Kamis, 28 Oktober 2010

[TULISAN RINGAN] Mendidik Anak Lewat Dongeng

MENDIDIK ANAK LEWAT DONGENG[1]
Oleh Khrisna Pabichara[2]

Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dongeng berarti cerita yang dikarang-karang semata dan kerap tidak menyerupai kenyataan hidup sehari-hari—misalnya ada binatang yang bisa berbicara—demi tujuan tertentu. Adapun mendongeng berarti bercerita atau menceritakan dongeng. Banyak pakar anak dan ahli neuropsikologi menyatakan bahwa pembentukan kecerdasan melalui dongeng merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat efektif. Dongeng yang dituturkan dengan bik akan tertanam dalam memori jangka panjang seorang anak, bahkan kelak hingga ia dewasa.
Pertanyaannya, dongeng seperti apa yang tepat diceritakan kepada anak-anak? Tentulah kita menyadari bahwa sangat banyak dongeng yang terkesan mustahil atau muskil terjadi. Sebut seperti dongeng yang tokohnya bisa tiba-tiba menghilang. Di satu sisi, dongeng seperti ini dapat menimbulkan keraguan bagi anak yang kritis, tetapi juga dapat mengembangkan imajinasi anak yang kreatif. Boleh jadi, seorang anak yang kritis akan mempertanyakan ulah kancil ketika memperdaya buaya dengan berjejer di sungai agar ia dapat menyeberang dengan selamat, sementara anak yang imajinatif akan menganggap kancil itu cerdas dalam menjaga keselamatan dirinya. Pada kondisi seperti ini, kepiawaian pendongeng menjadi sesuatu yang niscaya.
Lantas, modal apa yang dibutuhkan seorang pendongeng? Ada tiga modal dasar yang “wajib” dimiliki seorang pendongeng. Pertama, kemampuan bercerita. Pendongeng yang baik harus memiliki kemampuan bercerita. Ia mesti piawai memainkan intonasi suara, ekspresi, dan bahasa tubuh. Kedua, kemampuan berbahasa. Perlu kita sadari, bahasa adalah jembatan komunikasi bagi setiap anak. Karena itu, dongeng memiliki posisi strategis dalam mengembangkan kecerdasan berbahasa bagi anak didik. Melalui dongeng, seorang pendidik dapat merangsang kecerdasan intelegensia, kemampuan berpikir secara logis sistematis, kemampuan beriteraksi dengan sesama anak, maupun selera berbahasa dan nilai seni. Ketiga, kemampuan berimajinasi. Pendongeng yang baik mutlak memiliki daya imajinasi yang tinggi. Melalui kemampuan berimajinasi, cerita yang biasa-biasa saja akan disulapnya mejadi “lebih dari biasa”. Imajinasi itu pula yang akan merangsang pertumbuhan otak kanan dan kepekaan panca indra anak didik.
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa dongeng bukan sekadar cara menyampaikan bahan ajar atau bahan didik, tapi sekaligus menjadi metode pembelajaran yang “penting”, baik bagi pendidik maupun bagi anak didiknya.

Setelah membincangkan manfaat dongeng dan apa saja yang mestinya dimiliki seorang pendongeng, sekarang tiba waktunya kita membahas dongeng seperti apa yang layak dan patut diceritakan bagi anak didik. Pada umumnya, anak usia dini—terutama di bawah usia lima tahun—memiliki aktivitas yang spontan, alami, dan sangat bersemangat untuk mengetahui hal-hal yang baru ditemui atau dialaminya. Setiap pendongeng perlu memahami kondisi anak didik, terutama proses tumbuh-kembang kreativitasnya. Karena itu, dongeng yang diceritakan harus dipilah secara bijak dan tepat.
Ada beberapa kriteria dongeng yang baik dan layak diceritakan. Pertama, memiliki kandungan moral. Selama ini asupan pendidikan lebih ditekankan pada pengembangan kecerdasan intelegensia anak didik. Sementara kecerdasan hati—meliputi kecerdasan emosional dan spiritual—kadang dikesampingkan. Banyak dongeng yang mengusung nilai moral dasar, baik yang berasal dari Nusantara maupun dari mancanegara.
Kedua, merangsang imajinasi dan kreativitas. Dongeng petualangan termasuk dalam kategori dongeng yang mampu merangsang imajinasi dan kreativitas anak. Dongeng sejenis ini juga akan membantu perkembangan kecerdasan estetika dan kemampuan menganalisa masalah, yang kelak akan berguna bagi diri anak didik itu sendiri dan bagi lingkungannya.
Ketiga, membangkitkan semangat dan disiplin. Tidak bisa dinafikan, oleh sebab besarnya rasa ingin tahu setiap anak, banyak anak yang cenderung aktif secara fisik dan menguras banyak energi mereka. Kesadaran berdisiplin dapat ditanamkan melalui dongeng-dongeng yang mengandung nilai-nilai kedisiplinan. Dongeng seperti ini lebih ditekankan pada sebab dan akibat apabila sang tokoh dalam cerita tidak disiplin melakukan sesuatu.
Keempat, menyuguhkan jawaban rasa ingin tahu. Dongeng juga perlu memiliki unsur jawaban terhadap beberapa hal yang ingin diketahui anak didik. Namun, untuk dongeng seperti ini, dibutuhkan kreativitas pendongeng dalam mengemas dan mengembangkan cerita.

Pertanyaan terakhir yang dapat kita ajukan bersama adalah bagaimana dan dari mana seorang pendongeng dapat memperoleh bahan dongeng? Jawaban paling sederhana atas pertanyaan tersebut adalah membaca. Dewasa ini, banyak buku atau majalah yang menyuguhkan dongeng yang tepat dan layak diceritakan bagi anak didik. Bukan hanya bahan cerita, membaca juga dapat membantu para pendongeng—dalam hal ini Sang Guru—dalam mengembangkan kemampuannya bercerita. Hanya saja, tidak banyak Guru yang memiliki minat tinggi dalam hal membaca. Bahkan ketika ada seorang Guru memiliki minat baca tinggi, terkadang mengalami kendala terbatasnya bahan baca yang dimilikinya.
Maka, kreativitas untuk mengatasi keterbatasan menjadi hal lain yang pelu dimiliki seorang pendongeng. Nah…. (*)

Bogor, 23 Oktober 2010


[1] Disampaikan pada Pelatihan Guru-Guru PAUD se-Kecamatan Tajurhalang pada 23 Oktober 2010 bertempat di PAUD Aisyah Adinda Kalisuren, Tajurhalang, Bogor.
[2] Praktisi neurologi, Penulis buku bestseller “Rahasia Melatih Daya Ingat” dan “12 Rahasia Pembelajar Cemerlang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar