Sabtu, 27 Maret 2010

Cerpen "SILARIANG"

CATATAN: Cerpen ini dimuat di Suara Karya edisi Sabtu (20/03/2010), mengangkat tema pertarungan antara hakikat kesetiaan dengan harga diri. Salam takzim



SILARIANG
Oleh Khrisna Pabichara



|1|

PERNAHKAH KAMU berhasrat melakukan sesuatu, tapi tak berdaya sama sekali? Begitulah suratan yang kujalani saat ini. Takdir mengajariku tabiat pantang menyerah, namun takdir pula yang mengunjukkan padaku pedihnya berpasrah. Rasanya tak perlu kita perdebatkan hakikat sabar, menyimpang terlalu jauh dari ruh cerita ini. Karena aku selalu tak yakin bisa bersabar, atau ikhlas, atau apa pun namanya segala wujud kepasrahan—atau malah ketakberdayaan—itu. Toh tak ada bedanya, tak mengubah garis nasib.

Apakah perlu kusebut nama gadis yang aku cintai itu? Jika kamu memintanya, baiklah, namanya Aisha Arissa Ashalina. Namanya cantik, bukan? Pernah, sekali waktu, aku iseng mencari arti namanya di kamus nama-nama indah, dan kutemukan makna namanya yang—ternyata memang—indah: Putri yang cemerlang dan penyayang. Ia gadis tercantik di kampungku, tapi kecantikannya pudar tersebabkan takdir yang tak bisa diubahnya; ia putri pengusaha kaya, musuh bebuyutan keluargaku. Sementara aku, Syarifuddin Tola, seorang karaeng tikno—bangsawan Turatea, tak diperkenankan menikah dengannya; betapapun ia cantik, alim, atau cerdas.

Itulah muasal cerita yang kudaras ini.


|2|

BAIKLAH. Sebaiknya kututurkan dari mana bermula renjana ini. Sesungguhnya hubungan kami berlangsung sudah sangat lama, sejak kami masih kanak. Usiaku terpaut tak jauh beda darinya, hanya berselisih satu tahun. Riwayat mencatat, dahulu, Bapaknya pernah melamar adik Bapakku. Bisa ditebak, lamaran itu ditolak mentah-mentah. Limpahan harta tidak serta-merta melunakkan hati Kakek. Bermula dari sana dendam itu tergurat. Mereka memandang kami—keluargaku—pewaris lapuk kejayaan purba. Sedangkan keluargaku melihat mereka puak yang maruk harkat. Maka, kesumat itu terajut diam-diam, laiknya arus sungai yang tenang; di permukaan tampak diam, di bawah terus bergolak.

Oh ya, keakraban kami di masa kanak tak pernah jadi masalah bagi keluargaku, tidak juga bagi keluarganya. Mungkin karena mereka mengira kami masih kecil dan semua keakraban itu sebatas keintiman kanak-kanak. Ternyata dugaan mereka keliru. Lambat laun keakraban itu terasa membahagiakan, setiap bersamanya aku merasa sangat hidup. Menjelang dewasa, aku mulai merasa asing setiap jauh darinya, karena rindu yang indah meski sangat menyiksa. Dan, tahukah kamu apa yang paling membahagiakan bagiku saat itu? Ia ternyata memelihara perasaan yang sama. Resmilah kami menjadi sepasang kekasih. Semakin hari semakin dalam cinta itu menyelusup ke dalam hati kami.

Pasti kamu menduga kisah kami berjalan mulus. Tidak. Bukan itu yang terjadi. Aku tak mengira Karaeng Sijaya, kakak sulungku yang pendiam, ternyata sejak lama memata-matai kami. Suatu sore, sesaat selepas berpisah dengannya di Birtaria Kassi—tempat rekreasi paling meriah di kampungku, Karaeng Sijaya berdiri kukuh seperentang lengan saja di hadapanku.

“Kamu tak bisa mengubah riwayat, andik…” katanya ketika ia, gadis yang kucintai itu, perlahan menghilang. “Bagaimana mungkin mereka bakal menerima pinanganmu?”

“Riwayat sudah tamat, daeng…”

Kakakku itu tersenyum lembut, kemudian berkata, “Aku tidak mau kamu terluka, andik, dalam tubuhmu mengalir darah bangsawan. Apa jadinya jika kamu dinistakan?”

Sejak itu aku tak banyak bicara, meski masih terus berharap.


|3|

KAMI tak mudah lagi berjumpa. Ia jadi gadis pingitan. Sedangkan gerak-gerikku diawasi sepanjang hari. Tak ada lagi tawa bahagia, tak juga tatapan mesra. Dunia berbalik tiga ratus enam puluh derajat. Setiap hari aku peras otak untuk menyusun siasat, hasilnya selalu sama; nihil. Tak ada yang paling menyakitkan selain merasa tak berdaya. Dan, aku mulai gila. Benar-benar gila. Aku tidak berharap banyak, sungguh, aku hanya ingin menatap bening matanya, sekali saja, dan cukuplah itu bagiku.

Tahukah kamu apa buah dari keganjilan sikapku itu? Bapak dan Ibuku melunak. Pun begitu kerabat yang lain, termasuk kakakku, Karaeng Sijaya. Lalu, tiba satu hari mereka bermufakat hendak melamar Aisha—gadis impianku itu—untukku. Duh, bahagianya! Aku tahu itu bukan perkara mudah, bukan semata ritual lamar-melamar, melainkan pertaruhan harga diri dan nama baik keluarga. Tapi, itu juga membuktikan, betapa sayang keluargaku kepadaku. Tibalah malam bahagia—sekaligus mengerikan—itu. Aku dan sanak kerabat bertandang ke rumahnya. Sepanjang jalan aku terus memikirkannya, gadis yang aku cintai selama bertahun-tahun itu. Ia tak tergantikan oleh siapa pun. Kapan, dan di mana pun.

Aku rindu hangat senyummu.

Ternyata, malam itu, ketika keluargaku sepakat meminangnya sebagai pendamping hidupku—seperti telah ditilik sanak kerabat—jadi perigi segala petaka.

“Apa? Mahar seratus juta?” seru kakakku, juru pinang keluargaku malam itu.

“Ya!”

“Semahal itu?”

“Ya!”

“Kami tidak punya uang sebanyak itu. Belum lagi biaya hajat, beli kuda, dan kerbau. Bagaimana kalau lima puluh juta saja?”

Bapaknya tersenyum sinis, “Ah, hanya sebatas itu kuasa keluarga bangsawan?”

“Tidakkah Bapak memikirkan perasaan mereka, Tola dan Aisha?”

“Apakah keluargamu dulu memikirkan perasaanku dan perasaan keluargaku?”

Pinangan itu berakhir buntu karena dendam yang menyungkupi hati.

Sungguh, aku dengar isak tangis dari bilik kamarnya, lamat dan lirih, tapi pedihnya menyelusup hingga rongga hati. Sebaiknya kamu tahu, tradisi di Turatea—kampung kelahiranku—memperlakukan perempuan semena-mena; ditakar lewat setumpuk rupiah berdasar kecantikan, derajat, atau ilmunya. Semakin cantik semakin mahal, semakin tinggi derajatnya semakin mustahil mahar yang harus ditebus untuk meminangnya.

Pahitnya, itu pula yang ditimpakan takdir padaku!


|4|

DI AWAL kisah telah aku tuturkan padamu, bahwa takdir mengajarkan tabiat pantang menyerah padaku. Begitulah adanya. Setelah berbagai helat kucoba, akhirnya kami bersua juga. Sungguh, luar biasa. Kamu tahu di mana? Aku bertemu di kolong rumahnya setelah ia turun lewat pintu belakang—supaya tidak bingung, aku beritahukan padamu, rata-rata rumah di kampung kami berbentuk panggung—tepat ketika keluarganya sedang riuh menonton tivi di ruang tamu. Lama sekali kami larut melunaskan rindu yang tanak lewat hangat senyum. Hingga kami sadar waktu berjalan amat cepat.

“Kamu harus pulang, daeng…” desahnya di sela isak tertahan.

Sedetik membayang jalan pintas yang menjanjikan untuk kami sasar. “Selalu ada jalan,” ujarku takzim. Matanya mengerjap, kebingungan. “Jika semua pintu tertutup, masih ada jendela untuk kita lewati.”

Silariang?”

Aku mengangguk dengan pasti. Aku tahu ini pilihan sulit. Orang-orang di kampung kami menamakannya silariang. Kamu boleh menyebutnya kawin lari. Hanya saja, kawin lari di sini tidak semata melarikan diri lalu menikah di kampung orang. Tidak sesederhana itu, kawan. Ketika silariang itu terjadi, berarti mencoreng aib di kening kerabat keluarga sang gadis. Dan, aib itu berarti siri’—harga diri tak terbeli—yang harus ditebus dengan nyawa. Sementara keluarga lelaki yang ditinggalkan akan menanggung pacce—malu tak terperi. Tapi, bukankah jodoh harus diperjuangkan?

Ia, juga aku, memilih pergi. Bersama.


|5|

DAN, tahukah kamu apa yang terjadi sesudahnya? Kami berjalan merambah kebun, meniti jalan di bawah kerlip bintang. Rasanya seperti mimpi. Membahagiakan, dan mendebarkan. Menerobos gelap, ditelikung cemas, dilayangkan mimpi. Tubuh kami membubung ringan, seolah tak menjejak tanah. Di benakku membayang keindahan masa depan, menggusur percintaan masa lalu yang suram. Sebentar lagi cinta kami tunai, dan derita ini bakal usai.

Hingga…

“Berhenti!”

Suara itu bak petir menyambar-nyambar telinga, memilin-milin ulu hati. Lihat! Tiga tombak di depan kami berdiri tegap Arwan Arsuka, kakak Aisha, gadis yang mengerut di punggungku. Andai saja kamu ada di sini, pasti kamu bisa melihat betapa piasnya wajah kami, tak lebih cakap dari kucing kuyup yang kedapatan maling ikan. Sepertinya semua harapan kami bakal buyar lagi. Aku nekat melawan, tapi, sungguh, baru kali ini aku sesali nasib mengapa tidak pernah serius belajar mancak—silat aliran Turatea, sehingga aku bisa membela diri dan melindunginya.

“Beginikah caramu memperlakukan perempuan? Ketika tak kuasa membayar uang mahar, kamu paksa Aisha silariang. Kamu pecundang, Tola!” hardiknya.

Ia menjerit lirih ketika tangannya ditarik kakaknya dengan kasar. “Kak…”

“Pulang…, kamu tak bisa menjaga nama baik keluarga!”

Rasanya dunia tiba-tiba kiamat. Dan, riwayat ini segera tamat.


|6|

“LEPASKAN AISHA, Arwan. Atau kamu harus berhadapan denganku!”

Tiba-tiba suara lain menyentak pendengaranku. Aku kenal suara itu, ya, itu kakakku. Lagi-lagi, andai saja kamu berada di sini, menyaksikan rentet peristiwa ini, pastilah kamu melihat betapa cerah wajahku. Betapa tidak, Karaeng Sijaya, kakakku yang pendiam itu, menantang Arwan berduel dengan sangat elegan. Dan, kakakku menoleh padaku, memberi isyarat agar aku segera menuntunnya meninggalkan tempat itu. Selekas-lekasnya.

Bagaimana menurutmu? Apakah aku harus pergi atau tetap di sini menyaksikan kesudahan yang bakal terjadi? Oh, baiklah, aku akan turuti saranmu. Kamu benar, tak baik menyia-nyiakan peluang. Terima kasih, kawan. Aku dan gadis yang kucintai itu perlahan menjauh dari pertarungan dua lelaki yang mempertaruhkan harga diri; yang satu demi nama siri’ dan nama baik keluarga, satunya lagi demi pacce dan cinta sepasang manusia.


|7|

DI SINILAH kami hari ini. Di pinggiran Jakarta. Sudah lima tahun sejak silariang itu terjadi, belum juga keluarganya mengikhlaskan dan merestui pernikahan kami. Berkali sudah keluargaku datang menjenguk, terutama kakakku, namun keluarganya belum juga datang bertandang. Meskipun kami sepakat, bahwa keluargaku adalah keluarganya juga.

Tapi, keluarganya tak kunjung menerimaku.

●●●

Jakarta, Februari 2010

Khrisna Pabichara, lahir di Makassar, 10 November 1975. Saat ini bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.

Selasa, 23 Maret 2010

Cerpen "PAKARENA"

Catatan: Cerpen ini dimuat di Republika, Edisi Minggu (21/03/2010).




PAKARENA
[Kepada Meilani Goenawan dan Belline Sucipto]

Oleh Khrisna Pabichara


1


NEGERI kelahiranmu begitu sepi dan asing, bersungkup misteri dan teka-teki. Tak perlu kukisahkan padamu kenapa aku bisa berada di sini, di Wuhan, sebuah kota di Tionghoa, tempat leluhurmu dulu riuh beranak-pinak. Tapi jika kamu tetap memaksa, baiklah, ada satu alasan yang tak terbantahkan: Aku berusaha mencarimu. Namun, semuanya sia-sia. Wuhan kota dengan danau bak cermin ini, seolah menelan riwayatmu begitu saja. Sungguh, aku ingin tahu seperti apa kini rupamu. Masih bercahayakah mata sipitmu? Masih memukaukah sepasang dekik di pipimu? Masih hangatkah senyum cerahmu?

Sebenarnya yang ingin kutanyakan padamu cuma satu, kamu belum bersuami?

2

Jangan, jangan bertanya kenapa aku memaksakan diri melancong sejauh ini. Sebermula kepergianmu yang sangat tiba-tiba, seolah meragukan kemampuanku untuk menentang segala ihwal yang ditetapkan adat, lalu aku menyusulmu. Aku lebih memilih cinta daripada tradisi yang abai meletakkan manusia pada tempat sesungguhnya. Ya, kerabatku yang membenci etnis Tionghoa dan keluargamu yang memandang remeh para pribumi. Kita ada di persilangan budaya yang selalu bersinggungan, selalu berlawanan.

Merebak lagi kenangan dari mana semestinya perasaan ini mulai kuceritakan.

Dua puluh tahun silam sebelum kukisahkan kenangan ini, kita dipertemukan waktu di sebuah panggung pertunjukan. Kala itu, kita mementaskan kisah percintaan abadi, Romeo dan Juliet. Takdir memilihmu jadi Juliet, dan aku didaulat sebagai Romeo. Tak berselang lama, aku pastikan hatiku jatuh cinta padamu, perempuan Tionghoa pertama di sekolah menengah Karawitan satu-satunya di belahan timur nusantara itu.

Sungguh, aku ingat persis setiap adegan peran kita di atas panggung.

“Aku tak sanggup mengenalkan nama,” tutur Romeo dengan wajah bermandi cahaya bulan. Kemudian berjalan mendekati Juliet, hingga bersisa seperentangan lengan. “Jelitaku, sungguh, kubenci namaku sendiri, karena dia menjadi musuhmu. Jika ada namaku, akan kurobeklah dia.”

“Bukankah kamu Romeo, seorang Montogue?” Tanya Juliet.

“Bukan, kalau kamu tak suka!” Sergah Romeo.

“Bagaimana kamu kemari?” Seru Juliet, takjub, lalu berkata, “Pagar tembok itu tinggi dan susah dipanjat.”

Romeo tersenyum, “Sayap cinta menerbangkan aku melewati tembok tinggi itu.”

“Tapi, kamu bisa mati.”

“Cinta menyulut nyaliku berani berbuat lebih.”

“Jika ketahuan, kamu akan dibunuh.”

“Cahaya matamu jauh lebih mematikan!”

“Kamu mencintaiku?” Tanya Juliet. “Aku tahu jawabanmu. Pasti, ya. Dan aku percaya. Tapi, kumohon, jangan bersumpah. Aku tak mau sumpahmu palsu. ‘O’, putra Montogue, konon, Jupiter suka memperdaya sumpah orang yang sedang jatuh cinta.”

3

Begitulah kenangan itu menyatakan dirinya. Tunggu dulu, bukan dari sana hikayat cintaku bermula. Jauh sebelumnya. Ketika pesta kenaikan kelas, waktu itu kamu dengan rancak memainkan tunrung pakanjarak, tetabuh gendang bertalu khas Makassar. Tak lama berselang, tubuhmu meliuk gemulai menyajikan tari Pakarena pada riuh pelantikan Bupati Gowa. Mataku tak berkedip menatap setiap pukau gerakmu. Aku nyaris lupa naskah aru—ikrar setia rakyat Gowa kepada pemimpinnya—padahal, lafaznya telah kuhafal di luar kepala. Betapa ganjil, seorang gadis keturunan menguasai tari Pakarena. Maka wajar jika aku mengagumimu. Kekaguman itu pula yang memaksaku di hari-hari berikutnya berkeras mendekatimu. Hampir tak ada hari kubiarkan berlalu dengan menjauh dari sisimu. Hingga kusadari, ada perasaan ganjil yang entah apa telah menguasai hatiku. Hari dan bulan berlalu. Aku setuju jadi Romeo, kamu sepakat jadi Juliet. Sejak itu, aku punya panggilan khusus untukmu. Gadis Pakarena, begitu aku menamaimu.

Aku masih ingat, suatu ketika, kamu bilang shio-ku shio macan. Sungguh, aku orang yang sangat tak peduli pada rupa-rupa takhayul. Jangan heran jika aku terkikik menahan geli. Ketika itu, mata sipitmu meripit, “Ini bukan takhayul!” Sanggahmu sembari memukul lenganku dengan pelan. Hatiku berdesir. “Aku yakin itu cinta.”

Kali lain, kamu berkisah tentang legenda Imlek. Nian, aku masih hafal nama monster itu. Ketika kutanya apa maknanya, kamu menjawab cergas, “Nian itu tahun.” Sesudahnya, kamu mendehem saja, memintaku berusaha sendiri menyisir legendanya.

4

Riwayat mencatat, seperti pernah kamu kisahkan padaku, dulu sekali di tengah danau, seekor monster bermata besar bertanduk tunggal, tidur sepanjang tahun. Orang-orang menyebut monster itu Nian. Arkian, setiap musim semi dia bangkit dari tidurnya. Selain memorakporandakan ladang dan tanaman, monster berkuku tajam itu suka melahap manusia. Tak ayal, musim semi menjelma sebagai momok paling mengerikan. Tak ada yang bisa dilakukan warga desa, kecuali mengungsi jauh ke tempat aman di daratan tinggi. Sejauh-jauhnya, setinggi-tingginya. Semuanya mengungsi, kecuali seorang nenek renta yang tak lagi mampu berlari dan tak punya anak-cucu yang bisa membantunya menyelamatkan diri.

Riwayat juga mencatat, seorang pengemis berjalan mengitari desa sunyi itu. Perut lapar menyeret langkahnya ke gubuk sang nenek renta. Gayung pun bersambut. Sembari melahap makanan seadanya, pengemis itu menajamkan kuping, menyimak sebab-musabab ketakutan warga desa. Lalu, dia bertutur ihwal penangkal yang mujarab buat mengalahkan monster itu. Dia kabarkan betapa monster itu takut pada segala yang lebih besar darinya, suara keras lagi bising, dan warna merah menyala.

Dari sanalah bermula tari Barongsai, petasan, dan genderang. Juga tradisi ang pao. Kelak, seperti katamu, pengemis tua itu diyakini sebagai dewa yang diturunkan Kaisar Langit untuk menyelamatkan manusia. Dan, setiap tahun baru diperingati hingga kini, dengan nama Imlek.

5

Kamu juga kerap berkisah tentang rumah leluhurmu di tepi danau Dong Hu. Lalu, semasa pakansi, aku menemanimu pelesir ke Danau Matana di Soroako, kota bertabur nikel yang dikitari perkampungan miskin di Luwu Utara, sekadar melipur rindumu pada danau. Yang kusesali, aku tak bisa sefasih dirimu mengeja legenda. Maka, aku menggeleng ketika kamu bertanya tentang riwayat danau itu. Yang kutahu, matamu berkaca, setengah mati menahan airmata agar tak tersiar padaku.

Hingga kenyataan dengan bengis memisahkan kita. Ya, keluarga kita bermusuhan layaknya keluarga Montogue dan Capulet. Suku—agamaras—adat pun diseret-seret sebagai alat pembenaran. Cinta kita dikalahkan. Kamu diungsikan ke Jakarta, aku dipulangkan ke kampung. Sejak itu aku kehilangan jejak. Sejak itu pula setiap hari layaknya hari berkabung bagiku. “Aku yakin itu cinta. Bagaimana denganmu?”

Aku yakin kamu pasti merasakan kepedihan yang sama. Tapi kita bisa apa?

6

Maka, tibalah aku di sini, di tepi Danau Dong Hu. Jangan tuding aku gila! Tak perlu mencari jawab apakah aku benar atau salah. Lumrahnya pemilik shio macan yang lain, logika tak ada artinya bagiku. Aku berani menyatakan segala yang kuyakini, semisal membantah segala penyimpangan pandangan orang tentang kaum asing. Meskipun, kusadari itu sudah terlambat dan tak berarti apa-apa. Kita telah sama-sama kehilangan.

Aku hanya ingin bercerita padamu tentang kenangan sebuah perasaan. Tidak usah kukabarkan betapa rindunya aku. Cukup aku jelaskan serba sedikit: aku sangat kehilangan, dan kehilangan itu tersebabkan satu hal yang dulu belum bisa aku ubah. Maka, jika aku bisa menemuimu lagi, cukuplah itu. Kamu ingat, dulu kita benar-benar percaya bahwa Kitab Penyatuan itu sungguh ada. Kitab besar yang memuat daftar jodoh setiap manusia, dan Tuhan akan menggerakkan penanya untuk mencentang nama setiap pasangan. Kamu dulu sering merasa kurang khusyuk berdoa, sampai-sampai kamu memejamkan mata rapat-rapat dan memintaku berlekas menggeser gerakan pena Tuhan.

Namun, kita memang tidak berjodoh. Oh, bukan tidak, tapi belum.

Malam ini, musim semi menghangatkan tubuhku. Jika tak salah ingat, setiap musim dingin, katamu, Wuhan pasti bersalju. Karena itu aku menyambanginya saat musim semi, ketika semua orang sedang riuh menunggu Tahun Baru Imlek. Andai kamu temani aku mencicipi masakan Hubei, menonton Opera Beijing, atau menyepuh tubuh dengan kabut dan cahaya bulan di tepi danau, seperti dulu kerap kauwartakan padaku, pasti tak sesepi ini. Tak sepedih ini.

Aku seperti sebongkah batu bisu. Diam dan kaku. Udara dingin menyergap. Angin berkecepatan rendah bertiup dari arah barat laut. Begitu lembap, begitu dingin. Suhu di bawah tujuh derajat celcius terasa menyayat pori. Sungguh, angin malam yang tak ramah mengilu kulit, merasuk ke semua rusuk tulang, menyelusup dan memenuhi hati. Tahukah kamu, sambil menahan gigil, aku lagi menyesali nasib suram dan membilang kebodohan masa silam? Sesal memang suka datang terlambat.

Kamu masih mau jadi Ibu bagi anak-anakku, kan!

Sudah semakin larut dari malam yang kita sepakati, kamu belum juga tiba. Ke mana saja? Jangan-jangan kamu takut bertemu denganku karena sudah tidak sejelita dulu. Jika itu benar, kamu salah. Aku selalu cinta pada hatimu, bukan rupamu. Apalagi tubuhmu. Ayo, datanglah! Malam ini kita shou yue, begadang sambil pesta ikan bakar, main mahjong, atau berbincang di beranda rumah hingga pagi. Lalu, kita rayakan Imlek bersama-sama.

Aduhai, kamukah itu yang berjalan menghampiriku? Itu kamu. Ya, kamu. Sungguh tak berubah sama sekali. Ternyata waktu tak kuasa memangsa jelita rupa dan tubuhmu. Kamu tetap secantik dulu. “Kau,” kataku dengan suara bergetar.

“Ya. Benar. Ini aku, menunggu kedatanganmu bertahun-tahun. Aku yakin kamu akan menepati janji, menemaniku menulis sajak di kertas merah untuk dipajang di daun pintu. Sudahlah. Tak perlu berlama-lama di sini. Mari ke rumahku.”

7

Keesokan paginya. Wuhan rebah di belantara sunyi. Tak ada ingar-bingar petasan dan riuh genderang. Aku terbangun dan menyadari diri terbaring di tempat ganjil. Yang asing, yang lengang. Tanpa kamu, tanpa keluargamu. Tanpa sesiapa. Aku tak mengerti bagaimana bisa aku tiba di hening pekuburan, dan menemukan namamu di kilau nisannya. Asing dan gasal rasanya. Ditambah kabut yang datang dan pergi tiba-tiba. Dan, kupingku dikejutkan bisikan lirih yang memaksa bulu-bulu di tubuhku sekonyong-konyong serempak berdiri. Entah dari mana asal bisikan itu, aku tak mengerti sama sekali. Bisikan itu begitu pedih, memilin-milin hatiku.

“Meilani Goenawan sudah tiada. Dia mati bersama luka perkosa ketika kerusuhan Mei terjadi. Kamu tahu kerusuhan itu, bukan?”

Kamu telah menempuh jalan Juliet. Apakah aku akan menempuh jalan Romeo? (*)

Jakarta, Januari 2010

Khrisna Pabichara, lahir di Makassar, 10 November 1975. Saat ini bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.

Sabtu, 13 Maret 2010

[Cerpen]: SELASAR

CATATAN: Cerpen ini dimuat di Berita Pagi, Sumatera Selatan, edisi Minggu (14/03/2010), meneropong sisi penjualan perempuan oleh suaminya sendiri dan pertarungan antara harga diri (siri') dan cinta. Salam takzim



SELASAR
Oleh Khrisna Pabichara



AKU TIDAK YAKIN hari ini bisa setegar tahun kemarin. Ya, kamu pasti ingat, setahun lampau, 1 Maret 2009, kamu ucapkan sepotong kalimat yang sebenarnya kamu tahu sangat aku benci—selamat tinggal. Pun, kamu pasti masih ingat, selamanya, aku tidak pernah menyerah begitu saja. Maka, di sinilah aku hari ini. Di selasar rumahmu dengan seikat kembang kesayanganmu, melati putih.

Setahun silam, aku mendengar kabar dari Bapakmu, kamu yang berjanji bakal setia, pergi mendadak, hanya meninggalkan secarik kertas dan sepotong kalimat tak bersudah yang paling kubenci itu, dan tak kupercaya kamu tak meninggalkan pesan lain atau ungkapan rasa bersalah. Bapakmu bilang, seorang lelaki mengajakmu silariang—kawin lari. Aku tak percaya kabar itu. Lalu, tersiar gunjing tak sedap, kamu terkena doti—mantra ampuh penakluk perempuan—dari seorang lelaki kaya beristri dua. Tapi, aku tak pernah percaya kabar itu.

Sebenarnya, kamu tidak bermaksud mengkhianatiku, kan?

Hari ini, Bapakmu berdiri di depan pintu menyambutku dengan senyum keruh yang sama seperti senyum keruhnya setahun lalu, binar matanya penasaran, lalu redup seolah tak percaya, “Kamu masih mencarinya, Nak? Ia tak pernah kembali.”

Kemudian, Bapakmu berbalik ke dalam rumah dengan langkah kuyu.

Kamu ingat, di selasar ini kita pernah berdebat tentang hakikat janji dan kesetiaan. Katamu, “Terlalu banyak lelaki yang ingkar janji.” Dan aku menyergah, “Tapi, aku tidak berada di antara yang banyak itu.” Waktu itu kamu tersenyum sangat manis sembari menatapku seolah tak percaya.

Sudah setahun kamu pergi, aku masih setia, kan?

Tak lama berselang Ibumu pulang. Lihatlah, Ibumu tampak kurus, pias, dan cemas.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Nak?” tanyanya.

Lalu kujelaskan padanya mengenai perasaanku, penantianku, dan kesetiaanku. Aku bercerita tentang Kerinci dan kabut yang mengitarinya sepanjang hari, dan betapa dingin cuaca di Kayu Api, tempat dulu kakek kita dikirim Belanda menjadi buruh tani. Aku pun berkabar tentang hijau Solok dan Bukittinggi. Aku berkisah juga tentang kopi daun yang kuseruput di kedai seorang pengarang di Padang. Kamu pasti ingat, dulu kita dengan mulut ternganga, menyimak takzim setiap kakek bercerita tentang riwayat kopi daun, kopi yang disisakan penjajah untuk dihirup kaum buruh.

Tapi, Ibumu menepis airmatanya. “Sudahlah, Nak. Lupakan Lebang. Jangan hukum kami dengan penyesalan karena ingatan padanya. Sudah cukup kami tanggung siri’—rasa malu tak bersudah, ketika ia memilih silariang pada saat kami sepakat menerimamu sebagai menantu.”

Aku masih berdiri di sini, di selasar rumahmu.

“Kamu mau perempuan?” tanya Ibumu dengan nada rendah. “Perempuan macam apa? Mengapa kamu tak coba mencari perempuan lain di sini, di kota, atau di rantau, Nak?”

Aku hanya menginginkanmu, jawabku dalam hati. Ya, dalam hati.

“Maaf, Nak, Ibu tahu kamu cuma mencintai Lebang.” Seperti tahun lalu, Ibumu menyeret langkahnya ke dalam rumah. Meninggalkan aku sendiri.

Aku selalu suka bagian ini; berdiri di selasar memandang ke puncak bukit, mengeja ingatan tentangmu. Beberapa tahun silam, di selasar ini, pertama kali kita berpelukan. Awalnya, kita hanya berpelukan dengan cara biasa, lumrahnya pelukan saudara-sepupu, tapi beberapa puluh detik kemudian, pelukan itu mulai berubah; tanganku membelai wajah dan mengelus rambutmu, dan hal itu menghadirkan bahasa yang hanya dipahami oleh kita berdua, memaklumatkan pesan baru ke ruang hati. Yang hening, yang bening. Lalu kamu membimbing tanganku berputar-putar menari, meniru gerakan waltz gaya Eropa di sebuah film yang pernah kita tonton berdua, atau gaya malulo—tarian khas muda-mudi Kendari yang kita pelajari semasa mengikuti Kirab Remaja Nasional. Aku menarik tanganmu menuruni tangga, berlari bersisian ke ujung kampung, berhenti di tepi pantai Barandasi—pantai yang hanya berjarak ratusan meter dari rumahmu, sementara kamu tertawa menutup mulut dengan jemari lentikmu. “Kamu pelari yang hebat, Tutu,” katamu, dan jantungku bergejolak dan membuatku berpikir aku akan mati di sana dan saat itu juga dalam pelukanmu. Tapi, tentu saja, itu tidak terjadi, dan kita terus berdiri berpegangan tangan, sebagai seorang lelaki dan perempuan dalam suasana sepi yang menyentak, seperti yang sekarang sedang terjadi. Hari ini, di selasar ini.

Tak seorang pun warga kampung yang tidak mengetahui ikatan hati kita. Di mana ada Tutu, di situ ada Lebang. Dan, kita, selalu bangga menyatakan diri sebagai reinkarnasi Datu Museng dan Maipa Diapati, roman cinta abadi sepanjang sejarah Bugis-Makassar. Oh, kamu tahu sekarang hujan sedang mengepung kampung kita? Tempiasnya memercik ke selasar. Ibumu berteriak agar aku berteduh di dalam rumah. Tapi, tidak, aku ingin disini, di selasar ini, menunggumu. Hujan tumpah mengetuk-ngetuk atap seng, air mengalir deras menuruni talang, jatuh ke pelimbahan, ada yang meresap ke tanah, ada juga yang tumpah di selokan, menguarkan aroma ganjil yang diembuskan tanah, tetumbuhan liar dan aroma misterius: bau tubuhmu, ya, bau tubuhmu. Dan, tempias hujan kubiarkan begitu saja menerpa tubuhku. Menguyupi ingatan, melucuti kenangan. Ayolah, bukankah kamu selalu ingin berlari di sela rintih hujan?

Kamu pasti pulang!

Sudahlah. Tak perlu marah lagi. Aku enggan berselisih denganmu ihwal pabbatte—lomba pencak tradisional Turatea, yang acapkali kuikuti setiap pesta pernikahan atau hajat sunatan. Aku ingat, kamu paling benci mendengar kisah kemenangan, apalagi kekalahanku. Kataku, “Itu warisan nenek-moyang.” Katamu, “Kamu tak lebih dari ayam sabung, disoraki penonton dan jadi kesayangan para pejudi.” Padahal aku jarang kalah tarung. Banyak lelaki yang tumbang di hadapanku, termasuk Rangka—lelaki yang mengajakmu kawin lari itu.

Aku ingat, peristiwa di pesta pernikahan putri Pak Camat, waktu itu Rangka berdiri angkuh di tengah arena. Tangannya berkacak, memandangiku dengan tajam dan ganas. Ia seolah hendak melumpuhkan aku lewat sorot matanya. Terpukau oleh kebengisannya, oleh gerak silatnya, oleh kuda-kudanya, oleh mata merahnya, aku berjalan pelan mendekatinya. Sekonyong-konyong ia menuding padaku, jarinya berkenjal-kenjal.

“Bocah tengik, kemarilah, dan kamu akan terkapar,” serunya begitu mengerikan.

“Terkapar?”

“Ya. Sudah lama namamu harum, malam ini kamu ketemu batu.”

Aku tersenyum. “Tak indah banyak cakap!”

“Bagaimana kalau Lebang jadi taruhan?” sergahnya, sambil tertawa licik.

Aku terhenyak. Bukan karena jerih, tak lebih karena aku tak suka kamu jadi taruhan atau imbal kemenangan. Tapi, tetap saja aku lelaki yang tak suka menampik tantangan. “Kalau aku menang?”

“Tidak mungkin…” katanya, disertai sorak-sorai penonton.

“Baiklah!” jawabku.

Sejatinya, seperti tercatat dalam aturan tarung, manakala patonrok—ikat kepala—terjatuh, maka pihak itu dinyatakan kalah. Rangka yang kalap menyepak dengan ganas. Aku yang awas, berkelit dengan tangkas. Sepakan kaki kanannya menerjang angin. Dan, dengan sekali tepuk, kaki kirinya tertekuk ke tanah, tak mampu menahan sapuanku. Tentu saja, mudah bagiku untuk menebas kepalanya. Tak ayal, patonrok yang dikenakannya terjatuh, teronggok di tanah. Rangka melenggang pergi, matanya yang memerah masih sempat mengirim hawa amarah.

Keesokan harinya, ia menghilang dari kampung. Meninggalkan dua istri dan delapan anaknya. Beberapa hari berselang, kamu ikut hilang. Meninggalkan secarik kertas dan sepotong kalimat yang kubenci itu—selamat tinggal!

Padahal, sebulan lagi kita menikah, Sayang.

Hujan menyerbu sepenuh tenaga. Angin menderu, menderakan percik-percik hujan di leher dan wajahku, begitu keras, hingga serasa dilempari kerikil. Aku memejamkan mata, bertahan di selasar rumahmu. Ah, tahukah kamu apa yang paling kuinginkan saat ini? Aku ingin kamu menemaniku menahan gigil, menajamkan mata menyaksikan tanah kering jadi lembek, lalu becek, dan akhirnya berlumpur. Angin semakin kencang. Seng-seng berkerit. Paku-paku berderit. Kulihat sebuah rumah mulai roboh. Tiangnya berderak patah, lantai dan atapnya amblas ke bawah, orang-orang yang berada di dalamnya berlompatan ke luar. Pertanda apakah ini? Lalu, satu lagi rumah roboh. Rumahmu pun mulai bergoyang-goyang, berderit-derit. Bapak dan Ibumu berhambur ke luar. Menyeretku agar segera turun dari rumah panggung. Tapi, aku ingin bertahan di sini, di selasar ini.

Dan, lihatlah! Dari mulut jalan kampung, orang-orang berduyun menuju rumahmu, berlekas berjalan ke arahku. Mereka mengusung sesuatu. Oh, kamu harus lihat ini! Tahukah kamu apa yang mereka usung? Itu tubuh, ya, tubuh seseorang. Atau, lebih tepat disebut jenazah karena jasad itu tak bereaksi diguyur lebat hujan. Mereka berhenti beberapa langkah di depan rumahmu. Ah, coba kamu ada di dekatku, Sayang. Aku bergeming. Aku tidak ingin melakukan apa pun. Aku hanya ingin mengingatmu. Menunggumu.

“Tutu, turunlah, bantu kami, Nak!” seru seseorang di antara mereka.

“Bantu apa?”

“Bantu kami mengangkat jenazah ini…”

Kulihat Ibumu pingsan. Dan, Bapakmu mematung.

Udara dingin merambati leherku, pilu membuat tubuhku terpaku di bilah-bilah papan, tak kuasa beringsut sesenti pun. Bapakmu, yang samar kukenali isaknya, tampak gusar, berteriak-teriak dalam suara yang menggeletar, melupakan siri’ dan amarah selama kepergianmu, menyumpah-nyumpahi Rangka. Bapakmu bangkit, berjalan sempoyongan ke arahku. Aku melihat kilat di mata Bapakmu mengalahkan sambar petir. Lalu, lamat-lamat tubuh Bapakmu mengabur di mataku. Juga Ibumu. Dan orang-orang kampung.

Hanya putih. Putih. Dan, kamu.

Aku melihat tubuhmu perlahan berjalan mendekatiku. Kamu cantik sekali. Secantik peri, secantik bidadari. Kamu semakin dekat. Dan, kulihat bibirmu bergetar, berdesis, “Sayang, ia hendak menjual tubuhku…”

Sungguh, banyak sekali yang ingin kutanyakan padamu. Tapi, kamu menghilang!

●●●

Jakarta, Februari 2010


Khrisna Pabichara, lahir di Makassar, 10 November 1975. Saat ini bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.