Senin, 15 Juni 2009

ESAI "Bernaung di Rumah Hujan"

Tulisan ini dimuat di Jurnal Bogor (Minggu, 14/06/2009)



BERNAUNG DI RUMAH HUJAN
Oleh KHRISNA PABICHARA


NARPATI memasuki Rumah Hujan pertama kali saat usianya lima tahun. Saat itu hari kelima musim kemarau. Ibunya membangunkannya tepat di kokok pertama ayam jago. Ia tak mandi saat itu. Udara kering masih terlalu dingin. Ibunya hanya membilas wajahnya dengan air di bak yang tinggal setengah. Ayahnya pasti lupa menimba air di sumur kemarin sore. Berbaju putih dan berkuncir dua, Nurpati keluar dari rumah dengan mata terpejam dalam gendongan ibunya. Ayahnya tak ikut. Entah kenapa.

Demikian Dewi Ria Utari, selanjutnya kita sebut Dewi, membuka cerpen yang diberinya judul Rumah Hujan. Cerpen ini berhasil menembus Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006. Alkisah, Narpati ─yang suka hujan─ menyukai rumah Budenya karena melihat seolah rumah itu diselimuti selubung air. Dan, dari teritisan atap, air tercurah terus menerus. Sebelum Ayahnya pergi, Narpati punya banyak mainan yang sengaja dibuatkan oleh Ayahnya. Bahkan, kadang Narpati bisa bermain bersama Ayahnya. Narpati akhirnya kehilangan keindahan masa kecil, semenjak ayahnya pergi mencari kayu-kayu untuk membuat meja dan kursi pesanan. Sejak saat itu, Narpati menghabiskan banyak hari untuk mengenang Rumah Hujan. Narpati main sendiri. Ibunya tak suka bermain. Narpati merindukan kepulangan Ayahnya. Namun, setiap ia bertanya pada Ibunya, tak ada jawaban. Hingga Ibunya mengantarnya ke Rumah Hujan, lalu pergi mencari Ayahnya. Narpati tinggal di Rumah Hujan, bersama Budenya. Ibunya tak pernah kembali. Ayahnya juga.

Narpati lalu berkenalan dengan anak sebayanya. Pada mulanya, tak ada yang bisa melihat selubung hujan, seperti dirinya, hingga Budenya memintanya mengusap kepala teman-temannya. Mulai saat itu teman-temanya betah bermain sepanjang hari di Rumah Hujan. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Bermula dari Wulan yang tertidur dan bermimpi aneh, hingga kemunculan sepasang sinar, teman-teman Narpati tak lagi datang ke Rumah Hujan. Narpati, tentu saja, mencari tahu musabab ketidakdatangan mereka. Dan, larangan orang tualah jawabannya. Terpaksa Narpati menyendiri lagi. Bermain air. Di Rumah Hujan.

BAYANGKAN! Apa yang akan kita lakukan seandainya anak kesayangan kita bermain di tempat yang ditengarai “sarang hantu”? Sikap apa yang akan kita pilih jika putra-putri kita keranjingan bermain di tempat yang dipenuhi “aura mistik”? Percaya atau tidak, itulah yang kerap terjadi di tengah masyarakat. Ada budaya tabu-menabu.

Kekuatan Rumah Hujan tidak semata terletak pada kemampuan pencitraan suasana, melainkan juga pada daya giring imajinasi. Cekaman misteri pada beberapa kelok cerita, membuat Rumah Hujan dipenuhi ajakan untuk berimajinasi. Ketika Dewi bertutur tentang Narpati yang terlelap di ceruk pohon randu, ingatan saya tergiring pada kenang masa kanak. Lalu, berkait dengan tabu-menabu atau budaya pantang-memantang, yang jika dilanggar pastilah bakal menuai bala. Begitu pun ketika Dewi mendedahkan alasan teman-teman Narpati yang enggan bermain di halaman Rumah Hujan. Imajinasi kita langsung melayap. Menurut Rusdi, mereka dilarang orang dewasa untuk bermain di sana. Rusdi sendiri tak tahu alasannya.

Dominasi orang dewasa terhadap anak-anak telah mengkerangkeng kebebasan dan kemerdekan anak, bahkan untuk semata menentukan tempat bermain. Namun, tidak berarti sang anak akan manut begitu saja. Kerapkali mereka tunjukkan pemberontakan, bukan karena “semangat pembangkangan”, tapi tak lebih karena desakan rasa ingin tahu. Mereka nekat ingin mengenal Narpati karena sering melihat Narpati bercakap-cakap dengan pepohonan. Mereka pikir Narpati kesepian.

Dunia anak dunia bermain. Maka, kehilangan terbesar bagi seorang anak adalah kehilangan kegairahan bermain. Begitulah derita Narpati. Meski Rumah Hujan memberinya banyak fantasi. Selain itu, Dewi juga berusaha memotret sebuah peristiwa kehidupan keluarga. Seorang ayah yang meninggalkan rumahnya dengan alasan mencari nafkah, namun tidak pernah kembali. Pun seorang ibu yang berniat menyusul sang ayah, tapi tidak kunjung berkirim kabar. Sementara, sang anak dititip di rumah Budenya.

Setiap orang pasti pernah mengalami berbagai pergulatan. Mengenai keluarganya, pekerjaannya, perasaannya, dan sebagainya. Pergulatan hati seorang anak sembilan tahun yang ditinggal ayahnya, lalu ibunya, menjadi ajang perang berbagai pergulatan makna yang mendera hidupnya. Ditambah lagi: misteri yang melingkupi Budenya, ketakutan teman sepermainannya, dan kecemasan berlebihan orang tua teman-temannya. Tentu saja, Narpati merasa terasing. Hasilnya adalah keputusasaan (despair). Namun, alih-alih berusaha keluar dari keterasingan dan keputusasaannya, Narpati malah “terasing” dalam keputusasaannya.

Lewat Rumah Hujan, Dewi berusaha melawan pesan Hegel ─dengan filsafatnya berusaha menghilangkan daya sengat perasaan-perasaan eksistensial manusia, misalnya penderitaan, kemarahan, kecemasan, dan keputusasaan. Dalam hal ini, Dewi menunjukkan ketidaksepakatannya pada segala yang terjadi itu sudah seharusnya terjadi, sehingga perasaan marah karena ketidakpuasan dan perasaan cemas karena ketidakpastian, harus dimaafkan (Thomas Hidya Tjaya, 2004). Apalagi dilupakan. Setiap anak punya hak untuk hidup layak dan manusiawi. Sementara, setiap orang tua memiliki kewajiban untuk memenuhi hak “anak” itu. Begitu pula, setiap anak berhak tahu mengapa sesuatu tidak boleh dilakukan, sama seperti kebanyakan orang tua yang tanpa sadar mewajibkan diri untuk “mendidik” anaknya dengan pemberlakuan larangan.

ALEGORI Rumah Hujan adalah bukti kekuatan imajinasi Dewi. Dia, secara langsung, tidak merambah ranah pendidikan dan pengajaran. Namun, secara tidak langsung, Dewi berujar banyak tentang keteladanan sebagai salah satu unsur penting dalam transformasi moral. Di sini, terlihat kemampuan dan kematangan Dewi dalam berimajinasi. Meminjam istilah Damhuri Muhammad, Dewi berhasil mendedahkan gagasan besarnya tanpa kehilangan kekuatan bentuk dan isi.

Ini yang penting kita pelajari! Ya. Setiap pengarang harus mampu memanfaatkan “kekuatan imajinasi”. Untuk bercerita tentang perburuan kursi di masa Pemilu Legislatif, tidak harus digambarkan melalui tetek-bengek lelaku pungutan dan penghitungan suara, tapi bisa dialihkan ke dunia lain. Dunia berbeda. Dengan gagasan besar yang sama. Itulah alegori. Begitu pula halnya dengan Rumah Hujan. Jika yang membayang di benak kita adalah aura mistik dari cerpen ini, itu sah-sah saja. Jika yang tersimpan dalam ingatan kita adalah misteri rumah dan sosok Bude, itu pun sah-sah saja. Tapi ada kedalaman lain bernama imajinasi yang dikemas secara mumpuni lewat metafor, amsal dan tamsil. Dunia ibarat yang tidak akan kita temukan dalam sebuah berita.

Tanpa imajinasi dan kemasan yang mumpuni, cerita bisa terbaca sebagai berita.

KHRISNA PABICHARA

Penulis adalah penyair dan motivator pembelajaran, tinggal di pinggiran Jakarta. Selain menyunting buku, juga menulis buku motivasi, sajak, esai sastra, dan resensi buku. Saat ini berkhidmat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata). Kumpulan sajaknya, Mozaik Berahi, sedang dalam proses terbit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar