catatan: Tulisan ini dimaksudkan sebagai epilog bagi buku Kumpulan Cerita Pendek Tangan untuk Utik karya Bamby Cahyadi.
1
BAMBY CAHYADI, manajer sebuah restoran cepat saji di kawasan Pondok Indah, memiliki ciri dan karakter khas dalam menulis cerita. Ia menyuguhkan pergumulan kekuatan pikiran, terutama kekuatan pemaknaan atas ihwal remeh dan sederhana dalam keseharian kita, namun kita sering abai menyikapinya. Pergumulan itu disampaikannya secara sederhana, tapi sarat kejutan. Memang ada celah pada keterampilan bertutur—kadang tercium aroma tersendat dalam penceritaan. Namun, itu tidak mengurangi kegairahan saya dalam pembacaan cerpen demi cerpen. Mengapa? Karena setiap cerpen dihiasi kejutan, kelokan, bahkan tikungan tajam.
Kelebihan Bamby dalam bercerita adalah kesanggupannya menyuguhkan akhir cerita yang ”mengagetkan”. Rasa kaget yang membidani lahirnya ”keheranan”, bahkan ”ketakjuban”. Kumpulan cerita pendek Tangan untuk Utik menisbahkan kekuatan Bamby dalam bercerita. Sebagai pengarang yang meneruka jalan kepengarangan lewat ”dunia maya”, dunia yang dicap sebagai alam lain oleh banyak sastrawan, ia menawarkan hal remeh yang sederhana. Hal yang biasa. Seperti mimpi. Ya. Bukankah mimpi adalah hal biasa bagi kita? Mimpi itu yang dikuak dengan cerdas oleh pengarang kelahiran Manado ini. Mimpi yang menyuguhkan keperihan, ketegangan, dan kemalangan. Sesekali hadir keindahan, kepuasan, dan kebahagiaan.
Semula, menulis cerita menjadi terapi hati bagi Bamby. Merupakan kebahagiaan baginya ketika cerpen yang ditulisnya terbaca, dan mendapat apresiasi dari orang lain. Dari sana lelaku kepengarangannya bermula. Ada gairah meletup setiap ia menerima tanggapan pembaca cerpennya. Komentar pedas, kritik tajam, bahkan caci maki sesama Kemudianers—sebutan bagi anggota situs penulis Kemudian.com—tidak lantas membuat nyalinya ciut. Malah menyulut gairahnya untuk belajar lebih keras dan lebih cerdas.
Hasilnya, kita bisa temukan kejutan demi kejutan dalam kumpulan cerpen perdananya ini.
2
APA yang bisa Anda lakukan jika Anda terlahir tanpa sepasang tangan? Bagaimana cara Anda menyuap makanan? Seberapa terampil Anda menunaikan hajat pribadi—semisal mengelap keringat di alis mata, membersihkan kuping, menutup hidung ketika mencium aroma tak sedap, atau ritus remeh lainnya—jika Anda tak memiliki sepasang tangan? Dalam realitas yang menyehari, tangan memiliki fungsi strategis dalam melakukan apa saja. Kehilangan tangan, berarti kehilangan peluang dan potensi untuk berbuat banyak hal. Tak soal bila Anda hanya memiliki otak standar, Anda masih bisa merasa sejajar dan bergaul dengan banyak orang. Tak soal ketika kemampuan berbicara Anda sering gagap, Anda masih leluasa menyelesaikan banyak tugas. Tapi, apa jadinya jika cacat bawa lahir yang Anda miliki adalah tidak memiliki sepasang tangan?
Inilah gagas-pikir sederhana yang didedahkan Bamby Cahyadi ke dalam cerpen unggulan, Tangan untuk Utik. Ketika pertama kali membaca cerpen itu, yang mengendap di memori saya adalah kenyataan bahwa cerita ini sebentuk ”karib-intim” persahabatan yang menyertakan perhatian mendalam dan tulus. Saya membaca cerpen ini dengan tiga hal mendasar—dengan mata terbuka dan membayangkannya, dengan pikiran terbuka dan memercayainya, serta dengan hati terbuka dan merasakannya. Tidak mudah melakoni hidup dengan cacat bawaan lahir. Namun, lebih tidak mudah lagi menjadi sahabat ”lahir-batin” dari seorang penderita cacat.
Alkisah, Udin berhasrat menyerahkan sepotong tangannya bagi Utik, sahabatnya yang yatim piatu dan cacat semenjak rahim. Pada mulanya, kisah ini berasa sederhana. Namun mulai pelik ketika Udin tak mampu lagi membendung hasratnya untuk membantu Utik. Maka, diambilnya gergaji lalu dipotongnya tangan kirinya. Potongan tangan itu disambungkan pada lengan kiri Utik dan diikat dengan tali plastik. Tapi, alangkah kecewanya Udin, ketika tersadar dari lamunannya, ternyata tangan kirinya masih utuh dan sepasang tangan Utik tetap buntung di pangkal lengannya.
Begitulah Bamby Cahyadi sebagai seorang pengarang mengajak kita memaknai secara utuh hakikat persahabatan. Empati itu keniscayaan dalam menjalin persahabatan. Tidak ada persahabatan tulus tanpa disertai rasa empati. Baik dalam gelimang air mata, maupun ketika riuh tertawa bahagia. Sahabat sejati, dalam bayangan Bamby, selalu bisa memberi dan menerima. Dengan tulus, dengan ikhlas. Tanpa pamrih, tanpa pretensi.
3
LEWAT Televisi Ibu, Bamby menampilkan suasana intim antar-ibu-dan-anak dari titik tolak sederhana. Pada cerpen ini, Bamby menuturkan kisah tiga orang anak yang silih berganti mencoba membelikan televisi bagi ibunya, sebagai tanda bakti, untuk mengganti televisi ibunya yang makin usang digerogoti jaman dan menjadi langganan tukang servis. Uniknya, semua pemberian anaknya itu ditolak dan dikembalikan oleh sang ibu. Aku—tokoh utama dalam cerita ini—lantas dicecar penasaran. Maka bergegas ”aku” mencari tahu penyebab kegigihan ibunya mempertahankan televisi tua peninggalan bapaknya.
Kenapa ibu begitu setia dengan televisi peninggalan almarhum ayah yang sering rusak itu? Apakah ibu sering memintal serat-serat kenangan setiap kali melihat televisi itu? Apakah ibu selalu merindukan sosok ayah dan bisa membentang ingatan tentang ayah lewat televisi itu? Mengapa ibu selalu mengembalikan televisi baru yang kami belikan untuknya?
Demikian tanda tanya yang merasuki benak ”Aku”. Setiap hari. Maka, ”Aku” dan keluarganya bertandang ke rumah ibunya. Selain melepas kangen, juga untuk sebuah misi rahasia: menyibak misteri televisi ibu. Cerita menjadi tidak sederhana ketika ”Aku” diajak ibunya menonton televisi tepat pada jam sembilan. Dari layar kaca memancar kilau dengan warna-warni cahaya. Seketika ”Aku” merasa berada di sebuah ruangan luas. Tak bertepi. Dan, secara ajaib, ”Aku” melihat dan merasakan kedatangan ayahnya yang tersenyum hangat.
Tak ada yang istimewa dari cerita ini. Hanya kisah tentang anak yang ingin membahagiakan ibunya. Kita pasti sering menjumpai hal sama dalam keseharian. Tetangga kita pasti banyak yang pernah melakukan hal seperti itu. Bahkan, kita pun pernah melakukannya. Tapi, menjadi ”luar biasa” ketika Bamby menggiring kita pada ”penutup cerita” yang khas dan mengejutkan. Saya seperti membaca cerpen Danarto atau Putu Wijaya, dengan karakter berbeda dalam mengakhiri ceritanya dengan penuh kejutan. Mengherankan, sekaligus menakjubkan.
4
JIKA Nabi Sulaiman dikabarkan memiliki kesaktian menguasai segala jenis bahasa, termasuk bahasa binatang, dalam Percakapan dengan Bayi, Bamby berkisah tentang Kinar yang menguasai bahasa bayi. Bukan hanya itu, Kinar malah mampu bercakap-cakap dengan semua bayi. Kapan dan di mana saja. Pada mulanya, cerita ini pun bertolak dari gagasan sederhana, perihal bagaimana semestinya orang dewasa memasuki dunia bayi, agar terjalin komunikasi yang laras dan harmoni. Namun, menjadi unik dan tidak sederhana ketika Kinar mengetahui dirinya memiliki kemampuan luar biasa: bercakap dengan bayi.
Mengapa saya menyebut cerita ini bertolak dari hal sederhana? Lihat sekeliling kita, bayi ada di mana-mana. Setiap hari ada bayi dilahirkan. Setiap hari banyak orang berkomunikasi dengan bayi. Namun, tidak banyak orang yang bisa memahami bahasa bayi. Apalagi menguasainya. Lebih rumit lagi, ketika Kinar bertemu dengan Andrea, bayi yang menolak menjadi dewasa. Mengapa? Bagi Andrea, dunia orang dewasa adalah dunia palsu. Dunia kemunafikan. Dunia kebohongan. Dan Andrea enggan tenggelam atau terseret arus kepalsuan, kemunafikan dan kebohongan itu.
Gagasan yang diusung Bamby lewat cerita ini, juga sederhana. Semata mengajak kita menjalin keintiman dengan anak-anak kita. Semacam permintaan sederhana agar orang dewasa mencoba memasuki dunia bayi dari sisi berbeda, bukan malah memaksa sang bayi untuk memasuki dunia mereka, dunia orang dewasa. Selain itu, ada pesan etis yang disampaikan secara estetis: mari belajar menghentikan kebohongan.
Masalahnya, apakah kita sanggup menghentikan pembelajaran ”kebohongan-kepalsuan-kemunafikan” agar generasi sesudah kita lebih bermoral?
Ini yang tidak sederhana.
5
MENARIK membaca pemikiran pengarang tentang rasa kebangsaan. Melalui Bendera itu Tidak Berkibar Di Sini, pengarang seakan mengabarkan keprihatinan mendalam karena menipisnya nasionalisme kita. Bermula dari kejutan yang dialami Topo ketika terlelap dan bermimpi. Ia terkejut ketika terbangun dari tidurnya, dan mendapati istrinya tidak menyiapkan kopi seperti pagi-pagi sebelumnya. Lebih kaget lagi, ia tidak melihat satu pun warga mengibarkan bendera merah putih. Padahal, hari itu hari kemerdekaan. Biasanya selalu ramai. Jika tidak dihiasi keramaian rutin tujuh-belasan—semisal panjat pinang, balap karung, bahkan menangkap bebek berkalung gambar teroris—setidaknya ada kibaran bendera negara. Tapi, hari itu, tak ada satu pun bendera menghiasi halaman rumah tetangganya. Bahkan, bendera merah putih yang dikibarkannya satu hari sebelumnya, juga raib. Topo makin bingung.
Sekali lagi, ide yang diusung Bamby pada cerpen ini, juga sederhana. Hal rutin yang setiap tahun kita lakukan, perayaan tujuh-belasan. Tentu saja kita sudah sering mengalaminya. Namun, menjadi tidak sederhana jika ditarik pada ranah ”rasa memiliki”. Bamby seakan menyentil haru-biru kebangsaan kita. Coba tengok lelaku negeri tetangga yang suka pamer kapal perang di perairan kita. Belum lagi kepongahan mendaku budaya kita sebagai budaya mereka. Reog, batik, lagu Rasa Sayange, lanun, dan paling mutakhir Tari Pendet. Konon, mereka juga sedang bersiap mengklaim bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka, dengan sedikit polesan baru, bahasa Melayu.
Hal menggelitik dari cerpen ini, seberapa tebal nasionalisme yang masih kita miliki? Ayo, kita telisik diri kita masing-masing. Cerita ini alegorik. Sindiran telak.
6
KABAR sederhana yang diuarkan Bamby, juga dapat kita simak pada cerpen lain dalam Tangan untuk Utik. Ia menegaskan gunjingan metaforis lewat Mimpi dalam Stoples Kaca. Sebuah totalitarianisme kekuasaan yang mengabarkan penderitaan akibat perburuan mimpi. Mimpi berkuasa, mimpi menguasai. Kabar sederhana ini, sebenarnya, berpijak dari sebuah gagasan besar, semacam amsal tentang keserakahan.
Melalui Tameng untuk Ayah, kita bakal bersua dengan etos kepahlawanan seorang anak, Jamal Ahmad Fayyad, dalam melindungi ayahnya dari keganasan pucuk bedil serdadu Israel. Juga mimpi sederhana seorang Surip, seorang anak yang selalu dikejar mimpi aneh tentang berbakti pada orang tua, dalam Hadiah untuk Ibu. Surip, yang tidur dan awasnya selalu menawarkan kegelisahan, akhirnya bisa membahagiakan ibunya dengan memenangkan sebuah sayembara berhadiah uang. Dan, piagam.
Tak kalah dahsyatnya dengan cerpen lainnya, Koran Minggu berkabar tentang hajat sederhana seorang suami untuk membahagiakan istrinya. Namun, kenyataan hidup tidak sesederhana itu, pilihan menjadi penulis atau pengarang, seperti tutur Putu Wijaya, adalah pilihan yang tidak menjanjikan. Dunia gelap tanpa harapan. Hal itu dianggit dengan gesit oleh Bamby. Pada akhirnya, tidak cukup kegembiraan saya, sebelum menuntaskan pembacaan kumpulan cerpen ini. Sejumlah kisah sederhana yang menjadi ”teror indah” dan membahagiakan. Bamby berhasil mendedahkan konflik di alam bawah sadar (baca: mimpi), sekaligus mengabarkan masalah sosial dengan penceritaan yang bermula pada ”hulu sederhana”, tapi bisa mengecoh pembaca karena ”hilir penuh kejutan”.
Bagaimana dengan Anda? Saya yakin, Anda akan temukan kejutan menakjubkan, sama seperti yang saya alami.
7
TANGAN untuk Utik menjadi pintu masuk bagi Bamby Cahyadi ke dunia sastra. Ia datang dengan kunci rahasia sebagai ”juru kabar” yang andal dan menjanjikan. Ia mengantar amsal, tamsil, dan umpama yang sederhana. Ia mengusung metafora dan alegori, ajakan untuk merujuk-bandingkan antara kemasan penceritaan dengan kenyataan kehidupan. Ias membawa ”kabar baik” bagi semua ”umat sastra”. Meski demikian harus jadi batu loncatan ini dan monumen bersejarah baginya untuk membuktikan kapasitas lebih yang dimiliki sebagai seorang pengarang ”masa depan”.
Selamat datang mimpi sederhana. Selamat datang, Bamby Cahyadi.
Khrisna Pabichara,
penyair dan penyuka cerpen, tinggal di pinggiran Jakarta.
Kamis, 27 Agustus 2009
[ESAI] Cerpen, Keterpilihan, dan Politik Selera
PEMIKIRAN Rocky Gerung yang santun, tekun, dan runut dalam upayanya mendedahkan alasan keterpilihan Smokol, karya Nukila Amal, sebagai cerita terbaik dalam Cerpen Kompas Pilihan 2008, akhirnya membawa saya pada kesimpulan penting: “politik rasa lapar”. Menurut Rocky, keterpilihan Smokol karena bertumpu pada metafisika politik, yaitu kondisi normatif manusia yang menghendaki pemenuhan imajiner terhadap hasrat (desire). Lebih lanjut, lewat prolog yang diungkapnya dalam Smokol, Cerpen Kompas Pilihan 2008, Rocky mengakui keterpikatannya pada penemuan alur-pikir ihwal konsep cerdas untuk mempersoalkan takwil korupsi sebagai hasrat yang tidak semata pemenuhan rasa lapar seorang pejabat publik, tapi juga merambah “kejahatan teknis” yang merugikan keuangan negara dan “kejahatan etis” yang menghina rasa keadilan rakyat. Penghinaan terhadap rasa keadilan itu mendenging sebagai “suara dari bawah meja makan,” imbuh Rocky.
Lain padang lain belalang. Lain Rocky Gerung, lain pula Linda Christanty. Jika Rocky meneruka alasan keterpilihan Smokol semata, Linda berusaha keras menegaskan “secara canggung” alasan keterpilihan Smokol melalui perbandingan terhadap cerpen lainnya. Bagi pengarang Kuda Terbang Mario Pinto itu, 51 cerpen yang terbit di Kompas sepanjang tahun 2008 ternyata “kurang” menawarkan “hiburan” yang bisa membuatnya bersuka-cita selaku pembaca. Sekaligus, sebagai juri yang memiliki otoritas kepemilihan. Kartu Pos dari Surga disebutnya sebagai “cerita horor dadakan” yang diolah setengah-setengah. Iblis Paris, baginya, terbaca sebagai timbunan rujukan atau pameran kekayaan wawasan pengarangnya. Pada Perempuan Sinting di Dapur, pemenang Khatulistiwa Literary Award 2004 ini menemukan keganjilan, semacam silang-sengkarut antaralinea. Untunglah, Merah Pekat, menawarkan suguhan lain karena, kata Linda, kepiawaian “Fransisca Dewi Ria Utari” (dalam epilog, Linda terpeleset menyebut Intan Paramadita selaku pengarang Merah Pekat) dalam membangun suspens dan mengakhiri cerita dengan klimaks yang mencekam. Dan, Linda akhirnya bisa tertawa-tawa dan terpuaskan setelah membaca Smokol. “Tertawa” karena “aura sindir” yang memancar lembut dari alir-kisah Batara, dan “terpuaskan” karena tak tersua olehnya sedikit pun cela-retak dalam cerpen karya Nukila Amal itu, baik dari sisi bentuk maupun isinya. Hal ini tergambar dari ketiadaan sasar-kritik Linda terhadap cerpen itu, tidak seperti yang dilakukannya secara “cerdas” dan “kritis” pada cerpen-cerpen lainnya.
Tentulah berat beban menjadi wasit, juri, hakim, bahkan pemilih. Bahwa tidaklah mudah memisahkan 51 cerpen menjadi 15 deret terbaik, itu bisa diterima. Bahwa amat sulit memilah satu cerpen “terdahsyat” di antara 15 cerpen pilihan, itu pun bisa diterima. Namun, setiap pembaca pasti membutuhkan “argumen pembelaan” sang pemilih terhadap keterpilihan 15 cerpen dan ketergusuran 36 cerpen lainnya. Memang, Rocky telah menutur-uraikan secara lugas alasan keterpilihan Smokol sebagai yang “terbaik”, namun ada banyak justifikasi yang laik pula disematkan pada cerpen lain. Semisal, jika tamsil “politik rasa lapar” menjadi pembenaran keterpilihan Smokol, bukankah dengan cara berbeda dapat pula diberlakukan pada Rumah Duka, Sakri Terangkat ke Langit, Ratap Gadis Suayan, bahkan pada 11 cerpen lainnya?
Sementara, pijakan gagasan keterpilihan Smokol, yang diuraikan Linda, terasa “serba canggung” dan “sangat tanggung”. Mengapa? Selain karena tidak mengupas-tuntas 15 cerpen terpilih—terlepas dari alasan ketersediaan ruang tulis, juga karena aroma pemberhalaan cerpen tertentu. Kategori pemilahan tak lebih dari sodoran alasan yang bersifat reportif, sangat terbuka untuk diperdebatkan. Bahkan, keberpihakan itu seolah-olah bersifat stipulatif, sewenang-wenang, dengan menyatakan tak ada yang “layak”, kecuali satu. Keberpihakan kita terhadap “sesuatu” harus didukung oleh argumentasi rasional, yang masuk akal. Keterpilihan, selain “selera”, juga harus bisa menawarkan kategori bagaimana memilih dan apa saja yang terjadi selama proses pemilihan.
Dalam hal ini, Linda menunjukkan keberpihakan pada cerpen tertentu tanpa alas-pijak argumentasi yang rasional. Hal ini terlihat dari tidak ditemukannya argumen bijak mengapa 15 cerpen itu bisa terpilih dan kenapa 36 cerpen lainnya terpinggirkan. Maka, saya lantas menyebut keterpilihan cerpen itu sangat dipengaruhi oleh “politik selera”. Tentu saja, ini sah dan boleh-boleh saja.
Membidik Cerpen Lain
MENGADOPSI dan mengadaptasi pendapat Rocky tentang kepentingan pembaca terhadap cerpen, maka saya mencoba membuka ruang tafsir baru dengan uji-tafsir yang berbeda dari kedua Sang Juri, Rocky dan Linda. Cerpen pertama yang memikat saya adalah Sampan Zulaiha, karya Hasan Al-Banna yang dimuat Kompas pada Minggu (15/06/08). Jika Smokol menarik karena “suara lain di bawah meja”, maka Sampan Zulaiha menawarkan “aroma sukacita” rumah rapuh di tepi laut yang setiap saat terancam gelombang pasang atau kuasa rawa. Jika pada Smokol tercium “bau totalitarianisme kekuasaan”, maka Sampan Zulaiha menyuguhkan wangi eksistensi tentang “hasrat keberterimaan” sekaligus “nafas ketakpuasan” seorang perempuan, yang hendak diperlakukan setara dengan perlakuan pada kaum lelaki.
Mitologi yang diusung Yanusa Nugrogo lewat Hikayat Gusala, juga layak ditarik ke ruang wacana baru. Cerpen yang dimuat Kompas pada Minggu (23/11/08) ini bertutur tentang mitos lelaki dengan kecerdasan tak lengkap dan badan separuh raksasa, Gusala. Yanusa tidak semata menarik mitologi ke ruang estetik, tapi menawarkan sebuah alegori perihal peruntungan setiap manusia. Alegori itu bisa ditarik-diulur ke ruang nyata, semau kita. Seperti Nukila Amal mendedah Peri Smokol, yang juga mitos bagi orang Manado, ke dalam cerpennya.
“Politik rasa lapar” yang mendasari lelaku korupsi, misalnya, juga terendus kuat dalam Yuang Apuak. Tokoh ini diusung Darman Moenir ke dalam ceritanya, Kompas pada Minggu (28/09/08), digambarkan sebagai tokoh rantau yang sukses karena kemampuan diplomasi dan komunikasinya dalam meyakinkan orang lain. Konon, Yuang Apuak menggerus uang sumbangan dan bantuan untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, kematiannya pun mengalami banyak hambatan.
Ketiga cerpen di atas, bersandar pada asumsi dapat ditafsirkan berdasarkan kepentingan pembaca, maka ketiganya “layak” diperhitungkan menembus 15 besar, sama layaknya dengan Smokol, Terbang karya Ayu Utami, atau cerpen lainnya.
Politik Selera
MEMANG, tak bisa dipungkiri, selera merupakan salah satu kategori penentu tingkat keterpilihan. Namun, selera itu tidak akan “menyulut” kontroversi, andai saja bisa diurai melalui argumentasi rasional. Akan tetapi, merujuk pada pendapat Maman S. Mahayana (2005:125), akan lebih elegan dan berwibawa jika: (1) ada kejelasan otoritas dan kualifikasi juri, (2) tak ada kesan juri berasal dari kelompok kepentingan, (3) ada pertanggungjawaban juri atas pilihannya, dan (4) kriteria penilaian bukanlah pertimbangan kuantitatif, melainkan kualitatif.
Saya yakin, baik Juri maupun Kompas, tak pernah berniat menggiring pembaca ke labirin menyesatkan. Akan tetapi, siapa pun harus bisa dan berani mengakui “kesalahan” kecilnya. Misalnya keterpelesetan dalam penyebutan nama pengarang karena hal itu menyangkut karya intelektual seseorang. Ini tak bisa dipandang remeh.
Bukankah “lelaku pilah-pilih” meniscayakan “ketelitian”?
KHRISNA PABICHARA
Penyuka cerpen, motivator pembelajaran, tinggal di pinggiran Jakarta
Lain padang lain belalang. Lain Rocky Gerung, lain pula Linda Christanty. Jika Rocky meneruka alasan keterpilihan Smokol semata, Linda berusaha keras menegaskan “secara canggung” alasan keterpilihan Smokol melalui perbandingan terhadap cerpen lainnya. Bagi pengarang Kuda Terbang Mario Pinto itu, 51 cerpen yang terbit di Kompas sepanjang tahun 2008 ternyata “kurang” menawarkan “hiburan” yang bisa membuatnya bersuka-cita selaku pembaca. Sekaligus, sebagai juri yang memiliki otoritas kepemilihan. Kartu Pos dari Surga disebutnya sebagai “cerita horor dadakan” yang diolah setengah-setengah. Iblis Paris, baginya, terbaca sebagai timbunan rujukan atau pameran kekayaan wawasan pengarangnya. Pada Perempuan Sinting di Dapur, pemenang Khatulistiwa Literary Award 2004 ini menemukan keganjilan, semacam silang-sengkarut antaralinea. Untunglah, Merah Pekat, menawarkan suguhan lain karena, kata Linda, kepiawaian “Fransisca Dewi Ria Utari” (dalam epilog, Linda terpeleset menyebut Intan Paramadita selaku pengarang Merah Pekat) dalam membangun suspens dan mengakhiri cerita dengan klimaks yang mencekam. Dan, Linda akhirnya bisa tertawa-tawa dan terpuaskan setelah membaca Smokol. “Tertawa” karena “aura sindir” yang memancar lembut dari alir-kisah Batara, dan “terpuaskan” karena tak tersua olehnya sedikit pun cela-retak dalam cerpen karya Nukila Amal itu, baik dari sisi bentuk maupun isinya. Hal ini tergambar dari ketiadaan sasar-kritik Linda terhadap cerpen itu, tidak seperti yang dilakukannya secara “cerdas” dan “kritis” pada cerpen-cerpen lainnya.
Tentulah berat beban menjadi wasit, juri, hakim, bahkan pemilih. Bahwa tidaklah mudah memisahkan 51 cerpen menjadi 15 deret terbaik, itu bisa diterima. Bahwa amat sulit memilah satu cerpen “terdahsyat” di antara 15 cerpen pilihan, itu pun bisa diterima. Namun, setiap pembaca pasti membutuhkan “argumen pembelaan” sang pemilih terhadap keterpilihan 15 cerpen dan ketergusuran 36 cerpen lainnya. Memang, Rocky telah menutur-uraikan secara lugas alasan keterpilihan Smokol sebagai yang “terbaik”, namun ada banyak justifikasi yang laik pula disematkan pada cerpen lain. Semisal, jika tamsil “politik rasa lapar” menjadi pembenaran keterpilihan Smokol, bukankah dengan cara berbeda dapat pula diberlakukan pada Rumah Duka, Sakri Terangkat ke Langit, Ratap Gadis Suayan, bahkan pada 11 cerpen lainnya?
Sementara, pijakan gagasan keterpilihan Smokol, yang diuraikan Linda, terasa “serba canggung” dan “sangat tanggung”. Mengapa? Selain karena tidak mengupas-tuntas 15 cerpen terpilih—terlepas dari alasan ketersediaan ruang tulis, juga karena aroma pemberhalaan cerpen tertentu. Kategori pemilahan tak lebih dari sodoran alasan yang bersifat reportif, sangat terbuka untuk diperdebatkan. Bahkan, keberpihakan itu seolah-olah bersifat stipulatif, sewenang-wenang, dengan menyatakan tak ada yang “layak”, kecuali satu. Keberpihakan kita terhadap “sesuatu” harus didukung oleh argumentasi rasional, yang masuk akal. Keterpilihan, selain “selera”, juga harus bisa menawarkan kategori bagaimana memilih dan apa saja yang terjadi selama proses pemilihan.
Dalam hal ini, Linda menunjukkan keberpihakan pada cerpen tertentu tanpa alas-pijak argumentasi yang rasional. Hal ini terlihat dari tidak ditemukannya argumen bijak mengapa 15 cerpen itu bisa terpilih dan kenapa 36 cerpen lainnya terpinggirkan. Maka, saya lantas menyebut keterpilihan cerpen itu sangat dipengaruhi oleh “politik selera”. Tentu saja, ini sah dan boleh-boleh saja.
Membidik Cerpen Lain
MENGADOPSI dan mengadaptasi pendapat Rocky tentang kepentingan pembaca terhadap cerpen, maka saya mencoba membuka ruang tafsir baru dengan uji-tafsir yang berbeda dari kedua Sang Juri, Rocky dan Linda. Cerpen pertama yang memikat saya adalah Sampan Zulaiha, karya Hasan Al-Banna yang dimuat Kompas pada Minggu (15/06/08). Jika Smokol menarik karena “suara lain di bawah meja”, maka Sampan Zulaiha menawarkan “aroma sukacita” rumah rapuh di tepi laut yang setiap saat terancam gelombang pasang atau kuasa rawa. Jika pada Smokol tercium “bau totalitarianisme kekuasaan”, maka Sampan Zulaiha menyuguhkan wangi eksistensi tentang “hasrat keberterimaan” sekaligus “nafas ketakpuasan” seorang perempuan, yang hendak diperlakukan setara dengan perlakuan pada kaum lelaki.
Mitologi yang diusung Yanusa Nugrogo lewat Hikayat Gusala, juga layak ditarik ke ruang wacana baru. Cerpen yang dimuat Kompas pada Minggu (23/11/08) ini bertutur tentang mitos lelaki dengan kecerdasan tak lengkap dan badan separuh raksasa, Gusala. Yanusa tidak semata menarik mitologi ke ruang estetik, tapi menawarkan sebuah alegori perihal peruntungan setiap manusia. Alegori itu bisa ditarik-diulur ke ruang nyata, semau kita. Seperti Nukila Amal mendedah Peri Smokol, yang juga mitos bagi orang Manado, ke dalam cerpennya.
“Politik rasa lapar” yang mendasari lelaku korupsi, misalnya, juga terendus kuat dalam Yuang Apuak. Tokoh ini diusung Darman Moenir ke dalam ceritanya, Kompas pada Minggu (28/09/08), digambarkan sebagai tokoh rantau yang sukses karena kemampuan diplomasi dan komunikasinya dalam meyakinkan orang lain. Konon, Yuang Apuak menggerus uang sumbangan dan bantuan untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, kematiannya pun mengalami banyak hambatan.
Ketiga cerpen di atas, bersandar pada asumsi dapat ditafsirkan berdasarkan kepentingan pembaca, maka ketiganya “layak” diperhitungkan menembus 15 besar, sama layaknya dengan Smokol, Terbang karya Ayu Utami, atau cerpen lainnya.
Politik Selera
MEMANG, tak bisa dipungkiri, selera merupakan salah satu kategori penentu tingkat keterpilihan. Namun, selera itu tidak akan “menyulut” kontroversi, andai saja bisa diurai melalui argumentasi rasional. Akan tetapi, merujuk pada pendapat Maman S. Mahayana (2005:125), akan lebih elegan dan berwibawa jika: (1) ada kejelasan otoritas dan kualifikasi juri, (2) tak ada kesan juri berasal dari kelompok kepentingan, (3) ada pertanggungjawaban juri atas pilihannya, dan (4) kriteria penilaian bukanlah pertimbangan kuantitatif, melainkan kualitatif.
Saya yakin, baik Juri maupun Kompas, tak pernah berniat menggiring pembaca ke labirin menyesatkan. Akan tetapi, siapa pun harus bisa dan berani mengakui “kesalahan” kecilnya. Misalnya keterpelesetan dalam penyebutan nama pengarang karena hal itu menyangkut karya intelektual seseorang. Ini tak bisa dipandang remeh.
Bukankah “lelaku pilah-pilih” meniscayakan “ketelitian”?
KHRISNA PABICHARA
Penyuka cerpen, motivator pembelajaran, tinggal di pinggiran Jakarta
Sabtu, 01 Agustus 2009
Sajak Khrisna Pabichara di Republika
Catatan: Sajak-sajak ini dimuat di Republika (Minggu, 02/08/2009)
Labirin Lebaran
Namanya lebaran. Semua orang pasti tahu, apalagi aku. Sejak berusia belasan, aku mulai mengenal puasa. Dari separuh hingga sepenuh hari. Ya, puasa selalu berasa istimewa. Laksana kawah candradimuka tempat aku bisa melepuh dosa dan memenjara setan-setan durjana. Duh, indah nian meniti zirah ibadah, membedah lengah laksana kabilah mencecah gelisah. "Ketulusan cinta-Nya padaku tak perlu lagi diragukan!"
Namanya takbiran. Semalam sebelum lebaran, takbiran selalu mengundang gairah. Berarak keliling kampung dengan obor dan gelegar petasan. Nyala api menari-nari di pucuk-pucuk penggalan batang bambu, meliuk-liuk laksana geliat para pujangga membaca prosa. Pada kedalaman hati aku menggurat janji, "Tak ada yang lebih maha dari-Nya." Ya, takbiran selalu bisa menjinakkan keresahan hati, menidurkan ketakutan jiwa, dan mengundang turun butiran sesal. Segera hati mendulang ingatan, inilah malam ketika kuduk merinding karena gema takbir membelah angkasa. "Ketulusan cinta-Nya padaku tak perlu lagi diragukan!"
Namanya lebaran. Selalu ada butiran hujan ketika tiba lebaran. Anak-anak berbaju baru dengan renyah bermain di kubangan kenangan. Orang-orang berduyun-duyun salam-salaman. Kanak-kanak berlomba berebut ketupat dan uang recehan. Nafasku terbanting ke atas meja penuh taburan penganan, mencoba bertahan dari siksaan rasa penasaran. "Bisakan aku, Tuhan, bersua lebaran tahun depan!"
Bogor, Oktober 2008
Tuhan Punya Musuh
―untuk Salahuddien GZ
Sebelum matahari terbenam, ia datang dengan sesumbar kabar, "Apakah benar tuhan punya musuh?" Aku terhenyak seperti matahari kehilangan bara. Karena pada semua kitab, katanya lagi, semua bertutur tentang musuh-musuh tuhan. Telisik saja, dari Qabil sang pembunuh hingga israel sang penjagal, pintanya pula
Sebentar lagi matahari diasak malam, membenam cahaya pada kelam. "Musuh tuhan hanya iblis yang membangkang ketika diminta sukarela mengakui kehebatan Adam. Selebihnya hanya keturunannya. Sebut saja Qabil, Namrud, Fir'aun, Abu Lahab, dan yang lainnya."
Matahari sedang mematut diri, sebelum jenak menggantung cahaya. Selembing tanya menghunjam tepat di pori hati, "Tuhankah yang memusuhi iblis hingga mengusirnya keluar surga, atau ibliskah yang memusuhi Tuhan sehingga berani membangkang perintah?"
Ia dengan ringan menenteng matahari. "Dalam semesta pikiran Tuhan Yang Mahatahu, pemberontakan itu mestinya bukan sebagai perlawanan, tapi sesuai rancang-citanya biar iblis punya kesibukan menuntun manusia masuk neraka."
Aku berdiri tepat sejengkal di depannya, merebut matahari dari tentengnya. "Jadi, Tuhan tidak punya musuh?" Ia berkeras, "Tuhan kita berbeda!"
Bogor, Januari 2009
Selembar Surat untuk Tuhanku
―untuk Barrack Hussein Obama
Tuhan, aku ingin sekali mengajakmu singgah di rumah seorang sahabat. Ia baru saja terpilih mejadi penghulu adat negara paling adi di bumi ini. Siapa tahu di sana kita bisa sejenak bercengkerama, melupakan kisah-kisah pembangkangan dan hikayat-hikayat pembantaian. Kali saja kita disuguhi pundi-pundi air mata setelah segala telaga kita dikuras perompak serakah. Tuhan, ayolah, sebentar saja
Tuhan, aku tak tahu siapa lagi yang bisa menampung gelegar gelisah. Sahabatku itu memilih menjadi emas dengan berhari-hari berdiam diri. Mungkin di negerinya berlaku juga pepatah purba, "diam itu emas." padahal, sebelum dirinya meraup banyak simpati, ia menguar janji paling koar, "Menjadikan negerinya negeri paling negeri, tempat bermukim manusia paling manusia." Tapi, ia tetap menjadi emas dengan berhari-hari berdiam diri. Sahabatnya ia biarkan membantai ratusan nyawa. Tuhan, singgahlah sebentar saja
Tuhan, aku bosan melihat kelamin ganda negara sahabatku itu. Ketika Irak dituding menyapih banyak senjata biologi, negaranya langsung mengirim pasukan perdamaian yang semena-mena mengoyak-ngoyak harkat kemanusiaan. Di Afghanistan, mereka tidak lagi menjadi manusia, melainkan durjana yang menjadi hamba syahwat: syahwat berkuasa dan syahwat menguasai
Tuhan, patik tulis surat ini di tengah riuh air mata. Terlalu lama patik berdoa sampai tanggal perih diamuk senyap. Terlalu lama patik menanggung sendu hingga luka menjadi batu. Jika Kau punya tangan, Tuhan, pinjamkan padaku sebentar saja: biar kujitak sahabatku itu. Jika Kau punya mulut, Tuhan, pinjamkan padaku sejenak saja: biar kuludahi muka Israel. Berkali-kali. Berhari-hari
Bogor, Januari 2009
Labirin Lebaran
Namanya lebaran. Semua orang pasti tahu, apalagi aku. Sejak berusia belasan, aku mulai mengenal puasa. Dari separuh hingga sepenuh hari. Ya, puasa selalu berasa istimewa. Laksana kawah candradimuka tempat aku bisa melepuh dosa dan memenjara setan-setan durjana. Duh, indah nian meniti zirah ibadah, membedah lengah laksana kabilah mencecah gelisah. "Ketulusan cinta-Nya padaku tak perlu lagi diragukan!"
Namanya takbiran. Semalam sebelum lebaran, takbiran selalu mengundang gairah. Berarak keliling kampung dengan obor dan gelegar petasan. Nyala api menari-nari di pucuk-pucuk penggalan batang bambu, meliuk-liuk laksana geliat para pujangga membaca prosa. Pada kedalaman hati aku menggurat janji, "Tak ada yang lebih maha dari-Nya." Ya, takbiran selalu bisa menjinakkan keresahan hati, menidurkan ketakutan jiwa, dan mengundang turun butiran sesal. Segera hati mendulang ingatan, inilah malam ketika kuduk merinding karena gema takbir membelah angkasa. "Ketulusan cinta-Nya padaku tak perlu lagi diragukan!"
Namanya lebaran. Selalu ada butiran hujan ketika tiba lebaran. Anak-anak berbaju baru dengan renyah bermain di kubangan kenangan. Orang-orang berduyun-duyun salam-salaman. Kanak-kanak berlomba berebut ketupat dan uang recehan. Nafasku terbanting ke atas meja penuh taburan penganan, mencoba bertahan dari siksaan rasa penasaran. "Bisakan aku, Tuhan, bersua lebaran tahun depan!"
Bogor, Oktober 2008
Tuhan Punya Musuh
―untuk Salahuddien GZ
Sebelum matahari terbenam, ia datang dengan sesumbar kabar, "Apakah benar tuhan punya musuh?" Aku terhenyak seperti matahari kehilangan bara. Karena pada semua kitab, katanya lagi, semua bertutur tentang musuh-musuh tuhan. Telisik saja, dari Qabil sang pembunuh hingga israel sang penjagal, pintanya pula
Sebentar lagi matahari diasak malam, membenam cahaya pada kelam. "Musuh tuhan hanya iblis yang membangkang ketika diminta sukarela mengakui kehebatan Adam. Selebihnya hanya keturunannya. Sebut saja Qabil, Namrud, Fir'aun, Abu Lahab, dan yang lainnya."
Matahari sedang mematut diri, sebelum jenak menggantung cahaya. Selembing tanya menghunjam tepat di pori hati, "Tuhankah yang memusuhi iblis hingga mengusirnya keluar surga, atau ibliskah yang memusuhi Tuhan sehingga berani membangkang perintah?"
Ia dengan ringan menenteng matahari. "Dalam semesta pikiran Tuhan Yang Mahatahu, pemberontakan itu mestinya bukan sebagai perlawanan, tapi sesuai rancang-citanya biar iblis punya kesibukan menuntun manusia masuk neraka."
Aku berdiri tepat sejengkal di depannya, merebut matahari dari tentengnya. "Jadi, Tuhan tidak punya musuh?" Ia berkeras, "Tuhan kita berbeda!"
Bogor, Januari 2009
Selembar Surat untuk Tuhanku
―untuk Barrack Hussein Obama
Tuhan, aku ingin sekali mengajakmu singgah di rumah seorang sahabat. Ia baru saja terpilih mejadi penghulu adat negara paling adi di bumi ini. Siapa tahu di sana kita bisa sejenak bercengkerama, melupakan kisah-kisah pembangkangan dan hikayat-hikayat pembantaian. Kali saja kita disuguhi pundi-pundi air mata setelah segala telaga kita dikuras perompak serakah. Tuhan, ayolah, sebentar saja
Tuhan, aku tak tahu siapa lagi yang bisa menampung gelegar gelisah. Sahabatku itu memilih menjadi emas dengan berhari-hari berdiam diri. Mungkin di negerinya berlaku juga pepatah purba, "diam itu emas." padahal, sebelum dirinya meraup banyak simpati, ia menguar janji paling koar, "Menjadikan negerinya negeri paling negeri, tempat bermukim manusia paling manusia." Tapi, ia tetap menjadi emas dengan berhari-hari berdiam diri. Sahabatnya ia biarkan membantai ratusan nyawa. Tuhan, singgahlah sebentar saja
Tuhan, aku bosan melihat kelamin ganda negara sahabatku itu. Ketika Irak dituding menyapih banyak senjata biologi, negaranya langsung mengirim pasukan perdamaian yang semena-mena mengoyak-ngoyak harkat kemanusiaan. Di Afghanistan, mereka tidak lagi menjadi manusia, melainkan durjana yang menjadi hamba syahwat: syahwat berkuasa dan syahwat menguasai
Tuhan, patik tulis surat ini di tengah riuh air mata. Terlalu lama patik berdoa sampai tanggal perih diamuk senyap. Terlalu lama patik menanggung sendu hingga luka menjadi batu. Jika Kau punya tangan, Tuhan, pinjamkan padaku sebentar saja: biar kujitak sahabatku itu. Jika Kau punya mulut, Tuhan, pinjamkan padaku sejenak saja: biar kuludahi muka Israel. Berkali-kali. Berhari-hari
Bogor, Januari 2009
Label:
khrisna pabichara,
Republika,
sajak
Langganan:
Postingan (Atom)