CATATAN: Cerpen ini dimuat di Berita Pagi, Sumatera Selatan, edisi Minggu (14/03/2010), meneropong sisi penjualan perempuan oleh suaminya sendiri dan pertarungan antara harga diri (siri') dan cinta. Salam takzim
SELASAR
Oleh Khrisna Pabichara
AKU TIDAK YAKIN hari ini bisa setegar tahun kemarin. Ya, kamu pasti ingat, setahun lampau, 1 Maret 2009, kamu ucapkan sepotong kalimat yang sebenarnya kamu tahu sangat aku benci—selamat tinggal. Pun, kamu pasti masih ingat, selamanya, aku tidak pernah menyerah begitu saja. Maka, di sinilah aku hari ini. Di selasar rumahmu dengan seikat kembang kesayanganmu, melati putih.
Setahun silam, aku mendengar kabar dari Bapakmu, kamu yang berjanji bakal setia, pergi mendadak, hanya meninggalkan secarik kertas dan sepotong kalimat tak bersudah yang paling kubenci itu, dan tak kupercaya kamu tak meninggalkan pesan lain atau ungkapan rasa bersalah. Bapakmu bilang, seorang lelaki mengajakmu silariang—kawin lari. Aku tak percaya kabar itu. Lalu, tersiar gunjing tak sedap, kamu terkena doti—mantra ampuh penakluk perempuan—dari seorang lelaki kaya beristri dua. Tapi, aku tak pernah percaya kabar itu.
Sebenarnya, kamu tidak bermaksud mengkhianatiku, kan?
Hari ini, Bapakmu berdiri di depan pintu menyambutku dengan senyum keruh yang sama seperti senyum keruhnya setahun lalu, binar matanya penasaran, lalu redup seolah tak percaya, “Kamu masih mencarinya, Nak? Ia tak pernah kembali.”
Kemudian, Bapakmu berbalik ke dalam rumah dengan langkah kuyu.
Kamu ingat, di selasar ini kita pernah berdebat tentang hakikat janji dan kesetiaan. Katamu, “Terlalu banyak lelaki yang ingkar janji.” Dan aku menyergah, “Tapi, aku tidak berada di antara yang banyak itu.” Waktu itu kamu tersenyum sangat manis sembari menatapku seolah tak percaya.
Sudah setahun kamu pergi, aku masih setia, kan?
Tak lama berselang Ibumu pulang. Lihatlah, Ibumu tampak kurus, pias, dan cemas.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Nak?” tanyanya.
Lalu kujelaskan padanya mengenai perasaanku, penantianku, dan kesetiaanku. Aku bercerita tentang Kerinci dan kabut yang mengitarinya sepanjang hari, dan betapa dingin cuaca di Kayu Api, tempat dulu kakek kita dikirim Belanda menjadi buruh tani. Aku pun berkabar tentang hijau Solok dan Bukittinggi. Aku berkisah juga tentang kopi daun yang kuseruput di kedai seorang pengarang di Padang. Kamu pasti ingat, dulu kita dengan mulut ternganga, menyimak takzim setiap kakek bercerita tentang riwayat kopi daun, kopi yang disisakan penjajah untuk dihirup kaum buruh.
Tapi, Ibumu menepis airmatanya. “Sudahlah, Nak. Lupakan Lebang. Jangan hukum kami dengan penyesalan karena ingatan padanya. Sudah cukup kami tanggung siri’—rasa malu tak bersudah, ketika ia memilih silariang pada saat kami sepakat menerimamu sebagai menantu.”
Aku masih berdiri di sini, di selasar rumahmu.
“Kamu mau perempuan?” tanya Ibumu dengan nada rendah. “Perempuan macam apa? Mengapa kamu tak coba mencari perempuan lain di sini, di kota, atau di rantau, Nak?”
Aku hanya menginginkanmu, jawabku dalam hati. Ya, dalam hati.
“Maaf, Nak, Ibu tahu kamu cuma mencintai Lebang.” Seperti tahun lalu, Ibumu menyeret langkahnya ke dalam rumah. Meninggalkan aku sendiri.
Aku selalu suka bagian ini; berdiri di selasar memandang ke puncak bukit, mengeja ingatan tentangmu. Beberapa tahun silam, di selasar ini, pertama kali kita berpelukan. Awalnya, kita hanya berpelukan dengan cara biasa, lumrahnya pelukan saudara-sepupu, tapi beberapa puluh detik kemudian, pelukan itu mulai berubah; tanganku membelai wajah dan mengelus rambutmu, dan hal itu menghadirkan bahasa yang hanya dipahami oleh kita berdua, memaklumatkan pesan baru ke ruang hati. Yang hening, yang bening. Lalu kamu membimbing tanganku berputar-putar menari, meniru gerakan waltz gaya Eropa di sebuah film yang pernah kita tonton berdua, atau gaya malulo—tarian khas muda-mudi Kendari yang kita pelajari semasa mengikuti Kirab Remaja Nasional. Aku menarik tanganmu menuruni tangga, berlari bersisian ke ujung kampung, berhenti di tepi pantai Barandasi—pantai yang hanya berjarak ratusan meter dari rumahmu, sementara kamu tertawa menutup mulut dengan jemari lentikmu. “Kamu pelari yang hebat, Tutu,” katamu, dan jantungku bergejolak dan membuatku berpikir aku akan mati di sana dan saat itu juga dalam pelukanmu. Tapi, tentu saja, itu tidak terjadi, dan kita terus berdiri berpegangan tangan, sebagai seorang lelaki dan perempuan dalam suasana sepi yang menyentak, seperti yang sekarang sedang terjadi. Hari ini, di selasar ini.
Tak seorang pun warga kampung yang tidak mengetahui ikatan hati kita. Di mana ada Tutu, di situ ada Lebang. Dan, kita, selalu bangga menyatakan diri sebagai reinkarnasi Datu Museng dan Maipa Diapati, roman cinta abadi sepanjang sejarah Bugis-Makassar. Oh, kamu tahu sekarang hujan sedang mengepung kampung kita? Tempiasnya memercik ke selasar. Ibumu berteriak agar aku berteduh di dalam rumah. Tapi, tidak, aku ingin disini, di selasar ini, menunggumu. Hujan tumpah mengetuk-ngetuk atap seng, air mengalir deras menuruni talang, jatuh ke pelimbahan, ada yang meresap ke tanah, ada juga yang tumpah di selokan, menguarkan aroma ganjil yang diembuskan tanah, tetumbuhan liar dan aroma misterius: bau tubuhmu, ya, bau tubuhmu. Dan, tempias hujan kubiarkan begitu saja menerpa tubuhku. Menguyupi ingatan, melucuti kenangan. Ayolah, bukankah kamu selalu ingin berlari di sela rintih hujan?
Kamu pasti pulang!
Sudahlah. Tak perlu marah lagi. Aku enggan berselisih denganmu ihwal pabbatte—lomba pencak tradisional Turatea, yang acapkali kuikuti setiap pesta pernikahan atau hajat sunatan. Aku ingat, kamu paling benci mendengar kisah kemenangan, apalagi kekalahanku. Kataku, “Itu warisan nenek-moyang.” Katamu, “Kamu tak lebih dari ayam sabung, disoraki penonton dan jadi kesayangan para pejudi.” Padahal aku jarang kalah tarung. Banyak lelaki yang tumbang di hadapanku, termasuk Rangka—lelaki yang mengajakmu kawin lari itu.
Aku ingat, peristiwa di pesta pernikahan putri Pak Camat, waktu itu Rangka berdiri angkuh di tengah arena. Tangannya berkacak, memandangiku dengan tajam dan ganas. Ia seolah hendak melumpuhkan aku lewat sorot matanya. Terpukau oleh kebengisannya, oleh gerak silatnya, oleh kuda-kudanya, oleh mata merahnya, aku berjalan pelan mendekatinya. Sekonyong-konyong ia menuding padaku, jarinya berkenjal-kenjal.
“Bocah tengik, kemarilah, dan kamu akan terkapar,” serunya begitu mengerikan.
“Terkapar?”
“Ya. Sudah lama namamu harum, malam ini kamu ketemu batu.”
Aku tersenyum. “Tak indah banyak cakap!”
“Bagaimana kalau Lebang jadi taruhan?” sergahnya, sambil tertawa licik.
Aku terhenyak. Bukan karena jerih, tak lebih karena aku tak suka kamu jadi taruhan atau imbal kemenangan. Tapi, tetap saja aku lelaki yang tak suka menampik tantangan. “Kalau aku menang?”
“Tidak mungkin…” katanya, disertai sorak-sorai penonton.
“Baiklah!” jawabku.
Sejatinya, seperti tercatat dalam aturan tarung, manakala patonrok—ikat kepala—terjatuh, maka pihak itu dinyatakan kalah. Rangka yang kalap menyepak dengan ganas. Aku yang awas, berkelit dengan tangkas. Sepakan kaki kanannya menerjang angin. Dan, dengan sekali tepuk, kaki kirinya tertekuk ke tanah, tak mampu menahan sapuanku. Tentu saja, mudah bagiku untuk menebas kepalanya. Tak ayal, patonrok yang dikenakannya terjatuh, teronggok di tanah. Rangka melenggang pergi, matanya yang memerah masih sempat mengirim hawa amarah.
Keesokan harinya, ia menghilang dari kampung. Meninggalkan dua istri dan delapan anaknya. Beberapa hari berselang, kamu ikut hilang. Meninggalkan secarik kertas dan sepotong kalimat yang kubenci itu—selamat tinggal!
Padahal, sebulan lagi kita menikah, Sayang.
Hujan menyerbu sepenuh tenaga. Angin menderu, menderakan percik-percik hujan di leher dan wajahku, begitu keras, hingga serasa dilempari kerikil. Aku memejamkan mata, bertahan di selasar rumahmu. Ah, tahukah kamu apa yang paling kuinginkan saat ini? Aku ingin kamu menemaniku menahan gigil, menajamkan mata menyaksikan tanah kering jadi lembek, lalu becek, dan akhirnya berlumpur. Angin semakin kencang. Seng-seng berkerit. Paku-paku berderit. Kulihat sebuah rumah mulai roboh. Tiangnya berderak patah, lantai dan atapnya amblas ke bawah, orang-orang yang berada di dalamnya berlompatan ke luar. Pertanda apakah ini? Lalu, satu lagi rumah roboh. Rumahmu pun mulai bergoyang-goyang, berderit-derit. Bapak dan Ibumu berhambur ke luar. Menyeretku agar segera turun dari rumah panggung. Tapi, aku ingin bertahan di sini, di selasar ini.
Dan, lihatlah! Dari mulut jalan kampung, orang-orang berduyun menuju rumahmu, berlekas berjalan ke arahku. Mereka mengusung sesuatu. Oh, kamu harus lihat ini! Tahukah kamu apa yang mereka usung? Itu tubuh, ya, tubuh seseorang. Atau, lebih tepat disebut jenazah karena jasad itu tak bereaksi diguyur lebat hujan. Mereka berhenti beberapa langkah di depan rumahmu. Ah, coba kamu ada di dekatku, Sayang. Aku bergeming. Aku tidak ingin melakukan apa pun. Aku hanya ingin mengingatmu. Menunggumu.
“Tutu, turunlah, bantu kami, Nak!” seru seseorang di antara mereka.
“Bantu apa?”
“Bantu kami mengangkat jenazah ini…”
Kulihat Ibumu pingsan. Dan, Bapakmu mematung.
Udara dingin merambati leherku, pilu membuat tubuhku terpaku di bilah-bilah papan, tak kuasa beringsut sesenti pun. Bapakmu, yang samar kukenali isaknya, tampak gusar, berteriak-teriak dalam suara yang menggeletar, melupakan siri’ dan amarah selama kepergianmu, menyumpah-nyumpahi Rangka. Bapakmu bangkit, berjalan sempoyongan ke arahku. Aku melihat kilat di mata Bapakmu mengalahkan sambar petir. Lalu, lamat-lamat tubuh Bapakmu mengabur di mataku. Juga Ibumu. Dan orang-orang kampung.
Hanya putih. Putih. Dan, kamu.
Aku melihat tubuhmu perlahan berjalan mendekatiku. Kamu cantik sekali. Secantik peri, secantik bidadari. Kamu semakin dekat. Dan, kulihat bibirmu bergetar, berdesis, “Sayang, ia hendak menjual tubuhku…”
Sungguh, banyak sekali yang ingin kutanyakan padamu. Tapi, kamu menghilang!
●●●
Jakarta, Februari 2010
Khrisna Pabichara, lahir di Makassar, 10 November 1975. Saat ini bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.
aku ngga tau harus berkomentar apa, tangisku jatuh ditengah cerpen ini, seperti menghipnotisku, cerpen ini penuh makna, sarat akan kata setia, aku masuk kedalamnya, kesetiaan tutu, sungguh patut di hargai :), salut ama Om!!
BalasHapus@Inuel: Terima kasih dan takzim karena berkenan membaca dan mengomentari cerpen ini. Senang sekali rasanya. Sukses selalu saya doakan untukmu.
BalasHapusSalam takzim