Catatan: Tulisan ini terilhami oleh tanggapan Hanna Fransisca, Sahabat saya yang memiliki senyum tertulus, terhadap tulisan ringan saya sebelumnya, Elang Berperilaku Ayam. Semoga tulisan ringan ini bermanfaat bagi kita semua, teruta bagi diri saya sendiri. Salam takzim.
KISAH RUSA BERKAWAN ANJING
Oleh Khrisna Pabichara
“Tidak ada orang yang begitu baik sampai-sampai tidak memiliki kekurangan, dan tidak ada orang yang begitu jahat sampai-sampai tidak memiliki kebaikan.”
—Napoleon Hill
TERSEBUTLAH dalam riwayat, seperti dulu dituturkan oleh Liu Zongyuan, ada seorang warga Lingjiang pergi berburu dan mendapat seekor anak rusa. Hatinya girang bukan kepalang. Anak rusa itu dia bawa pulang ke rumahnya untuk dipelihara. Ketika dia melangkah masuk ke rumah, anjing peliharaannya menyongsong kedatangannya dengan mulut meneteskan air liur dan ekor bergoyang-goyang. Orang ini sangat marah, dengan suara keras dia menghalau anjing-anjingnya.
Sejak itu dia selalu membawa anak rusa mendekati anjingnya, agar mereka terbiasa melihat anak rusa. Pelan-pelan anak rusa dan anjing menjadi akrab dan mau main bersama. Tidak perlu waktu yang lama, seperti lazimnya anjing lain yang selalu bisa patuh dan taat kepada tuannya, ternyata anjing itu juga dapat mengikuti keinginan tuannya.
Setelah agak besar, anak rusa jadi lupa bahwa dirinya adalah rusa, bukan anjing. Sang Rusa pun tumbuh seperti anjing. Dia menganggap anjing ialah dirinya atau, setidaknya, teman terbaiknya. Saling menjilat, saling mengejar, dan tidur bersama. Sebenarnya, Sang Anjing sangat takut pada tuannya, itulah mengapa sebhingga ia sangat ramah terhadap rusa. Meskipun, kadang-kadang, setiap melihat tubuh rusa yang gemuk, anjing itu masih juga melelehkan air liur.
Tiga tahun kemudian, rusa keluar rumah, dan dia melihat ada segerombolan anjing di sisi jalan. Dia pun berjalan mendekati gerombolan anjing itu karena hasrat ingin bermain bersama mereka. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Gerombolan anjing itu sangat gembira dan menyeringai, ramai-ramai menyerang dan membunuh Sang Rusa. Daging rusa mereka makan bersama, tulang-belulangnya mereka tinggalkan di jalan.
Akhir kisah, Sang Rusa hingga mati juga tidak dapat mengerti dirinya.
***
KEHIDUPAN berlalu begitu cepat. Saking cepatnya, kita lebih sering tidak menyadarinya. Meskipun ada sebagian di antara kita memiliki kegemaran “berbincang dengan hatinya”, tapi masih ada juga yang kerap mengabaikan suara hatinya. Beberapa hari yang lalu seorang perempuan renta bernama Mak Enah bercerita kepada saya bahwa dia adalah perempuan yang sangat menikmati hidupnya. Dia memaknai kepahitan hidup bukan sebagai penderitaan—apalagi malapetaka—melainkan sebentuk ujian yang semakin mengayakan dan mencerahkan hidupnya. Dia disiplin mendengarkan kata hatinya dan berani mengikutinya. Secara harta, dia bukan siapa-siapa. Akan tetapi, matanya memancarkan kekayaan hati yang seolah tak pernah berhenti bercahaya. Sungguh menarik!
Lalu, saya pun mulai menyambangi hati. Apa sebenarnya yang saya inginkan dalam hidup ini? Apa saja yang bisa membuat hidup saya lebih kaya dan lebih bahagia? Kelak, jika usia saya semakin uzur, apakah saya bisa menikmati kebahagian layaknya cahaya yang memancar dari mata Mak Enah? Setiap demi setiap pertanyaan seolah kunci pembuka gerbang utama “pencerahan”. Ternyata banyak hal yang belum saya pahami karena indra saya tersungkupi tabir kebiasaan-kebiasaan. Saya terperangkap dalam rutinitas dan penggambaran terhadap makna hidup yang keliru—seperti rusa dalam cerita di atas yang mengira dirinya bisa leluasa bermain dengan anjing mana saja.
Ketika saya berada di tengah situasi yang serba melilit, saya lebih nyaman mengambil langkah aman yang biasa saya lakukan. Saya tidak memiliki keberanian untuk berlama-lama, bahkan sekadar berpikir untuk mencoba solusi atau alternatif baru. Saya cederung lebih fokus pada masalah dan mengabaikan solusi. Padahal, saya tahu, W. Clement Stone pernah berpesan, “Emosi-emosi tidak selalu bergantung pada alas an, mereka selalu bergantung pada tindakan.” Dan tindakan yang saya pilih lebih condong pada “jalur kebiasaan”, jarang sekali mencoba menempuh “jalur yang tak lazim”. Saya sangat takut menjadi Sang Rusa yang terperangkap mengira dirinya adalah “anjing”, sehingga ketika memutuskan untuk bergaul dengan sesama “anjing”, kematian malah menjemputnya.
Di tempat bekerja pun kerap seperti itu. Saya memilih menjadi “anjing yang manis”. Yang serba patuh dan selalu taat. Anjing yang diam-diam memendam hasrat, harapan, keinginan gila, atau pembangkangan terpendam. Pendek kata, saya lebih suka memilih menjadi “anjing” yang melelehkan air liur secara diam-diam, ketimbang berterus terang kepada Sang Tuan bahwa kehadiran Sang Rusa sungguh-sungguh bisa membuat saya lupa diri. Alhasil, saya pun tidak berbuat apa-apa—termasuk menjelaskan kepada Sang Rusa siapa dirinya yang sebenarnya, agar ketika dia bertemu dengan anjing selain dirinya akan tetap selamat—dan membiarkan kesalahan, penyelewengan, atau penyalahgunaan jabatan berlangsung gemilang di depan mata.
Tapi, jangan kuatir, itu terjadi pada diri saya. Bukan Anda!
***
KEHIDUPAN selalu berlalu begitu cepat. Sebutlah, hanya tiga tahun setelah bertumbuh bersama Sang Anjing, Sang Rusa akhirnya mati mengenaskan. Begitulah pula kehidupan memperlakukan kita—saya dan Anda. Pada suatu ketika, kita lebih memilih dikendalikan oleh segala yang dari luar diri kita, seperti Sang Anjing yang dikendalikan Tuannya dan Sang Rusa yang berperilaku layaknya Sang Anjing. Kita gagal menafsirkan apa yang sebenarnya kita inginkan, apa yang sejatinya kita kehendaki, dan apa yang semestinya kita lakukan. Kita lebih banyak membiarkan diri kita diatur oleh keadaan.
Padahal, kitalah yang semestinya menunggangi hidup kita, bukan sebaliknya. Di sinilah letak pentingnya sikap dan pikiran positif. Ya, betapapun, pikiran dan tindakan kitalah yang menentukan apakah kita ini seorang penunggang atau seekor kuda. Mak Enah, misalnya, adalah contoh hidup yang layak menjadi cermin bagi kita bagaimana semestinya berpikir dan bertindak. Dia memilih apa pun yang diinginkannya, mengetahui risiko atas semua pilihannya, dan siap bertanggung jawab atas hidup yang dilakoninya. Ya, bagaimanapun, tentulah kita tak menghendaki sepanjang hidup kita hiasa dengan pelbagai penyesalan.
Memang, untuk menjalani hidup seperti Mak Enah tidaklah mudah. Coba kita renungkan. Bukan perkara mudah mendisiplinkan diri untuk mendengarkan suara hati. Yang lebih tidak gampang lagi adalah memberanikan diri untuk mengikuti bisikan hati kita. Lalu, cobalah sebelum menengok orang lain di sekitar kita lebih dahulu kita melongok ke dalam bilik hati sendiri. Bagaimana perilaku kita sehari-hari? Apakah sudah mencerminkan bisikan hati? Jika “ya”, bersyukurlah, itu langkah cemerlang yang layak kita rayakan. Akan tetapi, jika jawabannya “belum”, kita tak perlu berkecil hati, masih ada waktu untuk memperbaiki diri.
Yang utama adalah keinginan kita untuk menuju ke yang lebih baik. Dan, kesadaran hakiki bahwa kemauan saja belumlah cukup. Kita—Anda dan saya—butuh tindakan nyata.
***
KEHIDUPAN pasti selalu berlalu begitu cepat. Dan, yang bijak bagi kita adalah tidak menjadi Sang Rusa yang salah langkah atau Sang Anjing yang tak memahami hakikat kepatuhan dan ketaatannya. Memang, kesalahan menentukan pilihan adalah hal yang manusiawi. Namun, yang terbaik bagi kita adalah kemampuan memilih secara tepat. Seperti memilih patuh atau taat setelah memahami untuk apa dan mengapa kita harus melakukan kedua hal itu: kepatuhan dan ketaatan.
Maka, berpikir dan bertindak adalah hal niscaya bagi kita. []
Bogor, Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar