Catatan: Tulisan ini semata untuk bahan perenungan saja. Tidak ada niat untuk menghujat atau mengugat, apalagi menghakimi seseorang. Terima kasih atas perkenan Anda membaca tulisan ini. Semoga berfaedah adanya.
Elang Berperilaku Ayam
Oleh Khrisna Pabichara
”Kecantikan abadi bukan terletak pada wajah rupawan atau pakaian menawan, melainkan pada keelokan budi dan ketinggian ilmu.”
—Buya Hamka.
TERSEBUTLAH kisah, seperti pernah dituturkan Anthony de Mello, seorang petani menemukan telur burung elang di ladangnya. Karena rasa kasih yang dimilikinya, petani membawa telur itu pulang ke rumahnya, lalu meletakkan telur elang itu diantara tumpukan telur ayam yang sedang dierami oleh induknya. Tak lama berselang, telur itu menetas bersama telur-telur ayam lainnya. Sejak itu, elang kecil hidup tumbuh dan hidup laksana ayam, berjalan meniru induknya, mematuk-matuk makanan seperti saudaranya—anak-anak ayam—dan berperilaku sama seperti ayam-ayam yang lainnya. Hanya saja, ia terlihat lebih elegan dari ayam lainnya.
Ia terus bertumbuh hingga usianya mulai tua. “Ayam” itu tak pernah mencoba terbang apalagi meliuk di udara, ia hanya bisa berjalan seperti yang dipelajarinya sejak kecil. Meskipun ia tak bisa bertelur layaknya ayam betina atau birahi seperti ayam jantan. Hingga suatu ketika, “ayam” yang mulai tua itu bermain di ladang bersama ayam-ayam lainnya. Ketika melongok ke udara, ia melihat seekor burung melayang-layang dengan gagah mengintai mangsa. Ayam-ayam lain mengajak “ayam” itu segera mencari tempat yang aman untuk berlindung.
“Kenapa kita harus lari bersembunyi?” tanya “ayam”.
“Kalau tidak, kita akan dimangsa burung perkasa itu,” jawab ayam lainnya.
“Makhluk apa itu?” cecar “ayam”.
Ayam lainnya menjawab, “O, itu burung paling perkasa. Namanya burung elang. Selain jago terbang, ia juga suka menunggu kita lengah agar bisa memangsa kita.”
“Kita juga punya sayap, kenapa tidak terbang saja?” sergah “ayam” itu.
“Kamu ada-ada saja,” jawab ayam yang lain, “kita ini hanya seekor ayam, tidak mungkin bisa terbang seperti itu.”
Karena penasaran, “ayam” itu keluar dari persembunyiannya. Ia abaikan peringatan saudara-saudaranya. Akibatnya, ia mati diterkam burung elang. Akhir kisah, “ayam” itu benar-benar mati sebagai ayam.
***
KELEMAHAN terbesar kita sebagai manusia adalah pikiran kita. Banyak orang cenderung menganggap dirinya lemah, bersikap apatis, dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang “kenyamanan” seperti yang lazim ia lakukan. Alhasil, orang-orang seperti itu menjadi “ayam” yang tak bisa terbang menari dengan gagah di angkasa, padahal ia memiliki kapasitas itu sejak ia dilahirkan. Hebatnya, banyak di antara kita yang betah berlama-lama memelihara paradigma yang salah itu, tak ubahnya “sang ayam” yang akhirnya mati sebagai ayam, bukan sebagai elang yang perkasa.
Jadi, tepatlah petuah Buya Hamka, seperti tertera di awal tulisan ini,”Kecantikan abadi bukan terletak pada wajah rupawan atau pakaian menawan, melainkan pada keelokan budi dan ketinggian ilmu.” Dengan berbekal ketinggian ilmu, kita akan lebih mudah meninggalkan paradigma salah, dan memilih pikiran yang lebih sehat memasuki benak kita secara lebih leluasa. Setiap mendapat kesulitan, kita akan menyaring pikiran, memilih pikiran-pikiran positif dan mengabaikan—bahkan menolak dan membuang jauh-jauh—pikiran-pikiran negatif. Dengan berbekal keelokan budi, kita akan memahami apa yang seharusnya kita lakukan, termasuk kapan dan bagaimana melakukannya.
Hanya saja, ketinggian ilmu dan keelokan budi itu tidak serta-merta terbawa bersama kelahiran kita, melainkan harus diusahakan, dilatih, dan dibiasakan.
Begitulah aturan hidup yang mesti kita jalani.
***
KEKUATAN terbesar kita sebagai manusia adalah pikiran kita. Orang-orang yang berhasil mengubah dunia adalah orang-orang yang berhasil keluar dari penjara mentalnya, yang sukses menyaring pikirannya—dengan memilih hanya yang positif—dan memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Sekadar menyebut nama, Thomas Alva Edison, Wright bersaudara, Soichori Honda, Bill Gates, atau yang lainnya adalah orang-orang yang memilih jadi ”elang” seutuhnya walaupun mereka hidup di lingkungan ”ayam”. Mereka berusaha optimal untuk keluar dari zona nyaman atau wilayah aman yang biasa mereka jalani. Bahkan mereka ikhlas dituding ”gila”. Hasilnya, mereka berhasil mewujudkan apa yang mereka impikan dan memberi faedah sebesar-besarnya bagi sesama manusia.
Maka, sebaiknya kita camkan nasihat Stephen R. Covey, “Kalau Anda menginginkan perubahan kecil, garaplah perilaku Anda. Jika menginginkan perubahan besar, garaplah paradigma Anda.” Sejatinya, ”ayam” sudah mencoba melakukan perubahan kecil dalam hidupnya, yakni memilih keluar dari persembunyiannya. Tapi ia belum sukses melakukan perubahan besar, mencoba terbang seperti layaknya elang yang lain. Dalam hidup ini, perubahan kecil saja belumlah cukup. Kita harus berani melakukan perubahan besar, dan prasyarat utamanya adalah mengubah paradigma.
Banyak di antara kita memiliki gagasan hebat, ide cemerlang, atau mimpi brilian, tetapi tidak membawanya ke tataran nyata. Itulah mengapa kita butuh mengubah perilaku. Mimpi saja belum cukup, kita butuh upaya keras dan usaha cerdas yang lebih nyata. Ketika gagasan-ide-mimpi itu tidak kita rancang lebih optimal, berarti kita telah melakukan kesalahan mendasar dalam hidup ini, yakni mengabaikan aset besar yang kita miliki. Sungguh, Mahatma Gandhi sudah pernah mengingatkan kita, ”Seseorang tidak dapat melakukan hal yang besar di satu sisi kehidupan, sementara ia sibuk melakukan kesalahan di sisi lain.” Jadi, tunggu apa lagi?
Sebenarnya, setiap hari, kita disuguhi banyak pelajaran berharga. Sayangnya, tidak banyak yang bisa kita serap. Setiap hari kita mendapatkan inspirasi, entah dari mana saja asalnya. Sayangnya, kita tidak melakukan apa-apa. Inilah paradigma, inilah perilaku. Tak ada bedanya dengan ”sang ayam” yang punya harapan berbuat lebih dari sesama ayam, tetapi ia tidak melakukan apa-apa kecuali keluar dari sarangnya. Alhasil, pelajaran dan inspirasi berharga itu berlalu begitu saja, seperti mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang hanya terus mengendap dalam pikiran.
Anehnya, kita kerap mengeluhkan kebiasaan buruk dan menyesali diri manakala satu peluang telah kita biarkan lewat begitu saja, tanpa mengubah perilaku dan paradigma. Sungguh, malang nian nasib kita bila lebih memilih berkubang di zona nyaman dan tak kunjung meng-instal nyali agar bisa keluar dari penjara mental.
***
BETAPAPUN, kekuatan dan kelemahan kita, sejatinya, terletak di pikiran kita. Karena itu, hal mendasar yang seyogianya kita lakukan bila menginginkan perubahan adalah dengan menata, mengelola, dan mengatur pikiran itu. Apa pun yang terjadi, tak layak pikiran yang negatif berkuasa atau menguasai benak kita. Pilihan terbaik bagi kita adalah memutar pikiran positif berulang-ulang sampai terekam dengan baik dalam pikiran alam bawah sadar kita. Tak layak pula bagi kita untuk ”mati” terlebih dahulu baru menyadari betapa kita telah melakukan kesalahan besar sepanjang hidup, seperti yang dialami ”sang ayam” dalam petikan kisah di atas.
Pilihan terbaik bagi kita adalah memilih menjadi “elang sejati” daripada hidup sepanjang hayat sebagai “ayam”. Karena itu, mari kita mulai dengan menggarap perilaku dan paradigma. []
Bogor, September 2010