Selasa, 28 September 2010

[TULISAN RINGAN] Perseteruan Murid Zen

Catatan: Tulisan ini semata refleksi pribadi. Tidak bermaksud menghujat, menggugat, apalagi menjatuhkan pihak mana pun. Semoga berkenan membaca dan mengomentarinya.


[TULISAN RINGAN] Perseteruan Murid Zen
Oleh Khrisna Pabichara


TERKISAHKAN dalam banyak riwayat, dua orang murid Sang Guru Zen sedang melakukan perjalanan dalam rangka mempraktikkan ajaran yang telah mereka terima dari Sang Guru Zen. Murid Kesatu berbadan kecil berkulit kekuningan. Murid Kedua berbadan tinggi tegap berkulit agak kecoklatan. Murid Kesatu suaranya sangat lembut, bila bicara seolah seluruh isi alam takzim mendengarnya. Murid Kedua suaranya keras penuh wibawa, bila berbicara seolah seluruh isi alam patuh menyimaknya. Sepanjang perjalanan mereka bahu-membahu, tolong-menolong, dan saling ingat-mengingatkan.

Setelah berbulan-bulan melaksanakan amanat yang diembannya, mereka berencana pulang ke tempat pertapaan Sang Guru Zen untuk melaporkan segala yang telah mereka kerjakan. Tentulah bukan perjalanan yang mudah dan menyenangkan, tapi kegembiraan bakal bertemu guru tercinta begitu meruah dalam dada. Gunung dan lembah mereka lalui dengan riang. Hutan gelap mereka lewati begitu gembira.

Hingga mereka tiba di sebuah desa yang baru saja dilanda bencana banjir. Rumah-rumah dan pohon-pohon rubuh bertumbangan. Mayat-mayat bergelimpangan. Air yang mulai surut setinggi mata kaki penuh lumpur. Kedua murid Sang Guru Zen itu tidak surut. Mereka terus melangkah, meski kaki berat diayunkan.

Lalu mereka mendengar teriakan, seperti suara seseorang yang sedang meminta pertolongan. Meskipun pandangan keduanya terhalang, suara itu terdengar walau agak lamat. Mereka pun bergegas, dan terkesiap melihat seorang gadis, dengan pakaian penuh noda lumpur tersingkap di beberapa bagian, berdiri dengan muka pucat pasi.

“Ajaib, masih ada korban yang selamat,” kata Murid Kesatu sambil mengucek-ucek matanya seolah tak percaya.

“Ah, mustahil. Pasti halusinasi,” sergah Murid Kedua.

Murid Kesatu tersenyum lembut. “Apa pun namanya, kita tetap harus menolong gadis itu.”

“Tapi…. Tunggu dulu! Bagaimana kita akan menolongnya? Lihat, pakaian gadis itu acak-acakan, membangkitkan birahi. Itu melanggar ajaran guru. Lagi pula, tidak mungkin kita menggendong atau membopong tubuhnya. Mustahil.” Kata Murid Kedua dengan suara yang pelan tapi penuh wibawa.

“Tak perlu kita membopong tubuhnya sepanjang perjalanan. Cukup hingga ke kaki bukit itu. Ingat, di balik bukit ada perkampungan. Kita tinggal mengabarkan kepada penduduk kampung, di desa sebelah ada korban banjir yang masih selamat. Mudah, kan?” jawab Murid Kesatu dengan lembut.

Wajah Murid Kedua memerah. “Tidak. Aku tidak mau melanggar ajaran Guru. Selama ini kita berjuang mati-matian mengamalkan segala perintah dan menjauhi semua larangan. Lantas karena seorang gadis semuanya jadi tak berarti? Tidak mungkin.”

Murid Kesatu pun melangkah ke arah Sang Gadis. Menyapanya dengan lembut, menenangkan hatinya, lalu meminta maaf karena harus menggendongnya. Sang Gadis pun mengiya dan segera bergelayut ke tubuh Murid Kesatu. Murid Kedua memejamkan mata, mulutnya komat-kamit memohonkan ampun bagi kesalahan saudara seperguruannya. Setelah susah payah melewati kubangan lumpur sepanjang sekitar 70 meter, mereka pun tiba di kaki bukit. Segera saja Sang Gadis turun dari gendongan, sinar matanya menyiratkan ucapan terima kasih yang sangat tulus. Murid Kesatu dan Murid Kedua pun melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya mereka tiba di perkampungan di balik bukit. Lantas menyampaikan kepada penduduk kampung ihwal gadis yang mereka selamatkan, lalu mereka teruskan perjalanan. Karena hari mulai gelap, mereka sepakat untuk istirahat.

“Bertobatlah, Saudaraku!” Kata Murid Kedua.

“Karena kesalahan apa?”

“Kamu telah melakukan perbuatan maksiat.”

“Aku cuma menggendong gadis itu sepanjang 70 meter, kamu menggendongnya dalam pikiranmu sepanjang 7 kilometer. Siapa yang mestinya bertobat?” tanya Murid Kesatu.

***

KERAP KALI ajaran agama yang kita yakini kita maknai sebagaimana adanya saja. Ada banyak nilai tersirat yang belum kita singkap. Sebutlah seperti pendapat Murid Kedua di atas. Benarlah adanya bahwa mereka harus taat pada ajaran Sang Guru yang mereka yakini kebenarannya. Akan tetapi, tidak berarti apa yang dilakukan oleh Murid Kesatu—menolong Sang Gadis—benar-benar salah. Ia memaknai ajaran Sang Guru dengan kemampuan merangkul dan menghayati ajaran itu hingga ke tataran penafsiran dan pengamalan yang lebih membumi.

Kisah di atas hanyalah tamsil belaka. Sebut saja betapa banyak anak-anak yang terpaksa turun ke jalan karena paksaan keadaan, lalu menadahkan tangan berharap belas kasihan dari para pengguna jalan. Bagi sebagian orang, larangan memberikan sedekah seperti yang dimaklumatkan pemerintah di beberapa kota adalah sesuatu yang “jelas”—seperti larangan melihat aurat perempuan dan berdekatan dengan perempuan bagi Murid Kedua—dan harus diterapkan. Belum lagi bila dikait-hubungkan dengan asumsi bahwa “gerombolan” pengemis itu sebenarnya “profesi samar” yang terorganisir. Maka, sedekah menjadi sesuatu yang “tabu”, bahkan “tidak boleh”. Apalagi bila kita meyakini bahwa tugas memelihara, melindungi, dan "mengasuh" orang miskin dan anak terlantar adalah kewajiban negara. Makin kompleks, kan?

Dalam tataran kebijakan, sekadar menyebut contoh, tilik pula SKB Menteri tentang pembangunan rumah peribadatan yang terus memicu konflik antar-umat beragama. Bagi umat yang “fanatik” akan menjadikan SKB itu sebagai senjata untuk melarang agama lain menjalankan ritual ibadatnya, bahkan kerap pula disertai dengan tindak kekerasan—yang sebenarnya tidak pernah dianjurkan oleh agamanya—atas nama agama dan menggunakan simbol-simbol agama. Sementara, Pemerintah tidak bersegera mencari solusi terbaik, semisal mengeja dan membaca ulang SKB itu.

Sungguh, ada banyak hal yang seyogianya butuh permenungan kita.

***

KEMBALI ke muasal perdebatan murid Sang Guru Zen di atas, tentulah banyak hikmah yang bisa kita petik. Selama ini kita sering—kadang-kadang sangat sering—berburuk sangka, menduga sesuatu yang belum tentu pasti, atau pikiran negatif yang belum tentu absah kebenarannya. Kita lebih suka memilih mendiamkan suatu masalah daripada berusaha mencari kebenarannya. Kita pun kerap mengambil keputusan sendiri, sebelum bersikeras mencari hakikat dan kejelasan masalah itu. Keberanian Murid Kedua untuk mempertanyakan “penyimpangan” yang dilakukan oleh Murid Kesatu, sejatinya, adalah ajakan bagi kita untuk belajar berterus-terang, belajar lebih terbuka, dan belajar menerima perbedaan.

Kisah di atas bukanlah pencarian siapa yang benar atau siapa yang salah. Bukan pula pemastian siapa yang lebih berbakti atau siapa yang sudah menyimpang. Kisah di atas hanyalah cermin bagi kita dalam hidup kekinian yang semakin “rumit”. []

Bogor, September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar