Sabtu, 27 Maret 2010

Cerpen "SILARIANG"

CATATAN: Cerpen ini dimuat di Suara Karya edisi Sabtu (20/03/2010), mengangkat tema pertarungan antara hakikat kesetiaan dengan harga diri. Salam takzim



SILARIANG
Oleh Khrisna Pabichara



|1|

PERNAHKAH KAMU berhasrat melakukan sesuatu, tapi tak berdaya sama sekali? Begitulah suratan yang kujalani saat ini. Takdir mengajariku tabiat pantang menyerah, namun takdir pula yang mengunjukkan padaku pedihnya berpasrah. Rasanya tak perlu kita perdebatkan hakikat sabar, menyimpang terlalu jauh dari ruh cerita ini. Karena aku selalu tak yakin bisa bersabar, atau ikhlas, atau apa pun namanya segala wujud kepasrahan—atau malah ketakberdayaan—itu. Toh tak ada bedanya, tak mengubah garis nasib.

Apakah perlu kusebut nama gadis yang aku cintai itu? Jika kamu memintanya, baiklah, namanya Aisha Arissa Ashalina. Namanya cantik, bukan? Pernah, sekali waktu, aku iseng mencari arti namanya di kamus nama-nama indah, dan kutemukan makna namanya yang—ternyata memang—indah: Putri yang cemerlang dan penyayang. Ia gadis tercantik di kampungku, tapi kecantikannya pudar tersebabkan takdir yang tak bisa diubahnya; ia putri pengusaha kaya, musuh bebuyutan keluargaku. Sementara aku, Syarifuddin Tola, seorang karaeng tikno—bangsawan Turatea, tak diperkenankan menikah dengannya; betapapun ia cantik, alim, atau cerdas.

Itulah muasal cerita yang kudaras ini.


|2|

BAIKLAH. Sebaiknya kututurkan dari mana bermula renjana ini. Sesungguhnya hubungan kami berlangsung sudah sangat lama, sejak kami masih kanak. Usiaku terpaut tak jauh beda darinya, hanya berselisih satu tahun. Riwayat mencatat, dahulu, Bapaknya pernah melamar adik Bapakku. Bisa ditebak, lamaran itu ditolak mentah-mentah. Limpahan harta tidak serta-merta melunakkan hati Kakek. Bermula dari sana dendam itu tergurat. Mereka memandang kami—keluargaku—pewaris lapuk kejayaan purba. Sedangkan keluargaku melihat mereka puak yang maruk harkat. Maka, kesumat itu terajut diam-diam, laiknya arus sungai yang tenang; di permukaan tampak diam, di bawah terus bergolak.

Oh ya, keakraban kami di masa kanak tak pernah jadi masalah bagi keluargaku, tidak juga bagi keluarganya. Mungkin karena mereka mengira kami masih kecil dan semua keakraban itu sebatas keintiman kanak-kanak. Ternyata dugaan mereka keliru. Lambat laun keakraban itu terasa membahagiakan, setiap bersamanya aku merasa sangat hidup. Menjelang dewasa, aku mulai merasa asing setiap jauh darinya, karena rindu yang indah meski sangat menyiksa. Dan, tahukah kamu apa yang paling membahagiakan bagiku saat itu? Ia ternyata memelihara perasaan yang sama. Resmilah kami menjadi sepasang kekasih. Semakin hari semakin dalam cinta itu menyelusup ke dalam hati kami.

Pasti kamu menduga kisah kami berjalan mulus. Tidak. Bukan itu yang terjadi. Aku tak mengira Karaeng Sijaya, kakak sulungku yang pendiam, ternyata sejak lama memata-matai kami. Suatu sore, sesaat selepas berpisah dengannya di Birtaria Kassi—tempat rekreasi paling meriah di kampungku, Karaeng Sijaya berdiri kukuh seperentang lengan saja di hadapanku.

“Kamu tak bisa mengubah riwayat, andik…” katanya ketika ia, gadis yang kucintai itu, perlahan menghilang. “Bagaimana mungkin mereka bakal menerima pinanganmu?”

“Riwayat sudah tamat, daeng…”

Kakakku itu tersenyum lembut, kemudian berkata, “Aku tidak mau kamu terluka, andik, dalam tubuhmu mengalir darah bangsawan. Apa jadinya jika kamu dinistakan?”

Sejak itu aku tak banyak bicara, meski masih terus berharap.


|3|

KAMI tak mudah lagi berjumpa. Ia jadi gadis pingitan. Sedangkan gerak-gerikku diawasi sepanjang hari. Tak ada lagi tawa bahagia, tak juga tatapan mesra. Dunia berbalik tiga ratus enam puluh derajat. Setiap hari aku peras otak untuk menyusun siasat, hasilnya selalu sama; nihil. Tak ada yang paling menyakitkan selain merasa tak berdaya. Dan, aku mulai gila. Benar-benar gila. Aku tidak berharap banyak, sungguh, aku hanya ingin menatap bening matanya, sekali saja, dan cukuplah itu bagiku.

Tahukah kamu apa buah dari keganjilan sikapku itu? Bapak dan Ibuku melunak. Pun begitu kerabat yang lain, termasuk kakakku, Karaeng Sijaya. Lalu, tiba satu hari mereka bermufakat hendak melamar Aisha—gadis impianku itu—untukku. Duh, bahagianya! Aku tahu itu bukan perkara mudah, bukan semata ritual lamar-melamar, melainkan pertaruhan harga diri dan nama baik keluarga. Tapi, itu juga membuktikan, betapa sayang keluargaku kepadaku. Tibalah malam bahagia—sekaligus mengerikan—itu. Aku dan sanak kerabat bertandang ke rumahnya. Sepanjang jalan aku terus memikirkannya, gadis yang aku cintai selama bertahun-tahun itu. Ia tak tergantikan oleh siapa pun. Kapan, dan di mana pun.

Aku rindu hangat senyummu.

Ternyata, malam itu, ketika keluargaku sepakat meminangnya sebagai pendamping hidupku—seperti telah ditilik sanak kerabat—jadi perigi segala petaka.

“Apa? Mahar seratus juta?” seru kakakku, juru pinang keluargaku malam itu.

“Ya!”

“Semahal itu?”

“Ya!”

“Kami tidak punya uang sebanyak itu. Belum lagi biaya hajat, beli kuda, dan kerbau. Bagaimana kalau lima puluh juta saja?”

Bapaknya tersenyum sinis, “Ah, hanya sebatas itu kuasa keluarga bangsawan?”

“Tidakkah Bapak memikirkan perasaan mereka, Tola dan Aisha?”

“Apakah keluargamu dulu memikirkan perasaanku dan perasaan keluargaku?”

Pinangan itu berakhir buntu karena dendam yang menyungkupi hati.

Sungguh, aku dengar isak tangis dari bilik kamarnya, lamat dan lirih, tapi pedihnya menyelusup hingga rongga hati. Sebaiknya kamu tahu, tradisi di Turatea—kampung kelahiranku—memperlakukan perempuan semena-mena; ditakar lewat setumpuk rupiah berdasar kecantikan, derajat, atau ilmunya. Semakin cantik semakin mahal, semakin tinggi derajatnya semakin mustahil mahar yang harus ditebus untuk meminangnya.

Pahitnya, itu pula yang ditimpakan takdir padaku!


|4|

DI AWAL kisah telah aku tuturkan padamu, bahwa takdir mengajarkan tabiat pantang menyerah padaku. Begitulah adanya. Setelah berbagai helat kucoba, akhirnya kami bersua juga. Sungguh, luar biasa. Kamu tahu di mana? Aku bertemu di kolong rumahnya setelah ia turun lewat pintu belakang—supaya tidak bingung, aku beritahukan padamu, rata-rata rumah di kampung kami berbentuk panggung—tepat ketika keluarganya sedang riuh menonton tivi di ruang tamu. Lama sekali kami larut melunaskan rindu yang tanak lewat hangat senyum. Hingga kami sadar waktu berjalan amat cepat.

“Kamu harus pulang, daeng…” desahnya di sela isak tertahan.

Sedetik membayang jalan pintas yang menjanjikan untuk kami sasar. “Selalu ada jalan,” ujarku takzim. Matanya mengerjap, kebingungan. “Jika semua pintu tertutup, masih ada jendela untuk kita lewati.”

Silariang?”

Aku mengangguk dengan pasti. Aku tahu ini pilihan sulit. Orang-orang di kampung kami menamakannya silariang. Kamu boleh menyebutnya kawin lari. Hanya saja, kawin lari di sini tidak semata melarikan diri lalu menikah di kampung orang. Tidak sesederhana itu, kawan. Ketika silariang itu terjadi, berarti mencoreng aib di kening kerabat keluarga sang gadis. Dan, aib itu berarti siri’—harga diri tak terbeli—yang harus ditebus dengan nyawa. Sementara keluarga lelaki yang ditinggalkan akan menanggung pacce—malu tak terperi. Tapi, bukankah jodoh harus diperjuangkan?

Ia, juga aku, memilih pergi. Bersama.


|5|

DAN, tahukah kamu apa yang terjadi sesudahnya? Kami berjalan merambah kebun, meniti jalan di bawah kerlip bintang. Rasanya seperti mimpi. Membahagiakan, dan mendebarkan. Menerobos gelap, ditelikung cemas, dilayangkan mimpi. Tubuh kami membubung ringan, seolah tak menjejak tanah. Di benakku membayang keindahan masa depan, menggusur percintaan masa lalu yang suram. Sebentar lagi cinta kami tunai, dan derita ini bakal usai.

Hingga…

“Berhenti!”

Suara itu bak petir menyambar-nyambar telinga, memilin-milin ulu hati. Lihat! Tiga tombak di depan kami berdiri tegap Arwan Arsuka, kakak Aisha, gadis yang mengerut di punggungku. Andai saja kamu ada di sini, pasti kamu bisa melihat betapa piasnya wajah kami, tak lebih cakap dari kucing kuyup yang kedapatan maling ikan. Sepertinya semua harapan kami bakal buyar lagi. Aku nekat melawan, tapi, sungguh, baru kali ini aku sesali nasib mengapa tidak pernah serius belajar mancak—silat aliran Turatea, sehingga aku bisa membela diri dan melindunginya.

“Beginikah caramu memperlakukan perempuan? Ketika tak kuasa membayar uang mahar, kamu paksa Aisha silariang. Kamu pecundang, Tola!” hardiknya.

Ia menjerit lirih ketika tangannya ditarik kakaknya dengan kasar. “Kak…”

“Pulang…, kamu tak bisa menjaga nama baik keluarga!”

Rasanya dunia tiba-tiba kiamat. Dan, riwayat ini segera tamat.


|6|

“LEPASKAN AISHA, Arwan. Atau kamu harus berhadapan denganku!”

Tiba-tiba suara lain menyentak pendengaranku. Aku kenal suara itu, ya, itu kakakku. Lagi-lagi, andai saja kamu berada di sini, menyaksikan rentet peristiwa ini, pastilah kamu melihat betapa cerah wajahku. Betapa tidak, Karaeng Sijaya, kakakku yang pendiam itu, menantang Arwan berduel dengan sangat elegan. Dan, kakakku menoleh padaku, memberi isyarat agar aku segera menuntunnya meninggalkan tempat itu. Selekas-lekasnya.

Bagaimana menurutmu? Apakah aku harus pergi atau tetap di sini menyaksikan kesudahan yang bakal terjadi? Oh, baiklah, aku akan turuti saranmu. Kamu benar, tak baik menyia-nyiakan peluang. Terima kasih, kawan. Aku dan gadis yang kucintai itu perlahan menjauh dari pertarungan dua lelaki yang mempertaruhkan harga diri; yang satu demi nama siri’ dan nama baik keluarga, satunya lagi demi pacce dan cinta sepasang manusia.


|7|

DI SINILAH kami hari ini. Di pinggiran Jakarta. Sudah lima tahun sejak silariang itu terjadi, belum juga keluarganya mengikhlaskan dan merestui pernikahan kami. Berkali sudah keluargaku datang menjenguk, terutama kakakku, namun keluarganya belum juga datang bertandang. Meskipun kami sepakat, bahwa keluargaku adalah keluarganya juga.

Tapi, keluarganya tak kunjung menerimaku.

●●●

Jakarta, Februari 2010

Khrisna Pabichara, lahir di Makassar, 10 November 1975. Saat ini bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.

1 komentar: