Catatan: Tulisan ini saya kutip dari notes Mbak Faradina Izdhihary. Terima kasih saya haturkan ke hadapan Mbak Fara. Sukses selalu.
Mengawini Ibu, Kumcer "Perempuan Banget", Karya Khrisna Pabichara
Oleh Faradina Izdhihary
Sebenarnya paket buku kiriman Kayla Pustaka sudah sampai di kantor hari Sabtu, 13 November 2010. Namun, karena hari itu saya harus bezuk saudara ipar di rumah sakit dan melepas keberangkatan suami yang akan tugas ke ibukota, jadilah hari itu saya tak masuk kerja (sebenarnya memang hari Sabtu kebetulan tak ada jam ngajar saya).
Pagi ini, usai upacara saya terima paket itu. Kebetulan saya ngajar jam ke 4. Jadi langsung saya lalap buku cerpen yang judulnya sangat menggoda, “Mengawini Ibu”. Tapi, setelahnya saya membaca cerpen pertama Gadis Pakarena.
Mau tahu komentar saya? Wuah… kumcer yang hampir semua menggunakan sudut pandang orang pertama (aku) ini ternyata lebih perempuan dari cerpen yang ditulis oleh cerpenis perempuan. Artinya, hampir sebagian cerpen (meski beberapa baru saya baca sekilas) menggunakan gaya bahasa seperti bahasa perempuan, dan sangat mengilik-ngilik perasaan saya yang sangat menyukai cerpen atau novel yang “perempuan style”. Sedikit saya bocorkan cerpen Gadis Pakarena, cerpen pertama yang langsung membuat saya menyimpulkan bahwa kumcer ini benar-benar “selera saya”.
Gadis Pakarena menceritakan kisah “aku” yang berkunjung ke kota Wuhan untuk menemui kekasihnya, seorang gadis keturunan yang pandai karawitan dan menarikan tarian tradisional “pakarena”. Itulah sebabnya si aku menyebutnya Gadis Pakarena. Seperti umumnya jalinan cinta dua orang yang berbeda suku, agama, dan budaya baik pihak keluarga laki-laki (berdarah Makasar) dan perempuan berdarah Tionghoa, percintaan mereka pun tak mendapat restu. Namun, si aku, pada suatu waktu seperti yang telah dijanjikan mencari gadis impiannya ke kota kelahiran kekasihnya itu, Wuhan. Jalinan ceritanya sendiri sebenarnya tidak terlalu luar biasa, namun sangat lancar dan mengalir. Namun endingnya sungguh membuat saya tercekat, merinding, dan meneteskan air mata (hhhh... kebiasaan buruk saya kalau membaca sesuatu yang sangat menyentuh perasaan).
Saya tuliskan saja dua paragraf terakhir cerpen ini tanpa banyak komentar. Silakan dirasakan betapa sakit yang mengiris akan menganga di dada kita.
… Aku merasa tidak berada di dunia, terbangun dan menyadari diri terbaring di tempat yang lengang dan asing. Tanpa kamu, tanpa sesiapa. Aku tak mengerti bagaimana bisa aku tiba di sebuah pusara, dan menemukan namamu tertatah di nisannnya yang masih Nampak baru. Kesedihan yang begitu asing, yang baru kualami sepanjang hidupku, membuatku limbung dan nyaris pingsan. Kabut yang datang dan pergi tiba-tiba seakan menjadi latar yang sempurna bagiku, satu-satunya pelakon di panggung sunyi ini. Dan kupingku dikejutkan oleh bisikan lirih yang memaksa bulu-bulu di tubuhku sekonyong-konyong berdiri. Entah dari mana asal bisikan itu, aku tak tahu. Bisikan itu begitu pedih, mengiris-iris hatiku: Kim Mei telah tiada. Dia mati bersama luka perkosa kerusuhan Mei, yang dia bawa hingga tanah kelahirannya.
Kamu telah menempuh jalan Juliet. Akankah juga kutempuh jalan Romeo?
Sungguh, bukan kematian Kim Mei (Gadis Pakarena) yang membuat saya menangis tersedu membacanya. Tapi luka sejarah bangsa ini begitu mengiris. Persis seperti kalimat dalam cerpen itu, “Bisikan itu begitu pedih, mengiris-iris hatiku”.
Mengawini Ibu menceritakan tentang seorang anak yang menyimpan dendam dan amarah pada bapaknya yang doyan kawin dan main perempuan, Meski demikian si ibu tetap setia dan tidak mendendam pada apa yang dilakukan suaminya. Simak beberapa penggalan jawaban sang ibu tiap kali si aku memrotes sikap sabar dan pemaaf ibunya.
a. Cinta, Nak, adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka.
b. Mencintai itu pekerjaan abadi, Nak, tak pernah selesai.
c. Hidup, Nak, acap kali tak seperti yang kita bayangkan.
d. Perempuan bukan boneka Nak, mereka punya hati.
Ternyata saya juga menemukan lagi suara hati seorang ibu, seorang istri, yang sangat kuat, sekuat Mengawini Ibu, yaitu dalam Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu. Saya daftar saja beberapa pernyataan indah tentang cinta yang dalam bayangan saya sulit lahir dari hati seorang laki-laki. Hm, barangkali hanya lelaki paling romantis dan berhati lembut (ssst, Daeng, biasa aja, jangan jadi besar kepala) yang bisa menuliskan kata-kata indah berikut ini.
a. Cinta itu, Sayang, anak kandung pengertian dan pengorbanan.
b. Cinta itu, Sayang, dimasak dari ramuan paling purba bernama ketulusan.
c. Cinta itu, Sayang, menyembuhkan dan mematikan.
d. Cinta itu, Sayang, tersembunyi di balik kepedihan.
e. Cinta itu, Sayang, penuh kejutan yang menyakitkan.
f. Cinta itu, Sayang, bersenyawanya tawa dan air mata.
Andaikata saya tidak mengenal Daeng Khrisna (meski secara nyata baru ketemu satu kali), dan tidak tahu bahwa kumcer ini adalah tulisannya, barangkali saya akan mengira bahwa kumcer ini ditulis oleh seorang cerpenis perempuan berhati ibu (baca: lembut dan perasa).
Dalam pengalaman hidup saya banyak saya temui lelaki berkarakter seperti sang bapak, begitu pun banyak istri yang berkarakter seperti ibu. Lelaki berkhianat, membagi cinta di mana-mana, kawin-cerai, si istri menerima dan selalu memaafkan. Apakah ini sebuah bukti adanya penindasan laki-laki atas perempuan? Dalam cerpen ini, Daeng Khrisna berhasil mebaca perasaan paling hakiki dari seorang perempuan, seorang istri. Bahkan sangat seuai dengan prinsip ibu saya, yang di kemudian hari juga saya pegang, “Cinta adalah kesetiaan dan pengabdian.” Inilah yang sangat kuat ditampilkan melalui tokoh ibu.
Pun saya tertawa miris, saat membaca protes si anak berikut ini.
… Saking sabarnya (ibu), ayah bebas melakukan apa saja yang dia hasrati. Aku bingung jika kamu bertanya apa kekurangan ibu hingga ayah berselingkuh. Ibu adalah sosok perempuan yang sempurna. Dia tak suka mengeluh, apalagi membantah. Dia tak bernoda, tak bercela. Satu-satunya kekurangan ibu, menurutku, adalah dia terlampau kukuh memegang adat dan hukum agama. Pernah terlintas di benakku, Tuhan salah menitiskan karakter pada ibu. Tetapi bukankah tak baik menyeret-nyeret Tuhan ke dalam sebuah masalah seperti ini? Lagi pula mana mungkin Tuhan salah? Memang dasar Ayah yang gila, Ibu juga.
Sumpah, saya tertawa. Dulu saya pun pernah protes pada ibu saya mengapa mau menjadi istri bapak saya (astaghfirullahal adhiem) bila melihat bapak (yang temperamental) memarahi ibu. Kok Ibu diam saja, gak melawan, gak protes? Padahal kan tidak selalu ibu yang salah. Tapi catat ya: Bapak saya setia, sangat setia. Tak pernah ada perempuan lain. Hal yang sama ternyata juga pernah dilakukan banyak teman saya, bahkan saudara ipar perempuan saya. Kelak saat memasuki gerbang pernikahan, kami menyadari bahwa demikianlah perempuan (istri) dijadikan danau peneduh dan pendingin bagi lelaki. Heheh... (sory ya Daeng, aku mengikuti bagian ini “terlampau kukuh memegang adat dan hukum agama”). Bagi istri, memaafkan menjadi sebuah kebahagiaan batin yang tak terukur.
Ah, baru saya dapatkan jawaban mengapa cerpen-cerpen Daeng Khrisna demikian "perempuan" (lembut dan menyentuh perasaan) setelah saya lahap habis epilog kumcer ini: Segala Terima Kasih. Secara gamblang, Daeng menuliskan ucapan terima kasih di urutan 3, 4, dan 5 adalah ibunya, istrinya, dan anak perempuannya. Simaklah larik-larik menyentuh ucapan terima kasih berikut ini.
Kepada Shafiya Djumpa—perempuan paling ibu yang menemaniku belajar tentang hakikat cinta dan kehidupan. Terima kasih Bunda, atas cinta yang selalu meruah dari segala arah tanpa takar untukku. Yang entah dengan apa dan bagaimanasemestinya aku nyatakan. Rinduku selalu, Bunda. Selalu! (hiks… air mata saya menitik membacanya. Daeng, titip salam takzim buat bundamu ya… I believe, tak ada perempuan yang paling indah selain ibu.)
Kepada Mamas Aurora Masyitoh—perempuan paling perempuan yang mengajariku bagaimana semestinya jadi lelaki dan suami. Terima kasih, Cinta, atas setia dan senyummu yang selalu teduh dan meneduhkan. Sungguh, entah bagaimana aku jika kamu tak setia menemaniku. Semasa suka, semasa duka. Dan aku yakin masihlah lebih banyak duka dari sukanya. Sayangku selalu, Cinta. Selalu! (saya bergetar membacanya, sebuah pengakuan cinta dan kejujuran yang luar biasa).
Ternyata, Daeng Khrisna Pabichara adalah seorang pencinta perempuan.
Hehehe..., kiranya pembacaanku baru dua cerpen. Tapi saya yakin bakal membuat para istri "ngiler" untuk segera membaca buku ini. Dua puluh menit lagi aku ada kelas. Tapi, simpulan awal saya, insya Allah gak salah dech: Cerpen ini paling yahud buat dibaca para perempuan, terutama para istri. Hayo para ibu, (eh para istri, kasihan yang belum ada momongan) serius nih, nyesel kalau gak dapetin kumcer yang perempuan banget ini.
Untuk Daeng Khrisna, peace ya, kalau kukatakan cerpen-cerpenmu perempuan banget. Hehehehe, style yang sangat “aku banget”. Makasih yaaaaa. (Maaf saya tak membuat ulasan ilmiah dan lengkap. Suka-suka saya yaaaaa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar