PEMIKIRAN Rocky Gerung yang santun, tekun, dan runut dalam upayanya mendedahkan alasan keterpilihan Smokol, karya Nukila Amal, sebagai cerita terbaik dalam Cerpen Kompas Pilihan 2008, akhirnya membawa saya pada kesimpulan penting: “politik rasa lapar”. Menurut Rocky, keterpilihan Smokol karena bertumpu pada metafisika politik, yaitu kondisi normatif manusia yang menghendaki pemenuhan imajiner terhadap hasrat (desire). Lebih lanjut, lewat prolog yang diungkapnya dalam Smokol, Cerpen Kompas Pilihan 2008, Rocky mengakui keterpikatannya pada penemuan alur-pikir ihwal konsep cerdas untuk mempersoalkan takwil korupsi sebagai hasrat yang tidak semata pemenuhan rasa lapar seorang pejabat publik, tapi juga merambah “kejahatan teknis” yang merugikan keuangan negara dan “kejahatan etis” yang menghina rasa keadilan rakyat. Penghinaan terhadap rasa keadilan itu mendenging sebagai “suara dari bawah meja makan,” imbuh Rocky.
Lain padang lain belalang. Lain Rocky Gerung, lain pula Linda Christanty. Jika Rocky meneruka alasan keterpilihan Smokol semata, Linda berusaha keras menegaskan “secara canggung” alasan keterpilihan Smokol melalui perbandingan terhadap cerpen lainnya. Bagi pengarang Kuda Terbang Mario Pinto itu, 51 cerpen yang terbit di Kompas sepanjang tahun 2008 ternyata “kurang” menawarkan “hiburan” yang bisa membuatnya bersuka-cita selaku pembaca. Sekaligus, sebagai juri yang memiliki otoritas kepemilihan. Kartu Pos dari Surga disebutnya sebagai “cerita horor dadakan” yang diolah setengah-setengah. Iblis Paris, baginya, terbaca sebagai timbunan rujukan atau pameran kekayaan wawasan pengarangnya. Pada Perempuan Sinting di Dapur, pemenang Khatulistiwa Literary Award 2004 ini menemukan keganjilan, semacam silang-sengkarut antaralinea. Untunglah, Merah Pekat, menawarkan suguhan lain karena, kata Linda, kepiawaian “Fransisca Dewi Ria Utari” (dalam epilog, Linda terpeleset menyebut Intan Paramadita selaku pengarang Merah Pekat) dalam membangun suspens dan mengakhiri cerita dengan klimaks yang mencekam. Dan, Linda akhirnya bisa tertawa-tawa dan terpuaskan setelah membaca Smokol. “Tertawa” karena “aura sindir” yang memancar lembut dari alir-kisah Batara, dan “terpuaskan” karena tak tersua olehnya sedikit pun cela-retak dalam cerpen karya Nukila Amal itu, baik dari sisi bentuk maupun isinya. Hal ini tergambar dari ketiadaan sasar-kritik Linda terhadap cerpen itu, tidak seperti yang dilakukannya secara “cerdas” dan “kritis” pada cerpen-cerpen lainnya.
Tentulah berat beban menjadi wasit, juri, hakim, bahkan pemilih. Bahwa tidaklah mudah memisahkan 51 cerpen menjadi 15 deret terbaik, itu bisa diterima. Bahwa amat sulit memilah satu cerpen “terdahsyat” di antara 15 cerpen pilihan, itu pun bisa diterima. Namun, setiap pembaca pasti membutuhkan “argumen pembelaan” sang pemilih terhadap keterpilihan 15 cerpen dan ketergusuran 36 cerpen lainnya. Memang, Rocky telah menutur-uraikan secara lugas alasan keterpilihan Smokol sebagai yang “terbaik”, namun ada banyak justifikasi yang laik pula disematkan pada cerpen lain. Semisal, jika tamsil “politik rasa lapar” menjadi pembenaran keterpilihan Smokol, bukankah dengan cara berbeda dapat pula diberlakukan pada Rumah Duka, Sakri Terangkat ke Langit, Ratap Gadis Suayan, bahkan pada 11 cerpen lainnya?
Sementara, pijakan gagasan keterpilihan Smokol, yang diuraikan Linda, terasa “serba canggung” dan “sangat tanggung”. Mengapa? Selain karena tidak mengupas-tuntas 15 cerpen terpilih—terlepas dari alasan ketersediaan ruang tulis, juga karena aroma pemberhalaan cerpen tertentu. Kategori pemilahan tak lebih dari sodoran alasan yang bersifat reportif, sangat terbuka untuk diperdebatkan. Bahkan, keberpihakan itu seolah-olah bersifat stipulatif, sewenang-wenang, dengan menyatakan tak ada yang “layak”, kecuali satu. Keberpihakan kita terhadap “sesuatu” harus didukung oleh argumentasi rasional, yang masuk akal. Keterpilihan, selain “selera”, juga harus bisa menawarkan kategori bagaimana memilih dan apa saja yang terjadi selama proses pemilihan.
Dalam hal ini, Linda menunjukkan keberpihakan pada cerpen tertentu tanpa alas-pijak argumentasi yang rasional. Hal ini terlihat dari tidak ditemukannya argumen bijak mengapa 15 cerpen itu bisa terpilih dan kenapa 36 cerpen lainnya terpinggirkan. Maka, saya lantas menyebut keterpilihan cerpen itu sangat dipengaruhi oleh “politik selera”. Tentu saja, ini sah dan boleh-boleh saja.
Membidik Cerpen Lain
MENGADOPSI dan mengadaptasi pendapat Rocky tentang kepentingan pembaca terhadap cerpen, maka saya mencoba membuka ruang tafsir baru dengan uji-tafsir yang berbeda dari kedua Sang Juri, Rocky dan Linda. Cerpen pertama yang memikat saya adalah Sampan Zulaiha, karya Hasan Al-Banna yang dimuat Kompas pada Minggu (15/06/08). Jika Smokol menarik karena “suara lain di bawah meja”, maka Sampan Zulaiha menawarkan “aroma sukacita” rumah rapuh di tepi laut yang setiap saat terancam gelombang pasang atau kuasa rawa. Jika pada Smokol tercium “bau totalitarianisme kekuasaan”, maka Sampan Zulaiha menyuguhkan wangi eksistensi tentang “hasrat keberterimaan” sekaligus “nafas ketakpuasan” seorang perempuan, yang hendak diperlakukan setara dengan perlakuan pada kaum lelaki.
Mitologi yang diusung Yanusa Nugrogo lewat Hikayat Gusala, juga layak ditarik ke ruang wacana baru. Cerpen yang dimuat Kompas pada Minggu (23/11/08) ini bertutur tentang mitos lelaki dengan kecerdasan tak lengkap dan badan separuh raksasa, Gusala. Yanusa tidak semata menarik mitologi ke ruang estetik, tapi menawarkan sebuah alegori perihal peruntungan setiap manusia. Alegori itu bisa ditarik-diulur ke ruang nyata, semau kita. Seperti Nukila Amal mendedah Peri Smokol, yang juga mitos bagi orang Manado, ke dalam cerpennya.
“Politik rasa lapar” yang mendasari lelaku korupsi, misalnya, juga terendus kuat dalam Yuang Apuak. Tokoh ini diusung Darman Moenir ke dalam ceritanya, Kompas pada Minggu (28/09/08), digambarkan sebagai tokoh rantau yang sukses karena kemampuan diplomasi dan komunikasinya dalam meyakinkan orang lain. Konon, Yuang Apuak menggerus uang sumbangan dan bantuan untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, kematiannya pun mengalami banyak hambatan.
Ketiga cerpen di atas, bersandar pada asumsi dapat ditafsirkan berdasarkan kepentingan pembaca, maka ketiganya “layak” diperhitungkan menembus 15 besar, sama layaknya dengan Smokol, Terbang karya Ayu Utami, atau cerpen lainnya.
Politik Selera
MEMANG, tak bisa dipungkiri, selera merupakan salah satu kategori penentu tingkat keterpilihan. Namun, selera itu tidak akan “menyulut” kontroversi, andai saja bisa diurai melalui argumentasi rasional. Akan tetapi, merujuk pada pendapat Maman S. Mahayana (2005:125), akan lebih elegan dan berwibawa jika: (1) ada kejelasan otoritas dan kualifikasi juri, (2) tak ada kesan juri berasal dari kelompok kepentingan, (3) ada pertanggungjawaban juri atas pilihannya, dan (4) kriteria penilaian bukanlah pertimbangan kuantitatif, melainkan kualitatif.
Saya yakin, baik Juri maupun Kompas, tak pernah berniat menggiring pembaca ke labirin menyesatkan. Akan tetapi, siapa pun harus bisa dan berani mengakui “kesalahan” kecilnya. Misalnya keterpelesetan dalam penyebutan nama pengarang karena hal itu menyangkut karya intelektual seseorang. Ini tak bisa dipandang remeh.
Bukankah “lelaku pilah-pilih” meniscayakan “ketelitian”?
KHRISNA PABICHARA
Penyuka cerpen, motivator pembelajaran, tinggal di pinggiran Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar