Catatan: Cerpen ini dimuat di Jurnal Bogor, Edisi Minggu (11/04/2010). Cerpen ini juga dirancang untuk menjadi bagian dari novel "Natisha: Perempuan Simpanan". Jika Sahabat sekalian ingin mendapatkan bagian awal kisahnya, sila Anda baca juga cerpen "Selasar" di catatan saya, dan "Hati Perempuan Sunyi" yang akan saya posting kemudian.
Terima kasih berkenan membaca cerpen ini. Tak lupa terima kasih sangat atas sulutan ide dari Nisa Elvadiani dan Dhya Bella untuk membuat versi lain dari cerita ini. Salam takzim.
LEBANG DAN HATINYA
Oleh Khrisna Pabichara
1
AKU MENIKAH dengan lelaki yang kelak akan sangat kubenci. Rangka namanya. Aku tak pernah merindui atau mencintai apalagi bermimpi akan dinikahi olehnya, karena aku punya kamu, lelaki yang kurindui dan kucintai dan kuharap bisa menikahiku. Tapi nasib menggiringku pada kenyataan yang sama sekali tak kudambakan, ya, aku dipaksa takdir menelan getir menjadi istri ketiga Rangka, lelaki kaya raya yang durjana itu.
Aku tak pernah berniat mengkhianatimu, Sayang, sungguh!
2
AKU YAKIN kamu tahu, tak pernah sedetik pun melintas di benakku untuk berucap selamat tinggal atau kalimat lain yang mengisyaratkan aku hendak menjauh darimu, tidak. Aku mencintaimu lebih dari cintaku pada diri sendiri. Itulah mengapa sehingga aku selalu melarang kamu ikut pabbatte—lomba pencak tradisional Turatea, yang kerap kamu ikuti setiap pesta pernikahan atau hajat sunatan. Kamu pasti ingat, aku paling benci mendengar kamu menang, apalagi kalah, karena tak ingin kamu terluka. Bilamana aku tuding kamu tak lebih dari ayam sabung, kamu selalu bisa berkilah dengan alasan yang sama, “Ini warisan leluhur.” Seharusnya kamu menyadari, tidak semua tradisi layak dilestarikan. Adakah layak dibanggakan bila tradisi melesakkan penderitaan?
Tapi kamu selalu menampik segala pintaku. Kamu tetap bertarung. Lagi, dan lagi.
Tak terhitung lelaki yang tumbang di kakimu. Hingga suatu ketika, setahun silam, aku ingat peristiwa di pesta pernikahan putri Pak Camat. Waktu itu Rangka berdiri angkuh di tengah arena. Tangannya berkacak, memandangimu dengan tajam dan ganas seolah hendak melumpuhkan kamu hanya lewat sorot matanya. Yang paling menyakitkan, ia menantangmu dengan menjadikan diriku sebagai taruhan. Aku sakit, Sayang, sangat sakit. Lebih sakit lagi karena kamu terima tantangan itu. Aku tiba-tiba membencimu. Oh, sebatas itukah cintamu? Bagaimana jika ternyata kamu kalah? Apa kamu kira aku rela berpindah ke hatinya? Kenapa kamu begitu berani mempertaruhkan mimpi masa depan kita?
Padahal, sebulan lagi kita menikah, Sayang.
Betapa pun aku bersyukur karena akhirnya kamulah pemenangnya. Bukan sarung sutra yang membuat hatiku bangga dan bahagia, melainkan karena aku tak terjatuh ke pelukan bandit mata keranjang itu. Aku ingat sekali, ia berjalan meninggalkan arena dengan mata merah menyala, menguarkan kobar amarah dan dendam angkara. Tahukah kamu, ketika ia melintas di depanku, ia menoleh dan tersenyum sinis seolah ingin menelanjangi tubuhku, dan matanya itu, o, matanya mengirimkan hawa dingin yang membuat jantungku menggigil. Aku ingin kamu di sampingku saat itu, tapi kamu malah tertawa kegirangan merayakan kemenangan di tengah lapangan, sementara aku tersiksa oleh rupa-rupa keanehan yang sama sekali tak bisa kumengerti. Ada sesuatu yang entah apa menguyupi hatiku.
Tiba-tiba segala kebencian kepadanya menguap berganti gairah yang meruap. Aku diseret olehnya menjauh dari kerumunan, dan tak seorang pun yang peduli kepadaku, termasuk kamu. Aku tak mengerti kenapa aku sekonyong-konyong menjadi begitu jinak, penurut, dan takzim padanya. Yang kutahu, ia membawaku pergi. Jauh, ke negeri entah.
Dan, dari sana bermula silsilah luka.
3
AKU TERJAGA oleh suara-suara di kegelapan, oleh aura asing di tengah nyanyian-nyanyian ganjil dan tatapan hangat dua perempuan yang kelak memanggilku “madu-muda”. Aku terkepung aroma duka dan bau kematian yang menyengat. Dua perempuan itu mengelus-elus rambut dan wajahku, seolah-olah aku punya ikatan batin dengan mereka. Segalanya bagiku terasa aneh, sangat aneh. Aku berjalan terhuyung-huyung dengan kaki gemetaran. Dua perempuan itu menuntunku dengan lembut memasuki sebuah ruangan, membuka daun pintu, dan—sembari mengerdipkan mata—mereka serempak berkata, “Masuklah, suami kita sudah menunggumu.”
Suami? Suami kita? Suami siapa?
Seorang lelaki duduk angkuh di kursi. Dan bukan kamu. Aku mengenalinya, Rangka. Ruangan ini sangat sempit, dijejali aroma terapi yang merangsang imaji dan berahi. Aku tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dan mengapa dua perempuan itu menyebut Rangka sebagai suami kita. Suami siapa? Apakah aku telah menikah dengannya? Bilamana? Otakku yang kusut tak bisa mengurai semuanya. Yang kutahu, ia seperti raksasa dengan kedua kaki diselonjorkan di atas meja, menatapku garang sembari mengepul-ngepulkan asap rokok kretek berbau tajam dan memberi isyarat agar aku segera mendekat padanya. Anehnya, ketika hatiku ingin menjauh, kakiku malah berjalan mengikuti perintah dan kuasanya. Aku ditatapnya dengan mata nyalang dan merah. Di atas meja besar, di sisi kaki besar lelaki itu, teronggok botol bir setengah kosong, asbak, dan satu pak rokok. Ia masih menatapku, lekat sekali. Kedua tangannya direntangkan, seolah memanggilku agar segera menghambur ke dalam pelukannya.
Petir menyambar di luar, hujan tumpah begitu deras. Aku terentak. Kesadaranku pulih seketika. Ini ruangan asing, yang bukan kamarku. Dan lelaki itu, o, lelaki berkaki raksasa itu tak lain adalah Rangka. Kenapa aku bisa ada di ruangan ini? Mana kamu, Tutu, kekasih hatiku? Aku langsung berlari ke arah pintu, ia memburuku. Tungkai kakinya yang panjang berhasil menjejeriku, aku berbalik ke belakang meja menjauh darinya, tapi ia terus memburuku dan aku lari mengitari meja agar tubuhku dan tubuhnya terpisahkan oleh meja. Aku tak mengerti kenapa harus berlari menjauhinya, atau, kenapa ia mengejarku. Yang pasti, aku berharap kamu ada di sini melindungi aku dan menaklukkannya. Tapi sia-sia, kamu ada entah di mana dan ia tetap mengejarku. Begitu ia lengah, aku segera menghambur ke pintu dan berlari keluar, terus, terus hingga selasar dan akhirnya menjejak di tanah menerabas hujan deras. Hujan mengembalikan ingatanku, dan aku tak ingin jadi istrinya. Najis! Aku belari, terus, dan terus, menerobos hujan, menyeret penderitaan dan kesakitan. Bagaimana bisa aku kehilangan kegembiraan dan kebahagiaan hanya dalam bilangan kejapan mata?
Aku masih setia, Sayang.
Akan tetapi, ia berhasil menangkapku di bawah hujan yang ganas. Sembari berteriak kegirangan ia melontar-lontarkan tubuhku ke udara dalam rengkuh tangannya. Aku panik, meraung-raung ketakutan. Kamu di mana, Sayang, aku butuh bantuanmu. Aku diseret ke dalam rumah, lalu ia menggagahiku dengan buas. Kali ini kesedihan serasa mencekikku. Semua mimpi yang aku bangun bersama kamu sekarang terasa jauh. Tingkahnya semakin mirip binatang liar. Tubuhku terasa pecah. Aku sering mendengar kisah malam pertama dari teman-temanku. Yang indah dan membahagiakan, yang tidak semestinya menyakitkan. Tapi, malam ini, aku terbaring sambil menggigit bibir hingga berdarah, karena ia biadab memperlakukanku tanpa perasaan.
Aku berdoa agar Tuhan segera mencabut nyawaku. Aku pernah membaca bahwa doa orang teraniaya selalu berterima. Tapi Tuhan seolah tak peduli. Dan petir masih menyambar-nyambar, hujan belum juga reda. Namun, semuanya kalah oleh deritaku yang mengerikan. Tiba-tiba ia berhenti, berbaring tak bergerak, hanya memperdengarkan suara dengkur yang menjijikkan. Kudorong tubuhnya menjauh dariku. Aku berniat segera kabur dan mendapati kenyataan betapa pintu itu terkunci dari luar, dan aku hanya bisa menangis tanpa suara; memikirkan segala yang berjalan tidak semestinya, memikirkan ketak-menentuan yang menimpa tiba-tiba, memikirkan kamu yang kuyakin tak akan pernah kutemukan.
Tahukah kamu, aku dan malam menua bersama!
4
HARI-HARI sesudahnya adalah kiamat bagiku. Ia dan kedua sekutunya, perempuan-perempuan yang sama tak berdayanya dengan diriku, memperlakukan aku layaknya budak atau jongos atau hamba sahaya. Setahun sudah aku nikmati hidup tak lebih buruk dari neraka. Setiap hari aku menganyam asa, berharap kamu datang membebaskan aku dari cengkeramannya. Aku ingin pulang, sungguh. Aku ingin tidur di pangkuan Ibu sambil menikmati elusan lembut jemarinya di helai rambutku. Aku ingin berlabuh di pelukan Bapak sembari menyeruput teh dan menyimak jejak sejarah keluarga. Aku ingin duduk bersisian denganmu di selasar sambil membaca detak jantung yang ganjil tak beraturan. Tapi, aku masih di sini, di penjara mengerikan ini.
Aku ingin pulang, Sayang.
Tahukah kamu aku sekarang mulai keranjingan minuman keras? Kamu pasti marah, Sayang, tapi tak ada yang bisa melepaskanku dari penderitaan ini selain tetesan bir atau minuman apa saja yang melenakan. Aku sendiri kerap merasa janggal kenapa aku bisa begitu larut. Setiap mabuk, ketika kepala mulai terasa sangat berat, pikiranku terbebas dari cengkeraman doti—mantra yang membuat aku takluk padanya—dan aku selalu minum bir lebih banyak lagi karena mendengar kabar bahwa lelaki sering melarikan diri dari beban hidupnya dengan bermabuk-mabukan. Gagasan melarikan diri itu selalu terngiang-ngiang di benakku. Kalau saja bir atau minuman apa saja bisa menyelamatkanku, aku akan tenggak semuanya hingga tak ada minuman keras tersisa di pasar, di bar, atau di mana saja.
Tapi kamu hanya ada selama aku mabuk, setelah itu selalu Rangka—bandit tua berperilaku bandot—yang terkekeh memamerkan gigi kuning dan gusi bengkaknya.
5
KIAMAT KEDUA terjadi. Hari ini Rangka memaksaku melayani hasrat keji teman bisnisnya. Terang saja aku menolak. Namun, aku tak berdaya di bawah ancaman badik. Lihatlah, lihat, ia tertawa kegirangan dengan badik teracung di udara.
“Perempuan sundal, melacurlah untukku,” serunya begitu mengerikan.
“Bajingan!” sengitku.
“Aku tak suka kamu membantah!”
Air mataku meleleh. Begitu terhinanya diriku. Alangkah! Aku terentak. Amarahku menggelegak. Tapi aku tak bisa melawan. Hingga kilat badik yang masih teracung di udara itu seolah memberiku jalan keluar dari belitan nestapa. Sekali sentak, badik itu menyelusup di sela tulang igaku, menyentuh hati, merembeskan darah, membuat tubuhku berkelojotan lembut, lalu tak merasa apa-apa lagi. Samar terdengar teriakan histeris dari mulut bacinnya sambil berusaha menarik badik dari tubuhku.
“Perempuan bodoh!”
Dan semua berubah gelap. Hitam, pekat.
6
HUJAN MENYERBU sepenuh tenaga. Angin menderu begitu kencang. Sayang, lihatlah, aku datang. Orang-orang kampung mengusung tubuhku. Bapak dan Ibu berhambur keluar. Dan kamu, o, kamu bertahan di selasar. Tahukah kamu apa yang paling kuinginkan saat ini? Aku ingin kamu turun dari selasar itu dan membopong tubuhku, ya, tapi kamu terpaku di bilah-bilah papan, tak beringsut sesenti pun. Lalu, kulihat Ibu pingsan dan Bapak histeris. “Sayang, ia hendak menjual tubuhku,” teriakku mengalahkan ganas hujan, meski tak yakin kamu bisa mendengarnya.
Sungguh, banyak sekali yang ingin kukabarkan padamu. Tapi, dunia kita berbeda! (*)
Jakarta, Maret 2010
Khrisna Pabichara, lahir di Makassar, 10 November 1975. Saat ini bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.