Khrisna Pabichara
DULU, Ayah saya juga pelaut. Setiap bulan, dalam waktu yang tidak tetap, selalu ada kartu pos yang saya terima. Ayahku selalu berkirim kartu pos setiap kali kapalnya merapat di dermaga. Tentu saja, kartu pos itu sangat berarti bagi saya. Kartu pos itu, selain menjadi pengantar kabar, juga menjadi obat penawar rindu. Rindu pada sosok Ayah. Sekarang, Ayah saya sudah tiada. Sudah kembali pada cinta-Nya yang abadi. Namun, kartu-kartu pos yang dulu Ayah kirim, setiap singgah di dermaga, masih tersimpan di kamar saya. Dan, di hati saya.
Begitulah, Agus Noor mengantar saya pada gerbang kenangan. Kenangan tentang kartu pos. Kenangan tentang bagaimana berdebarnya menunggu kartu pos itu tiba. Kenangan pada senyum Pak Pos setiap singgah di halaman rumah dan teriakannya yang masih berasa. Kenangan pada sosok Ayah yang selalu rajin berkirim kartu pos. Agus melakukannya dengan santun, lewat Kartu Pos dari Surga.
Namun, bukan hanya kenangan itu yang menjadi pintu masuk saya guna menelisik cerpen “berbobot” ini. Melainkan “isi maknawi” yang dikemas begitu rapi dan sangat apik. Ya, saya menemukan banyak nilai yang dengan fasih disembunyikan Agus lewat teknik bercerita yang mengalir lembut.
Di antaranya, kejujuran.
Lewat cerpen ini kita akan dihadapkan pada kenyataan, betapa berat mempertahankan kejujuran. Betapa sulit mengajarkan kejujuran. Dan, betapa musykil menanamkan kejujuran itu.
Selain itu, Agus menunjukkan kepada kita, selaku pembaca, bagaimana menjadi Ayah yang bijak. Ayah yang jujur.
Belajar Bohong Belajar Jujur
BEGITU cerita dimulai, tugas pengarang adalah menjaga agar pembaca tidak berhenti membaca. Kelebihan Agus, dalam Kartu Pos dari Surga, adalah langsung memulai cerita dengan memercikkan ketegangan. Saya langsung terseret pada ilusi, apa yang terjadi ketika seorang gadis kecil melompat serampangan dan menyeberang jalan sembarangan, tanpa memedulikan mobil atau kendaraan lain yang melintas? Ketegangan itu, sekaligus kunci pembuka yang ingin diberikan Agus bagi pembacanya. Bahwa pasti ada “sesuatu” yang membuat gadis kecil, Beningnya, berlari tergesa-gesa. Bahwa “sesuatu” itu pastilah istimewa atau sangat berarti bagi Beningnya, hingga dia mengabaikan keselamatannya. Dan, sesuatu itu adalah Kartu Pos. Kartu Pos dari Mamanya.
Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti. Beningnya langsung meloncat menghambur. “Hati-hati!” teriak sopir.
Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu pos dari Mama telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan: bergambar apakah kartu pos Mama kali ini? Hingga Bu Guru karena terus-terusan melamun.
Ketegangan itu tidak berhenti di sana. Alkisah, Beningnya bergegas menuju kotak surat. Membukanya, dan mencari kartu pos yang dicarinya. Tetapi, dia tak menemukannya. Agus dengan piawai memunculkan konflik internal dalam diri Beningnya. Ada dua analisis ringan yang mencuat di benak Beningnya. Pertama, mungkin saja Mamanya sedang sibuk sehingga lupa mengirim kartu pos. Atau, kedua, kartu pos itu sudah diambil oleh pembantu yang bekerja di rumahnya, Bi Sari.
Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali kartu pos itu terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk hingga lupa mengirim kartu pos?
Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya! Beningnya pun segera berlari berteriak, “Biiikkk…, Bibiiikkk…”
Dari sana muncul konflik eksternal, antara Beningnya dan Bi Sari. Dari sana pula Agus mulai bertutur dengan santun, tanpa bermaksud menggurui, tentang bagaimana seharusnya menanamkan kejujuran pada seorang anak. Kita ketahui bersama bahwa bagi setiap anak, hasrat bertanya untuk mengetahui sesuatu adalah hal yang lumrah dan wajar. Termasuk Beningnya. Bahkan, ada kecenderungan seorang anak yang enggan bertanya dianggap memiliki hambatan dalam perkembangan psikologisnya. Dan, Bi Sari tidak menemukan cara yang tepat untuk menjelaskan kepada Beningnya, mengapa kartu pos itu belum juga datang.
“Ada apa, Non?”
“Kartu posnya udah diambil bibik, ya?”
Tongkat pel yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya langsung kaku. Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang bening itu seketika meredup, seakan sudah menebak, kenapa ia terus diam saja. Sungguh, ia selalu tak tahan melihat mata yang kecewa itu.
Layaknya kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan, Bi Sari lantas bertanya ke Marwan, majikannya. Setali tiga uang dengan Bi Sari, Marwan pun kelimpungan untuk mencari alasan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan anaknya, Beningnya. Maka, muncullah banyak alasan demi menutupi keadaan sebenarnya.
Memang tak gampang menjelaskan semua pada anak itu. Ia masih belum genap enam tahun. Marwan sendiri selalu berusaha menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, “Kok kartu pos Mama belum datang ya, Pa?”
“Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet nganter kemari…”
Lalu ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.
Dan, seperti pernah dituturkan Amien Rais, setiap kebohongan pasti akan melahirkan kebohongan baru, demi menutupi kebohongan sebelumnya. Agus pun mengolah cerita dengan cerdas. Ia mengungkap sisi kehidupan banyak orang tua yang sering menutupi kenyataan meskipun terpaksa harus “berbohong”. Sebenarnya, niat Marwan baik. Ingin membahagiakan anaknya. Namun, cara yang dilakukannya salah.
Terbukti, Beningnya mengetahui bahwa kartu pos yang dia terima, keesokan harinya, bukan dari Mamanya.
Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meluncur turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruhnya hati-hati, tetapi bocah itu telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk rumah.
Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.
“Wah, udah datang ya kartu posnya?”
Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
“Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu itu. “Ini bukan tulisan Mama…!”
Selain kemampuan memainkan tempo cerita, dimana Agus cukup lincah menjaga agar ketegangan demi ketegangan tetap terjaga dalam cerita, cerpen ini juga sangat mencerahkan.
Saya teringat pesan Ma’ruf Mushthafa Zurayq (2003:97), seorang pakar pendidikan di Damaskus. Katanya, jika cinta tidak diajarkan di rumah, hampir tidak masuk akal mempelajarinya di mana pun. Namun, jika kebohongan tidak diajarkan di rumah, seorang anak bisa mempelajarinya di mana saja. Artinya, tidak perlu mengajarkan kebohongan di rumah, karena setiap anak dapat mempelajarinya di mana saja. Karena itu, ajarkanlah cinta. Mengapa? Karena pelajaran tentang cinta dan bagaimana mencinta, selayaknya diajarkan di rumah.
Menghargai Anak
JIKA setiap orang tua mengetahui temuan Gardner tentang kecerdasan majemuk (multiple intelligences), pasti tidak akan ada orang tua yang “berniat” membohongi anaknya, baik sengaja maupun tidak sengaja. Karena, lambat laun, kebohongan itu akan diketahui anaknya.
Beningnya, gadis berusia enam tahun dan masih ikut play group itu, memang memiliki kecerdasan lebih. Terlihat dari kemampuannya mengenali tulisan Mamanya dan merekonstruksi daya ingat untuk menentukan bahwa kartu pos itu palsu. Dan Marwan, orang tua yang terpaksa membesarkan anaknya sendirian setelah ditinggal istrinya, juga bukanlah orang tua yang kurang peduli, apalagi kurang cinta pada anaknya. Terlihat dari keinginan untuk menyenangkan hati anaknya, meski harus dengan mengirimkan kartu pos palsu.
Baik Beningnya maupun Marwan, sebenarnya, sama-sama cerdas. Di sinilah letak kelebihan cerpen ini. Marwan, yang banyak akal itu, tetap saja menderita kebingungan seperti lumrahnya orang tua yang lain. Ia bingung bagaimana caranya menjelaskan tentang “kepergian” istrinya kepada beningnya, anaknya, yang baru berusia enam tahun. Tidak mudah menyampaikan berita kematian dan menuturkan segala hal tentang risiko kematian itu, apalagi kematian istrinya itu terjadi karena kecelakaan pesawat terbang dengan mayat yang tidak pernah ditemukan.
Barangkali memang harus berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah ditemukan.
Dalam penulisan fiksi, merunut pendapat Marion Dane Bauer (2005:112), pengarang berkuasa penuh atas perjalanan waktu. Seperti yang dilakukan Agus, tidaklah penting berapa jumlah kata yang kita gunakan untuk menuliskan berapa lama sebuah peristiwa terjadi. Melainkan, berapa penting peristiwa masa lalu bagi keutuhan cerita. Hal ini dilakukan Agus ketika menuturkan kenangan Marwan terhadap Ren, istrinya, yang sangat cinta pada kartu pos. Tidak seperti dirinya. Dulu, demi menerima sebuah surat, Marwan rela merekayasa sebuah kebohongan: mengirim surat yang ditujukan untuk diri sendiri.
Kembali ke cerpen ini, Agus tidak perlu banyak menggunakan kata untuk menggambarkan kekecewaan Beningnya ketika melihat kartu pos palsu. Hanya satu-dua kalimat. Namun, itulah kekuatannya. Seolah-olah hendak menunjukkan bahwa dengan jumlah kata yang minimal, pembaca dapat menemukan keasyikan yang maksimal.
Meskipun, saya sedikit terganggu dengan cara Agus menutup cerita. Tidak seperti cara Agus menutup cerpen Piknik atau Mata Mungil yang Meyimpan Dunia. Demikianlah, Agus menutup cerpen ini dengan begitu mudah. Layaknya dongeng masa kecil, dimana kita kerapkali disuguhi kisah tentang peri atau bidadari yang suka menjadi penolong. Atau, sosok orang yang sudah meninggal, ternyata muncul lagi untuk memberi pesan atau menenangkan hati.
Begitulah, sosok sang Mama muncul membawa sendiri kartu posnya dan memberikan jawaban kepada Beningnya tentang Pak Pos yang sedang sakit. Entah, apakah untuk membenarkan kebohongan sang Ayah, ataukah untuk membahagiakan Beningnya.
“Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. “Kata Mama tukang posnya emang sakit, jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri…”
Di luar konteks itu, penutup cerpen ini cukup mengejutkan, meskipun terasa sedikit mengganggu karena kemunculan sosok Ibu Ren. Namun, itu sah-sah saja dalam dunia kepengarangan.
Coba kita telisik.
Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecokelatan bagai bekas terbakar.
Tentu saja, penutup seperti ini menyisakan tanya.
Bagaimana jika nanti Pak Pos sudah sembuh dan tak ada lagi kiriman kartu pos dari Mamanya?
Apa yang akan dilakukan oleh Maran, kelak, jika Beningnya kembali menanyakan kartu pos yang tak kunjung tiba?
Dan, jika pembaca mengajukan rentetan tanya seperti itu, berarti Agus telah berhasil “menyeret” pembaca menjadi bagian dari ceritanya.
Pada Akhirnya
BEGITULAH, Agus dengan cerdas menyuguhkan kepada kita, setidaknya, dua hal. Pertama, bagaimana menghadirkan kejutan demi kejutan agar ritme cerita bertahan. Kedua, bagaimana semestinya mengarang cerpen dengan cerdas dan sarat keunikan gagasan, tanpa harus meninggalkan kesan menggurui atau sok tahu, layaknya Agus bertutur tentang cara mendidik anak.
Berangkat dari telaah ini, saya berniat untuk mulai bergegas melatih diri menulis. Siapa tahu, kelak, saya bisa menambah kaya khazanah cerpen dan sastra Indonesia. So, saya juga berharap, Anda pun berkenan melakukan hal sama.
Tidak cukup sesuatu jika hanya dibayangkan, itu pesan Henry Ford. Karena itu, jika terbersit keinginan menjadi “pengarang tangguh”, ayo kita mulai sekarang.
Semoga bermanfaat.
☼☼☼
Parung, 30 April 2009 01:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar