Rabu, 10 Juni 2009

ESAI SASTRA: Hikayat Mimpi Bamby Cahyadi


SUDAH LAMA saya ingin menulis tentang Bambang Cahyadi sebagai penulis cerpen, karena saya selalu terkesan dengan gaya penuturannya, dan sekaranglah kesempatan itu datang. Tanpa saya sadari, saya telah “terperangkap” kenikmatan membaca cerpen-cerpen Bamby, demikian panggilan akrabnya, terutama cerita-cerita 100 kata yang selalu “bernas” dan “bergizi”. Akan tetapi, kelezatan sebuah tulisan tidak akan terekam dalam jejak ingatan, sebelum kita mencoba lebih serius dari sekadar membaca.


Setiap kali saya membaca sebuah cerpen, ada beberapa pertanyaan yang pasti menjadi langganan, yaitu (1) cerita itu tentang siapa, (2) bagaimana cerita itu disampaikan, dan (3) apa yang diinginkan cerita itu (Khrisna Pabichara, 2004). Dan, kerapkali ditambahkan dengan (4) apakah konflik cerita benar-benar menegangkan, (5) apakah karakter penokohan sudah kuat, (5) apakah klimaks akan benar-benar mengejutkan pembaca, dan (6) apakah logika cerita akan benar-benar meyakinkan (Jamal D. Rahman, 2008).


Sebenarnya, sebagaimana pernah ditasbihkan Seno Gumira Adjidarma (2005), saya mencoba melepaskan diri dari penjara teori-teori pembacaan cerita yang terlanjur saya ketahui, meski memang terpertanyakan: mungkinkah berpendapat dan memaknai sesuatu tanpa teori? Oleh karena itu, saya tetap saja berkutat pada: apa sebenarnya yang memikat saya dari cerpen-cerpen Bamby ―dan mengapa? Kemudian, apa manfaat yang bisa saya rekam ke dalam jejak ingatan?


Biasanya, setiap saya membaca cerita baik cerpen maupun novel, saya menyimpan harapan semoga setelah halaman terakhir selesai saya baca, ada kesan yang bisa saya simpan. Kesan itu bisa sangat kuat, bisa kuat, bisa lemah, bahkan bisa sangat lemah. Dengan kata lain, saya berharap banyak dari cerpen Bamby, Bendera itu Tidak Berkibar Di Sini.


Semoga!


BANYAK ORANG yang ingin menulis cerita, baik pengalaman pribadi maupun endapan pemikiran yang bersumber dari luar dirinya. Akan tetapi, tidak banyak yang benar-benar bisa melakukannya. Sebagian alasannya adalah karena menulis cerita itu memerlukan waktu. Ya, banyak orang mengira menulis itu memerlukan alokasi waktu secara khusus (Marion Dane Bauer, 2005).


Mereka perlu waktu untuk melamunkan “ide cerita” yang membayang di dalam benak, perlu waktu untuk menuliskannya, dan perlu waktu untuk menggarapnya sehingga cerita itu siap untuk dibaca. Padahal, meminjam istilah Mulyadhi Kartanegara (2005), hari semua orang memiliki jam yang sama, sama-sama 24 jam.


Namun, Bambang Cahyadi, seorang manajer sebuah restoran rumah makan cepat saji ternama di kawasan Pondok Indah, berhasil melewati kungkungan waktu itu. Bamby termasuk produktif menulis cerpen di sela kesibukan sehari-harinya. Selain itu, cerita yang dihasilkannya pun bukan cerita asal jadi. Pengalaman sebagai “mantan” wartawan Majalah Pramuka Kwarnas Jakarta mungkin telah menjadi kawah candradimuka yang mengasah kemampuan menulisnya di sela tenggat waktu yang padat dan ketat.


Pada hakikatnya, sebuah cerita adalah pekerjaan media yang membangun kembali realitas (constructed reality) dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Oleh karena itu, sebuah cerita mempunyai peluang yang sangat besar untuk menuturkan makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas kehidupan yang dibangunnya. Bamby dengan piawai mampu membangun realitas itu dalam cerita-cerita yang ditulisnya. Di ujung pena Bamby, bahasa bukan sekadar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak disampaikan kepada publik (pembaca). Dalam peradaban yang kreatif, yang disampaikan dalam sebuah cerita bukan semata informasi tapi juga ideologi dari penulis (Khrisna Pabichara, 2008).


Karya sastra merupakan bentuk wacana yang dipengaruhi oleh individu pencipta karya tersebut dengan segala ideologi yang dimilikinya yang sangat berperan dalam melestarikan wacana nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Secara umum, empat cerpen karya Bamby yang saya telaah adalah penggambaran realitas yang memang nyata terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dalam telisik kali ini, saya hanya akan mengupas cerpen Bendera Itu Tidak Berkibar Di sini.


Dalam cerpen ini, lewat tokoh Topo, Bamby dengan cerdas memotret proses gradasi nasionalisme orang-orang sekampungnya yang tidak mengibarkan bendera di halaman rumahnya pada tanggal 17 Agustus. Faktanya, begitulah yang terjadi dalam kehidupan nyata. Coba telisik dunia sekitar kita, dimana banyak di antara kita yang mengibarkan bendera hanya sebagai wujud rutinitas dan bukan karena kesadaran patriotik sebagai wujud rasa syukur atas kemerdekaan bangsa.


Kita bisa mulai membaca dari tiga paragraf pembukanya:


Kelopak mata Topo belum sepenuhnya terbuka, kelopak matanya masih separuh terbuka. Ia mengucek matanya yang lengket akibat belek dengan punggung tangannya, tahi mata yang mengeras itu kemudian rontok seperti upil yang dikorek oleh jemari. Kini Topo tidak lagi merem-melek, kedua kelopak matanya sudah benar-benar terbuka. Sempurna.

Ia lalu menguap melenguh menuntaskan sisa kantuk yang masih menggantung, mulutnya mengeluarkan bunyi dan aroma yang tidak sedap, untuk didengar apalagi diendus. Topo bangkit dari ranjangnya meninggalkan suara deritan yang membuat ngilu pendengaran. Rupanya ranjang besi Topo perlu juga dilumeri gemuk atau oli, tapi ia tidak peduli. Ia masih bisa tidur nyenyak dan tidur lebih lama di ranjang berderit itu. Begitulah Topo, untuknya tidak penting tempat tidur yang bagus, yang penting kualitas tidurnya. Falsafah tidur yang cukup bermakna.

Topo bergeliat merenggangkan pinggangnya ke kiri ke kanan, ke depan ke belakang, juga meninggalkan suara gemeretek, tanda tulang belulang Topo perlu juga dilumeri kalsium, bukan gemuk atau oli. Tapi pagi ini ia tidak butuh kalsium, apakah yang bersumber dari susu atau biji kedelai. Tidak penting baginya minum susu kalsium. Pagi ini, ia hanya ingin segelas kopi panas, pahit boleh, manis lebih mantap.


Pengalaman bangun tidur adalah pengalaman siapa saja. Artinya, semua orang pernah mengalaminya. Namun tidak semua orang piawai menerjemahkan kebiasaan itu lewat sebagian besar kata kerja (verba) dan kata benda (nomina). Seorang penulis, melalui berbagai kapasitas kemampuan yang dimilikinya, tidak bijak jika menyangka bisa mengelabui pembaca. Apalagi terhadap “sesuatu” yang dipahami setil dan selak-beluknya oleh pembaca, semisal proses bangun tidur.


Dan saya sangat terkesan pada bagaimana Bamby mengatur pemunculan tokoh Topo di awal cerita. Kelopak mata Topo belum sepenuhnya terbuka ―menunjukkan secara tegas bahwa Topo belum benar-benar terjaga dari tidurnya. Topo masih dalam kondisi antara sadar dan lena, separuh bangun separuh tidur. Dan, biasanya, kondisi seperti itu terjadi karena ada “benda” menghalangi pandangan dan memberatkan kelopak mata. Ia mengucek matanya yang lengket akibat belek dengan punggung tangannya, tahi mata yang mengeras itu kemudian rontok seperti upil yang dikorek oleh jemari ―setelah tahi mata yang mengeras itu terjatuh, barulah Topo benar-benar terjaga.


Setelah itu, Topo masih perlu memastikan agar rasa kantuknya hilang dengan cara menguap dan meregangkan badan. Tentu saja, ini pun merupakan hal biasa bagi semua pembaca. Akan tetapi, Bamby dengan cerdas menutup dua paragraf pembuka cerita dengan kalimat yang “bernyawa”: Begitulah Topo, untuknya tidak penting tempat tidur yang bagus, yang penting kualitas tidurnya. Falsafah tidur yang cukup bermakna. Dengan itu, bagi pembaca, tidur menjadi bermanfaat jika berkualitas, tidak semata dari durasinya, tapi juga dari kualitasnya.


Pembaca fiksi senang merangkai imajinasi sendiri dari cerita yang disajikan penulis, dan mereka akan lebih mudah memercayai dan meyakini kehebatan sebuah cerita jika ada sebagian yang bisa mereka imajinasikan. Carmel Bird dalam Dear Writer: The Classic Guide to Writing Fiction mengatakan bahwa kekuatan fiksi terkandung sama besarnya dalam apa yang disiratkan dan dalam apa yang disuratkan, sama besarnya dalam ruang antarkata dan dalam kata-kata itu sendiri. Dan, Bamby berhasil meletakkan kekuatan fiksinya pada pembuka ceritanya. Contohnya pada kalimat: Topo bangkit dari ranjangnya meninggalkan suara deritan yang membuat ngilu pendengaran. Kalimat ini bisa merangsang imaji pembaca untuk segera membayangkan ketaknyamanan pendengaran ketika ranjang berderit. Bahkan, saya sendiri tidak perlu apa-apa setiap pagi selain teh, sama seperti Topo yang hanya butuh butuh kopi setiap pagi. Pahit boleh, manis juga boleh ―bahkan lebih mantap rasanya.


Sekarang, kita simak:



Sedikit berjalan malas, Topo mencapai meja makan. Tetapi tidak ditemukan segelas kopi panas yang ia inginkan, hatinya agak sedikit geram. Apa saja kerja istriku pagi ini, rutuknya, menyediakan segelas kopi panas saja tidak becus!

Namun Topo bukanlah tipe lelaki yang mudah mengeluarkan bentakan atau teriakan untuk perempuan, apalagi perempuan itu istrinya. Ia hanya ngedumel, itu pun dalam hati.

“Istriku kemana…?” tanyanya lirih.

Topo beranjak ke dapur, tidak ditemukan Narti istrinya di dapur. Topo kembali ke meja makan, lalu ke halaman depan rumah, Narti tidak ada juga di situ.

“Kemana istriku pagi-pagi begini…?” gerutunya sambil menggaruk kepala.


Tokoh Topo dalam kacamata Bamby adalah suami yang tidak suka mengumbar amarah lewat cacian, bentakan, atau teriakan. Ini merupakan awal yang menjanjikan. Saya semakin tertarik membaca cerita ini. Saya dicecar rasa ingin tahu: siapakah Topo itu, kenapa ia begitu butuh kopi, dan mengapa ia sangat memaksa diri mencari isterinya. Berbalik dengan penggambaran watak Topo sebagai suami “penyabar”, bukankah lebih baik ia menyeduh kopi sendiri daripada buang-buang waktu mondar-mandir mencari isteri? Akan tetapi, begitulah Bamby memainkan suasana, karakter Topo lebih berasa dengan pembelokan karakter secara “lembut”. Tentu saja, pengalihan suasana dan karakter membutuhkan kelihaian bercerita (Jamal D. Rahman, 2008). Bamby menunjukkan kelihaian itu, sehingga ceritanya terasa lincah dan mengalir.



Topo sejenak tertegun di bawah kusen pintu rumahnya. Pandangannya tertuju ke arah tiang bendera yang berdiri doyong ke kiri dari tempatnya berdiri. Akan tetapi perhatian Topo bukanlah tertuju kepada tiang bendera yang doyong ke kiri itu.


Mula-mula Topo mencari isterinya di dalam rumah. Karena tidak menemukannya, Topo pun mencarinya ke luar rumah. Namun, bukan isterinya yang ditemukan di halaman rumah, melainkan tiang bendera yang berdiri doyong ke kiri dari tempatnya berdiri. Akan tetapi, bukan tiang bendera doyong itu yang membuat Topo tertegun. Bamby menutup paragraf ini dengan kalimat menggantung, kalimat yang menumbuhkan tanda tanya baru. Lantas, apa yang membuat Topo tertegun?


“Walah…! Kemana benderanya?” teriak Topo terkejut sendiri.

Ternyata, kehilangan benderalah yang membuat Topo tertegun. Bagi Topo, bendera itu sangat berharga. Sekarang, coba kita perhatikan:



Topo lalu mendekati tiang bendera itu, dengan cermat diperhatikannya tanda-tanda di sekitar tiang bendera itu. Tidak ada tanda-tanda pencurian, bendera merah putih yang kemaren sore ia kibarkan di tiang bambu itu lenyap.

“Apa mungkin tali pengikatnya lepas…?” katanya bertanya dalam hati. “Tetapi kalau tali pengikatnya lepas terbawa angin, pasti masih ada sisa tali di ujung tiang ini,” batinnya.

Masih diliputi tanda tanya hilangnya bendera merah putih dari tiang bendera di halaman rumahnya, pandangan mata Topo mengedari halaman rumah tetangganya. Betapa terkejutnya ia, semua tiang bendera di rumah tetangganya pun tanpa kibaran merah putih.


Coba bandingkan dengan kutipan yang saya nukil dari cerpen “Sebuah Kisah Sedih” karya Puthut EA (2004).



Tak ada lagi yang bisa kita percakapkan. Aku pergi. Menutup pintu, menutup hati. Masih kuingat malam itu, bukan cuma dingin yang melabrak galak. Tapi masih kuingat bau yang kamu tinggalkan di penciumanku saat kamu geraikan rambutmu. Harumnya tersisa sampai sekarang. Kuingat pula saat itu, ada tangis yang tertahan, tapi bening air di pojok matamu, bunting oleh sedih yang sangat. Tak ada lagi yang bisa kita percakapkan. Esok adalah padang halimun yang membuat lamat bagaimana aku harus berbagi sedih, berbagi riang, berbagi resiko, berbagi kenangan. Sedih, selalu tak bisa dipercakapkan lebih panjang.


Simak pula bagaimana cara Apri Swan Awanti (2002) menggambarkan “dialog batin” dua tokoh perempuan dalam cerpennya “Dua Perempuan”.


Ada dua perempuan. Mereka berkenalan di bawah teritis hujan. Yang satu rambutnya panjang lurus, yang satu ikal pendek. Yang rambutnya lurus berhidung mancung dan bertubuh kurus. Sedangkan yang rambutnya ikal pendek bertubuh sedang dengan mata bulat penuh. Dua penampilan yang berbeda, tetapi nampaknya mereka saling cocok.

Mereka bicara tentang titik-titik air, tentang itik yang berenang di comberan, tentang orang yang lalu lalang sambil membuang ingus. Agak jorok, memang. Lalu mereka tertawa terkikik-kikik. Pembicaraan yang jorok-jorok dan menjijikkan kian berlanjut, dan mereka juga kian terkikik-kikik. Keduanya tampak senang, karena pembicaraan mereka tanpa beban.

Begitulah seharusnya, menurut yang berambut ikal pendek, kalau bisa jangan bicara yang berat-berat.


Bamby menggambarkan pengulangan Topo mencari isterinya untuk menguatkan ceritanya. Hal sama dilakukan Puthut EA dan Apri Swan Awanti. Demikian halnya dalam penggunaan kata dan penataan kalimat. Setiap demi setiap kata dan kalimat rasanya memiliki nyawa masing-masing. Sehingga, jika kita kehilangan satu saja kata atau kalimat, akan terasa aneh dan janggal. Begitulah semestinya kita bercerita, tidak membosankan dan penuh “kejutan”.


Ketika Topo tertegun melihat bendera merah-putih yang kemarin dibentangkannya hilang, ia tidak langsung mencak-mencak dan menuding ada oknum yang mencuri benderanya. Topo, dengan cerdas layaknya detektif, mengendus-endus petunjuk penyebab hilangnya bendera kebanggannya. Tentu saja, ada pesan moral yang ingin diembuskan Bamby lewat tokoh Topo: jangan mudah menuding orang lain telah melakukan kesalahan, sebelum menelaah masalah dan menemukan bukti penguat.


Oleh karena Topo tidak menemukan adanya tanda-tanda pencurian, Topo menelisik lingkungan sekitar rumahnya. Mencari jangan-jangan bendera merah-putih kebanggaannya itu telah berpindah tiang. Namun, yang ditemukan Topo lebih mengejutkan lagi, tak ada satu pun bendera berkibar di halaman rumah tetangganya. Tentu saja, benak Topo langsung ditangkup rerupa curiga. Lunturnya nasionalisme, pudarnya rasa bangga terhadap bangsa, tidak mensyukuri kemerdekan, dan lain-lain menari di benak Topo. Akan tetapi, Topo tetaplah Topo yang tidak mau menyalahkan orang lain.



“Apakah ada orang yang benci kepadaku karena aku satu-satunya warga yang memasang bendera di halaman rumahku?” katanya membatin wajah berubah muram.

Sebagaimana layaknya sebuah cerita, Bamby juga menciptakan tokoh lawan sebagai penguat. Seorang pemuda di rumah Pak RT Bandi dan seorang perempuan muda yang dikira Topo adalah isteri Pak Trisno. Keberadaan kedua tokoh ini menambah “hidup” cerita, terutama lewat dialog-dialog yang juga “hidup”. Dalam percakapan, bersama pemuda belasan tahun di rumah Pak Bandi, pembaca akan sampai pada simpang tanya bahwa Topo telah salah memasuki rumah orang, dan berkeras pada “kebenaran” pendapatnya.

“Maaf, Bapak ini siapa? Dan mau apa ke sini?” tanya Pemuda itu.

“Pak Bandi, mana Pak Bandi? Saya mau bertemu Pak Bandi!” jawab Topo sekenanya.

“Maaf, mungkin Bapak salah alamat,” kata pemuda itu singkat hendak menutup pintu rumah.

“Eeeit, jangan ditutup dulu. Pak Bandi mana?” kali ini nada bicara Topo agak sedikit tinggi. “Saya ini warga di sini, juga teman Pak Bandi. Mana beliau?” lanjut Topo sedikit menjelaskan. Mungkin pemuda ini sudah dititipkan pesan oleh Pak Bandi apabila ada tamu yang tidak dikenal atau orang asing agar jangan berlama-lama bercakap-cakap, bisa-bisa dihipnotis atau dirampok misalnya. Dan pemuda ini menjalankan tugasnya dengan baik.

“Maaf Pak, Bapak salah alamat!” kata pemuda itu ketus dan menutup pintu dengan keras.

“Kurang ajar anak muda itu!” batin Topo masih terpaku di depan pintu rumah Pak Bandi. Burung perkutut yang sedari tadi diam mulai berkicau karena kaget mendengar bunyi daun pintu yang ditutup keras.


Konflik yang ditimbulkan Topo ternyata belum selesai. Penasaran karena desakan rasa ingin tahu memaksa Topo mencari warga lain. Namun, perlakuan sama dialaminya, ketika akhirnya Topo bertemu dengan seorang perempuan muda keluar dari rumah Pak Trisno, temannya. Dan, dari percakapan dengan perempuan muda itu, Topo semakin kebingungan. Siapa sebenarnya yang salah: Topo atau pemuda belasan tahun dan perempuan muda itu?


Mana sebenarnya yang benar: bendera merah-putih atau bendera berwarna biru, kuning, hijau dan beberapa bulatan putih, polkadot?


Penutupan cerita ini selalu saya ingat, sederhana tapi bermakna ―dalam. Menyisakan rongga menganga dalam dada yang dipenuhi tanda tanya: masihkah kita bangga berbangsa Indonesia?


Tragis dan sangat reflektif.


BAGI SAYA, cerita adalah media yang sangat menarik dan sangat potensial sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan-gagasan baru, pesan-pesan moral, atau kritik sosial sekaligus. Berbeda dengan novel, cerita pendek harus disampaikan dengan kata-kata yang padat, tetapi memiliki pesan yang dalam. Bamby adalah seorang penulis cerita 100 kata yang hebat, ini menjamin pemilihan kata yang padat secara sadar dan ketat. Hanya saja, dalam cerpen ini, pilihan kata yang dikemas dalam bentuk dialog, masih perlu digali dan dikemas sedemikian rupa sehingga bisa menjadi penopang cerita (Khrisna Pabichara, 2001).


Percakapan-percakapan muncul dalam cerita, tentu saja, karena mereka juga muncul dalam kehidupan (Marion Dane Bauer, 2005). Memang, mungkin saja cerita ditulis berdasarkan khayalan semata, tetapi cerita selalu meniru kehidupan. Ada tiga fungsi strategis dialog yang harus terpenuhi dalam sebuah cerita. Pertama, dialog memberikan informasi kepada pembaca. Kedua, dialog mengungkapkan tokoh. Ketiga, dialog menggerakkan cerita. Kriteria pertama dan ketiga sudah dipenuhi dengan baik oleh Bamby dalam Bendera Itu Tidak Berkibar Di Sini. Namun, kriteria kedua, belum terpenuhi. Dialog, seyogyanya, harus bisa mengungkapkan karakter tokoh, sifat tokoh, bahkan kebiasaan tokoh. Clarissa Pinkola Estes berpesan dengan bijak, “Jika ingin mencipta, kita harus mengorbankan kedangkalan, sedikit rasa aman, dan rasa ingin disukai. Kita harus menata wawasan kita yang paling kuat dan visi kita yang paling jauh.” Sementara itu, Nabokov juga meninggalkan fatwa ampuh, bahwa seniman sejati adalah orang yang tidak pernah menganggap remeh apa pun. Termasuk, tentu saja, dialog dan alur cerita.


Dalam pembacaan Bendera itu Tidak Berkibar Di Sini ternyata kita menemukan beberapa dimensi makna. Pagi hari ketika baru saja terbangun, Topo berniat mengawali hari seperti biasa, meski sebenarnya pada hari itu ada sesuatu yang istimewa, kemerdekaan bangsa. Namun, Topo berkeras mencari kopi. Lalu, ia malah menemukan tak ada lagi bendera merah-putih berkibar pada pucuk tiang benderanya. Dan Topo pun melakukan tindak pencarian, hingga bertemu dengan tetangga-tetangga yang asing. Hingga kemudian Topo berkhayal berdiri bersama Narti, isterinya, menghormat kepada merah-putih sebagai wujud rasa cinta dan bangga pada tanah air ―saya sangat terkesan dengan kandungan pesan ini. Keterasingan Topo seakan menguak potret buram penduduk negeri ini dimana seorang pencinta ibu pertiwi terlihat aneh, langka, dan asing, dan kesiapan Topo menanggungkan keterasingan selama ia tetap menjaga identitas kebangsaannya seakan menawarkan kebermaknaan baru terhadap wacana nasionalisme kita yang terkikis perlahan oleh pelbagai pernak-pernik kemajuan peradaban.


Padahal, nasionalisme dan keturunannya yang bernama patriotisme, tidak bisa diabaikan begitu saja, melainkan harus tetap tertanam dalam dada setiap demi setiap generasi.


Arkian, setelah menyelesaikan lembar terakhir Bendera itu Tidak Berkibar Di Sini, harapan berupa kesan yang kiranya tersimpan setelah usai membaca cerita ini, terpenuhi dan terpuaskan. Bahkan, saya sempat menohok batin: Ah, jangan-jangan saya sendiri sudah kehilangan bendera merah putih!


☼☼☼

Parung, 6 Desember 2008 05:02

1 komentar:

  1. Temui cerpen saya ini di Koran KOMPAS, edisi 17 Agustus 2008, di negara republik mimpi.

    BalasHapus