Kamis, 01 April 2010

[Artikel Ringan] Jihad dan Keluarga

Catatan: Tulisan ini dimuat di Tabloid Assalamu'alaikum, di Rubrik Usrah, Edisi April 2010.



JIHAD DAN KELUARGA
Oleh Khrisna Pabichara


RIWAYAT MENCATAT, seorang sahabat bernama Jahimah pernah menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin berjihad. Aku datang menemuimu untuk meminta nasihat.” Ketika itu, Rasulullah Saw. menjawab, “Apakah Ibumu masih hidup?” Jahimah menjawab, “Ya.” Kemudian Rasulullah Saw. menegaskan, “Teguhlah berbakti kepadanya, karena surga berada di telapak kakinya!”

Melalui seloroh ringan dalam sebuah seminar “Keluarga Samara” di Kerinci (7 Januari 2010), saya menjawab pertanyaan Ibu Fadilah, peserta seminar, bahwa berpijak dari pernyataan Rasulullah, jika Anda ingin menikmati “hidup di dunia” layaknya di surga, maka berbaktilah kepada Ibu. Sederhana sekali. Syaratnya pun ringan dan mudah. Tidak perlu ada garansi berupa sertifikat tanah atau BPKB kendaraan bermotor. Juga tidak harus menjaminkan SK Pegawai berikut lampiran slip gaji. Kebahagiaan—dalam hal ini dilambangkan dengan surga—sangat dekat dengan kita, di hati Ibu yang ikhlas dan ridha. Sementara Ibu ialah simbol dari sebuah keluarga. Maka, jelaslah bahwa keluarga adalah unit terkecil dari sebuah “jihad”, tapi merupakan pusat dari “jihad” itu sendiri.

Begitulah. Tak dapat disangkal, bahwa jihad membela Agama atau Negara itu penting, bahkan mahapenting, tapi jangan sampai kita lupakan jihad “kecil” yang sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari kita: Jihad membahagiakan keluarga. Keluarga yang di dalamnya tertanam kukuh nilai-nilai kemanusiaan, akan saling menghargai-menghormati-mengasihi. Keluarga yang senantiasa mengedepankan cinta-kasih akan meletakkan manusia pada harkat yang sama, dan memperlakukan orang lain layaknya memperlakukan diri sendiri. Jika kondisi ini tercipta, tidak akan terjadi silang-sengketa, perang, pembunuhan, penipuan, korupsi, atau hal yang merugikan orang lain.

Akan tetapi, tidak mudah menciptakan kondisi ideal sebuah keluarga. Karena itu dibutuhkan “jihad”. Masalahnya, kita sering meremehkan kepentingan keluarga—bahkan mengalahkannya—demi kepentingan lain, semisal kepentingan bisnis, pertemanan, atau hura-hura. Kecerdasan intelektual menjadi target utama, sedangkan kecerdasan emosional kerap diabaikan—otak terus diisi, hati dilupakan. Tidak heran jika generasi yang lahir lebih banyak “besar kepala” daripada “besar hati”.

Bagaimanapun, membangun keluarga yang ideal selalu menuntut kesungguhan. Dan, itu “jihad”.


DARI RIWAYAT Jahimah di atas, kita bisa becermin mengacakan diri. Sejauh mana kita paham makna “bakti” itu? Bahwa Ibu jadi “tokoh utama” tempat segala bakti bermuara, memang benar. Akan tetapi, jika kita mau sejenak saja bermenung, maka kita akan paham bahwa Ibu hanyalah tamsil, pengandaian, atau ibarat. Yang ditekankan oleh Rasulullah, boleh jadi, adalah keluarga.

Pertanyaannya sekarang, seberapa penting arti keluarga bagi Anda? Jika jawaban Anda adalah “paling penting”, maka berbahagialah. Anda adalah seorang mujahid paling gemilang. Kenapa? Keluarga—dengan rumah sebagai markas besarnya—adalah kawah paling menentukan dalam penggodokan generasi sejati. Ma’ruf Musthafa Zurayq, psikolog ternama dari Damaskus, menegaskan, “Seorang manusia tidak akan menjadi manusia sejati, jika pada masa kanak-kanaknya dia tidak menjadi seorang anak sejati.”

Maka, apabila keinginan berjihad demikian menggebu di hati Anda, ayo kita mulai berjihad dari arena perjuangan yang paling dekat dengan kita, keluarga.

Jakarta, Maret 2010
Khrisna Pabichara, motivator dan penyuka sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar