Kearifan Tukang Cerita
Oleh Khrisna Pabichara
Cerita pendek bagi saya lebih dari makanan bergizi. Tidak sekadar mengenyangkan dan merangsang imaji, tetapi juga menggiurkan dan menyehatkan. Sejak dahulu, saya selalu kagum pada tukang cerita—di antaranya ada yang dinamai sastrawan. Betapa tidak, setiap sastrawan dalam proses penciptaan karyanya tidak semata-mata meniru kenyataan, tetapi sekaligus menciptakan sebuah “dunia baru” dengan kekuatan daya kreatifnya. Karena itu, Aristoteles memandang dunia rekaan sastrawan itu sebagai sesuatu yang tinggi dan filosofis, bahkan menempati “maqam” yang melampaui karya sejarah (Luxemburg dkk, 1992). Artinya, potensi besar yang membedakan sastrawan dengan manusia lainnya adalah kuasa imajinasinya untuk membangun “dunia beradab”.
Setelah dewasa, saya sempat berkenalan dengan banyak sastrawan. Termasuk “empat sekawan”: Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedi, Agnes A. Majestika, dan Ryana Mustamin. Empat sekawan ini bersekutu membuhul cerita demi cerita dalam sebuah buku yang dijuduli, Tukang Bunga dan Burung Gagak.
Cerita pertama yang saya baca, Tukang Bunga dan Burung Gagak. Alasannya sederhana. Oleh karena cerita ini didapuk jadi judul buku, berarti ada argumen yang melatari keterpilihan cerita ini. Seusai membaca cerita anggitan Kurniawan Junaedhie itu, hati saya tertohok. Si Tukang Bunga, tokoh soliter yang “punya banyak bunga sehingga dibagikan gratis kepada siapa saja”, memilih sahabat-sahabat yang tak seperti orang lain memilih pertemanan. Ia bersahabat dengan Si Burung Gagak (tokoh imajiner pembawa berita kematian, yang selalu dinantikan kabarnya oleh Si Tukang Bunga), Si Penyiar (yang berhenti menguarkan maklumat kematian), dan Si Istri Pejabat (yang kehadirannya bak dicantolkan begitu saja). Si Tukang Bunga memilih kaum penyendiri yang lebih suka beralienasi atau riuh dengan diri sendiri, tokoh-tokoh yang dapat kita jumpai di mana dan kapan saja dalam kehidupan menyehari. Bukan karena ingin berbagi, tapi lebih karena ingin mendengar kabar “ada lagi yang mati”, agar bunganya terbeli.
Lalu saya pindah ke cerpen Langkah, yang dikemas oleh Agnes A. Majestika dari sesuatu yang biasa menjadi lebih dari biasa, seolah mereka-ulang (reconstitutions) realitas yang menyehari di sekitarnya, dan berupaya keras menyingkap dan membentuk-ulang (re-establish) tradisi keintiman antar-masyarakat yang mulai tergerus modernitas.
Kurnia Effendi, lewat Ikebana bagi Calon Mama, memotret wajah perempuan pemilik cinta yang dikagumi banyak orang. Cerpen ini begitu menyentuh. Kejutan di awal cerita, kelok di pertengahan, dan tikungan indah di akhir cerita. Saya seolah menonton sebuah film pendek tentang seorang duda yang setia pada mendiang istrinya tapi ingin memberikan yang terbaik bagi putrinya, ihwal seorang lelaki yang ikhlas mencintai dan perempuan yang berkenan mengalahkan keinginan sendiri demi kebahagiaan orang lain. Amboi, seandainya di dunia kenyataan masih ada tokoh-tokoh sebersahaja ini. Alangkah!
Hingga tiba masa saya membabar Tenriawaru. Ryana Mustamin meracik cerita ini dengan apik. Bermula dari kisah perjalanan Sekar, kemudian beralih ke penokohan Tenriawaru—perempuan dengan gaya berpikir rasional bak laki-laki, akhirnya bersedia hidup seatap dengan lelaki yang benihnya tertanam di rahimnya tanpa ikatan yang bisa memberatkan di antara mereka. Ryana menawarkan “dunia imajinatif” yang didaraskan lewat cerpen ini—dengan nuansa lokalitas yang kental—dari ketaklaziman menjadi ramuan imajiner yang menampar. Berangkat dari kegelisahan tentang kesalahpahaman dan kesalahmaknaan selaput dara, sekaligus rupa-rupa tanya perihal ketergeseran—atau malah kehilangan—nilai-nilai kearifan lokal dan moralitas dalam masyarakat modern, seperti petuah Aristoteles.
Begitulah. Empat pengarang itu bertutur dengan langgam penceritaan yang khas. Yang berbeda dengan tukang cerita lainnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar