bahkan dalam kegagalan kita bisa merasa bahagia. Setidaknya karena kita sudah berbuat.
Pada puisi Geliat, Delima Lestari Widya menyampirkan rasa bahagia secara eksplisit—gamblang, terang-terangan, dan tidak ditutup-tutupi.
pijar mataku oleh kenikmatan
tercapai apa yang belum kudapatkan.
Pencapaian terbaik bukanlah pada hasil akhir, melainkan pada proses. Melalui proses itu pula kita belajar menemukan eksistensi diri. Dengan proses kita akan terus menggeliat, bergerak maju, dan belajar dari rangkaian kesalahan. Tanpa itu, kenikmatan rasa bahagia akan tereduksi.
Hakikatnya, puisi bisa menjadi apa saja. Ia bisa menjadi mesin pencatat, baik peristiwa penting maupun hal paling remeh. Ia bisa menjadi perekam ingatan, baik sejarah maupun lelaku keseharian. Begitulah yang didaras oleh Fatimah lewat puisi Keajaiban Cinta (2). Dengan penuh gelora ia menyatakan kebahagiaannya: laksana bayi yang ketemu mainan kegemarannya.
ajaib, begitu ajaib menggelorakan percik-percik impianku
hingga menjelma samudra harapan yang menjadi nyata.
Dan, aku lirik dalam puisi ini meluapkan kegembiraannya setelah ketersisihan yang dijalaninya menemukan “mutiara”.
Lain halnya dengan Guswar. Coba kita simak petikan yang saya kutip dari puisinya, Ia Bergerak dalam Sebuah Bingkai.
apa yang jadi kemenangan kita
terhadap apa yang disebut diri
sejatinya kita hanyalah kekalahan
namun bergerak dikelilingi kemenangan.
Kita boleh bersuka-ria merayakan kemenangan, tapi jangan sampai lupa diri. Kita tidak perlu menepuk dada atau mendongakkan kepala hanya karena kebahagian yang tumpah-ruah. Kita harus tetap mawas, betapa perjalanan masih teramat panjang.
Begitulah, puisi itu harus hidup. Ia harus mampu menerjemahkan kehidupan. Ia harus berdiri kukuh berdampingan dengan kenyataan, muasal puisi itu sendiri. Delima, Fatimah, dan Guswar telah berusaha keras agar puisi tidak terasing dari kenyataan kehidupan itu.
VI
KEGIGIHAN. Ini antonim dari ketakberdayaan. Begitulah kesan keempat yang menyapa jiwa saya. Kesan itu saya temukan ketika menyambangi puisi Nyanyi Sumbang Anak Pinggiran karya Imron Tohari. Ia tak menembukkan harapannya pada tembok beton, tapi menajamkan hatinya untuk terus mencari solusi.
Di engsel mana
Harus kurekat lagi cita-citaku.
Semestinya begitulah sikap kita, tak berhenti mencoba jalan baru ketika semua jalan buntu. Saya sendiri meyakini bahwa ketika semua pintu tertutup, masih ada jendela sebagai alternatif jalan masuk. Artinya, selalu ada jalan selama kita berani mencoba. Dan, kepasrahan tidak dimaknai sebagai ketakberdayaan, melainkan sebagai penguat hati.
Setelah itu, sandingkan dengan puisi Retak yang dirangkai oleh Lany Sulystiawati. Seperti halnya Imron, Lany juga “tak berhenti mencari”. Hal ini tersirat dalam petikan puisinya.
dalam kaca yang retak jadi serpih
masih kukenali bayang itu
tetap berdiri di tempatnya.
Meskipun agak “membingungkan” ketika saya membaca retak jadi serpih—berapa kali kaca retak dan jadi bubuk—namun saya tetap berusaha menelaah arah capaian makna yang hendak disasar oleh Lany. Jangan berhenti mencari, bahkan dalam cermin retak sekalipun bisa terlihat begitu nyata sosok yang kita cari.
Dengan sedikit ngebanyol, M. Kusuma Al-Franz menutup puisi Tik Tok Tik Tok. Katanya,
tik tok tik tok
Adakah hatimu terketuk?
Sebuah penutup puisi yang sederhana, tetapi di situlah letak kekuatan puisi ini. Di balik kesederhanaan itu tersimpan sebuah alegori tentang kegigihan “aku lirik” dalam memperjuangkan harapannya. Tak ada kata pasrah, tak ada kata menyerah. Sekali-dua kali tak terdengar jawaban, ketuk lagi. Lagi, dan lagi. Berkait dengan puisi di atas, Pandeka Minang pun menawarkan puisi yang beraroma kegigihan, Secangkir Kopi. Suatu saat, ketika kita menemukan secangkir kopi pahit yang tak sesuai dengan selera kita, tak perlu bermuram durja.
”kita tambah saja banyak gula.”
Begitu katanya. Ya, itu jelas. Hidup ini sederhana. Barulah menjadi rumit jika kita merumitkannya.
Dan, kegigihan itu dipuncaki oleh Yayan R. Triyansyah. Ia menyatakannya lewat puisi Perempuan Keberapa. Saya petikkan satu larik dalam puisi itu.
karena pekatnya secangkir kopi di setiap pagi, tak pernah basi
walau sudah malam hari.
Artinya, jangan cemas. Selalu ada waktu untuk berbenah. Apa yang kita anggap sudah usai di siang hari, bisa saja kita perbaiki lagi ketika malam sudah tiba.
Begitulah. Imron, Lany, Franz, Pandeka, dan Yayan telah menggoreskan warna puisinya. Mereka mengusung optimisme dalam menghadapi kenyataan, termasuk yang paling getir, dan menjadikan puisi sebagai “menu spiritualitas” yang inspiratif.
VII
PADA AKHIRNYA, keempat kesan itu—kegelisahan-keyakinan-kebahagiaan-kegigihan—hanyalah bacaan semata. Dan setiap bacaan pastilah menyertakan keterbatasan. Namun, tetap saja kita perlu mencermati bahwa menjadi penyair tak lebih enteng daripada menjadi penyelam. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu berenang, kita harus melengkapi diri dengan peralatan selam. Termasuk di antaranya tabung oksigen, agar kita bisa tahan berjam-jam menikmati keindahan dasar laut. Tapi, itu saja belum cukup. Kita butuh nyali, kita harus berani melawan rasa takut. Selama perlengkapan dan nyali itu belum cukup, jangan berkecil hati, kita masih bisa jadi perenang yang rajin mencuri napas pada setiap ayunan tangan. Sebagai penyair, kita harus rajin membaca. Baik kitab sajak, maupun kitab terbuka di alam sekitar kita.
Lalu, kita camkan kembali fatwa Lao Tze, bahwa langkah ke-1.000 berawal dari langkah pertama. Dan, buku ini barulah langkah pertama.
Jakarta, Januari 2010.
Khrisna Pabichara, motivator kecakapan belajar dan penyuka sastra. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Jakarta, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.
NAPAS KEPENYAIRAN: SEBUAH EPILOG
Oleh KHRISNA PABICHARA
I
TIDAK ADA jalan pintas menjadi penyair. Siapa saja yang berhasrat menjadi penyair, harus membangun intelegensia dan kepekaan. Harus rajin mengendapkan rasa dan membuka diri agar kecerdasan estetika masuk sebanyak-banyaknya. Harus disiplin dan berani mengambil risiko melatih kecerdasan gramatikal secara bertahap—setapak demi setapak. Harus bernyali untuk mematut gaya kepenyairan lewat beragam eksperimen. Tak boleh mengenal kata berhenti. Tak layak berpuas diri. Setiap hari mengasah pena. Biar lebih padat, lebih sarat. Biar bersua dengan kekhasan dan kesadaran estetika yang tidak semata menjadi epigon yang manut pada pendahulunya.
Terlepas dari hajat penciptaannya, setiap puisi menjadi pertaruhan bagi penyair untuk menawarkan kebermaknaan bagi khalayak pembacanya. Sebuah puisi seyogianya adalah sodoran tumpukan kata dengan kejernihan dan kedalaman makna. Semakin digali semakin bernilai. Bukan semata “makna kias” (makna yang bukan makna sebenarnya, melainkan mengiaskan sesuatu), tetapi juga “makna afektif” (makna yang berkenaan dengan emosi, perasaan, atau keadaan), dan “makna leksikal” (makna perlambangan benda atau peristiwa).
Dengan rendah hati saya menyatakan bahwa dari sanalah bermula keyakinan: Tidak mudah menjadi penyair. Ibarat dokter spesialis bedah, penyair harus memiliki kepekaan dan keahlian menyayat atau merobek kata demi kata, lalu merajutnya kembali dengan penuh pikat sembari meniupkan “ruh estetika” kepadanya, agar karyanya terbaca dan dapat dinamai puisi. Jika diamsalkan lari marathon, penyair adalah pelari yang piawai menjaga dan mengatur “napas kepenyairan”. Antologi atau pembukuan puisi bukanlah terminal akhir yang hendak dituju, melainkan tonggak awal yang menandai sejarah kepenyairannya. Tak ada kata “pensiun” bagi penyair selama nyawa masih menyatu dengan raganya. Ia selalu bertumbuh bersama kata. Selalu, dan selalu.
Jelaslah kiranya betapa beratnya beban yang dipikul para penyair. Ia mengemban amanat perubahan sosial dan kultural dalam masyarakat yang melahirkannya. Seperti tutur Damhuri Muhammad, “Beban penyair sama halnya dengan tanggung jawab para nabi yang dengan teks-teks suci memikul risalah guna menyempurnakan watak dan moralitas umat.” Ini bukan upaya menakut-nakuti. Ini semata ajakan agar kita—dan siapa saja—yang berhajat jadi penyair: serius melakoni lelaku kepenyairannya. Itu saja. Tak lebih, tak kurang.
II
Judul buku ini, Antologi Puisi Lekas. Selayaknya antologi lain, buku ini adalah kumpulan puisi beberapa “penyair” yang—pada mulanya menjadikan puisi sebagai kegemaran belaka, lalu—berniat menjadi penyair beneran. Terlepas dari kekuatan dan kelebihan puisi yang dirangkum dalam buku ini, tampak keseriusan para punggawa LEKAS dalam menggamit dan mengumpulkan puisi demi puisi. Wilayah mukim yang berjauhan, rentang usia dan latar pendidikan yang beragam, serta profesi yang tidak sama, menjadi titik-tolak keberagaman. Intensitas dan konsintensi berpuisi juga mengayakan warna buku ini. Tidak heran jika kita bersua puisi yang kuat—dari sudut intrinsik maupun ekstrinsik—setelah kita berlalu dari puisi yang “masih” butuh pengendapan dan pendalaman.
Lumrahnya, antologi puisi diikat oleh satu simpul tema. Atau, karakter penulisan yang selaras antarpuisi. Namun hal itu tidak tersua pada antologi ini. Tema garapan beragam. Karakter dan gaya berpuisi pun beragam. Dari keberagaman itulah saya memulakan silaturrahmi pembacaan.
III
KEGELISAHAN. Inilah undak pertama yang saya pijak dalam pembacaan antologi ini. Kesan pertama yang saya temukan ketika membaca buku ini adalah kegelisahan, rasanya seperti menyaksikan geliat tak berkesudahan dari seorang yang tak terpuaskan oleh keadaan. Tentu saja ini bukan sesuatu yang baru. Banyak penyair yang lebih dulu mendedahkan kegelisahan ke dalam puisi-puisinya. Dan, beberapa di antaranya memperlihatkan gejala keterpengaruhan. Meskipun ada juga yang berusaha menempatkan diri dalam bayang-bayang generasi terdahulu. Bagi saya, ini sah-sah saja. Tak ada seorang pun yang bisa lolos dari pengaruh orang lain.
Pada mulanya saya terkikik membaca puisi “pecicilan” khas Poncowae Lau. Dalam puisi Perintis Kemerdekaan misalnya.
perintis kemerdekaan?
; ya!
tinggal lurus saja
ketemu perempatan belok kiri.
Luar biasa, dengan lugas Ponco meneguhkan kesan keterpinggiran para pahlawan “perintis kemerdekaan”. Nama-nama para pahlawan itu semata dipajang di setiap mulut jalan atau rahang gang. Bahkan, ada beberapa keluarga pahlawan itu yang hidup “senin-kamis”. Puisi ini reflektif, tapi menggelitik kesadaran kita dengan lembut dan santun.
Hal sama juga dikabarkan oleh Jejak Sandi. Melalui Malam Sepotong Harapan, Sandi merekam kegelisahan hatinya pada hitam—warna yang diyakininya sebagai perlambang malam pekat.
”aku takut, maria, aku takut!”
(dalam kegelapan betapa butanya aku
betapa kosongnya aku)
Dengan enteng ia mengakui ketakutannya pada gelap. Ada nada getir dan pahit dari cara Sandi memainkan imaji. Kata-kata yang ditautkannya mewakili ketakberdayaan, kelemahan, dan ketaksanggupan. Dengan unik, Sandi mengajak kita mengeja kegelisahan itu, menyeret kita masuk ke dalam pengalaman yang menyehari. Puisi-puisi Jejak Sandi yang lain pun menyiratkan keseriusan seorang “pendatang baru” di kancah perpuisian kita. Sebut misalnya puisi Kisah Sunyi.
dengan bulan aku berbagi
sisanya kubur sunyi
mencekik.
Lantas, tersaji pula puisi-puisi MH Poetra. Dengan langgam tipografi yang tak lumrah, ia menganggit puisi Hujan dalam Doa. Huruf demi huruf ditata sedemikian rupa hingga membentuk sosok yang sedang bertelimpuh, asyik-masyuk mengumandangkan munajat hati.
maka beri aku tempat bernaung, di mana
Kau sendiri bernaung. sebelum nanti,
aku meninggi, antara kita tak terbatas.
Poetra seakan menegaskan kebiasaan manusia (sebagai hamba) dalam melantunkan doa kepada Tuhannya (sebagai Tuan)—yang kerap sangat sulit dibedakan antara “meminta” atau “menyuruh”. Begitu pula dalam puisi Sepenggal Kisah Haru. Poetra menerang-jelaskan kegelisahan hatinya. Seolah memanggungkan keseharian kita yang sering mengecap luka dengan sengaja, lalu memintalnya sebagai kenangan yang tak lekang dari ingatan.
sehari ini kita bermuka-muka
bercakap-cakap lewat luka
aku ini karat, bukan pusaka
masih meminta diri, padamu punya hati.
Ia membangun keliaran eksperimentasi bentuk dalam meneroka jalan kepenyairannya.
Demikian halnya dengan Tri Wahyuni. Ia membingkai kegelisahan hatinya dengan figura puisi yang “nakal”. Ia menyentil dengan takzim lewat puisi Kuciptakan Sajak Ini Untukmu. Ada napas Rendra dan Widji dalam “ruh” puisinya. Tetapi itulah pilihannya. Baginya kegelisahan itu harus diungkapkan, karena jika dierami berhari-hari bakal menjadi virus yang menggerogoti hati.
Kau bangun istana termegah
Pada lahan-lahan yang gersang
Lalu gedung menjulang
Menimbun petani bersama ladangnya.
Apalagi yang tersisa jika sumber penghidupan dimatikan dengan sengaja? Begitulah kabar yang dideklarasikan oleh Yuni.
Dan, kegelisahan itu memuncak pada puisi Bolehkah Aku Menitip Bangkai? yang digubah oleh Arie Oktara. Ia dengan cergas menguarkan kegelisahannya menyaksikan rumah ibadat hanya menjadi panggung puja-puji semata, hanya sekadar upacara pengguguran kewajiban, dan kehilangan kekhidmatan dan kesakralannya.
Bolehkah aku titipkan bangkai?
Bangkai Tuhan
aku dapat dari surau,
sedang meratapi mimbar.
Simbol-simbol diletakkannya dalam puisi ini: bangkai-Tuhan-surau-mimbar. Kesemuanya menisbahkan rutinitas upacara keagamaan.
Kegelisahan yang dikabarkan oleh Ponco, Sandi, Poetra, Yuni, dan Oktara adalah gambaran realitas kehidupan yang tampak sedemikian nyata.
IV
KEYAKINAN. Kesan kedua yang saya rasakan seusai pembacaan buku ini adalah keyakinan. Febimiss seolah menempatkan diri sebagai penyair romantik yang mengumandangkan puisinya sebagai “pusat” getaran jiwa terdalam, dengan keyakinan sebagai saripati imannya. Ia meyakini bahwa puisi tidak mengusung makna afektif yang bertautan dengan perasaan, tetapi juga sekaligus sebagai alat efektif untuk menelusupkan semangat, gairah, dan kepedulian. Pada puisi Bila misalnya, Febimiss mendedahkan kegigihannya menjaga keyakinan hidup.
Bila rawa bermuram durja
Sungai ‘kan setia dengarkan keluh kesah.
Seperti halnya Febimiss, Damai Prasetyo pun menyampaikan pesan lewat kemasan yang “disamarkan”. Ia seolah mengajak kita untuk menemukan hakikat Cinta, ketika kegelisahan, kemarahan, keputusasaan, bahkan ketakberdayaan menerpa kita, Damai mengajak kita berpulang pada Cinta. Dengan Cinta: yang berat akan terasa ringan, yang rumit akan menjadi indah. Yakinlah, dengan cinta yang buram akan menjadi benderang. Begitulah ia sampaikan secara terselubung melalui puisi Cinta Pun Berpulang.
Cinta pun tetap berpulang
Bahkan ketika ia adalah satu-satunya alasan.
Metafora adalah salah satu kelengkapan puisi. Eko Putra membingkai keteguhan hatinya lewat metafora. Ia beramsal tentang kegigihan yang tak boleh punah karena terjangan rintangan. Hal itu dianggitnya dalam puisi Lelaki Penunggu Sungai.
kucari lagi kearifan bersama musim dan pasang
tapi perahu tak lagi mendayung lajuku
ke muara.
Kita tak boleh berhenti mencari dan menemukan hajat pribadi, impian yang kita dambakan. Kita harus terus bergerak, meski situasi paling sulit menerjang dari segenap peenjuru. Tak mengapa laju perahu terhenti, kita masih bisa terjun ke sungai, lalu berenang ke muara. Seperti itulah pesan tersirat yang hendak dikabarkan olehnya.
Sementara itu, Faradina Izdhihary mendaraskan keyakinan ke dalam puisinya, Takdirmu. Baginya, takdir itu terletak di tangan kita. Itulah mengapa sehingga ada istilah “suratan tangan” yang bisa diterjemahkan sebagai “sesuatu yang tersurat di tangan”. Dengan lirih Faradina mengungkapkan keyakinannya.
di tanganmu tulisan takdir
melebihi kepastian
betapa nelayan pasti pulang
menemu suluh
sehabis subuh.
Ia menegaskan bahwa kitalah yang berkuasa atas “perjalanan” nasib kita. Dan, keyakinan itu pula yang akan menggerakkan hasrat untuk segera berbuat, bukan terus-menerus bertelekan tangan menunggu keajaiban.
Begitulah. Febimiss, Damai, Eko, dan Faradina mengawin-silangkan keyakinan dengan kecerdasan puitiknya. Meski masih agak tersendat—dalam keterbatasan pembacaan saya—tapi terlihat keseriusan dalam meracik metafora dan membangun tamsil.
V
KEBAHAGIAAN. Inilah kesan ketiga yang mengendap di benak saya. Setiap kita pasti merindukan kebahagiaan. Tak ada seorang pun yang menghendaki hidupnya didera rupa-rupa derita. Boleh jadi apa yang kita impikan belum tercapai, tidak berarti kita harus mencaci-maki diri sendiri. Boleh saja segala hal yang kita dambakan belum tercukupi, namun bukan alasan untuk menyalahkan diri sendiri. Bahkan dalam kegagalan kita bisa merasa bahagia. Setidaknya karena kita sudah berbuat.
Pada puisi Geliat, Delima Lestari Widya menyampirkan rasa bahagia secara eksplisit—gamblang, terang-terangan, dan tidak ditutup-tutupi.
pijar mataku oleh kenikmatan
tercapai apa yang belum kudapatkan.
Pencapaian terbaik bukanlah pada hasil akhir, melainkan pada proses. Melalui proses itu pula kita belajar menemukan eksistensi diri. Dengan proses kita akan terus menggeliat, bergerak maju, dan belajar dari rangkaian kesalahan. Tanpa itu, kenikmatan rasa bahagia akan tereduksi.
Hakikatnya, puisi bisa menjadi apa saja. Ia bisa menjadi mesin pencatat, baik peristiwa penting maupun hal paling remeh. Ia bisa menjadi perekam ingatan, baik sejarah maupun lelaku keseharian. Begitulah yang didaras oleh Fatimah lewat puisi Keajaiban Cinta (2). Dengan penuh gelora ia menyatakan kebahagiaannya: laksana bayi yang ketemu mainan kegemarannya.
ajaib, begitu ajaib menggelorakan percik-percik impianku
hingga menjelma samudra harapan yang menjadi nyata.
Dan, aku lirik dalam puisi ini meluapkan kegembiraannya setelah ketersisihan yang dijalaninya menemukan “mutiara”.
Lain halnya dengan Guswar. Coba kita simak petikan yang saya kutip dari puisinya, Ia Bergerak dalam Sebuah Bingkai.
apa yang jadi kemenangan kita
terhadap apa yang disebut diri
sejatinya kita hanyalah kekalahan
namun bergerak dikelilingi kemenangan.
Kita boleh bersuka-ria merayakan kemenangan, tapi jangan sampai lupa diri. Kita tidak perlu menepuk dada atau mendongakkan kepala hanya karena kebahagian yang tumpah-ruah. Kita harus tetap mawas, betapa perjalanan masih teramat panjang.
Begitulah, puisi itu harus hidup. Ia harus mampu menerjemahkan kehidupan. Ia harus berdiri kukuh berdampingan dengan kenyataan, muasal puisi itu sendiri. Delima, Fatimah, dan Guswar telah berusaha keras agar puisi tidak terasing dari kenyataan kehidupan itu.
VI
KEGIGIHAN. Ini antonim dari ketakberdayaan. Begitulah kesan keempat yang menyapa jiwa saya. Kesan itu saya temukan ketika menyambangi puisi Nyanyi Sumbang Anak Pinggiran karya Imron Tohari. Ia tak menembukkan harapannya pada tembok beton, tapi menajamkan hatinya untuk terus mencari solusi.
Di engsel mana
Harus kurekat lagi cita-citaku.
Semestinya begitulah sikap kita, tak berhenti mencoba jalan baru ketika semua jalan buntu. Saya sendiri meyakini bahwa ketika semua pintu tertutup, masih ada jendela sebagai alternatif jalan masuk. Artinya, selalu ada jalan selama kita berani mencoba. Dan, kepasrahan tidak dimaknai sebagai ketakberdayaan, melainkan sebagai penguat hati.
Setelah itu, sandingkan dengan puisi Retak yang dirangkai oleh Lany Sulystiawati. Seperti halnya Imron, Lany juga “tak berhenti mencari”. Hal ini tersirat dalam petikan puisinya.
dalam kaca yang retak jadi serpih
masih kukenali bayang itu
tetap berdiri di tempatnya.
Meskipun agak “membingungkan” ketika saya membaca retak jadi serpih—berapa kali kaca retak dan jadi bubuk—namun saya tetap berusaha menelaah arah capaian makna yang hendak disasar oleh Lany. Jangan berhenti mencari, bahkan dalam cermin retak sekalipun bisa terlihat begitu nyata sosok yang kita cari.
Dengan sedikit ngebanyol, M. Kusuma Al-Franz menutup puisi Tik Tok Tik Tok. Katanya,
tik tok tik tok
Adakah hatimu terketuk?
Sebuah penutup puisi yang sederhana, tetapi di situlah letak kekuatan puisi ini. Di balik kesederhanaan itu tersimpan sebuah alegori tentang kegigihan “aku lirik” dalam memperjuangkan harapannya. Tak ada kata pasrah, tak ada kata menyerah. Sekali-dua kali tak terdengar jawaban, ketuk lagi. Lagi, dan lagi. Berkait dengan puisi di atas, Pandeka Minang pun menawarkan puisi yang beraroma kegigihan, Secangkir Kopi. Suatu saat, ketika kita menemukan secangkir kopi pahit yang tak sesuai dengan selera kita, tak perlu bermuram durja.
”kita tambah saja banyak gula.”
Begitu katanya. Ya, itu jelas. Hidup ini sederhana. Barulah menjadi rumit jika kita merumitkannya.
Dan, kegigihan itu dipuncaki oleh Yayan R. Triyansyah. Ia menyatakannya lewat puisi Perempuan Keberapa. Saya petikkan satu larik dalam puisi itu.
karena pekatnya secangkir kopi di setiap pagi, tak pernah basi
walau sudah malam hari.
Artinya, jangan cemas. Selalu ada waktu untuk berbenah. Apa yang kita anggap sudah usai di siang hari, bisa saja kita perbaiki lagi ketika malam sudah tiba.
Begitulah. Imron, Lany, Franz, Pandeka, dan Yayan telah menggoreskan warna puisinya. Mereka mengusung optimisme dalam menghadapi kenyataan, termasuk yang paling getir, dan menjadikan puisi sebagai “menu spiritualitas” yang inspiratif.
VII
PADA AKHIRNYA, keempat kesan itu—kegelisahan-keyakinan-kebahagiaan-kegigihan—hanyalah bacaan semata. Dan setiap bacaan pastilah menyertakan keterbatasan. Namun, tetap saja kita perlu mencermati bahwa menjadi penyair tak lebih enteng daripada menjadi penyelam. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu berenang, kita harus melengkapi diri dengan peralatan selam. Termasuk di antaranya tabung oksigen, agar kita bisa tahan berjam-jam menikmati keindahan dasar laut. Tapi, itu saja belum cukup. Kita butuh nyali, kita harus berani melawan rasa takut. Selama perlengkapan dan nyali itu belum cukup, jangan berkecil hati, kita masih bisa jadi perenang yang rajin mencuri napas pada setiap ayunan tangan. Sebagai penyair, kita harus rajin membaca. Baik kitab sajak, maupun kitab terbuka di alam sekitar kita.
Lalu, kita camkan kembali fatwa Lao Tze, bahwa langkah ke-1.000 berawal dari langkah pertama. Dan, buku ini barulah langkah pertama.
Jakarta, Januari 2010.
Khrisna Pabichara, motivator kecakapan belajar dan penyuka sastra. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Jakarta, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.
[ARTIKEL MOTIVASI] Katakan dengan Cinta
Catatan: Artikel sederhana ini dimuat dalam Rubrik Usrah, Tabloid Assalamu'alaikum, Edisi Januari 2010. Dedikasi untuk milis ayahbunda yang mengirimkan e-mail berisi cerita di bawah ini kepada saya, dan menjadi inspirasi artikel ini. Salam paling takzim.
KATAKAN DENGAN CINTA
Oleh Khrisna Pabichara
TERSEBUTLAH KISAH seorang putri sedang sibuk membantu Ibunya. Mengepel lantai, cuci piring, dan menjemur pakaian. Setelah semuanya selesai, ia segera ke kamar, menyalakan laptop dan segera berselancar di dunia maya. Pada mulanya ia membuka halaman facebook, lalu larut chating dengan beberapa temannya dari berbagai belahan dunia. Sesekali ia geli dan terbahak sendiri.
Lalu, terdengar teriakan lembut Ibunya dari arah dapur. Dengan tangkas ia menyahut. Ia tak pernah berdiam diri setiap kali ibunya memanggil atau membutuhkannya. Ia selalu ingin berbakti, meskipun merasa sedikit terganggu karena keasyikannya ber-facebook ria harus terhenti. Tiba di dapur, Ibunya memintanya membeli garam. Ia pun bergegas ke warung yang berjarak beberapa puluh meter saja dari rumahnya.
Sekembalinya dari warung, ia pun menyerahkan garam itu kepada Ibunya. Dan, seperti biasa, Ibunya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum tulus dengan mata dipenuhi pendar cahaya. Sungguh kegembiraan tak terkira ketika melihat orangtua tercinta tersenyum bahagia. Begitulah yang dirasakan remaja putri itu. Tetapi terlintas dalam benaknya untuk sedikit berseloroh. Tak lama berselang, ia menyorongkan secarik kertas kepada Ibunya.
Ongkos Membantu Ibu:
1) Membantu belanja ke warung: Rp. 20.000
2) Menjaga adik: Rp. 20.000
3) Membuang sampah: Rp. 5.000
4) Membereskan tempat tidur: Rp. 10.000
5) Menyiram bunga: Rp. 15.000
6) Menyapu halaman: Rp. 15.00
Jumlah Utang Ibu: Rp. 85.000
Selesai membaca, sang Ibu tersenyum memandang wajah putrinya yang berseri-seri. Sang Ibu lalu mengambil pena lalu menulis sesuatu di belakang kertas yang sama.
Biaya Cinta Ibunda:
1) Mengandungmu selama 9 bulan: GRATIS.
2) Menjagamu dalam sakit dan sehat: GRATIS.
3) Mengasuh dan merawatmu: GRATIS.
4) Menyediakan makan dan minum: GRATIS.
5) Mendidikmu dengan penuh cinta: GRATIS.
Total Cinta Kasih Ibu Kepadamu: GRATIS.
Air mata gadis remaja itu pun mengalir di wajahnya. Sambil memeluk Ibunya, ia berkata dengan lirih, “Saya mencintai Ibu.” Lalu ia mengambil pena dari tangan Ibunya, dan menulis lagi, “Lunas, telah dibayar dengan sepenuh cinta.”
Begitulah. Semua Ibu pasti bakal berhadapan dengan ulah-laku anak-anaknya. Kadang menggemaskan, kadang menjengkelkan. Kadang sangat membahagiakan. Akan tetapi, ketika menjengkelkan, kita tak perlu mengumbar kesal, apalagi marah-marah dengan penuh caci-maki. Setiap ucapan yang keluar dari bibir kita akan tersimpan dalam memori anak. Karenanya, alangkah indah jika menghadapi sikap anak dengan sepenuh “cinta”. Dan menyampaikan apa pun perasan dengan “cinta”. Dengan demikian, rumah akan menjadi persinggahan idaman bagi setiap anak. Sekaligus menjadi sekolah paling unggul dalam mencetak generasi tangguh.
Seperti pesan Ibnu Shina, “Rumah adalah universitas tertinggi.” Maka, mari kita jadikan rumah kita sebagai “surga” paling menyenangkan bagi semua anggota keluarga.
Jakarta, Januari 2010.
Khrisna Pabichara, motivator dan penggiat sastra.
KATAKAN DENGAN CINTA
Oleh Khrisna Pabichara
TERSEBUTLAH KISAH seorang putri sedang sibuk membantu Ibunya. Mengepel lantai, cuci piring, dan menjemur pakaian. Setelah semuanya selesai, ia segera ke kamar, menyalakan laptop dan segera berselancar di dunia maya. Pada mulanya ia membuka halaman facebook, lalu larut chating dengan beberapa temannya dari berbagai belahan dunia. Sesekali ia geli dan terbahak sendiri.
Lalu, terdengar teriakan lembut Ibunya dari arah dapur. Dengan tangkas ia menyahut. Ia tak pernah berdiam diri setiap kali ibunya memanggil atau membutuhkannya. Ia selalu ingin berbakti, meskipun merasa sedikit terganggu karena keasyikannya ber-facebook ria harus terhenti. Tiba di dapur, Ibunya memintanya membeli garam. Ia pun bergegas ke warung yang berjarak beberapa puluh meter saja dari rumahnya.
Sekembalinya dari warung, ia pun menyerahkan garam itu kepada Ibunya. Dan, seperti biasa, Ibunya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum tulus dengan mata dipenuhi pendar cahaya. Sungguh kegembiraan tak terkira ketika melihat orangtua tercinta tersenyum bahagia. Begitulah yang dirasakan remaja putri itu. Tetapi terlintas dalam benaknya untuk sedikit berseloroh. Tak lama berselang, ia menyorongkan secarik kertas kepada Ibunya.
Ongkos Membantu Ibu:
1) Membantu belanja ke warung: Rp. 20.000
2) Menjaga adik: Rp. 20.000
3) Membuang sampah: Rp. 5.000
4) Membereskan tempat tidur: Rp. 10.000
5) Menyiram bunga: Rp. 15.000
6) Menyapu halaman: Rp. 15.00
Jumlah Utang Ibu: Rp. 85.000
Selesai membaca, sang Ibu tersenyum memandang wajah putrinya yang berseri-seri. Sang Ibu lalu mengambil pena lalu menulis sesuatu di belakang kertas yang sama.
Biaya Cinta Ibunda:
1) Mengandungmu selama 9 bulan: GRATIS.
2) Menjagamu dalam sakit dan sehat: GRATIS.
3) Mengasuh dan merawatmu: GRATIS.
4) Menyediakan makan dan minum: GRATIS.
5) Mendidikmu dengan penuh cinta: GRATIS.
Total Cinta Kasih Ibu Kepadamu: GRATIS.
Air mata gadis remaja itu pun mengalir di wajahnya. Sambil memeluk Ibunya, ia berkata dengan lirih, “Saya mencintai Ibu.” Lalu ia mengambil pena dari tangan Ibunya, dan menulis lagi, “Lunas, telah dibayar dengan sepenuh cinta.”
Begitulah. Semua Ibu pasti bakal berhadapan dengan ulah-laku anak-anaknya. Kadang menggemaskan, kadang menjengkelkan. Kadang sangat membahagiakan. Akan tetapi, ketika menjengkelkan, kita tak perlu mengumbar kesal, apalagi marah-marah dengan penuh caci-maki. Setiap ucapan yang keluar dari bibir kita akan tersimpan dalam memori anak. Karenanya, alangkah indah jika menghadapi sikap anak dengan sepenuh “cinta”. Dan menyampaikan apa pun perasan dengan “cinta”. Dengan demikian, rumah akan menjadi persinggahan idaman bagi setiap anak. Sekaligus menjadi sekolah paling unggul dalam mencetak generasi tangguh.
Seperti pesan Ibnu Shina, “Rumah adalah universitas tertinggi.” Maka, mari kita jadikan rumah kita sebagai “surga” paling menyenangkan bagi semua anggota keluarga.
Jakarta, Januari 2010.
Khrisna Pabichara, motivator dan penggiat sastra.
Kamis, 14 Januari 2010
[TELISIK SASTRA] Membincangkan Sepi Menyatakan Puisi
Catatan: Tulisan ini bisa juga Anda baca di http://www.facebook.com/note.php?note_id=285910186398
MEMBINCANGKAN SEPI MENYATAKAN PUISI
Oleh Khrisna Pabichara
I
PUISI, bagi saya, bukan semata setumpuk kata. Ia adalah kaca bening tempat saya bisa mengacakan hati. Setiap membaca kiriman puisi di facebook, saya seolah mendaki ke puncak hening, lalu ekstasi setelah menikmatinya. Karenanya, tidaklah aneh jika saya berani menyatakan bahwa puisi adalah sarana paling tepat untuk melembutkan hati dalam kerangka meningkatkan kecerdasan spiritual. Tentu saja pendapat ini bukanlah harga mati, melainkan ihwal yang dapat digugat setiap saat.
Sebagai bukti kecintaan saya pada puisi, saya berusaha tidak hanya “mengaji” setiap puisi yang mampir di beranda facebook saya, tetapi juga berusaha “mengkajinya”—sebagai upaya menafsirkan perasaan dari hasil pembacaan itu.
Maka, terdaraslah telisik ringan ini.
II
TAHUKAH Anda apa itu sepi? Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia(Edisi Daring), sepi berarti lengang atau sunyi. Dengan demikian, menyepi dapat kita maknai sebagai mengasingkan diri ke tempat yang sunyi. Kata ini bukanlah lema yang asing bagi kita. Setiap diri pasti pernah merasa sepi. Bahkan ada yang secara sengaja “mencari” sepi. Semacam alienasi, mengasingkan diri dari keramaian untuk menemukan sesuatu yang didambakan. Seniman mencari sepi demi meracik ilham. Pelaku bisnis mengayak sepi untuk mematangkan rencana. Dan, para Nabi memburu sepi demi menajamkan pemahaman terhadap larik demi larik wahyu.
Pada telisik ini, saya berhajat mendedahkan rupa-rupa rasa seusai membaca tiga puisi karya tiga “pepuisi” berbeda. Namanya juga telisik ringan, pastilah tidak dirumitkan dengan pelbagai teori. Namanya juga telisik sederhana, pastilah bebas dari rujukan referensi yang berat-berat. Seperti membaca “sepi”, hanya terasa ketika bening hening benar-benar singgah di hati.
III
KIAMAT. Itulah hal pertama yang terbetik di benak saya ketika membaca puisi Riwayat Sehelai Rambut Terbelah Tujuh Warna Pelangi yang dianggit dengan “serius” oleh Handoko F. Zainsam. Ihwal apa dan bagaimana kejadian setelah kiamat inilah yang didedahkan secara tersirat oleh Handoko. Ada semacam upaya menafsirkan sendiri lalu meniupkan “ruh” pemahamannya ke dalam sebuah puisi. Sehelai-Rambut-Terbelah-Tujuh-Warna-Pelangi adalah penerjemahan terhadap titian yang bakal dilewati manusia—dan segala makhluk yang pernah ada(?)—ketika dibangkitkan kembali, sebagaimana termakhtub dalam banyak kitab suci agama samawi. Lewat puisi ini, Handoko mencoba mereka-reka wajah manusia yang seolah tidak mempercayai kejadian yang baru saja mereka alami. Setelah diamuk mala paling petaka—bernama kiamat—mereka merasakan sepi paling sunyi. Manusia—ketika itu—hanya bisa jadi penyaksi atas segala peristiwa yang telah mereka perbuat dan harus dipertanggungjawabkan.
Mari kita tafsirkan sajak ini. Supaya lebih jelas, kita simak bait pertama. //Sehelai rambut seorang putri terbelah menjadi tujuh warna pelangi. Melayang dan rubuh berdebum mencipta jembatan ruang kebangkitan menuju kota sunyi.// Pilihan kata yang diletakkan dalam puisi ini berasa seolah bumbu penyedap yang dapat merangsang hajat pembacaan dan menyeret pembaca ke samudera tanda tanya. Saya pribadi memaknai tujuh warna pelangi sebagai penggolongan manusia berdasarkan lelakunya selama di dunia. Sementara menuju kota sunyi adalah tempat kelak manusia itu “diletakkan”.
Begitulah. Ada maklumat yang disampaikan secara tersirat oleh Handoko, sebuah ajakan untuk menyandera perilaku “buruk” lewat fasilitas akal yang dimiliki setiap manusia. Kita diajak menyeruput rasa sepi secara “terselubung”, tanpa harus merasa digurui, apalagi dihakimi.
IV
LAIN lubuk lain ikan. Begitu uar pepatah. Cara Handoko membincangkan sepi tentulah berlainan dengan pola Syaiful Alim meneriakkan hajat sunyi yang dirasanya. Melalui sajak Susu Sepi, Syaiful seolah menegaskan aroma “ketidakpuasan” terhadap perlakuan yang dialami “Sang Aku” dalam sajaknya—pengkhianatan, kepalsuan, kelabu-mengelabui—yang dilakukan oleh “yang dicintanya”. Bahwa kita kerap mendengar “susu sapi”, itu jelas. Tetapi tidak dengan "susu sepi". Coba kita simak. //susu sepi ini bagai susu sapi/ menguatkan tulang tangisku/ sehabis kau iris.// Pedih memang selalu menyisakan nyeri, tapi jika didaur-ulang dengan tepat, ia akan menjadi asupan berharga yang bisa menguatkan hati.
Pada penghujung puisinya, Syaiful seolah ingin memastikan kepada “khalayak pembaca”, bahwa semua manusia itu bertopeng. Baginya, manusia tidak bisa memaklumatkan apa-apa selain basa-basi, kepalsuan, dan kebohongan. Kalaupun ada sosok yang menawarkan kesetiaan dan kekukuhan cinta, itu semu dan palsu. Tetap menyertakan pamrih. Semacam isyarat: memberi karena ingin menerima. //aku kini penggembala kata. merawat sakit dan minum susu sepi/ sedikit demi sedikit supaya kumelupa gigit genitmu di leherku yang purba.// Tentulah ada argumen bagaimana dan kenapa puisi ini dilahirkan. Bagaimana pun, puisi ini mengajak kita merenung, menyapa sepi, lalu membaca diri. Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan manusia yang lalai pada lelaku sendiri.
Begitulah. Syaiful membincangkan sepi dengan takzim. Menuangkannya ke cawan puisi, agar bisa kita reguk setiap saat.
V
KETIKA Handoko menajamkan sepi pada akhir kehidupannya, dan Syaiful menisbahkan sepi sebagai aroma “ketidakpuasannya”, maka Yayan R. Triyansyah menanggungkan haru-biru rindu yang dirasanya ke dalam sepi. Sunyi baginya bukanlah musuh, layaknya ombak yang selalu dirindukan saat lidahnya menjilat pantai. Kerinduan baginya adalah “sari” dari Cinta. Ia menyatu, bukan berdiri sendiri. Semisal laut dan pantai, salah satunya tak bisa mengada, jika yang lainnya tiada. Maka, pengabaran lewat kombinasi cantik antara kecerdasan estetis dan etis dalam Cerita Cinta Laut, belumlah bermakna apa-apa sebelum kita letakkan kembali fitrah “mencinta” dan “dicinta”, lengkap dengan segala warna yang menyertainya—hitam atau putih, buram atau terang.
Itulah gagas-pikir yang didedahkan Yayan ke dalam sajaknya, Cerita Cinta Laut. Kita bisa menyimak bait pertamanya. //Aku ceritakan sedikit tentang laut tempatku tinggal; di sana ada sepasang kerinduan yang melukiskan tawa senyummu. Lalulewat debur ombak menyampaikan pesan langit pada pantai, karena ombak adalah cakrawala garis lengkung suatu cinta; jarak napas kerinduan yang nyata.//
Tak ada riuh di sana. Ombak pun bukanlah gemuruh, tapi semata debur yang menyampaikan pesan: jarak napas kerinduan yang nyata.
Lalu, pada bait kedua, Yayan dengan gesit menyatakan “rasa sepi” yang meripit di hatinya. Ia menyampaikan gundahnya dengan alegori lembut yang berkait mesra pada kata: gunung-muara-garam-asin-laut-setia-cinta. Hal ini bisa kita temukan pada bait kedua. //Kemudian ada pesan di bibir muara. Darinya, kabar tentang gunung tak terbendung, yang selalu mengirim garam untuk memberi rasa lautan, sebagai bukti kesetiaan. Begitulah sedikit cerita tentang laut, yang kini menelanku menjadikan satu dengan cintaku.//
Tidak perlu lagi kita pertanyakan kesetiaan gunung mengirim garam lewat sungainya yang bermuara pada laut. Seperti itulah “kesetiaan” yang diusung “Sang Aku” dalam puisi ini. Kesetiaan yang berwarna, meliuk di setiap kelok sungai, sesekali menderas atau tumpah sebagai air terjun. Namun, tetap saja ia akan mengalir menuju laut, seberapa pun jauh perjalanan “sepi” itu harus ditempuh.
VI
SEPI ketika dibincangkan dengan ringan dan dinyatakan lewat puisi, bisa menjadi teman yang asyik. Maka, jika tiba-tiba sepi menyeruak, tak perlu panik. Jadikan itu puisi. Selain mengayakan, juga bisa menenangkan hati. Dan facebook bisa menjadi sarana berbagi, menebar keindahan “sepi” itu ke segala penjuru. Pastilah banyak jempol, komentar basa-basi atau komentar sejati, bahkan puja-puji dan caci-maki. Tapi itu adalah proses pembelajaran. Seperti belajar “membaca sepi”.
Maka, mari bersulang: kita rayakan keriuhan sastra di ranah maya ini.
Mata Aksara, 14|01|2010
MEMBINCANGKAN SEPI MENYATAKAN PUISI
Oleh Khrisna Pabichara
I
PUISI, bagi saya, bukan semata setumpuk kata. Ia adalah kaca bening tempat saya bisa mengacakan hati. Setiap membaca kiriman puisi di facebook, saya seolah mendaki ke puncak hening, lalu ekstasi setelah menikmatinya. Karenanya, tidaklah aneh jika saya berani menyatakan bahwa puisi adalah sarana paling tepat untuk melembutkan hati dalam kerangka meningkatkan kecerdasan spiritual. Tentu saja pendapat ini bukanlah harga mati, melainkan ihwal yang dapat digugat setiap saat.
Sebagai bukti kecintaan saya pada puisi, saya berusaha tidak hanya “mengaji” setiap puisi yang mampir di beranda facebook saya, tetapi juga berusaha “mengkajinya”—sebagai upaya menafsirkan perasaan dari hasil pembacaan itu.
Maka, terdaraslah telisik ringan ini.
II
TAHUKAH Anda apa itu sepi? Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia(Edisi Daring), sepi berarti lengang atau sunyi. Dengan demikian, menyepi dapat kita maknai sebagai mengasingkan diri ke tempat yang sunyi. Kata ini bukanlah lema yang asing bagi kita. Setiap diri pasti pernah merasa sepi. Bahkan ada yang secara sengaja “mencari” sepi. Semacam alienasi, mengasingkan diri dari keramaian untuk menemukan sesuatu yang didambakan. Seniman mencari sepi demi meracik ilham. Pelaku bisnis mengayak sepi untuk mematangkan rencana. Dan, para Nabi memburu sepi demi menajamkan pemahaman terhadap larik demi larik wahyu.
Pada telisik ini, saya berhajat mendedahkan rupa-rupa rasa seusai membaca tiga puisi karya tiga “pepuisi” berbeda. Namanya juga telisik ringan, pastilah tidak dirumitkan dengan pelbagai teori. Namanya juga telisik sederhana, pastilah bebas dari rujukan referensi yang berat-berat. Seperti membaca “sepi”, hanya terasa ketika bening hening benar-benar singgah di hati.
III
KIAMAT. Itulah hal pertama yang terbetik di benak saya ketika membaca puisi Riwayat Sehelai Rambut Terbelah Tujuh Warna Pelangi yang dianggit dengan “serius” oleh Handoko F. Zainsam. Ihwal apa dan bagaimana kejadian setelah kiamat inilah yang didedahkan secara tersirat oleh Handoko. Ada semacam upaya menafsirkan sendiri lalu meniupkan “ruh” pemahamannya ke dalam sebuah puisi. Sehelai-Rambut-Terbelah-Tujuh-Warna-Pelangi adalah penerjemahan terhadap titian yang bakal dilewati manusia—dan segala makhluk yang pernah ada(?)—ketika dibangkitkan kembali, sebagaimana termakhtub dalam banyak kitab suci agama samawi. Lewat puisi ini, Handoko mencoba mereka-reka wajah manusia yang seolah tidak mempercayai kejadian yang baru saja mereka alami. Setelah diamuk mala paling petaka—bernama kiamat—mereka merasakan sepi paling sunyi. Manusia—ketika itu—hanya bisa jadi penyaksi atas segala peristiwa yang telah mereka perbuat dan harus dipertanggungjawabkan.
Mari kita tafsirkan sajak ini. Supaya lebih jelas, kita simak bait pertama. //Sehelai rambut seorang putri terbelah menjadi tujuh warna pelangi. Melayang dan rubuh berdebum mencipta jembatan ruang kebangkitan menuju kota sunyi.// Pilihan kata yang diletakkan dalam puisi ini berasa seolah bumbu penyedap yang dapat merangsang hajat pembacaan dan menyeret pembaca ke samudera tanda tanya. Saya pribadi memaknai tujuh warna pelangi sebagai penggolongan manusia berdasarkan lelakunya selama di dunia. Sementara menuju kota sunyi adalah tempat kelak manusia itu “diletakkan”.
Begitulah. Ada maklumat yang disampaikan secara tersirat oleh Handoko, sebuah ajakan untuk menyandera perilaku “buruk” lewat fasilitas akal yang dimiliki setiap manusia. Kita diajak menyeruput rasa sepi secara “terselubung”, tanpa harus merasa digurui, apalagi dihakimi.
IV
LAIN lubuk lain ikan. Begitu uar pepatah. Cara Handoko membincangkan sepi tentulah berlainan dengan pola Syaiful Alim meneriakkan hajat sunyi yang dirasanya. Melalui sajak Susu Sepi, Syaiful seolah menegaskan aroma “ketidakpuasan” terhadap perlakuan yang dialami “Sang Aku” dalam sajaknya—pengkhianatan, kepalsuan, kelabu-mengelabui—yang dilakukan oleh “yang dicintanya”. Bahwa kita kerap mendengar “susu sapi”, itu jelas. Tetapi tidak dengan "susu sepi". Coba kita simak. //susu sepi ini bagai susu sapi/ menguatkan tulang tangisku/ sehabis kau iris.// Pedih memang selalu menyisakan nyeri, tapi jika didaur-ulang dengan tepat, ia akan menjadi asupan berharga yang bisa menguatkan hati.
Pada penghujung puisinya, Syaiful seolah ingin memastikan kepada “khalayak pembaca”, bahwa semua manusia itu bertopeng. Baginya, manusia tidak bisa memaklumatkan apa-apa selain basa-basi, kepalsuan, dan kebohongan. Kalaupun ada sosok yang menawarkan kesetiaan dan kekukuhan cinta, itu semu dan palsu. Tetap menyertakan pamrih. Semacam isyarat: memberi karena ingin menerima. //aku kini penggembala kata. merawat sakit dan minum susu sepi/ sedikit demi sedikit supaya kumelupa gigit genitmu di leherku yang purba.// Tentulah ada argumen bagaimana dan kenapa puisi ini dilahirkan. Bagaimana pun, puisi ini mengajak kita merenung, menyapa sepi, lalu membaca diri. Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan manusia yang lalai pada lelaku sendiri.
Begitulah. Syaiful membincangkan sepi dengan takzim. Menuangkannya ke cawan puisi, agar bisa kita reguk setiap saat.
V
KETIKA Handoko menajamkan sepi pada akhir kehidupannya, dan Syaiful menisbahkan sepi sebagai aroma “ketidakpuasannya”, maka Yayan R. Triyansyah menanggungkan haru-biru rindu yang dirasanya ke dalam sepi. Sunyi baginya bukanlah musuh, layaknya ombak yang selalu dirindukan saat lidahnya menjilat pantai. Kerinduan baginya adalah “sari” dari Cinta. Ia menyatu, bukan berdiri sendiri. Semisal laut dan pantai, salah satunya tak bisa mengada, jika yang lainnya tiada. Maka, pengabaran lewat kombinasi cantik antara kecerdasan estetis dan etis dalam Cerita Cinta Laut, belumlah bermakna apa-apa sebelum kita letakkan kembali fitrah “mencinta” dan “dicinta”, lengkap dengan segala warna yang menyertainya—hitam atau putih, buram atau terang.
Itulah gagas-pikir yang didedahkan Yayan ke dalam sajaknya, Cerita Cinta Laut. Kita bisa menyimak bait pertamanya. //Aku ceritakan sedikit tentang laut tempatku tinggal; di sana ada sepasang kerinduan yang melukiskan tawa senyummu. Lalulewat debur ombak menyampaikan pesan langit pada pantai, karena ombak adalah cakrawala garis lengkung suatu cinta; jarak napas kerinduan yang nyata.//
Tak ada riuh di sana. Ombak pun bukanlah gemuruh, tapi semata debur yang menyampaikan pesan: jarak napas kerinduan yang nyata.
Lalu, pada bait kedua, Yayan dengan gesit menyatakan “rasa sepi” yang meripit di hatinya. Ia menyampaikan gundahnya dengan alegori lembut yang berkait mesra pada kata: gunung-muara-garam-asin-laut-setia-cinta. Hal ini bisa kita temukan pada bait kedua. //Kemudian ada pesan di bibir muara. Darinya, kabar tentang gunung tak terbendung, yang selalu mengirim garam untuk memberi rasa lautan, sebagai bukti kesetiaan. Begitulah sedikit cerita tentang laut, yang kini menelanku menjadikan satu dengan cintaku.//
Tidak perlu lagi kita pertanyakan kesetiaan gunung mengirim garam lewat sungainya yang bermuara pada laut. Seperti itulah “kesetiaan” yang diusung “Sang Aku” dalam puisi ini. Kesetiaan yang berwarna, meliuk di setiap kelok sungai, sesekali menderas atau tumpah sebagai air terjun. Namun, tetap saja ia akan mengalir menuju laut, seberapa pun jauh perjalanan “sepi” itu harus ditempuh.
VI
SEPI ketika dibincangkan dengan ringan dan dinyatakan lewat puisi, bisa menjadi teman yang asyik. Maka, jika tiba-tiba sepi menyeruak, tak perlu panik. Jadikan itu puisi. Selain mengayakan, juga bisa menenangkan hati. Dan facebook bisa menjadi sarana berbagi, menebar keindahan “sepi” itu ke segala penjuru. Pastilah banyak jempol, komentar basa-basi atau komentar sejati, bahkan puja-puji dan caci-maki. Tapi itu adalah proses pembelajaran. Seperti belajar “membaca sepi”.
Maka, mari bersulang: kita rayakan keriuhan sastra di ranah maya ini.
Mata Aksara, 14|01|2010
Rabu, 06 Januari 2010
[SAJAK] Munajat Luka Perempuan Perindu
--kepada Suriani Savira
Matahari, katakan padaku di sebelah mana
Rindu itu menguap. Biar kuraup dan kujadikan
awan. Agar Cinta leluasa bersenang-senang
di rintih hujan.
Matahari, katakan padaku kenapa Tuhan berani
menciptakan hati. Lalu disertakan Sunyi pada
setiap demi setiap malam, padahal aku lebih suka
pada Pagi dan Cahaya.
Matahari, katakan padaku bagaimana caranya
membunuh Cinta. Aku tak mau terus merana.
Mata Aksara, Desember 2009
Matahari, katakan padaku di sebelah mana
Rindu itu menguap. Biar kuraup dan kujadikan
awan. Agar Cinta leluasa bersenang-senang
di rintih hujan.
Matahari, katakan padaku kenapa Tuhan berani
menciptakan hati. Lalu disertakan Sunyi pada
setiap demi setiap malam, padahal aku lebih suka
pada Pagi dan Cahaya.
Matahari, katakan padaku bagaimana caranya
membunuh Cinta. Aku tak mau terus merana.
Mata Aksara, Desember 2009
Selasa, 05 Januari 2010
[SAJAK] Mencari Sunyi Paling Puisi
Mencari Sunyi Paling Puisi
—kepada dua perempuan tercinta: Rora dan Rhena
Setelah Kau pergi, aku segera mencari Rumah
tak berpintu tak berjendela. Ruhku tak lagi butuh
keluar atau masuk, sebab ia ditakdirkan kedap cuaca,
dan leluasa mengeja Cahaya di rahim Sunyi
Bogor, 2010
—kepada dua perempuan tercinta: Rora dan Rhena
Setelah Kau pergi, aku segera mencari Rumah
tak berpintu tak berjendela. Ruhku tak lagi butuh
keluar atau masuk, sebab ia ditakdirkan kedap cuaca,
dan leluasa mengeja Cahaya di rahim Sunyi
Bogor, 2010
Langganan:
Postingan (Atom)