Berumah di Negeri Angan
—terjerat kenangan pada lagu “Negeri di Awan”
Rindu tumbuh di matamu, sebelum angin senja menegaskan kenangan
dan bunting sepi menetaskan harapan. Kita terpuruk, di sini, di negeri
yang kita bayangkan sebagai awan—kecemasan mengambang ringan.
Rencana rimbun di benakku dalam kegelisahan syair lagu, barangkali,
membusuk, di sini, di negeri yang kamu angankan sebagai awan—kita
makin sibuk menyuling senyap. Aih, matamu kunang-kunang, senantiasa.
Tidak ada, tidak ada yang melebihi matamu. Rembulan dan matahari
kawin di sana, melahirkan lebih dari sekadar gelembung kesia-siaan
yang lengas dan tandas. Lalu aku melulu mengecup kemustahilan ini.
Sebab kita sama-sama punya cinta, dan harapan, yang dikirimkan Tuhan
melalui sesak senja dan benak malam. Maka, apalagi yang menghalangi
kita bergegas menguburkan masa silam, biar lindap segala yang lebih?
Di negeri angan—yang kamu kira awan—telah kubangun sebuah rumah,
tak berpintu tak berjendela, agar kita bisa berteras tiba-tiba. Kapan saja.
Parung, Maret 2012