Catatan: Cerpen ini dimuat di Rebana, Analisa Medan, edisi Minggu (04/04/2010).
Sila diklik juga tautan ini: http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_con tent&view=article&id=49980 :ulu-badik-ulu-hati&catid= 113:cerita-pendek&Itemid=1 22
Ulu Badik Ulu Hati
Khrisna Pabichara
1
GEGER. Hanya kata itu yang tepat untuk menggambarkan situasi kampung Ciguha. Sebuah kampung berhawa sejuk di kaki Gunung Pongkor, ketika silang sengketa petang dan malam, mulai terjadi. Betapa tidak, sosok Hasan -jawara yang ditakuti dan disegani- ditemukan sedang terkapar bermandi darah di mulut kampung, dengan sebilah badik tertancap tepat di ulu hatinya.
Badik berulu elok itu, milik Sampara, jagoan lain yang juga sangat ditakuti dan disegani dan dikenal sebagai sahabat dekat Hasan. Kenapa Hasan bisa mati? Bagaimana bisa Sampara menghabisi sahabatnya sendiri? Begitulah kasak-kusuk yang merebak sore itu.
2
Dulu, jauh sebelum memutuskan kisah ini akan kami ceritakan padamu. Matanya selalu bercahaya. Ya, matanya sungai misteri yang tak mengenal muara, selalu tenang mengalir dari hulu ke hilir, hingga getir kehilangan meredupkan cahaya itu. Malam ini, kami merasa dia sangat asing seolah belum pernah bertemu atau mengenalnya.
Supaya kamu tahu latar ceritanya, baiklah kami sampaikan siapa sebenarnya lelaki yang sedang kita bincangkan. Namanya Sampara. Bukan nama yang lumrah bagi orang Sunda atau Jawa. Dia seorang perantau, tapi bukan orang baru bagi kami.
Sudah puluhan tahun dia hidup beranak-pinak di kampung kami. Konon, dia pelarian dari Jakarta, tapi tak pernah ada yang berani bertanya dari mana asal-usulnya. Kami tahu, dia jago berkelahi. Kulitnya keling tubuhnya ceking. Ototnya biasa saja. Kenyal, alot dan licin. Kamu jangan menduga dia kebal senjata, parut di pelipis dan codet di lehernya, bukti dia bisa terluka.
Kami pernah berpikir, setiap orang Makassar pasti berperangai kasar. Ternyata, tidak! Dia sangat santun, jauh dari kesan arogan atau jagoan. Dia rendah hati, lembut budi dan gemar berbagi. Meski jarang bicara, kata-katanya bijak. Dia selalu punya berangkai kata yang hidup, yang bernyawa. Dia bukan tukang kibul, apalagi tukang bual, meskipun dia mahir menebarkan semangat agar kami lebih sigap bertahan hidup.
Ketika tambang emas--atas nama Negara--dijaga ketat oleh polisi-polisi sangar, dia berdiri paling depan mengeruk diam-diam emas itu lewat lubang tikus. Dari sana lahir istilah gurandil, gelar bagi penambang emas liar. Dari sana pula nasib kami berubah. Rumah-rumah jadi lebih mewah. Motor dan mobil mulai marak. Parabola menjamur. Gaya berpacaran anak muda pun makin berani dan terbuka, seperti yang dicontohkan acara janggal di televisi.
Tiba masa suram, gurandil ditangkapi. Gelundung--tempat mengolah emas tradisional--ditutup paksa. Dia lenyap tiba-tiba. Kami kira dia telah mati. Ternyata belum. Dia muncul lagi, kali ini bersama teman-temannya. Katanya, mereka berasal dari pelbagai daerah. Lantas meletup lagi gairah kami mencari emas di tanah kelahiran. Sejak itu, polisi-polisi sangar itu kewalahan lagi.
Pada subuh yang dingin, seorang perempuan belia terbujur kaku di mulut kampung. Kelaminnya koyak, tubuh dan kepalanya tak terkenali. Dia yakin itu putrinya, anak semata wayangnya. Sepasang baju berwarna hitam teronggok tak jauh darinya. Ia kenali itu baju Hasan, temannya dari Lebak. Dia bergegas balik ke rumah, pasti mencari Hasan. Tak ada sesiapa. Bahkan semua temannya yang dari Banten bak lenyap di telan bumi.
Gempar itu belum juga bersudah. Sore harinya, Hasan ditemukan terbujur kaku di ujung kampung. Seperti telah kami ceritakan padamu, badik Sampara tertancap di ulu hatinya. Kamu menduga dia pelakunya? Kami juga. Tak ada pemilik senjata tajam jenis badik berulu elok di kampung kami, selain milik Sampara. Tak heran jika segala curiga bermuara padanya. Akan tetapi, maaf, kami tak mau banyak bicara.
3
Malam ini cuaca sangat buruk. Bukan karena kabut, udara dingin atau hujan. Kematian Hasan pemicunya. Kerabatnya tak bisa terima. Mereka telah berkirim kabar akan segera balas dendam. Dari sana bermula kami dicekam ngeri, seolah maut mengintai setiap demi setiap detik. Jauh sebelum gelap tiba, rumah-rumah sudah sepi. Mencekam. Mengerikan.
Sebelumnya kami sadar, cuaca sedang tidak peduli jeritan kulit-kulit telanjang. Maaf, kami merasa lebih baik dikoyak dingin ketimbang harus lebih lama berdiam di rumah menyaksikan aroma ketakutan memancar dari mata istri dan anak-anak.
Bertemulah kami di warung Mang Mista, kedai kopi paling ramai di kampung kami. Seperti biasa, kami termangu melihatnya berbicara dengan gaya orang yang sedang mencicitkan amarah. Emas membuat kita jadi boneka mainan yang tak henti mengunyah pedih, katanya.
Seperti biasa pula, kami hanya mengangguk. Bukannya kaya raya, kita malah jadi tikus yang sekarat di lumbung emas, katanya lagi. Kali ini dengan suara meninggi. Kami menyimak dengan takzim dan kehilangan alasan untuk menoleh. Matanya menatap kami satu-satu. Dingin. Mengalahkan dingin cuaca. Emas telah membuat desa teduh ini mendidih. Seperti kawah, diam tapi bergolak. Seperti kuburan, riuh isak tapi senyap, katanya dengan suara makin tinggi, makin dingin. Tak ada yang menyela. Semua sepakat menjadi pendengar setia. Kemudian dia berkicau tentang wasangka yang membiak di benaknya.
Baginya, putrinya tidak wafat karena kebiadaban Hasan. “Ini adu domba. Aku kenal Hasan. Dia setia.”
“Lalu, siapa yang membunuh putrimu, daeng?” tanya seseorang, lirih. Bagi kami adalah harga mati, bahwa Hasan pembunuh putrinya. Sudah cukup bukti. Mungkin saja dia menduga lain karena Hasan sahabat sejatinya. Aneh jika menduga bukan Hasan pelakunya.
“Baju Hasan ada di sana. Itu fakta!” sela seseorang.
“Bisa saja baju Hasan hanya pengalih…” sergahnya agak ragu. Tiba-tiba kami merasa pendapatnya juga benar. Bisa saja ini buah adu domba. Hasil rekayasa. Siapa dalang yang menjadi otak segala muslihat ini? Apa gunanya? Bagaimana menurut kamu? Jangan-jangan Hasan memang hanya korban fitnah.
“Bagaimana dengan badik yang menancap di tubuh Hasan?” tanya seseorang.
Dia menarik napas. Merah di wajahnya semakin nyala. “Aku tidak bodoh. Jika benar aku membantai Hasan, sangat naif meninggalkan barang bukti. Sama saja bunuh diri…”
“Dari mana mereka curi badik daeng?” sergah yang lainnya. Dia menggeleng, lalu mendesis.
“Aku tahu siapa pelakunya. Aku sudah tahu. Salah besar jika mereka menduga aku jerih. Sampara bin Lappasa dilahirkan tanpa rasa takut. Aku sudah tahu siapa yang harus bertanggung jawab!”
Kemudian dia pergi meninggalkan kami. Lantas, siapa gerangan biang keladi yang ada di benaknya? Kamu tahu?
4
Malam lambat berjalan, pukul setengah tiga, seakan sengaja tak henti menyiksa kami. Hawa dingin membuat suasana makin mencekam. Tiba-tiba gelegar salak pistol mengoyak sunyi. Suaranya bergema, menambah amuk rasa takut.
Kami bergegas ke arah tembakan. Kami yakin itu berasal dari Pos Polisi di ujung kampung. Oh, kamu harus tahu, setibanya di sana, mata kami terbeliak. Lima orang polisi bersimbah darah. Mati dalam posisi berbeda-beda. Di tubuh mereka sama-sama tertancap panah beracun. Sementara dia, oh, dia telah tiada. Delapan butir peluru mengoyak tubuhnya.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Jakarta, Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar