Selasa, 23 November 2010

[ESAI] Menghargai Pilihan Hidup Sebagai Pengarang

Catatan: Tulisan ini adalah Sambutan Koordinator Dewan Juri Anugerah Sastra Khatulistiwa 2009-2010, Damhuri Muhammad. Dinukil dari bookletThe 10th Khatulistiwa Literary Award.


Menghargai Pilihan Hidup Sebagai Pengarang
oleh Damhuri Muhammad

Ada sebuah peristiwa sederhana di akhir kerja penjurian KLA 2010. Meski sederhana, pengaruhnya terasa sampai saat saya menulis ulasan ini. Waktu itu saya menghubungi salah seorang nominator via telepon untuk memintasoftcopy sampul buku, biodata, dan foto terkini guna dicantumkan pada bookletyang ada di tangan Anda pada malam ini. Dengan nada sinis, nominator itu mempertanyakan keseriusan kerja penjurian. Ia bilang, bukunya tipis tapi bisa masuk 5 besar. Lalu, saya membuat beberapa asumsi. Pertama, ia beranggapan bahwa hanya buku-buku dengan ketebalan maksimal yang bakal terjaring dalam seleksi shortlist, padahal kerja penjurian sama sekali tidak mempertimbangkan tebal-tipis dan berat-ringan buku yang sedang dinilai. Kedua, ia tidak memperkirakan sebelumnya bahwa bukunya bakal menembus tahap 5 besar, mungkin karena ia merasa di tahun ke-10 ini persaingannya semakin ketat, atau ia sudah tidak percaya pada objektivitas dalam kerja penjurian. Ketiga, ia tidak mengetahui betapa panjang dan tidak gampangnya proses kerja penjurian sebelum sampai pada tahap longlist dan shortlist.

Sebagai pekerja sastra, saya menimbang anugerah Khatulistiwa Literary Award tegak di atas sebuah itikad untuk menghargai, bukan saja kedalaman eksplorasi estetik dalam sebuah karya sastra, tapi jauh lebih penting adalah menghargai pilihan hidup sebagai pengarang, jalan kepengarangan yang terjal, penuh onak-duri, berliku-liku, sebelum membuahkan karya besar. Proses kreatif dalam melahirkan sebuah novel misalnya, tersendat-sendat lantaran minimnya biaya riset dan pengumpulan data. Kalaupun akhirnya novel itu terselesaikan, pengarang sendiri yang mengupayakannya. Persoalan selanjutnya adalah berhadapan dengan penerbit yang semakin alergi dengan naskah-naskah dari negeri sendiri. Rasio antara novel terjemahan dan novel lokal saat ini sangat jomplang; 10 : 1. Artinya, penerbit-penerbit yang concern pada buku sastra, mencetak 10 novel asing dan hanya 1 novel lokal. Konon, itu sekadar memperlihatkan penghargaan terhadap sastra Indonesia, meski bila ditimbang dengan analisis pasar, dipastikan tak bakal balik-modal.

Kalaupun ada satu-dua naskah yang dinyatakan layak-buku, pengarang harus bersenang hati menerima royalti senilai 10% dari harga jual, dibayar secara berkala per tiga bulan sekali. Tak ada bergaining potition bagi pengarang guna menaikkan nilai royalti menjadi 15%-20%, misalnya. Setelah dihitung-hitung, ternyata pihak yang paling banyak diuntungkan dari bisnis perbukuan adalah toko buku, yang tidak segan-segan menuntut rabat 45%-50% kepada distributor. Urutan kedua dipegang distributor, lalu penerbit, dan bagian paling kecil adalah pengarang, kreator yang menyebabkan semua transaksi terjadi. Masih beruntung bila naskah itu jatuh ke penerbit major label yang manajemen keuangannya sudah tertata. Tapi, bila jatuh ke penerbit kecil, ceritanya lain. Laporan penjualan yang seharusnya per tiga bulan sekali bisa dirapel menjdi enam bulan sekali, dan lebih parah lagi, data penjualan kerap dimanipulasi guna mengurangi nilai pembayaran pada pengarang. Buku yang terjual 100 eksemplar, katakanlah dalam dua bulan, bisa terlapor 50 eksemplar. Masalah ini memang bukan dalam wilayah artistik, tapi begitu mendesak, sebab menyangkut hak dan kesejahteraan para sastrawan yang seumur-umur telah mendedikasikan hidup mereka pada sastra Indonesia.

Novelis, cerpenis, apalagi penyair, mengalami ketidakmujuran yang sama. Kerja mereka dalam segi-segi non-artistik hampir sama kerasnya dengan pergelutan kreatif guna mendedahkan karya bermutu. Tengoklah cerpenis yang belakangan ini begitu gencar melakukan self-marketing lewat situs jejring sosial Facebook. Sebutlah misalnya Benny Arnas yang baru saja melepas antologi cerpen bertajuk Bulan Celurit Api (2010). Awal Oktober 2010 bukunya turun cetak, tapi sejak September 2010 ia sudah melakukan direc-selling di dunia maya. Hasilnya spektakuler untuk ukuran buku sastra, 100 eksemplar BCA telah terjual, tiga minggu sebelum buku terbit. Pemesanan langsung berdatangan dari Jakarta, Aceh, Makassar, Kalimantan, Yogyakarta, Padang, Medan. Kabar terkini yang saya terima, Bulan Celurit Api, bakal cetak ulang, padahal launching-nya baru akan digelar akhir November mendatang. Kerja semacam ini juga dilakukan olehBamby Cahyadi untuk bukunya Tangan untuk Utik (2009), dan Khrisna Pabichara untuk kumpulan cerpen Mengawini Ibu (2010). Barangkali fenomena ini dapat disambut sebagai kabar baik bagi sastra Indonesia, khususnya genre cerpen. Namun, sebagai pekerja seni, energi dan stamina mereka tentu bakal terkuran untuk hal-ihwal yang non-artistik. Mereka pengarang yang sekaligus juga pedagang.

Maka, dalam konteks inilah peran Khatulistiwa Literary Award dapat ditandai. Dengan nilai penghargaan yang terbilang memadai, sedapat-dapatnya ia memperkuat posisi tawar para pengarang, untuk terus bertahan dan bersetia menempuh jalan kepengarangannya, dan tidak tergoda untuk berganti haluan lantaran keterbatasan demi keterbatasan dan apresiasi setengah hati. Jayalah terus para pengarang Indonesia...

Damhuri Muhammad
Koordinator Dewan Juri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar