Catatan: Disampaikan di peluncuran Rumah Kata Bogor, Sabtu (9/4/2011).
Rumah Kata, Rumah Budaya
Oleh Khrisna Pabichara
Rumah adalah tempat terindah untuk meneduhkan jiwa, menenangkan hati, dan melepaskan penat yang mengimpit sepanjang hari. Tentu jika iklim yang mengelimuni rumah adalah cinta, bukan amarah yang hawanya bisa pans tiba-tiba. Rumah adalah oase yang paling dirindui para pejalan, bukan sekadar tempat meluruskan kaki atau mengeringkan peluh, melainkan sebagai perlambang eksistensi, penanda bahwa diri masih tetap ada. Rumah adalah sekolah paling sangkil untuk menanamkan pekerti dan membangun karakter diri, dengan keluarga sebagai pendidik dan cinta sebagai alas kurikulumnya.
Kata adalah sekumpul huruf yang bergerak dinamis menjadi setapung kalimat, kelak bisa kita maknai dengan segenap tafsir yang kita punyai. Kata adalah senjata santun untuk membentuk eksistensi: pencandra kemewaktuan, penanda kemengadaan dan tapal batas keberadaan. Kata tak semata rentet huruf yang bisa dieja dan diberi arti, tapi ialah alat bagi prajurit kebudayaan dan kehidupan. Dari katalah bermula kalimat, menjadi buku yang ruasnya tak pernah habis kita singkap.
Bermula dari sana hajat penamaan lembaga yang malam ini hendak bersama-sama kita absahkan. Rumah Kata, lembaga nirlaba yang darinya dikehendaki beragam aktivitas berkehidupan: dialog, pelatihan, pengembangan kecakapan, dan lainnya. Rumah Kata, upaya serius untuk bersumbangsih dalam pembangunan bangsa, terutama pengembangan kecakapan emosional dan spiritual: padepokan tala dengan harmoni selaras antara usaha “mengisi hati dan kepala”.
Dari latar pikir itu, jelas kiranya betapa kita butuh kehadiran lembaga-lembaga sejenis, ketika perhelatan negeri ini begitu marak dengan kabar-kabar miring: rumah “wakil rakyat” ngotot dipermegah manakala “rumah rakyat yang diwakilinya” banyak yang tak layak huni, pemimpin negara yang masih berkesah tentang upah rendah yang diterimanya pada saat banyak rakyat sibuk mempertahankan nyawa karena ketidak-jelasan pendapatan, kepercayaan nasabah dikemplang begitu saja oleh oknum yang sibuk memplastikkan tubuhnya, tahanan yang bisa pelesir ke mana-mana ketika yang lain malah “mati rasa” di penjara, dan peristiwa lain yang tak berhenti mencorengkan aib di kening bangsa.
“Negara salah urus,” begitu sindir rakyat kecil di atas tumpukan sampah, dekat kediaman saya di Parung. “Rakyat salah pilih,” begitu esensi keluhan Gemi Mohawk dalam antologi sajak megaknya, Indonesianus. “Kita kerap salah menafsirkan makna perbedaan,” begitu sari pikiran Hanna Fransisca lewat kumpulan puisinya, Konde Penyair Han. Dan apaada akhirnya, Muhidin M. Dahlan menyebut negeri ini lewat kalimat miris, “Negeri Tuna Sejarah”.
Cobalah sejenak saja kita renungkan konsep pembangunan yang dulu ditata pemerintah Yunani. Athena dibangun dari alas filsafat, darinya lahirlah para pemikir yang namanya abadi hingga kini. Sparta dibangun dari konsep “kebadanan”, maka perang demi perang berhasil mereka menangkan. Hari ini, buah pikir Plato, Socrates, atau pemikir Athena lainnya masih bisa kita manfaatkan, sementara Sparta hanya mewariskan “semangat” untuk melecut diri, semisal ajakan, “Ayo, lebih spartan!”.
Lalu, mari kita alihkan ke rencana pembangunan gedung mewah “wakil rakyat” yang kini menuai banyak kecaman. Mungkin karena para wakil yang kita pilih itu jarang baca filsafat, mereka pun mayoritas tidak paham “mana yang semestinya didahulukan, mana yang semestinya diperjuangkan”. Keuletan mereka membela sarana spa, fitnes, dan kamar pribadi tak sebanding lurus dengan ketangkasan mereka dalam membela usulan pembangunan sarana vital bagi masa depan bangsa. Sebut contoh konkret dana yang dianggarkan negara—lewat Pemprov. DKI Jakarta—untuk merawat koleksi langka di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin. Tentulah jomplang jika angka Rp 1,16 triliun kita bandingkan dengan angka Rp 50 juta.
Bertambah miris hati kita jika membincangkan sengkarut “orang-orang besar”: pertikaian PSSI, kasus korupsi yang patah tumbuh hilang berganti, tarik-menarik partai di koalisi, dan berangkai kasus lain yang menghiasi media massa ataupun media sosial.
Tentulah mengeluh saja tidak menyelsaikan masalah. Kita harus berbuat, harus melalukan sesuatu, seberapa pun kecilnya dampak dari perbuatan itu. Inilah pula yang melatari hajat Erha Limanov, Jafar Fakhrurrozi, Ifan Ahab Zoer, Rudy Ginting, dkk untuk membentuk sebuah institusi bernama Rumah Kata. Lembaga yang dirancang sebagai tempat untuk berbincang, bersantai, belajar dan mengembangkan diri ini, boleh juga dinamai Rumah Budaya, tempat sekumpulan orang membincangkan kebudayaan.
Hajat mulai yang sangat layak kita dukung, kita apresiasi, dan kita bantu.
Semoga pula semakin banyak orang atau lembaga yang terpikat hatinya untuk melakukan hal sama, melakukan banyak hal untuk menghindari keterpurukan bangsa.
Bogor, April 2011
Semoga rumah kata menjadi rumah budaya yang dihiasi dengan pembiasaan membaca. Mampir juga di prosalirik dan kornet.blogspot.com, ddan mari bertukar following untuk saling berbagi.
BalasHapus