Jumat, 12 Juni 2009

ESAI SASTRA: Sains Dalam Sajak

Catatan: Tulisan ini dimaksudkan untuk menelisik kumpulan puisi Atik Bintoro, "Rimba dalam Sains"



Sains Dalam Sajak
Khrisna Pabichara

Jika pengertian sajak atau puisi adalah karangan terikat yang mementingkan irama, larik, dan rima, seperti ditasbihkan Jus Badudu dan Sutan Muhammad Zein (1994) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, maka Atik Bintoro telah berhasil meracik sajak-sajaknya dalam Rimba Dalam Sains sehingga bisa dinikmati sebagai buah olah bahasa yang ’lezat’ dan ’nikmat’.

Sejatinya, sajak ditulis untuk dinikmati lewat tarian mata dan dipahami lewat kajian rasa. Pendapat seperti ini banyak dinyatakan para sarjana sastra, para kritikus, bahkan para penyair sendiri. Mereka melihat sajak dari banyak sudut pandang. Mereka dibekali rupa-rupa teori yang mendukung sudut pandang itu. Sementara, saya tidak termasuk bagian dari golongan itu. Bagi saya, sajak ditulis untuk dinikmati. Karena itu, saya bersentuhan dengan sajak sebagai penikmat, bukan selaku penafsir atau pemaham. Begitulah yang coba saya lakukan dalam menyelami sajak-sajak Atik Bintoro, yang kerap disapa Paman Atek oleh rekan-rekan milis dan komunitas sastranya.

Paman Atek adalah seorang yang sibuk bergelut dengan desain roket, misil, dan satelit dalam rutinitas sehari-hari selaku peneliti di LAPAN. Rumus-rumus kimia dan matematika menjadi sarapan pagi bagi pria kelahiran Banyuwangi ini. Namun, kesibukan itu tidak berarti mematikan birahi menulisnya. Setidaknya berdasarkan pengakuan sendiri, dalam sehari Paman Atek selalu berusaha menulis satu sajak. Paman Atek sudah merasakan nikmatnya menulis sajak, baik sebagai terapi bagi kejenuhan karena pekerjaan, maupun sebagai penyalur bakat dan kreativitas seninya.

Menikmati sajak-sajak Paman Atek bisa dengan mata telanjang, bisa juga dengan mata hati. Ada beberapa puisi yang ditulis lugas dengan bahasa sederhana, bahasa percakapan sehari-hari yang tidak perlu memaksa kita membuka-buka kamus dan mencari arti suatu kata. Namun, ada juga beberapa sajak yang memaksa saya mencari makna katanya dalam kamus karena saya tidak akrab dengan bahasa-bahasa kimia, fisika, dan matematika yang dipindahkan dengan cara ’indah’ dan ’luar biasa’ oleh Paman Atek ke dalam sajak-sajaknya.

Apakah kenyamanan saya dalam menikmati sajak-sajak Paman Atek terganggu karena penggunaan bahasa ’unik’ itu? Tidak. Saya tetap menikmatinya, sembari belajar mencari akar kata dan maknanya. Jadi, ketika saya menikmati sajak-sajak Paman Atek, ada dua buku yang saya pegang. Tangan kiri memegang kitab sajak Paman Atek yang diterbitkan Massma Sikumbang dan di tangan kanan Kamus Umum Bahasa Indonesia. Laksana kata pepatah, sambil menyelam minum air. Sembari menikmati sajak, ya belajar menelisik makna kata. Asyik, kan?

Seorang penyair, bagi Agus R. Sardjono (2008), menggunakan bahasa yang ada di masyarakat dan harus merebutnya menjadi bahasa miliknya pribadi. Oleh karena bahasa masyarakat mendapat isi dan nilai serta maknanya dari sejarah dan pengalaman berbagai rupa masyarakat bersangkutan, maka isi dan nilai bahasa seorang penyair juga ditentukan oleh sejarah dan pengalamannya sebagai pribadi. Bagi Paman Atek, memasukkan kata-kata ilmiah ke dalam sajak-sajaknya, seperti propelan (bahan bakar roket), poliuretan (jenis bahan baku propelan), nosel (pengarah semburan hasil pembakaran propelan), atau kinetik (energi akibat gerakan suatu benda), adalah hal yang biasa karena didukung oleh latar belakang sejarah keseharian sebagai peneliti roket. Akan berbeda hasilnya, jika saya atau akuntan lain yang menggeluti sajak melakukan hal yang sama, karena latar belakang pendidikan saya adalah akuntansi, bukan fisika atau kimia.

Tentu saja, kerja keras Paman Atek menulis sajak-sajak dengan bahasa yang tidak akrab dalam dunia kangouw persajakan, patut mendapat acungan jempol. Bukan semata karena unsur irama, larik, dan rima tetap terpenuhi, melainkan juga karena tidak kehilangan makna. Hal inilah yang sejatinya wajib dilakukan oleh setiap penyair. Pilihan kata harus tepat, bukan perca-perca sisa bahan pakaian yang ditata ulang hingga menghasilkan keset, melainkan potongan kata yang padu dan menyatu (Khrisna Pabichara, 2008).

Sains dalam Sajak

Bagi saya, sajak-sajak Paman Atek sangat mencerahkan. Mengapa? Karena saya mendapat banyak racikan baru dalam penulisan sajak. Saya jadi tertantang menulis sajak dengan memasukkan kata-kata lazim di dunia akuntansi seperti meng-audit rasa, membilang laba-rugi merindu, atau menakar neraca cinta. Tentu saja, Anda pun bisa melakukan hal sama, selama Anda berusaha total melakukannya. Karena pada hakikatnya, menurut Cecep Syamsul Hari (2008), puisi yang mencerahkan lahir karena totalitas yang diberikan penyairnya kepada puisi yang ditulisnya.

Coba kita nikmati beberapa sajak Paman Atek;

multimeter pengukur arus
multidistan pengukur curam
......
rasa dan makna tiada alat ukurnya
(Sajak Bagaimana Mengukurnya)

siapkan wadah, volume gega
penuh tak pernah luber
(Sajak Terjebak Isi)

menuntun jawab lewat jalan berliku
aljabar, seni hitug menghitung
fisika, bermain dengan fakta
kimia, mengenal larutan dan campuran
biologi, putaran pohon, hewan dan manusia
(Sajak Rimba Dalam Sains)

sains dan fantasi bisa berasal dari mimpi
(Sajak Legenda Yang Nyata)



Sajak-sajak ini memberi kenikmatan baru bagi saya, semoga juga bagi Anda, karena tidak merasa terjadinya aroma pemaksaan dalam penggunaan kata-kata ilmiah. Bayangan saya selama ini, sains adalah dunia yang sama sekali bertolak belakang dengan dunia persajakan. Meski tidak sedikit saintis yang terjun ke rimba sajak, Taufik Ismail misalnya. Sajak-sajak di atas mengajak kita berfikir secara obyektif bahwa sains bukanlah sesuatu yang asing, kaku, dan tidak indah. Sains adalah dunia penuh makna, bukan semata hitung-menghitung aljabar atau campur-mencampur larutan kimia. Sains adalah dunia yang biasa, sama seperti dunia lainnya. Ada kecemasan, ketakutan, harapan, bahkan doa, yang mungkin dan sering terjadi pada dunia lainnya.

Setidaknya, ada harapan besar yang menggumpal di benak Paman Atek, bagaimana bangsa Indonesia tercinta ini menjadi bangsa yang tidak tertinggal dalam bidang sains. Hal ini bisa tercapai jika banyak anak bangsa yang tertarik dan berminat dengan serius untuk menekuni sains. Masalahnya, betapa banyak anak bangsa yang memandang sains sebagai dunia rumit, dunia segala rumus yang menjemukan, dunia yang tidak menjanjikan kenyamanan permainan. Padahal, tentu saja, anggapan itu salah besar.

Paman Atek tetap saja berharap, seperti ditulisnya dalam Cita-cita Seorang Anak Manusia:

rimba dalam sains
gagal sudah biasa
coba lagi, coba lagi, dan coba lagi
siapa tahu terkabul
siapa tahu ada pendoa
siapa tahu ada yang percaya


Demikian juga dalam Sajak Untuk Anakku:

darah bapakmu mengalir rupanya
menjelajah rimba dalam sains
temukan makna sejati bilangan biner
satu nol, satu nol, satu nol
bilangan biner tak pernah mengenal dua


Lebih nikmat lagi, Paman Atek tidak menafikan metafor dalam sajak-sajaknya. Meminjam istilah Jamal D. Rahman (2008), dengan metafor itulah puisi memiliki makna yang sangat kaya, sehingga setiap orang bisa menafsirkan puisi sesuai dengan pemahaman bahkan keperluannya sendiri. Mari kita simak puisi Pantai Wisata Uji Coba: meliuk gunung gelap, meluruh ke pantai. Tentu saja, kita tidak bisa menikmati potongan sajak itu secara leksikal. Meliuk gunung gelap tidak berarti bahwa gunung-gunung yang dilewati sepanjang perjalanan menuju pantai wisata, yang sekaligus pantai uji coba peluncuran roket, di Pamengpeuk. Kalimat itu pastilah mengacu pada makna atau pengertian lain, semisal jalan-jalan yang melewati gunung-gunung itu berliku-liku, meliuk-liuk.

Begitupun dalam sajak Amonium Perklorat Samudra Indonesia: terpendar sinar kristal harapan/ menjaga negeri lewat propelan. Tentu saja makna yang diharapkan lewat kalimat itu bukanlah sinar kristal yang berpendar berkilau di mata, melainkan harapan yang bersinar seperti kristal. Dan menjaga negeri tidak selayaknya TNI dan kewajiban bela negara seperti yang sering kita dapatkan dalam pelajaran PMP atau PPKn, melainkan menaikkan martabat bangsa lewat penemuan propelan sebagai hasil karya anak bangsa yang sangat membanggakan.

Pada Akhirnya

Paman Atek telah berhasil mewujudkan impinya: menghadirkan yang belum hadir, sebagaimana dituliskan pada sajak Kenapa Harus Puisi. Ya, Paman Atek berhasil menghadirkan sesuatu yang belum hadir, mengadakan sesuatu yang belum ada. Artinya, Paman Atek sukses menjadi pencipta.

Saya, juga Anda, bisa belajar banyak dari sajak-sajak Paman Atek. Dalam banyak hal, Indonesia membuat kita miris, seperti tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan, juga budaya korupsi. Namun ada sisi lain yang patut menjadi kebanggaan, yakni prestasi anak bangsa di dunia saintis. Kita adalah bangsa yang semakin maju di bidang teknologi, terbukti dengan keberhasilan saintis kita menemukan propelan, bahan bakar roket, dari garam.

Jadi, mari bangga sebagai anak bangsa. Dan, kebanggaan itu hendaknya bukan sesuatu yang melenakan, melainkan kejutan indah yang membangunkan kita untuk lebih maju lagi.

Bravo Paman Atek! Bravo saintis Indonesia!

Parung, 16/12/2008 08:49

Bahan Bacaan:

Badudu, Jus dan Sutan Muhammad Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Hari, Cecep Syamsul. 2008. Dalam Puisi yang Mencerahkan. Majalah Sastra Horison, Edisi November 2008. h 20

Pabichara, Khrisna. 2008. Makalah Menulis Puisi Bagi Pelajar SD. Disampaikan pada Pelatihan Menulis Puisi, SDIT Darul Falah Depok pada 15-16 September 2008.

Rahman, Jamal D. 2008. Dalam Isyarat yang Kuterima dari Daun Senja, Majalah Sastra Horison, Edisi September 2008. h 25

Sarjono, Agus R. 2008. Dalam Puisi, Cek Kosong, dan Pengalaman. Majalah Sastra Horison, Edisi Oktober 2008. h 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar