Senin, 08 Juni 2009

BAGAIMANA SAYA BERSAJAK: Mengarang Sajak untuk Diri Sendiri

Catatan: Tulisan ini akan disampaikan pada acara "Siswa Menyingkap Sajak" bagi siswa SMA se- Kecamatan Parung di Kampus D'SMART Community pada Senin, 23 Februari 2009


BAGAIMANA SAYA BERSAJAK: Mengarang Sajak untuk Diri Sendiri
Khrisna Pabichara

APABILA judul tulisan saya ini hanya mengaitkan teori-teori kesusastraan dengan proses kreatif saya dalam mengarang sajak, Anda tentu tidak akan memperhatikan tulisan ini secara saksama. Kenapa? Pasti karena banyak penyair besar dan bernama yang lebih mumpuni untuk berasyik-masyuk membahas proses kreatif bersajak dan mengaitkannya dengan teori-teori sastra.

Apabila saya juga hanya menonjol-nonjolkan sajak-sajak saya sebagai karya sastra yang adiluhung, Anda malah ―boleh jadi― akan mencibir karena tabiat saya yang terlalu narsis.

Namun, jika yang saya tawarkan adalah berbagi pengalaman tentang bagaimana caranya saya melahirkan sajak demi sajak, saya kira, Anda akan setuju dan berkenan membaca tulisan sederhana dan sahaja ini.

Saya hanya ingin berbagi cerita saja. Saya hanya ingin bertukar pengalaman. Kisah tentang proses mengarang sajak dan pengalaman tentang menggeluti sajak. Boleh jadi, apa yang saya alami, pernah pula menimpa Anda. Entah dalam bentuk kehilangan ide, merasa tidak percaya diri pada kwalitas sajak, atau bahkan merasa jenuh bersajak. Tapi, jangan khawatir. Bukan hanya Anda, dan saya, yang mengalami hal itu. Di luar sana, banyak orang mengalami hal sama. Mungkin perbedaannya hanyalah bagaimana cara mengelola aral-perintang itu agar menjadi tiang penyangga kreativitas dan imajinasi.

Mengapa Bersajak untuk Diri Sendiri?

Saya selalu yakin bahwa setiap orang dapat menulis sajak. Terutama, tentu saja, sajak yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Tentang perasaannya, pikirannya, atau pengalamannya. Saya juga yakin bahwa setiap orang punya sudut pandang dan cerita yang unik berkaitan dengan dirinya. Dan, saya pun yakin bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk memindahkan harapan, kekhawatiran, impian dan semua isi hatinya ke dalam sajak.

Dan, selama ini, itulah yang saya lakukan. Saya merasa beruntung meminta diri saya untuk membiasakan menulis sajak setiap hari. Sajak apa saja yang saya tulis setiap hari? Sajak tentang apa saja. Sajak dengan beragam tema. Dari perasaan pribadi, pengalaman teman, hingga cerita-cerita purba atau dongeng ulang yang saya tafsir dan racik ulang. Pokoknya, apa saja. Apa saja yang melintas di benak dan hati saya, langsung saya pindahkan ke sajak. Setidaknya, satu hari satu sajak.

Namun, apabila pikiran dan perasaan saya sedang cerlang-gemilang, saya bias menulis 2-4 sajak. Pada hari lain, apalagi ketika perasaan dan pikiran saya sedang diselubung kabut, saya tidak akan memaksakan diri. Paling hanya menulis satu sajak saja. Persoalan kwalitas? Oh, nanti dulu. Saya tidak pernah menyibukkan diri saya untuk mencap satu atau beberapa sajak saya bagus sementara sajak lainnya kurang atau tidak bagus. Saya menyerahkan penilaiannya kepada orang lain, para pembaca dan penikmat sajak. Mengapa? Karena saya tidak ingin mematikan kreativitas saya hanya karena menghakimi diri sendiri.

Saya yakin bahwa ada penyair yang memang dilimpahi kehebatan menyingkap selubung ide atau menangkap kelebat gagasan. Begitu ide itu muncul, hanya dengan satu-dua menit, jadilah sajaknya. Saya tidak bisa seperti itu. Saya harus berusaha keras untuk melahirkan sebuah sajak, Hikayat Perigi Maipa misalnya. Sajak itu melalui penggalian panjang saya pada berlembar-lembar naskah Sinrilik Kuno berbahasa Makassar. Pun demikian dengan sajak Hikayat Perahu Sumbi, saya membaca banyak buku cerita dan mendengar tiga pendongeng, barulah lahir sajak itu. Meski demikian, saya pun belajar membiasakan diri untuk sesegara mungkin merekam jejak ide itu. Setiap saat.

Mengapa Saya Bersajak?

Nah, pertanyaan yang sama pula perlu Anda sampaikan pada diri Anda. Ada lima tujuan utama saya bersajak.

Pertama, mengasah kemampuan menulis. Sebagai seorang yang menjadikan dunia tulis-menulis sebagai pilihan hidup, saya harus terus bersinggungan dengan tulisan setiap hari. Dan tulisan paling ringan untuk saya selesaikan dalam waktu yang sengkat adalah sajak.

Kedua, sebagai terapi hati. Dengan menulis, saya bisa menumpahkan kecamuk perasaan saya. Kecewa. Amarah. Sakit hati, Dendam. Rindu. Sunyi. Sepi. Kehilangan. Harapan. Semuanya. Dan, dengan menulis sajak, saya merasa lebih sehat.

Ketiga, merekam jejak pengalaman batin. Bagi saya, sajak adalah salah satu cara paling tepat untuk mencatat sejarah perjalanan dan pergolakan batin. Ya, dengan sajak saya merasa lebih akrab dengan pelbagai pengalaman batin yang pernah menimpa saya. Ketika saya membaca sajak Hikayat Badik Pusaka, saya langsung terkenang peristiwa berpulangnya kakek saya, Malik Pahlevi Al-Makassari. Begitu membaca sajak Rumah Airmata, ingatan saya langsung menuju album buram percintaan saya dengan Nirwana Pakarena.

Keempat, menambah kosakata. Seorang teman saya yang calon cerpenis berpengaruh di ranah sastra Indonesia, Bamby Cahyadi, pernah menggelari saya sebagai kamus berjalan. Kenapa? Hanya karena setiap sajak saya selalu menggunakan kata “tak lazim” tapi indah terbaca. Sebut misalnya dalam sajak Hikayat Selendang Bulan, saya lebih memilih menggunakan kata “cebar-cebur” daripada “mencebur-ceburkan”. Jadi, jika saya menulis 1.000 sajak, aka nada 1.000 kata berbeda setiap satu sajak saya. Meski, tidak menutup kemungkinan, ada beberapa kata yang selalu menjadi langganan, seperti luka, hujam, nestapa, kenangan, dan ingatan.

Kelima, menunjukkan eksistensi. Oh ya, selain menulis sajak setiap hari, saya juga termasuk orang yang rajin membacakan sajak. Baik membaca sajak orang lain, maupun sajak diri sendiri. Tentu saja, saya lebih merasa nyaman membaca sajak sendiri. Banyak orang yang bias menulis sajak, tapi tidak banyak yang bias meracik kembali sebuah hikayat purba menjadi sajak yang indah dan renyah, demikian umpat seorang penyair dari Blambangan, Samsudin Adlawi, kepada saya. Dan, saya suka itu. Artinya, saya orang narsis. Halal saja, kan?

Mengingat lima tujuan tersebut, maka jelaslah betapa pentingnya sajak bagi saya. Lantas, bagaimana bersajak untuk diri sendiri?

Setiap saya mengalami guncangan batin, baik bahagia maupun berduka, yang melintas di benak saya adalah: “tulis sajak, segera!”. Dan begitu amar itu meruah di sekujur tubuh, segera muncul beruntun tanya. Mengapa bisa terluka? Dari mana mulanya? Bagaimana runut kejadiannya? Apa akibatnya?

Ketika itu juga, beruntun tanya itu memancing gagasan keluar dari persembunyiannya. Ya, saya selalu banyak bertanya sebelum menulis sajak. Dan pertanyaan itu tidak hanya melintas di benak, melainkan saya tulis. Saya bertanya sebanyak mungkin untuk mengayakan kosakata. Ya, hanya bertanya. Semata bertanya. Tapi dari tanya demi tanya itu muncul beberapa kata.

Saya mengambil contoh sajak Silsilah Luka. Begitu selesai menggedor hati dengan rerupa tanya, lahirlah pilihan kata atau frasa: matahari menyala-giliran mati-perut laut-pepat jerat-memerkah-tungkai langit-memintal- silsilah luka-jejak kenang-arah haluan-mengendus bau-kematian-puncak-tarian air-menjebak mangsa-amat ganas-kenangan-melibas.

Lalu saya tambahkanlah beberapa kata pada sela-sela kata-kata pilihan itu. Hasilnya bisa kita lihat pada larik [1] sajak: Silsilah Luka.

lelaki dengan matahari yang menyala di matanya berdiri di pinggir perahu. melepas perangkap tempat ikan berkumpul menunggu giliran mati. sesekali ia turunkan daun kelapa ke perut laut, mengirim bujuk-rayu agar ikan sudi merapat dalam pepat jerat. ada sunyi melintas satu-dua jurus, memerkah di pucuk angin: kala itu tungkai langit dengan tekun memintal silsilah luka. di puncak tarian air: tertinggal jejak kenang. dari arah haluan ia mengendus bau kematian. camar datang bersama matahari pukul dua yang membakar-bakar batok kepala. sepertinya ikan-ikan sudah faham mana makanan mana umpan, pikirnya. dan, perangkap yang dilepas ke perut laut belum juga berhasil menjebak mangsa. sedang kenangan melibas amat ganas

Begitulah saya menciptakan sajak untuk diri sendiri. Merekam jejak luka. Menyimpannya di lembar sajak sebagai sejarah, kelak dengan mudah dapat saya buka sebagai kenangan yang membanjiri ingatan. Jadi, sederhana saja, kan? Ya, memang sederhana. Tidak ada yang rumit. Tidak ada yang jelimet. Saya hanya perlu berlatih bertanya dan menjejalkannya kepada diri sendiri.

Bagaimana dengan Anda? Cobalah! Buatlah pertanyaan, rasakan. Semoga lahir kosakata dan terekam jejak ide.

Parung, Februari 2009

2 komentar: