Selasa, 24 Agustus 2010

Membaca Cinta, Membaca Jiwa

Catatan: Tulisan ini dimaksudkan sebagai catatan penutup atau epilog dari antologi puisi, Puisi Cinta Sang Bunda, yang dianggit bersama oleh Andi Arnida, Ilmiyati Badri, dan Evelyn Ridha.


Membaca Cinta, Membaca Jiwa
Sebuah Epilog


Masihkah Puisi Berbicara?
Apa yang sesungguhnya terjadi, yang dipertaruhkan, ketika kita mau secara serius bertanya, masihkah puisi berbicara manakala semakin kurang orang yang berminat membacanya? Menurut saya, dengan pertanyaan ringan dan sederhana itu, sesungguhnya kita sedang memasuki lorong-lorong baru yang menyesatkan, yang menempatkan puisi tidak lagi di ruang lapang yang gampang ditemukan atau di ruang lengang yang dapat dengan mudah dimaknai.
Sesungguhnya, harus diakui, di era maya yang serba enteng ini, setiap hari kita bisa menemukan dan membaca puisi. Sesekali kita mendarasnya, mengejanya dengan suara nyaring, atau hanya membacanya dalam hati sambil mengernyitkan dahi karena tak paham makna yang diusung olehnya. Sesekali malah kita hanya menerakan “cap jempol” padanya, sembari berlalu tanpa sempat meluangkan sejenak waktu saja untuk membaca, apalagi menekurinya.
Pada titik inilah, pertanyaan ini menjadi menarik: masihkah puisi berbicara? Pertanyaan ini bukan semata hendak menegaskan di mana posisi puisi dewasa ini, tetapi juga membuka, mengundang, meracik ulang pandangan, bahkan memastikan bagaimana sebenarnya puisi sekarang ini dimaknai. Dengan itu pula, syukur-syukur pertanyaan itu bisa menciptakan ranah “penciptaan” dan “pencintaan” baru terhadap puisi, di mana kita hidup dan bermukim sebagai “umat”-nya.
Saya termasuk pengelana yang sangat menyukai puisi. Karena itu pula saya mulai mendaras puisi-puisi dalam antologi ini, satu demi satu. Saya menempatkan diri laksana seorang pelancong yang bersuka-ria bakal menemukan pulau impian. Lalu, saya biarkan begitu saja pertanyaan itu mendentur kepala saya. Selalu.
Dan, dari sana hakikat pembacaan saya bermula.

Bersama Jiwa Menyigi Cinta
“Apa kabar, duhai penyejuk mata?” Begitu sapa takzim Andi Arnida dalam puisinya, Saat Menunggumu. Sebenarnya, sederhana sekali sapaan itu. Yang mengesankan, ketika sapaan itu “terwartakan” dari hati dan “diterima” oleh hati pula. Dan itulah yang saya “rasa”, bukan sekadar “baca”, dari sederet kata sederhana itu. Saya temukan ketenangan, keteduhan, dan kesejukan—yang menenangkan, meneduhkan, dan menyejukkan—di balik makna kata yang disiratkannya.
 Sekarang, mari kita lihat bagaimana Andi Arnida “merekam” jejak perasaannya. Tahukah kamu/ aku suka tersenyum sendiri?/ ketika ada yang hangat di ulu hati/ menjalar cepat di pembuluh nadi/ ketika cintamu itu/ menjadi sensasi tersendiri/ yang dengan sadar selalu kucari. Abdi Negara di Kementerian Pertanian RI ini mencurahkan isi hatinya dengan penuh ketakziman. Kita ibarat berkaca di permukaan telaga bening sehingga bisa menerka atau malah menceburkan diri ke kedalamannya. Puisi berjudul Sensasi Cintamu ini begitu kentara mewakili hati penganggitnya. Meskipun puisi, ketika lahir, memiliki jalan takdir sendiri yang terlepas dari sejarah pengarangnya, namun puisi ini tak terbantahkan lagi adalah dendang indah seorang “pencinta”.
Bahkan, seperti termaktub dalam puisi Setia, Ibu kelahiran Makassar ini sengaja menyandingkan “janji” dan “setia” dengan gamblang di jalan kehidupan, entah di hidup kekinian maupun keakanan, sebuah tamsil kesejatian persahabatan yang tidak boleh terhenti atau terbatasi oleh ruang dan waktu. Inilah kebahagiaan mencinta dan dicinta, keindahan memberi dan menerima, yang patut dirayakan lewat puisi. Inilah ajakan indah kepada kita untuk bertanggung jawab pada sebuah hubungan tepat ketika kita butuh hawa kebebasan. Semoga di kehidupan selanjutnya/ cinta ini terjaga, bergelora. Begitu petikan lariknya. Memang tak ada yang luar biasa dari pilihan diksinya. Tapi, sungguh, di sinilah letak kebersetiaan itu. Betapapun, akan sangat menyenangkan andaikata di zaman ini persahabatan dirayakan sebagai kebersalingan—saling percaya, saling setia—yang tumbuh tulus dari dalam jiwa tanpa meletakkan yang satu lebih rendah atau lebih tinggi daripada yang lainnya.     
Aura pengagungan cinta itu saya temukan pula pada puisi-puisi lainnya. Sebut misalnya Surat-surat, Salah Paham, Sebuah Harapan, Menu Baru, atau puisi yang lain. Seolah semua dibuhul dari sehelai benang merah: cinta.
Maka, patutlah kita kibarkan panji cinta bersama pepuisi di antologi ini.

Antara Cinta dan Kesetiaan
Setali tiga uang dengan Andi Arnida, Ilmiyati Badri pun menyandingkan cinta dan kesetiaan di bawah naungan “atap” yang sama. Bangunan cinta barulah terasa kokohnya apabila kesetiaan turut mewarnai konstruksinya. Jika tidak, yang terpampang di hadapan kita hanyalan istana pasir, bangunan rapuh yang gampang diamuk gelombang. Mustahil menemukan hakikat cinta, selama kita belum memahami syariatnya. Dan syariat cinta ada pada kesetiaan. Seperti itulah Ilmiyati Badri mendaras puisi-puisinya.
Tak perlu kata-kata untuk memahamimu. Begitu ditegaskannya dalam puisi Lelakiku..Tentulah ajakan alumni Teknologi Pertanian IPB ini telah melewati perenungan panjang bersama pergulatan hiduk kesehariannya. Bahwa tak selamanya kata-kata itu menyelesaikan masalah, itu benar. Bahwa kerap juga kata-kata  malah menciptakan masalah baru, itu juga benar. Maka, kadang kala kita perlu berhening-hening, bermenung, dan memetik hikmah sebuah peristiwa lewat kebersendirian. Karena, aku sibuk merayu/ Kamu khusyuk sendiri. Tandasnya pada puisi Terlupa Romantis, puisi yang judulnya tiba-tiba mengingatkan saya pada sebuah lagu lawas yang digubah musisi dari negeri jiran. Ada baiknya kita coba beralienasi, menyepikan diri, menekuri dunia soliter, agar kita bisa paham kapan masanya bicara dan kapan mestinya berdiam diri.
Cinta dan kesetiaan pun adalah “perkawinan” yang seharusnya mengabadi—tanpa batas, tanpa akhir—betapapun banyak kepahitan, kesedihan, atau keperihan yang telah dan masih akan ditorehkannya. Cinta dan kesetiaan itulah yang akan jadi penyembuh segala rasa sakit yang serta-merta hadir karenanya. Kalau kau tanya sejauh mana cintaku/ Akan kujawab sekadarnya/ Aku punya cinta yang tenang untukmu/ Tak lebih, tak kurang. Bayangkan, bagaimana wujud cinta yang tenang itu?
Dan, karena cinta selalu memilih hati sebagai tahtanya—bukan memilih kepala—maka semakin benderanglah dunia kita. Semakin berwarna, semakin berbentuk. Coba kita simak lagi puisi lain, Ruang Kosong. Ada sebuah ruang yang tidak pernah aku berikan/ pada siapa pun/ Bahkan sejak aku sendiri belum mengerti/ bahwa ruang itu ada// Ruang itu untukmu.
Sungguh, betapa indah hidup kita ketika cinta dan kesetiaan bisa disandingkan. Alangkah!

Ketika Cinta Menyatakan Diri
Sekarang, tiba masanya saya bertualang di semenanjung puisi Evelyn Ridha. Puisi pertama yang saya baca—dan langsung membuat saya terkesima—adalah Kata. Betapa tidak, puisi yang diracik tak lebih dari 8 kata ini menyeret saya ke dunia “entah”, dunia yang hanya bisa dicecap dan dicerap lewat indera rasa. Dunia tak tepermanai. Jatuh hati/ karena kata/ begitupun aku/ padamu/ karenanya. Bagi saya, “mu” dan “nya” dalam puisi ini bukan semata antara aku dan kamu, tetapi juga bisa dimaknai dengan Dia. Saya rasa, puisi ini dianggit bukan sekadar menyalurkan kesenangan yang mengasyikkan dengan alasan memanfaatkan waktu senggang. Bukan pula karena keriangan belaka setelah seharian jemu dan letih karena belitan pekerjaan. Melainkan juga dibabar dari kepenuhan pikiran dan jiwa yang menyembuhkan dan mencerahkan.
Sekali lagi, karena cinta.
.Puisi Siapa Mendekap Bulan juga menyiratkan ihwal yang kurang lebih sama: jatuh hati. Coba kita sasar petikan lariknya. Berharaplah/ hujan hanyutkan penghalang/ agar kita tak berjarak. Apa lagi yang paling menyiksa dari hidup seorang pencinta selain ketika mereka terpisahkan oleh jarak? Di sinilah “kesetiaan” sering diuji ketangguhan dan keampuhannya. Ketika jarak berkuasa—hingga terpisah antara yang memandang dan yang dipandang, antara yang menuju dan yang dituju—kemampuan mencinta bukan sekadar mengelak dari setumpuk rindu, melainkan keberanian menghadapi kegetiran merindu dan mencinta itu.
Kekuatan bersetia pada cinta, saat ini, sungguh mulai musykil kita temukan. Manakala tuntutan hidup semakin besar, sementara penghasilan tak mencukupinya, betapa banyak di antara kita yang mulai “gelap mata”, lalu sikat sana-sikat sini. Yang halal diraup, yang haram ikut digasak. Ketika kekuasaan dan jabatan mulai terancam, kesetiaan pada nurani akhirnya diabaikan, kadang dengan menggesek teman sendiri atau menjilat ludah yang telah dipercikkan. Maka, mendaras puisi ini seperti mengeja potret buram negeri ini.
Dengan demikian, bagi saya, sejumlah puisi Evelyn Ridha yang termaktub dalam antologi ini adalah serenada yang mengalun lembut sekaligus memperkokoh ketegasan perihal cinta dan kesetiaan yang tak berhingga.

Pada Akhirnya...
Sungguh, ketika menuntaskan pembacaan sejumlah puisi dalam antologi ini, saya yakin bahwa waktu yang telah saya luangkan untuk menikmatinya taklah terbuang percuma. Andi Arnida, Ilmiyati Badri, dan Evelyn Ridha—terlepas dari kekurangan ataupun kelebihannya—telah menemani saya bertualang di kesejatian cinta. Meskipun sebenarnya saya sempat berharap akan menemukan puisi yang dijuduli dengan kalimat puitis, yang ditaburi diksi, metafora, dan alegori yang penuh pikat, yang membuat kenikmatan dan kenyamanan pembacaan saya penuh pukau, namun hal itu tidaklah mengurangi suguhan estetika yang ditawarkan oleh ketiga alumni Teknologi Pertanian IPB ini. .
Pada titik inilah, seperti pertanyaan di awal tulisan ini, saya menyakini bahwa puisi masih, dapat, dan akan terus berbicara. Berpuisi tidak lagi lelaku “asal jadi” yang dijalani sebagai perintang waktu belaka, tetapi sebuah petualangan serius yang “wajib” dilakoni sepenuh hati. Ketika itu terwujud, menyitir pendapat Carl Jung di bagian akhir bukunya, Answer to Job, maka kita akan menemukan dua bentuk kehadiran Ilahi dalam diri kita. Yang pertama dalam wujud ego terbatas, yang meletakkan manusia pada dua sisi berlawanan, yang mudah tergoda sekaligus gampang mengalah, yang kecil hati dan cepat gembira, yang takut dan ambisius. Yang kedua adalah wujud ego tak terbatas, yang meletakkan manusia pada kemampuan tak terbilang, seperti keluasan samudra. Maka, antologi puisi ini menemani saya untuk menemukan keyakinan bahwa puisi masih ada dan tetap dapat berbicara. Seberapa lamat pun gema yang dipantulkannya.
Karena itu, ayo temukan bagaimana “tiga sekawan” ini membabar hakikat cinta dan makrifat kesetiaan sebagaimana adanya dengan lugas dan sederhana. Setelah itu, duduklah bersama teman sehati, ditemani teh hangat dan sekantung anggur. Betapa! (*)
Bogor, Agustus 2010

Khrisna Pabichara
Motivator merangkap penyuka sastra.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar