Catatan: Tulisan ini didaras untuk membabar hasil pembacaan atas buku kumpulan puisi Konde Penyair Han anggitan Hanna Fransisca. Dimuat di Berita Pagi, Edisi Minggu (26/09/2010)
Reformasi Setengah Matang
Khrisna Pabichara
“Indonesia adalah dunia yang tak pernah sudah.”
—Rivai Apin.
Dua belas tahun setelah Reformasi 1998, investasi Republik Indonesia terhadap warganya masih perlu dipertanyakan. Padahal, keruntuhan Orde Baru adalah peristiwa yang demikian penting, yang menimbulkan harapan demikian besar bahwa setelah peristiwa tersebut kehidupan bernegara akan berubah. Tapi langit belum juga secerah harapan. Penculikan para aktivis pada 1997-1998, pembunuhan aktivis HAM, Munir, pada 2004, dan praktik-praktik intelijen untuk kepentingan rezim yang sedang berkuasa belum ketahuan siapa dalangnya. Semua itu, konon, dilakukan atas nama “keamanan negara”, walau tak jelas apa definisi dari “keamanan negara” itu.
Potret penegakan hukum pada kasus-kasus pelanggaran HAM masih berwajah buram. Tidak banyak “cerita sukses” yang dapat ditampilkan. Kasus-kasus dengan jumlah korban yang banyak dan dampak yang luas—semisal kasus Trisakti, “Mei Berdarah”, Semanggi I dan II—tak pernah jelas hulu-hilirnya. Kejahatan HAM yang menyebabkan wafatnya beberapa mahasiswa dan ribuan korban lainnya, hanya menjadi “tumbal dan petasan reformasi”. Peran dan jasa para agen perubahan yang telah menjadi korban yang berpucuk pada lahirnya reformasi, tidak mendapat tempat untuk dihormati dan dihargai. Tak satu pun pelaku pelanggaran HAM pada saat kerusuhan, selang sebelum reformasi lahir, dapat dibawa ke pengadilan. Sungguh, siapa pun yang hari ini tengah mereguk nikmat reformasi seharusnya belum dapat mengumbar senyum, bertepuk dada, apalagi tidur dengan nyenyak, dan berkata santun seolah tengah atau telah melakukan reformasi.
Betapa!
Ini salah satu sisi yang disasar secara implisit oleh Hanna Fransisca lewat kumpulan puisinya, Konde Penyair Han. Dia sampaikan “tuntutan” yang berkecambah dari pengalaman-pengalaman batin dan berpucuk pada kegelisahan. Republik yang dibangun dari kerangka demokrasi ini tak kunjung menemukan hakikat perbedaan yang sejati. Setiap hari kita disuguhi tontonan yang lebih melibas yang kurang, atau yang mayoritas menggilas yang minoritas. Tengoklah puisi Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi. Dengan lugas Hanna berkata, “Bukan tempatmu tinggal di sini.” Begitupun dalam puisi Air Mata Tanah Air, penyair kelahiran Singkawang ini membabar metafora keperihan dengan, “Engkau telah dewasa. Jangan berjalan riang di jalan raya sebab semua aspal yang kaupijak bukan punya kita.”
Mestinya, siapa pun yang lahir di pelukan pertiwi, keamanan hidupnya dijamin oleh negara. Tapi kenyataan tidak seindah yang kita bayangkan. Semboyan ke-bhinneka-an dan ke-ika-an kita tinggal slogan belaka. Ketidaksanggupan menerima perbedaan bukan hanya marak di kalangan akar rumput, tetapi juga terang-benderang di jajaran elite bangsa. Maka, penting bagi kita mencerap teguran Hanna. Aku mengerti artinya benar penjara/ karena sewaktu-waktu kotak milikku/ bisa dibakar dan dijarah paksa.
Bagi setiap warga negara, keturunan atau pribumi, dengan merujuk pada amandemen UUD 1945, terjamin kebebasannya untuk berpendapat, berserikat, atau berkumpul. Indonesia juga mempunyai UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan meratifikasi 2 konvenan, yaitu Convention on Civil and Political Rights dan Convention on Social, Economic, and Cultural Rights. Faktanya, penggunaan kekerasan dengan mengatasnamakan simbol-simbol etnis, kelompok, ras, dan agama masih tetap digunakan. Sebut saja kasus Poso, Ambon, Maluku Utara, Aceh, dan Papua. Atau yang paling anyar, penusukan terhadap pemuka agama HKBP—apa pun alasan pelaku yang melatari tindakannya.
Entah kenapa kekerasan seolah-olah menjadi satu-satunya jalan keluar. Mungkin itu pula sebabnya Hanna “bergumam” melalui puisi Layang-layang: Sebelum kita lupa aroma arak/ yang direndam sungai air mata ibu,/ beserta doa yang kini mengubahmu/ menjadi telur penyu./ Bunuhlah aku, Adik! Puisi ini menegaskan maraknya keadaan yang kontradiktif; kerinduan atas ketenangan berhadapan dengan kekerasan di sisi lain, harapan agar HAM bisa ditegakkan secara konsisten dihadapkan pada fakta kekerasan yang senantiasa digunakan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat.
Inilah ironi di negeri beradab ini.
Bagaimanapun, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kenyamanan dan kesejahteraan warga negara terjamin. Pendeknya, investasi negara terhadap atau untuk warga negaranya adalah persoalan yang sangat penting. Hanya dengan cara seperti itu, ketakutan Rivai Apin bahwa—Indonesia adalah dunia yang tak pernah sudah—tidak terbukti. Dan setiap anak bangsa, termasuk Hanna, bisa berlutut takzim di makam leluhurnya sembari berdoa, “Aku datang padamu dengan sepasang lilin putih/ agar hidupku terang bercahaya.”
Mari kita rayakan perbedaan dengan saling memahami, agar Reformasi tidak "Setengah Matang".[]
Khrisna Pabichara, prosais dan motivator. Bermukim di Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar