Sabtu, 30 Oktober 2010

[TULISAN RINGAN] Jurus Ampuh “Menjual” Karya

Catatan: Tulisan ini disampaikan dalam Seminar/Workshop Tips dan Trik Mempublikasikan Karya di Ruang Kuliah Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Sabtu, 30/10/2010). Semoga bermanfaat!


Jurus Ampuh “Menjual” Karya
Oleh Khrisna Pabichara

Menulis itu menyembuhkan. Ketika seseorang mengalami kejadian pahit yang membuat hatinya terluka, menulis—semisal di diari atau diolah menjadi cerita fiksi—dapat mengurangi “rasa sakit” yang dideritanya. Ketika seseorang mengalawi peristiwa menggembirakan yang membuat hatinya bahagia, menulis—dikemas menjadi tulisan inspiratif yang menggugah—dapat menularkan kisah sukses dan bahagianya itu kepada orang lain. Dalam hal ini, menulis dapat menjadi obat yang mujarab bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Menulis itu mengayakan. Ketika seseorang—sekadar menyebut nama, Andrea Hirata—membabar pikiran-pikiran dan imaji-imaji yang selama ini mengendap di benaknya ke dalam sebentuk tulisan, entah buku fiksi ataupun nonfiksi, tulisannya itu akan menjadi seperti “sawah subur” bagi petani atau “mesin duit” bagi pengusaha yang tak henti menghasilkan uang. Pekerjaan sebagai penulis pun tak lagi bisa dipandang sebelah mata, sebab sudah ada penulis yang berpenghasilan hingga Rp 30.000.000 setiap bulannya hanya karena royalti sebesar 10% dari buku yang dianggitnya. Tetapi, “mengayakan” yang saya maksudkan bukanlah semata mengayakan secara finansial, tetapi juga mengayakan secara emosional dan spiritual. Kebahagiaan tak terperikan ketika buku yang kita tulis dibaca dan diapresiasi orang lain adalah mata air kepuasan batin yang tak pernah kering membahagiakan hati.

Bermula dari kedua alasan itulah saya bismillah memilih jalan hidup sebagai penulis—yang menjanjikan bagi saya, dan seharusnya bagi yang lain juga—dengan segala risiko dan konsekuensi yang menyertainya. Pastilah seorang penulis skenario, misalnya, tidak akan lebih terkenal dari artis yang membintangi karyanya, namun jika karyanya itu laris bak popcorn di pelataran bioskop, ia akan merasakan ekstase yang tak terbandingkan dengan harta. Semacam katarsis yang menyucikan jiwa dan menyehatkan raga.

Maka, jadilah “Penulis” sebagai merek pekerjaan langka yang menghiasi segala jenis tanda pengenal saya.

Hanya saja, untuk menghasilkan tulisan yang “menyembuhkan” dan “mengayakan”, taklah semudah membalik telapak tangan. Butuh ketekunan, kesungguhan, danketeguhan. Ketika hendak mulai menceburkan diri ke samudra kepengarangan,ketekunan menjadi jurus pertama yang mutlak kita miliki. Guna menghasilkan karya bermutu yang bisa diterima khalayak pembaca, belajar dari pengalaman penulis ternama adalah sesuatu yang niscaya. Apa yang mesti kita pelajari? Jawabannya, banyak. Tapi cukuplah saya sebutkan dua di antaranya, yakni kemampuan mencari dan meracik ide dan kemampuan menjual karya. Ibarat seorang koki, kita harus piawai mengolah dan mengemas makanan agar sedap dicecap lidah pelanggan. Tapi, itu saja belum cukup. Apabila kita tidak memiliki kemampuan promosi atau publikasi, restoran kita bakal sepi pengunjung. Artinya, jago menulis mestinya disertai pula dengan kepiawaian “menjual”.

Selanjutnya, kita pun mutlak membekali diri dengan jurus keduakesungguhan. Ya, hasrat menulis saja belumlah cukup. Bakat menulis—jika kita merasa memilikinya—masih belum cukup. Bersungguh-sungguh melatih diri menulis setiap hari adalah satu-satunya cara merintis jalan menuju kegemilangan. Apalagi bila mengingat kesibukan sehari-hari, tanpa kesungguhan, mustahil kita bisa menyempatkan diri melawan “kuman” mengerikan: penat dan letih. Jangan menyangka para penulis ternama memiliki jam biologis lebih banyak daripada kita. Itu salah besar! Mereka punya waktu sehari semalam seperti kita, sama-sama 24 jam. Hanya saja, mereka mampu mengelola waktunya dengan baik sehingga mereka bisa menghasilkan mahakarya, dan itu tersebabkan mereka selalu bersungguh-sungguh.

Kemudian, setelah menguasai kedua jurus awal, kita pun perlu membekali diri denganjurus ketigaketeguhan. Manakala orang-orang di sekitar Anda mencibir karena ketaklaziman yang Anda pilih dengan menjadi penulis, keteguhanlah yang bisa menguatkan hati. Manakala apa saja yang kita tulis ditolak di mana-mana—baik media cetak maupun penerbitan—keteguhan pula yang menjadi vitamin pembangkit semangat. Manakala satu buku, misalnya, yang kita tulis belumlah laris di pasar buku, keteguhan juga yang mampu menguatkan diri agar kita tetap istiqomah di jalan kepengarangan.

Begitulah, ketika kita memiliki ketiga jurus dasar tadi, maka jalan menuju keberhasilan akan terbuka semakin lapang.

Barulah kemudian kita mempelajari jurus-jurus berikutnya, yakni memikat, menggugah,dan mengubah. Ketika gairah menulis kita semakin menggelegak, perlu kita bekali diri dengan kemampuan “memikat”. Kebernasan ide, kedalaman makna, dan kekhasan kemasan menjadi prasyarat agar tulisan yang kita hasilkan bisa “memikat”. Jangan sampai kita menyuguhkan “pepesan kosong” ke hadapan pembaca. Begitu kita melakukan hal seperti itu, tak ubahnya mencoreng arang ke kening sendiri. Kita bakal kehilangan minat beli, kehilangan penggemar fanatik, bahkan kehilangan “masa depan” sebagai penulis. Apa ini terlalu mengerikan? Tidak. Faktanya, banyak orang yang berhasil menulis satu-dua buku, tapi gemanya tak lebih lama dari dentang lonceng jam di tengah malam senyap. Untuk menguasai jurus “memikat” ini, kita harus mulai mendisiplinkan diri agar rajin berjalan, rajin membaca, dan rajin mendengar. Penulis yang memiliki masa depan gemilang bukan mereka yang asyik-masyuk menenggelamkan diri di dalam kamar, berkutat sepanjang hari di depan laptop, atau sibuk berpindah-pindah dari lamunan yang satu ke lamunan yang lain.

Tulisan yang kita hasilkan pun haruslah bisa menjadi semacam dongkrak yang memiliki daya gugah. Ini yang kerap diabaikan banyak calon penulis. Paradigma—yang meski tak sepenuhnya salah—biarkan saja mengalir apa adanya, sudah bukan masanya kita rawat di tengah ketatnya persaingan. Cerita pendek, misalnya, bisa berkisar 100-300 yang masuk ke laci redaktur budaya satu media cetak. Jika cerita pendek karangan kita tak punya “nilai jual” lebih dari yang lainnya, karya yang setengah mati kita hasilkan itu akan “basi” dan tamat riwayatnya sebelum sampai ke pangkuan pembaca. Pun begitu dengan menulis buku. Setiap hari, sebagai penyunting di sebuah penerbitan, naskah yang sampai ke meja saya bisa berkisar dari dua hingga delapan setiap hari. Bayangkan jika Anda mengirim manuskrip buku yang “tak punya daya gugah”, nasibnya akan selesai pada kalimat, “Maaf, naskah Anda perlu dikemas ulang agar diterima dengan riang oleh ‘umat’ pembaca.” Nah, di sinilah pentingnya kita menguasai jurus “menggugah”.

Akhirnya, tiba masanya kita membincangkan jurus “mengubah”. Aturan dasarnya adalah tulisan yang kita anggit haruslah memberikan manfaat bagi pembaca. Camkanlah, seseorang membeli buku atau koran atau bacaan apa pun, pastilah mengeluarkan uang. Kemudian, mereka sengaja meluangkan waktu untuk membacanya. Maka, alangkah sadis dan bengisnya kita apabila ide yang kita babarkan tidak bermakna apa-apa bagi mereka (maksudnya: pembaca). Oleh karenanya, wajib hukumnya bagi kita untuk berusaha dengan optimal agar melahirkan karya yang “mencerahkan”, bahkan jika bisa: “mencerdaskan”. Di titik ini, penting bagi kita untuk terus melatih jurus “mengubah”.

Inilah bekal yang perlu kita miliki sebelum terjun ke gelanggang perang.

Jika segala jurus di atas telah kita kuasai, maka tiba waktunya kita “mencari berkah” dari apa yang kita daras. Banyak orang yang ujug-ujug terkenal karena buku anggitannya bestseller. Jangan mengira mereka mendapatkannya karena jurus “kebetulan”. Buku pertama saya, 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang, misalnya, bukanlah makanan instan yang cukup dengan air panas sudah siap saya santap. Bertahun-tahun saya mengasah dan membekali diri—sebagai seorang motivator—untuk selalu menyiapkan tulisan sependek apa pun sebagai menu yang memperkaya materi yang saya sajikan. Kumpulan tulisan itulah yang kemudian saya kemas ulang agar “layak” dinamai buku. Setelah naskahnya siap, saya pelajari dengan tekun jurusmengatasi rasa malu. Saya kirimkan pesan pendek ke pengarang yang “menyeret” saya ke kegairahan mengarang—Bambang Trim—sambil melatih jurus “keyakinan” menunggu jawaban setiap hari. Bak gayung bersambut, keajaiban mengatasi rasa malu itu membuahkan hasil, buku pertama saya pun akhirnya beredar di pasar. Keyakinanbahwa apa yang saya babarkan dalam buku itu memenuhi segala aturan dari jurus-jurus di atas, akhirnya berbuah royalti yang hingga kini masih saya terima.

Tak berbeda jauh ketika saya berniat menekuni dunia sastra. Alkisah, ketika saya menemukan fenomena bagaimana karya-karya prosa—baik novel maupun cerpen—bisa sedemikian banyak umatnya, saya berselancar dari satu portal ke portal lain hanya demi memuaskan rasa ingin tahu. Terutama membongkar laci arsip www.sriti.com, situs yang mengarsipkan cerpen-cerpen yang dimuat di media cetak. Bahkan, saya mempelajari secara khusus media mana yang paling tepat bagi saya untuk “menjual diri”. Sejak itu, saya mengungsikan diri ke dunia maya guna menilik, menyelisik, dan memahami karakter cerpen yang dimuat di media “sasaran” itu. Sesudahnya, cerpen pertama saya, Rumah Panggung di Kaki Bukit, dimuat di Republika. Semudah itu? Tidak. Untuk mengasah kemampuan menulis cerpen, meskipun tulisan non-fiksi saya sudah tiga buku, saya tetap memposisikan diri sebagai “gelas separuh isi separuh kosong” agar bisa belajar dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Saya bahkan—dengan menggunakan jurus mengatasi rasa malu—mengikuti kuliah “Menulis Karangan Popular” sebagai “mahasiswa tamu” di kelas kritikus sastra, Maman S. Mahayana, dan berguru secara “liar” dari pengarang satu ke pengarang lain.

Kedua jurus itulah yang saya gunakan sepanjang karier saya sebagai penulis. Tidak muluk-muluk, tapi sekaligus bukan sesuatu yang enteng. Manakala ada karya kita yang ditampik—baik oleh penerbit maupun media cetak—bukan berarti dunia telah kiamat. Ada banyak alasan yang membuat karya kita tertolak, dan alasan yang paling saya sukai adalah bahwa karya saya mungkin saja tidak sesuai dengan selera atau aliran “Sang Penolak” itu. Meskipun demikian, saya tetap mengasah diri. Terus belajar. Lagi, dan lagi.

Jurus terakhir yang paling kerap saya gunakan untuk “menjual diri”—dalam makna yang positif—adalah jurus narsis. Saya pernah dituding lebay karena kerap memajang status di Facebook ihwal karangan saya (puisi, esai, cerpen, atau artikel) yang dimuat di media cetak. Tapi tudingan itu saya anggap angin lalu belaka, karena ketika ada “alat iklan” yang gratis, mudah, dan akurat itu adalah keuntungan bagi saya. Lagi-lagi, iklan gratis itu pula yang membuat banyak penerbit melirik tulisan saya. Bahkan tulisan ringan tentang kisah-kisah masa kecil yang saya olah ulang dan menambahkannya dengan terapi asyik untuk mencerdaskan hati, tidak lama lagi akan terbit dengan judul,Terapi Ikhlas: Langkah Ringan Mengayakan Hati. Inilah hadiah dari jurus “narsis” yang saya gunakan. Anggap saja, iseng-iseng berhadiah.

Bagaimana dengan Anda?

Oleh karena kita memiliki tabiat dan karakter berbeda, boleh jadi jurus-jurus di atas tidak tepat bagi Anda. Tapi, setidaknya, Anda akan memiliki bahan pembanding. Semacam timbangan yang dapat menemani Anda untuk menakar sendiri apa danbagaimana cara Anda menjual karya. Bagaimanapun, seperti nasihat pendahulu kita, banyak jalan menuju Roma. Dan, yang perlu Anda lakukan—termasuk saya—adalah memberanikan diri untuk mulai melangkah.

Pada akhirnya, tahukah Anda bahwa segala yang saya tuturkan ini sebagian besar karena saya meyakini keampuhan jurus “narsis”? (*)

Bogor, Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar