Catatan: Puisi ini termuat di "Antologi Puisi: Roket Pun Bersyair" (Tekro Publishing, Juni 2010) Terima kasih kiriman bukunya, Man Atek.
Segala Bara di Matamu
Khrisna Pabichara
Tidur sini, Nak. Di pangku ayahmu. Banyak hikayat yang tak layak kau cerna. Perihal hantu sudah tak jaman. Seperti lapuknya riwayat buaya yang tak usai menyesali diri selepas dikadali si kancil—yang kau selalu bilang itu bukan kancil, tapi kelinci. Begini saja, Nak. Kau bacalah harapan yang rimbun di getir kenyataan. Seperti pertama kali tangismu memanjang dan orang-orang sibuk tertawa. Seperti ketika kau tanya jenis kelamin Tuhan dan ibumu repot mencari jawaban. Seperti waktu kau bersikeras membuat roket dari kertas agar kau bisa menjemput cita-cita—karena gurumu meminta cita-cita itu harus kau gantung di pucuk langit.
Segala menyala di matamu, Nak. Riuh rindu mengamuk bersama kecewa yang kerap menyalip tiba-tiba. Tak perlu berkilah apalagi mengeluh hanya karena nilai bahasa dan matematikamu tak lebih dari lima. Hidup, Nak, tak bisa ditakar semata dengan angka. Begini saja, Nak, kita bincangkan nasib kanak-kanak yang tak bisa sekolah dan mengubur mimpinya di jalanan. Kau ejalah peruntungan yang intim di pedih kehidupan. Seperti pertama kali hasratmu mengalir untuk merakit kendali nuklir. Seperti ketika kau tanya gaji penyair dan ibumu ramai membilang utang. Seperti waktu kau bersikeras jadi astronot agar kau bisa memulung bintang—karena kakakmu selalu menepuk dada setelah menjadi bintang kelas.
Tidur sini, Nak, di pangku ayahmu. Bolehkah kita berhenti bicara? Kadang-kadang, Nak, matamu lebih berkuasa daripada kata-katamu.
Bogor, November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar