Rabu, 23 Februari 2011

[PUISI] Tanda Baca dan Kamu

Tanda Baca dan Kamu
Mour Tadho

Kamu adalah tanda seru bagiku, dan mengingatmu selalu membuatku berhenti mengingat yang lain. Pada setiap perhentian itu kamu menjelma hujan yang aromanya ialah hutan terbakar di siang hari. Begitu kuat, begitu sengit.

Kamu adalah tanda tanya bagiku, dan mengingatmu selalu mengajakku singgah menggarami penat. Pada setiap silang kita tandai bukan sebagai kotak, dan kamu serupa bau laut yang menggelegak digasak panas matahari. Di sana, ada keabadian persamaan.

Kamu adalah tanda koma bagiku, dan mengingatmu selalu menuntunku menuju kata lagi dan lagi. Pada setiap simpang kamu sampirkan kenangan, lalu kamu merupa di segala yang tertangkap oleh benakku. Begitu kuat, begitu lekat.

Kamu adalah tanda titik bagiku, dan mengingatmu selalu menjadi kalimat pembuka yang hanya mengarah padamu. Pada setiap akhir itu kamu pastikan sebenarnya adalah awal. Di sana, ada kesejatian cinta.

Bogor, Februari 2010

[PUISI] Sawerigading

SAWERIGADING
Mamas Aurora Masyitoh

Aku dibangunkan kenangan ketika hujan tiba-tiba menyingkap senyap di benakku. Ada kamu menari di sana, menari, lebih gemulai dari yang dulu kerap kubayangkan. Di hujan itu, kamu seperti tak hendak berhenti menari. Di hujan itu, kamu seolah We Tenriabeng yang teguh menyulam sepi sepanjang hari. Di hujan itu, aku seolah petualang yang kehilangan masa depan dan masa lalu. Di hujan itu: aku mencari rambutmu, tak ada; aku mencari bau tubuhmu, tak ada; aku mencari suaramu, tak ada. Di hujan itu malah tumbuh pohon-pohon liar, perahu Sawerigading, dan laut yang tak hendak mengantarkan aku ke hadapanmu.

Tebaklah aku sebagai sesuatu yang tak pasti, yang tak mungkin, yang tak menjadi. Tak apalah. Mencintaimu, bagiku, cukuplah seperti Sawerigading menanggalkan jejak setianya di serat La Galigo.

Parung, Januari 2011

Sabtu, 19 Februari 2011

Bertualang di Meja Makan: Sebuah Epilog

Catatan: Tulisan ini dihajatkan sebagai epilog untuk kumpulan cerpen Ayahanda Saut Poltak Tambunan yang dijuduli "Sengkarut Meja Makan". Selamat datang buku baru!


Bertualang di Meja Makan: Sebuah Epilog
Oleh Khrisna Pabichara


Jika ingin dikenang sejarah, menulislah. Atau lakukan sesuatu yang layak ditulis.
Benjamin Franklin



(1)

Pesan pendek Saut Poltak Tambunan (selanjutnya kita sebut SPT)—yang kerap saya sebut sebagai Ayahanda—untuk memilihkan 15 dari 22 cerita anggitannya yang, konon, akan disampaikan ke khalayak pembaca dalam sebentuk buku, mengejutkan saya di satu pagi yang masih bergelimun embun. Menolaknya adalah sesuatu yang mustahil, sedangkan bersedia berarti pula menyatakan kesanggupan menyingkirkan tujuh cerita yang, bagi saya, sebenarnya juga menarik untuk disertakan. Tetapi, konsekuensinya adalah hanya 15 cerita yang bakal terangkum di buku yang sedang dalam genggaman Anda, “Sengkarut Meja Makan”.

Alhasil, saya pun berkenan menjadi pemilih. Ada tiga alasan dasar yang saya gunakan sebagai alat takar pemilihan cerita. Pertama, cerita terpilih haruslah memiliki intensi yang kuat untuk “membetot” hati pembaca. Kedua, cerita terpilih—semestinya—bisa dicerap oleh setiap pembaca. Ketiga, cerita terpilih memiliki keunikan yang khas. Subjektif memang, karena berangkat dari “rasa baca” yang saya miliki. Tapi demikianlah kewajiban seorang pemilih. Konsekuensinya, boleh jadi, pembaca disuguhi cerita yang kemungkinannya akan lebih seandainya yang jadi kurator bukan saya. Meski demikian, harapan saya—terlebih lagi karena kepiawaian dan kemahiran SPT meracik ide dan imajinya—Sengkarut Meja Makan dapat menghadirkan keriangan, kenyamanan, keindahan, dan ketakziman pembacaan.

Sesungguhnya, kepekaan gramatikal dan kemampuan estetis, seiring dengan perjalanan kepengarangan SPT, sangat terasa dalam setiap cerita terpilih. Memang pada satu-dua cerita masih kental aroma konvensional, tetapi keliaran dan kecerdikan kemasan membuat yang satu atau dua itu tetap memikat. Kemampuan menikam di awal cerita, lekukan indah di tengah peristiwa, dan kejutan di akhir cerita selalu berpotensi menghadirkan sesuatu yang lain; sesuatu yang menghadirkan penderitaan dan kesenangan, ilusi dan ironi, atau pertengkaran sengit antara harapan dan kenyataan.

Tak perlu saya tuturkan kenapa 15 cerita bisa terpilih—yang sekaligus berarti tujuh cerita dikembalikan ke dalam almari dokumentasi—karena akan menyita banyak ruang. Tapi, setidaknya, saya akan membabar kenapa dan bagaimana saya memilih. Lebih spesifik lagi, interpretasi yang berarti menafsirkan karya sastra. Sederhananya, interpretasi ini hanya sebentuk apresiasi yang bukan dikehendaki sebagai penjelasan makna atau kedalaman cerita terpilih. Saya menamainya keriangan pembacaan.

Karenanya, mari kita mulai tualang pembacaan.

(2)

Kita semua menyadari bahwa mengarang adalah profesi yang membutuhkan cinta tak tepermanai dan gairah tak berkesudahan. SPT telah membuktikan cinta dan gairah itu lewat ketekunan dan keseriusannya. Seolah tak hendak berhenti, cerita terus mengalir tanpa mengenal kata usai atau tetapi. Bahkan, hingga kini, usia tak bisa menahan ambisi dan laju kreatifnya.

Oleh karena karya sastra kerap sangat dekat dengan kenyataan, Kampung Tamim seolah menghadirkan teguran kepada kita semua tentang bagaimana semestinya memelihara kenangan atau malah sejarah. Ketika membaca Kampung Tamim, ingatan saya langsung berkelana ke Benteng Somba Opu di Makassar, artefak “kegemilangan” masa lalu, yang kini hendak disulap menjadi taman permainan berwajah modern. Di sekitar kita banyak pula kebun atau sawah yang tiba-tiba ditanami beton, atau hutan yang disihir menjadi lapangan golf, atau gunung indah yang dimaraki villa-villa berpenghuni sekali seminggu, atau ihwal lainnya. Dan, tidak banyak orang yang bisa sekuat Romli dalam usaha mempertahankannya.

Tak jauh berbeda, Tas untuk Pak Bakri menegaskan hal yang sama. Betapa banyak guru SD, yang semasa kecil bersentuhan langsung dengan kita, masih seperti dulu. Tetap bersahaja, tetap sederhana. Dan banyak juga di antara kita yang tergerak hatinya untuk memberikan sesuatu—yang sebenarnya belum tentu berterima—kepada pahlawan kita itu. Cerita ini seolah mengingatkan kita untuk berani menoleh ke belakang.

Lalu tibalah kita di Meja Makan. Bukan, bukan karena hendak menyantap suguhan yang telah disajikan, melainkan melahap kenangan dan ingatan terhadap orang tua. Pun tentang kepahitan yang lebih rendah memandang yang lebih tinggi, meskipun itu masih terhitung kerabat dekat. Atau, katakan saja, bagaimana perasaan yang miskin ketika harus berhadapan dengan saudara kandungnya yang kaya. Cerita ini tidak semata membabar intrik dalam sebuah negara kecil bernama keluarga, tetapi juga menyingkap tirai yang selama ini membatasi kekerabatan kita terhadap sesama, terutama ketika itu berhubungan dengan status, strata sosial, atau dominasi. Maka, tidaklah keliru jika cerita ini didapuk SPT sebagai judul buku.

Masih berkait dengan kedalaman cinta, Aku Punya Papa seperti cermin yang tak henti memantulkan cahaya cinta. Tersebutlah Maya Gempita yang sepanjang usianya belum pernah melihat apalagi dekat dengan bapaknya, tiba-tiba harus bertemu dengan “tokoh” yang selama ini dirindui sekaligus dibencinya, “tokoh” yang dinamainya sebagai aktor intelektual yang menyebabkan dirinya sering diciderai oleh lecehan teman-temannya karena tak berbapak. Sebaliknya, Sang Bapak, menjauh dari keluarganya bukan karena tak cinta kepada keluarganya, melainkan karena dipaksa menjauh tersebabkan alasan yang sama sekali musykil untuk dipahaminya: dakwaan tanpa pengadilan sebagai “tokoh komunis”. Kenyataan bahwa banyak tuduhan salah kaprah oleh penguasa Orde Baru yang dialamatkan kepada orang-orang tak berdosa adalah salah satu warisan sejarah yang harus ditanggung anak-cucu korban. SPT menyuguhkan cinta kepada kita lewat sebentuk ironi.

Lantas, apa yang kita pahami tentang masa depan? Tak teramal, tak terbaca. Begitulah sekiranya yang dituturkan SPT lewat Sebentar Lagi 2011. Tokoh Bonggar menjadi sosok yang dirindu sekaligus yang dibenci. Kedatangannya tetap dinantikan, dengan waswas bercampur harapan. Betapa banyak di sekitar kita “tokoh” yang berkuasa menjadi lebih arogan dibanding semasa masih sebagai orang biasa, dan uniknya banyak yang tetap “menyembahnya” dengan cibiran ketika berada di belakangnya. Dualitas yang terawat baik di negeri tercinta ini. Dan, masa depan, yang disebut SPT sebagai 2011, betul-betul tak teramal.

Begitulah, jika saya diminta menyelam lebih dalam, banyak yang bisa disingkap dari cerita-cerita anggitan SPT ini. Karenanya, khalayak pembaca lebih berwenang untuk menerjemahkan sendiri Sengkarut Meja Makan ini.

(3)

Akhirnya, sampailah buku ini ke hadapan pembaca. Suspensi dan intensi yang coba dihadirkan SPT, semoga bisa menjadi teman setia kita dalam menikmati waktu luang—atau malah waktu sengaja kita luangkan—sembari menikmati teh hangat dan makanan ringan di langkan atau di selasar rumah. (*)

Khrisna Pabichara, Pengarang buku laris Mengawini Ibu.

Refleksi Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu

DILARANG MENGARANG CERITA DI HARI MINGGU
(Refleksi satu dari kisah “Mengawini Ibu” Khrisna Pabichara)

Oleh: Fitrawan Umar*


Benar aku mencintaimu, tetapi mengarang cerita dan aku seperti tubuh dengan ruh, saling mencukupi dan melengkapi.

Benar aku tak ingin berpisah denganmu, tetapi mengarang cerita bagiku seperti langit dan bumi, yang tak terpisahkan, yang tak terjauhkan.


(Cerpen Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu, Khrisna Pabichara)

***

Mentadarrusi karya Khrisna Pabichara dalam “Mengawini Ibu”, seperti kita sedang membaca jalannya kehidupan yang penuh drama ini. Ada saat di mana lakon cinta menyeruak memenuhi panggung sandiwara, namun di saat lain, ada momen di mana benci memaparkan cerita pilu. Khrisna Pabichara ingin meniti kita menapaki anak tangga realitas dengan pijakan kebudayaan yang sungguh eksotis. Dengan iringan nyanyian serta tabuhan kata-kata yang berdendang menusuk hati. Bahwa benar, arus kemajuan tak boleh menghilangkan kesadaran kita tentang arifnya kebudayaan, sama dengan bijaksananya sebuah cinta, dan kekalnya sebuah benci yang teriring.

Anda sudah kenal Khrisna Pabichara? Itulah sulitnya kita karena selalu menempatkan kemuliaan orang pada kekayaan harta, tidak pada kekayaan karya. Khrisna Pabichara adalah tulen Makassar. Aktif bersastra. Dan, lebih memilih kesunyian dalam dunia perbukuan ketimbang menghirupi udara penat Jakarta dengan segala hiruk-pikuknya. Mungkin kita bertanya, kenapa mesti merantau ke Kota Metropolitan jika ujung-ujungnya hanya ‘menganggur’ bersama pena dan secarik kertas, atau setiap hari duduk menekan tuts pada keybord laptop?

Sunyi adalah sahabat paling asing untuk diintimi (Khrisna Pabichara).

***

Menurut Shawqi Dayf, karya sastra adalah ekspresi sosial, yang berkaitan dengan pranata, ideologi, sendi-sendi ataupun gagasan. Karya sastra ialah refleksi kehidupan yang terjadi pada zaman pengarang. Meski bahwa karya sastra adalah rekaan imajinatif, namun sesungguhnya substansi dari proses imajinasi itu disadur langsung dari buku kehidupan. Etienne Balibar dan Pierre Macherey juga senada dengan hal itu. Bahwa karya sastra bukanlah gejala yang berdiri sendiri. Ia terikat dengan kondisi-kondisi sosial dan sejarahnya.

Maka, dalam cerpen “Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu”, Khrisna Pabichara membentangkan realitas yang terjadi pada semua pengarang di negeri ini. Kita lagi-lagi diajak untuk berjalan pada bentangan sajadah itu, sehingga ketika tiba di ujung, kita bersujud dan tersadar dengan apa sesungguhnya yang terjadi.

Cerpen kedua belas dari Buku “Mengawini Ibu” ini, mengisahkan cerita seorang pengarang yang cintanya bertepuk angin. Ya, bertepuk angin tersebabkan tokoh ‘aku’ itu adalah seorang pengarang. Sementara, perempuan tempat hatinya tertambat ialah anak keturunan bangsawan dalam tradisi Bugis-Makassar.

Mahar apa yang bisa diberi oleh pengarang? Puisikah?

***

Anda kenal Gerson Poyk? Seorang politisi Australia dan ilmuwan Jerman pernah mendapatkan gelar Ph.D (Doctor of Philosophy) dengan tesis tentang Sastrawan Indonesia tersebut. Gerson Poyk pernah menerima hadiah sastera ASEAN pada tahun 1989. Bagaimana nasib beliau hingga di penghujung usia?

“Tetap kere. Inilah nasib sastrawan di sebuah negara besar. Sengsara betul jadi sastrawan Indonesia,” katanya pada acara Sastra Reboan #19 di Warung Apresiasi (Wapress) Bulungan, Jakarta Selatan tahun 2009 lalu. Lanjutnya, “Karya-karya saya sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Jepang, Belanda dan Turki. Orang luar negeri lebih menghargai karya kita.”

Cerpen Khrisna Pabichara yang kita perbincangkan ini hendak berteriak kepada kita semua. Sastra adalah dunia yang harus kita beri penghargaan pada salah satu ruang di hati. Betul memang bahwa harta bukanlah tujuan utama para pengarang. Sebab dunia sastra serupa dengan dunia transeden, yang untuk menuliskannya, pikiran harus menjaga jarak dengan dunia. Namun, mengakui mereka sebagai orang yang memberi sumbangsih terhadap masyarakat adalah keharusan.

Tahukah ayahmu, yang angkuh dan menjengkelkan itu, bahwasanya sastra bisa melembutkan hati dan menenangkan jiwa?

Tahukah ayahmu, yang merasa paling jago itu, bahwasanya bangsa yang besar dan bermartabat adalah bangsa yang menghargai bahasa?

Bolehlah segala tudingan dilancarkan, tetapi bukankah perubahan tidak harus ditanggung sendiri oleh puak pengarang?

Bolehlah segala cibiran diderakan, tetapi bukankah imbalan seadanya tidaklah puncak yang dituju para pencerita?
(Khrisna Pabichara)

***

Khrisna Pabichara sangat pandai menyuguhkan cerita di mana keindahan dan kengerian seiring-sejalan. Satu sisi kita hanyut, sisi lain kita tersentak. Buku “Mengawini Ibu” sangat patut kita apresiasi. Dan, semoga bertambah pengarang-pengarang Bugis-Makassar yang bersanding dengan nama pengarang besar di negeri ini, yang tak pernah amnesia terhadap kearifan lokal tanah kelahiran.

Cinta itu, Sayang, anak kandung pengertian dan pengorbanan.

Cinta itu, Sayang, dimasak dari ramuan paling purba bernama ketulusan
(Khrisna Pabichara)

***

*Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel

Dimuat di Apresiasi Kolom Budaya Fajar, Minggu 30 Januari 2011

Kamis, 17 Februari 2011

AMNESIA

Alfianti Pattahindi


Di ceruk masa lalu aku mencari dirimu—kepahitan dan kerinduan yang kucicip bersamaan—hingga aku lupa betapa semua ialah benalu dan sembilu.

Di langkan senyap aku temukan diriku—kenangan dan harapan yang kucecap bergantian—hingga aku cemasi masa depan: benarkah kamu akan ada?

Jakarta, Februari 2010

Rabu, 16 Februari 2011

Biodata Amburadul: Bukan untuk Melamar Pekerjaan

Catatan: Seandainya bukan karena diminta oleh Helga Inneke Worotitjan, mungkin biodata amburadul ini tak saya tulis. Dan, jujur saja, Cah Ndeso ialah sumber inspirasi terbesar sehingga saya menuliskannya dalam bentuk seperti ini. Selain terkesan unik, juga terasa lebih nyastra--oalah, kok malah bawa-bawa sastra--dan enteng nulisnya.


Biodata Amburadul: Bukan untuk Melamar Pekerjaan
Benar-benar ditulis sendiri oleh Khrisna Pabichara



Khrisna Pabichara lahir 10 November 1975 di Makassar. Sebenarnya lahir di Jeneponto, tapi tersebabkan semasa SD takut kalau Jeneponto tidak tampak di peta, maka ia ganti ketika mengajukan data sebelum ujian kelulusan. Untungnya, tidak perlu akikah ulang akibat perubahan tempat lahir dan tahun kelahiran yang lebih dimudakan setahun--sebenarnya lahir tahun 1974.

Putra kelima dari pasangan Yadli Malik Dg. Ngadele dan Shafiya Djumpa ini terlahir dengan cara yang ajaib, yakni dalam posisi sungsang dan menyelempangkan ari-ari. Lebih unik lagi, karena harus terpisah dari sang bunda, hanya sempat disusui selama tiga bulan. Yang pasti, sejak kecil dilimpahi bakat narsis yang luar biasa.

Semasa SMA mengakrabi tradisi Makassar, termasuk teater rakyat dan kesenian daerah lainnya, setelah memprakarsai terbentuknya Teater Tutur Jeneponto bersama Agus Sijaya Dasrum, Ahmarullah Sahran, dan Syarifuddin Lagu. Sempat pula menjadi penyiar di sebuah radio swasta, pengalaman yang membuatnya kerap gemetar ketika mendapat tugas mewawancarai tokoh yang diundang untuk mengudara. Beberapa kali tampil sebagai juru bicara untuk cerdas cermat antarsekolah atau kelompencapir--semasa jayanya Departemen Penerangan. Ia mendapat gelar singa podium setelah 3 tahun berturut-turut memenangkan Lomba Pidato Tingkat Pelajar SLTA se-Sulsel dari 1989-1991, Pelajar Cerdas karena kerap memenangi Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja tahun 1990, dan Wartawan Muda Berbakat setelah menggondol juara pada Lomba Mading Se-Sulsel Tahun 1990.

Pada 1996 sempat berbakti sebagai guru Matematika, Fisika, dan Akuntansi di Madrasah Aliyah Muhammadiyah Tanetea setelah berhenti sebagai tenaga audit di sebuah lembaga perbankan swasta. Setelah itu hijrah ke Jakarta dengan niat mulia untuk menjadi penulis--karena hasutan guru SMA-nya, Asia Ramli Prapanca--yang dibuktikan secara serius dengan mencantumkan "penulis" di segala tanda pengenal kependudukannya. Tapi semuanya tak semudah membalik telapak tangan, manuskrip buku yang diajukannya ke sebuah penerbit ditolak mentah-mentah karena dianggap belum punya nama. Alhasil, malah terjun sebagai pamong desa di Desa Pangkal Jaya dan Desa Bantar Karet--di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.

Lepas dari masa pengabdian di tengah masyarakat (kesannya disetel lebih heroik), ia mulai mempelajari dunia neurologi secara serius dan menggeluti profesi sebagai trainer dan motivator semenjak 2000. Hajat menjadi penulis baru terwujud pada 2007 ketika Kolbu berkenan menerbitkan buku pertamanya, 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang. Sejak itu, dunia perbukuan menjadi sesuatu yang tak bisa, atau tak akan, ditinggalkannya. Maka bersentuhanlah ia dengan para praktisi perbukuan semisal Bambang Trim, Hernowo, dan yang lainnya.

Kecelakaan terjadi ketika tahun 2008 berkenalan dengan Bamby Cahyadi, Aulya Elyasa, dan Atisatya Arifin. Kebiasaan menganggit puisi--yang ini karena pengaruh M. Aan Mansyur--terlecut kembali karena pengaruh ketiganya. Keinginan menjadi pengarang membuatnya "bersentuhan" dengan banyak pegiat sastra, terutama Gemi Mohawk, Damhuri Muhammad, Maman S. Mahayana, Putu Wijaya, Hanna Fransisca, Hudan Hidayat, Hasan Aspahani, Kurnia Effendi, Saut Poltak Tambunan, Endah Sulwesi, dan koleganya saat ini di Kayla Pustaka--Salahuddien Gz. Kecelakaan itulah yang menyebabkannya tercebur ke dunia prosa, dan mulai mengarang cerpen pada bulan Agustus 2009. Anehnya, kecelakaan itu pula yang membidani kelahiran bukunya, Mengawini Ibu: Senarai Kisah yang Menggetarkan.

Sempat menderita alergi yang tak terdata di dunia kedokteran, yakni alergi partai--tolong jangan diterjemahkan sebagai separuh kotoran--terutama karena pernah mengalami trauma politik ketika tidak mau memilih "partai" tertentu yang dianjurkan oleh Pak RT di wilayah kediamannya. Belakangan ia malah kerap bersentuhan dengan akademisi, pejabat, dan politisi, terutama yang berhubungan dengan dunia perbukuan. Sebut misalnya ketika terlibat sebagai tim penyunting buku Komaruddin Hidayat, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Anas Urbaningrum, Ahmad Nizar Shihab, Rokhmin Dahuri, Riza Shihbudi, dan yang lainnya. Sekarang ia sedang sibuk menggarap buku Terapi Ikhlas, Nuwun Sewu Pak Beye, dan The Dance of Parakang.

Satu-satunya mimpinya yang belum terwujud adalah membangun kafe baca, istana buku yang sekaligus diharapkannya menjadi rumah kreatif bagi siapa saja yang mencintai buku.

Jakarta, Februari 2011

Selasa, 15 Februari 2011

Seorang Perempuan Bernama Rindu

Seorang Perempuan Bernama Rindu
kepada tumbal reformasi


Rindu terjengkang ke hulu petaka. Angin tunak menanak lukanya dan senyap mengeciap di kelopak matanya. Nestapa masa lalu mengepul ke segala arah. Kaki Rindu tersungkur di pucuk sunyi, gemetar menyangga rongga kenangan yang tak henti-hentinya menghitung kemalangan. Giginya gemeretak menahan laju ingatan yang berkali-kali memampang episode manakala dia digagahi Peristiwa dalam jumlah tak berhingga!

Dia terpelecat limbung ke jantung huru-hara. Kusam dinding merekam lengking jeritnya tepat ketika Peristiwa mengoyak kelaminnya, dan Pertiwi—yang tergugu di pojok perbedaan—hanya bisa mengelus dada menelan kecut amarah. Jari-jari Rindu yang letih mengelana selalu terhenti di penanggalan Merah, bagian semasa seorang perempuan belia—dengan darah beku di kelangkang—terkepung api!

Bogor, Mei 1998

Khrisna Pabichara: Pernah Menjabat Sekretaris Desa

Pernah Menjabat Sekretaris Desa
Oleh: Muhammad Nursam


SEBELUM hijrah ke Bogor, pria kelahiran Makassar, 10 November 1975 ini pernah mengajar di salah satu Madrasah Aliyah di Jeneponto, Sulsel. Menariknya, Khrisna mengajarkan tiga mata pelajaran sekaligus. Ketiganya merupakan mata pelajaran yang cukup “ditakuti” siswa, yakni Matematika, Fisika, dan Akuntansi.

Mengajar mata pelajaran rumit, tak berarti dia ditakuti oleh siswanya. Sebaliknya, siswa-siswa yang belajar kepadanya justru suka dengan cara mengajar Khrisna. Itu karena dia termasuk guru yang cukup gaul dan populer di kalangan siswa Madrasah Aliyah di sana.

Menjadi pengajar hanya dilakoni Khrisna selama dua tahun, yaitu tahun 1996 hingga 1997. Dia kemudian berhijrah ke Bogor atas saran salah seorang gurunya saat masih duduk di bangku SMA, Asia Ramli Prapanca, salah seorang budayawan Sulsel.

"Saya ke Bogor karena tujuan. Guru SMA saya, Asia Ramli Prapanca, memberi tanggapan usai membaca tulisan saya. Katanya, saya akan lebih berkembang jika bermukim di Jawa. Selain karena saran beliau, saya juga ingin bertualang dan ingin mencoba dunia baru. Ada tantangan besar ketika kita keluar dari wilayah yang nyaman," katanya.

Tahun 1997, Khrisna berangkat ke Bogor. Di sana, dia disambut Muhammad Natsir, adik dari Ibunya, Shafiya Djumpa. Lima bulan pertama Khrisna keliling Jakarta hanya untuk mendatangi orang-orang yang dikaguminya. Seperti Putu Wijaya, WS Rendra, dan Emha Ainun Najib. Dia juga sempat mendatangi beberapa redaktur media seperti Republika dan Kompas, sayangnya dia hanya bertemu Ahmadun Yosi Herfanda yang saat itu bekerja sebagai redaktur sastra Harian Republika.

Di Bogor, Khrisna pernah dipercaya menjadi seorang Sekdes. Tepatnya di Desa Pangkal Jaya, Kecamatan Nanggung, Bogor. Di sanalah dia bertemu Mamas Aurora Masyitoh dan berteman akrab. Kemudian pada September 2004 mereka memutuskan untuk menikah.

Kini, Khrisna Pabichara telah dikaruniai seorang anak. Dia telah malang melintang di seluruh Indonesia sebagai motivator pengembangan kecakapan diri dan kepenulisan sekaligus pengarang buku best-seller nasional “Rahasia Melatih Daya Ingat: Cara Revolusioner Meningkatkan Kecerdasan Otak dalam Waktu Sekejap”. Sudah 12 judul buku yang menjadi karyanya. (sam)

Senin, 14 Februari 2011

Khrisna Pabichara: Keras Terhadap Pelaku Plagiat Karya

Khrisna Pabichara: Keras Terhadap Pelaku Plagiat Karya
Oleh: Muhammad Nursam

SORE itu, FLP Sulsel beruntung bisa berbincang langsung seputar dunia kepenulisan bersama pria yang telah dikaruniai seorang putri ini. Kami sengaja mengundangnya bersilaturrahmi sekaligus berbagi tentang dunia tulis-menulis. Sebagaiseorang proofreader, Khrisna sangat fasih memberi motivasi pada penulis dan calon penulis muda yang menghadiri diskusi sore itu. Menurut Khrisna, menulis butuh ketekunan. “Selain ketekunan ada pula keberuntungan ketika mengirim karya di salah satu media. Jika saya tidak menulis cerpen, mungkin nama saya sebagai penulis tidak begitu dikenal,” ujarnya, memotivasi anggota FLP Sulsel yang sempat hadir agar tertarik menulis prosa.

Saat salah seorang bertanya tentang pelaku plagiat karya, Khrisna tampak tegas menjelaskan betapa “kejam”- nya perbuatan tersebut. Khrisna menceritakan pengalamannya terhadap salah seorang penulis yang menjiplak karya sastrawan Jepang, Akutagawa Ryunosuke.

Penulis tersebut berinisial DAM. DAM meracik ulang terjemahan cerpen karya Akutagawa kemudian mengirimnya ke salah satu media nasional. Saat Khrisna membaca tulisan tersebut, dia dan rekan-rekannya, seperti Sungging Raga dan Bamby Cahyadi, protes keras pada media itu. Anehnya, redaktur yang menangani sastra pada media yang dimaksud, tidak tahu bahwa cerpen yang dimuat tersebut adalah jiplakan dari karya sastrawan terkemuka Jepang.

“Bagi saya, mengarang itu adalah kegiatan intelektual. Mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri berarti melakukan kejahatan intelektual. Jika kita membiarkan hal itu terjadi, berarti kita membiarkan kejahatan intelektual terjadi. Kejahatan ini tidak hanya merugikan nama pelaku tapi juga mencemarkan nama bangsa,” tegasnya.

Khrisna bahkan sempat dianggap iri atas popularitas pelaku plagiat tadi. Namun belakangan, media yang dimaksud akhirnya mengakui bahwa karya tersebut memang jiplakan dan menganggap karya DAM tak pernah dimuat.

“Saya berharap tak ada penulis muda dan pemula di Indonesia yang melakukan hal itu. Karena jika hal itu dilakukan, maka media kita bohongi dan pembaca kita perbodoh. Cukuplah pejabat kita dianggap korup, jangan sampai dunia internasional mencap kita korup di dunia literasi, dunia intelektual kepengarangan,” harapnya. (sam)

Data Diri
Khrisna Pabichara
Lahir: Makassar, 5 November 1975
Pekerjaan: Penulis, Editor, Motivator
Istri: Mamas Aurora Masyitoh
Anak: Shahreena Adenia Pabichara
Alamat: Jl. Lurah M. E. Wira No. 22 Blok B RT 02 RW 03 Kampung Jati Parung, Bogor 16330
HP: 081398958598

SAM-ANBAS/FAJAR

[TULISAN RINGAN] Dari Mana Datangnya Ide?

DARI MANA DATANGNYA IDE?
Oleh: Khrisna Pabichara


Ide itu binatang liar. Cari dan jinakkan!”
Khrisna Pabichara

Pertanyaan sederhana yang kerap diajukan kepada saya di dunia maya adalah, “Dari mana datangnya ide?” Seperti biasa, selalu saya jawab dengan cara sederhana pula, “Ide bisa datang dari mana saja, kapan saja, dan di mana saja.” Ya, ide tak kenal kompromi. Bisa datang bahkan pada saat yang paling tidak kita duga sama sekali. Karena itu, begitu ide datang, harus segera ditangkap dan dijinakkan.

Kita semua menyadari bahwa aset paling berharga bagi pengarang adalah ide. Semua hasil karya sastra bermula dari ide. Ide membuat apa yang Anda tulis tidak sama dengan yang ditulis oleh orang lain. Manakala tema yang Anda sasar sama dengan topik yang dibahas pengarang lain, maka ide bisa menjadi pembeda.

Jika ada harta paling berharga yang harus Anda kumpulkan sebagai seorang pengarang, maka tak ada pilihan selain ide. Artinya, semakin banyak ide yang Anda miliki, semakin kaya Anda selaku pengarang. Gelar yang paling mengerikan bagi setiap pengarang adalah miskin ide. Dan perilaku paling memalukan bagi seorang pengarang adalah memalsukan ide (baca: plagiasi).

Ide tidaklah seperti hujan yang bisa tercurah begitu saja dari langit. Kita pun tidak mungkin menjadi pengarang kaya ide hanya dengan merapal mantra sim salabim atau abrakadabra. Jangan juga berharap menjadi Aladin yang bisa apa saja karena lampu ajaib yang dipunyainya.

Kata kuncinya: ide itu harus dicari.

Ide, konon, bersifat setali tiga uang dengan maling—kerap datang tak diundang, pergi tanpa pamitan. Ia bisa muncul tiba-tiba, kadang hanya sekelebat ketika sedang buang hajat, lagi asyik ngerumpi dengan teman curhat, sedang mengendarai motor atau mobil, saat bekerja, atau kapan saja. Datangnya pun kerap tanpa kabar.

Begitulah. Ide itu bak binatang liar. Maka, tugas pertama Anda—jika bermimpi jadi pengarang—adalah menangkap, menjinakkan, dan mengandangkannya.

Lalu, bagaimana cara mendapatkan ide?

Kita mulai sekarang mencari asal-muasal ide. Ada tiga bekal yang harus Anda siapkan dalam petualangan mencari ide. Pertama, banyak berjalan. Dari bekal ini, Anda akan memperoleh hasil banyak melihat. Kedua, banyak buku. Lewat bekal ini, Anda harus mengolahnya dengan banyak membaca. Ketiga, banyak bergaul. Melalui bekal ini, Anda pasti akan banyak mendengar.

Sederhana, bukan? Memang begitulah adanya.

Tak perlu ribet menepuk jidat atau mengerutkan kening hanya untuk menjaring ide. Segera lakukan. Keluar dari kamar, berjalan di seputar kompleks, amati apa dan siapa saja, rekam dalam memori Anda, lalu kembali ke kamar dan catat.

Anda juga bisa meniru gaya Putu Wijaya dalam menjaring ide. Nongkrong di depan televisi, lalu memutar channel berita. Maka lahirlah serentet ide yang—ketika dikemas dengan apik—dapat menjadi cerita yang dahsyat dan penuh pukau. Hal berbeda dilakukan oleh Bambang Trim, seorang penulis ternama, yang mengail ide dari pelbagai katalog buku yang kerap didaras banyak penerbit. Dari judul-judul buku yang terbaca olehnya, mencuat rupa-rupa ide. Ada lagi teman saya yang menjaring ide di tengah keramaian, Bamby Cahyadi. Ia memilih duduk di tengah riuh mal, lalu melamun liar—memainkan imajinasi—dan membayangkan cerita demi cerita.

Bagaimana dengan Anda?

Saya yakin, Anda pun sebenarnya sangat kaya ide. Yang Anda butuhkan adalah menemukan, menjinakkan, dan membiakkan ide itu.

Takalar, Februari 2011

Khrisna Pabichara: Menulis Prosa dengan Latar Sulsel

Menulis Prosa dengan Latar Sulsel
Oleh: Muhammad Nursam


KHRISNA mulai serius menekuni dunia sastra sekitar 2007. Jenis karya yang pertama ditulisnya adalah kritik sastra ataupun artikel tentang sastra. Selain pernah diterbitkan di Harian FAJAR Makassar, karya-karya Khrisna juga pernah dimuat di pelbagai media di Indonesia. Di antaranya Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, Jurnal Bogor, Story, Pedoman Rakyat, dan berbagai media lainnya.

Menurut Khrisna, untuk mengetahui adat istiadat suatu daerah, sebenarnya sangat mudah, cukup dengan membaca karya-karya prosa para pengarang di daerah tersebut.

"Dulu kita mengenal para pengarang yang bercerita tentang adat istiadat daerahnya. Sebut saja Marah Rusli, Buya Hamka, Kuntowijoyo, dan se-zamannya. Dewasa ini kita mengenal Damhuri Muhammad, Benny Arnas, Nenden Lilis A, dan lain-lain. Kita sangat mudah mengenali adat istiadat setempat hanya dengan membaca karya-karya mereka," ucap Khrisna.

Khrisna melihat, penulis prosa di Sulsel yang menulis dengan latar khas Sulsel masih sangat minim. Mungkin baru Lily Yulianti Farid dan Dul Abdul Rahman yang benar-benar konsisten menulis dengan latar khas Sulsel.

Sementara, lanjut penulis yang sejauh ini sudah menulis 12 buku ini, jika melihat sejarah, kesusastraan dan kepengarangan di Sulsel lebih membara dari daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sulsel memang punya sejarah besar dalam hal kepenulisan. Lontara atau aksara lontarak menjadi trademark kepenulisan nenek moyang Sulawesi Selatan. "I La Galigo misalnya, masterpiece ini masih tercatat sebagai karya sastra terpanjang di dunia," ujarnya

Sekadar diketahui, kitab sastra I La Galigo, menurut sejarawan ternama Belanda R.A.Kern merupakan kitab sastra terpanjang di dunia. Kern menempatkan kitab I La Galigo setara dengan kitab Mahabharata dan Ramayana dari India atau sajak-sajak Homerus dari Yunani.

Kepada pengarang-pengarang muda Sulsel, Khrisna berharap para penulis bisa menyemarakkan dunia literasi yang latarnya bertutur tentang Sulsel. "Banyak sekali yang bisa kita ceritakan. Sebut misalnya Rambu Solo di Tator, Maudu Lompoa di Takalar, Ritual pencucian benda-benda keramat di Gowa, dan masih banyak epos-epos yang bisa kita tulis menjadi prosa," sarannya.

Kepada masyarakat Sulsel, Khrisna berharap, buku kumpulan cerpennya yang berjudul "Mengawini Ibu" dapat dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat. Karena buku tersebut lebih banyak bertutur tentang Sulsel. "Saya bahagia karena FLP Sulsel sangat bergairah menulis. Saya juga turut menghadiri deklarasi Komunitas Pena Hijau di Takalar. Mudah-mudahan ini tanda-tanda menggembirakan dari geliat kepengarangan di Sulsel," harapnya. (sam)

Sumber: Harian Fajar Makassar Edisi Minggu, 13 Februari 2011, Rubrik Persona.

Minggu, 13 Februari 2011

Khrisna Pabichara: Curahkan Hidup untuk Jendela Dunia

Khrisna Pabichara: Penulis, Editor, dan Motivator
Curahkan Hidup untuk Jendela Dunia

OLEH: MUHAMMAD NURSAM



BUKU adalah jendela dunia. Tidak banyak orang yang mampu dan mau mencurahkan hidupnya demi "jendela" satu ini. Salah satu orang yang tak banyak itu adalah Khrisna Pabichara.

Cuaca Kota Makassar siang itu cukup sejuk, suasananya pun sangat nyaman. Lalu lalang kendaraan cukup padat namun teratur. Ponsel saya berdering mengantarkan pesan dari salah seorang kawan. Dia adalah penulis, editor, sekaligus motivator yang tulisan-tulisannya telah menyebar di berbagai media lokal maupun nasional.

Namanya Khrisna Pabichara, lelaki kelahiran Makassar. Dia mengirim pesan agar kami bertemu di perbatasan Gowa-Makassar. Bersama sang istri, Mamas Aurora Masyitoh, dan putrinya, Shahreena Adenia Pabichara, kami pun berbincang di sebuah warung makan.

Khrisna menceritakan awal karier kepenulisannya. "Saya mulai menggeluti dunia tulis-menulis sejak 2003. Waktu itu saya lebih suka tulisan-tulisan bernuansa ilmiah, utamanya tentang otak," ujarnya.

Sekitar tahun 2005, lanjut Khrisna, dia dengan teman-temannya di Resesi Community menggelar program Akademi Pelajar Cerdas (APC) Turatea. Ada 24 siswa yang lolos seleksi kemudian diasramakan untuk mendapatkan bimbingan. Ternyata hasilnya cukup memuaskan. Materi dari akademi tersebut dihimpun dan dijadikan sebuah buku. Akhirnya, tahun 2006, MQS Publishing merespons buku mentah yang dibuatnya.

"Kemudian pada Januari 2007 terbitlah buku pertama saya, 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang, diterbitkan oleh Kolbu. Sejak saat itu saya makin mecurahkan perhatian pada dunia tulis-menulis. Bahkan bisa dikatakan, sejak itu hidup saya tercurah di dunia tulis-menulis dan perbukuan," ungkap Khrisna.

Khrisna mengaku, hampir semua bidang perbukuan telah digelutinya. Seperti menulis, mengedit, mengarang, dan proofreader. Hanya satu yang belum digelutinya saat ini, yaitu menerjemahkan.

Pria yang saat ini bekerja sebagai manager editor di Kayla Pustaka ini telah mengedit beragam buku. Bahkan, dia pernah menyunting beberapa buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh terkemuka Indonesia. Di antaranya Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro Jakti (mantan Dubes dan mantan Menko Ekuin), Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat), Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dan masih banyak lagi.

Sejak 2007 hingga sekarang, tidak kurang 10 buku telah ditulis dan telah terbit dari tangan pria berkacamata ini. Selain buku "12 Rahasia Pembelajar Cemerlang", banyak buku lain yang telah ditulisnya. Di antaranya Revolusi Berkomunikasi, Kamus Nama Indah Islami, Rahasia Melatih Daya Ingat, serta yang baru saja terbit, kumpulan cerpen Mengawini Ibu. Dua bukunya akan segera terbit, masing-masing berjudul "Nuwun Sewu Pak Beye: Kritik Cinta dari Rakyat untuk Pemimpinnya", dan sebuah buku antologi puisi. (muhammadnursam@ymail.com)