Sabtu, 30 Oktober 2010

[ESAI] Bermula dari Entrok

Bermula dari Entrok
Oleh Khrisna Pabichara

PERNAHKAH Anda sekejap saja membayangkan bagaimana “nikmatnya” ditindas, diperas, dan “digagahi” oleh rezim diktator? Sudikah Anda menjadi bulan-bulanan gosip, ditikam dari belakang, atau dituduh melakukan sesuatu yang tidak Anda lakukan? Tahukah Anda betapa mengerikan hidup di tengah masyarakat yang hukumnya ditentukan oleh siapa yang berkuasa?
Entrok, novel ajib anggitan Okky Mandasari, akan menemani Anda dalam perjalanan psikologis yang mengaduk-aduk perasaan—lebih tepatnya memilin-milin ulu hati—dan membabar buramnya perjalanan negara dalam “memesrai” warganya. Pembantaian yang terlupakan, penculikan yang terabaikan, bahkan perkosaan missal atas nama “perubahan” menjadi mozaik yang membuat Entrok lebih bernas. Belum lagi pergulatan batin lewat “perang saudara” antara Sumarni dan putrinya yang ialah pemindahan kenyataan menyehari ke dalam keindahan prosa—lebih tepatnya pertarungan antara yang bodoh melawan yang pintar, antara yang tertinggal dengan yang modern—melalui alur waktu yang jumpalitan tanpa harus kehilangan daya pikat estetisnya.
Begitulah. Alih-alih berkeras mendaras sejarah, pengarang muda kelahiran Magetan ini malah menyajikan dampak peristiwa sejarah bagi warga negara yang tak bisa apa-apa, tak pernah berniat macam-macam, tapi terus-menerus menjadi korban atau akibat dari sebab yang tidak dia lakukan.

Potret Sejarah atau Potret Muram?
Damhuri Muhammad menyatakan, sejarah adalah “dunia sesungguhnya” sementara sastra adalah “dunia seandainya”.[1] Pada konteks ini, tegas Damhuri, sejarah dipancangkan atas dasar kepastian epistimologis (benar-salah, terjadi atau tak terjadi) sedangkan teks sastra digubah atas dasar pencapaian estetika sastrawi.
Di sinilah Entrok bisa didudukkan dengan benderang bahwa, ia tetaplah karya sastra dengan berbagai capaian estetika dan bukan kepastian sejarah yang benar-benar pernah terjadi. Entrok adalah dunia seandainya, bukan dunia nyata—meskipun ada kemungkinan dibangun dari “kenyataan”. Di sini pula saya bersepakat dengan Radhar Panca Dahana bahwa, sejarah sudah memberi kita banyak tragedi.[2] Karena itu, kita harus banyak belajar darinya.
  Bertolak dari sana, kita akan mendapati kecerdasan Okky dalam mendaraskan pikiran dan perasaannya. Dia tidak bermain di wilayah “buram” peristiwa berdarah, G 30 S/PKI. Dia meliuk-liuk di areal akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa berdarah itu. Bayangkan, alangkah perihnya kehidupan ketika antek-antek negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung, malah berdiri sebagai lawan yang begitu leluasa mengintimidasi, menekan, bahkan “memperkosa” hak asasi rakyatnya.
Melalui tokoh Sumarni, Okky bertutur ihwal perempuan yang berhasrat keluar dari perangkap kemiskinan. Bermula dari gairah sederhana memiliki entrok (kutang) seperti Tinah, sepupunya, agar dadanya nyaman saat berlari atau melompat. Dari sana hidupnya berubah. Sumarni menjadi perempuan pertama yang mendobrak kemapanan—dewasa itu, kuli identik sebagai profesi kaum laki-laki—menjadi kuli angkut di Pasar Ngranget. Perlahan Sumarni mampu melepaskan diri dari belitan kemiskinan. Pada mulanya dia membeli televisi yang tak semua orang di kampungnya memilikinya, hingga yang paling membanggakan: membeli tanah berhektar-hektar dan perkebunan tebu. Semua bermula dari entrok.
Terceritakan pula ihwal bagaimana Sumarni jadi bulan-bulanan tentara, polisi, dan pejabat “negara” di kampungnya;. harus menyiapkan upeti setiap empat belas hari bagi tentara; menyetor “sumbangan wajib” bagi kampanye partai yang harus didukungnya; dan menyerahkan “bayaran” bagi polisi agar kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa Bejo, supirnya, bisa diselesaikan tanpa harus meringkuk di penjara atas tuduhan “melawan hukum”. Belum lagi teror warga sekampung: tudingan tidak beragama, pesugihan, pemelihara tuyul, dan gunjingan lain yang memerahkan kuping.
Lewat tokoh Rahayu, Okky menghadirkan wajah perempuan masa kini yang lebih berpendidikan. Pertarungan batinnya bermula dari kebiasaan ibunya, Sumarni, menyediakan sesaji bagi sesembahannya—yang bukan Allah—Rahayu mengobarkan perlawanan dengan cara yang ekstrem. Sampai akhirnya dia tinggalkan “kejahiliyahan” orangtuanya dan memilih kuliah di Jogjakarta. Perlawanan belum bersudah. Dia langgar kelaziman di kampungnya dengan bersuamikan lelaki yang sudah beranak-beristri. Akan tetapi, akhirnya Rahayu pun bergelimang derita: dipenjara karena keterlibatannya membela tanah para korban penggusuran.
Sungguh. Seolah tak hendak bersudah, Okky juga menciptakan tokoh Ndari—bocah kelas enam SD yang jadi korban perkosaan pamannya dan ditugaskan ayahnya untuk menjajakan tubuhnya bagi tentara-tentara “penjaga keamanan” demi kemungkinan tanahnya terbebaskan. Perempuan-perempuan tak bahagia. Betapa!

Demokrasi Minus Nurani
Apa yang dilakukan alumni Jurusan Hubungan Internasional UGM ini, sejatinya, adalah upaya untuk menggugah kesadaran kolektif rakyat Indonesia agar lebih berani berharap kembali bahwa, akhirnya, negeri ini harus diselenggarakan sebagaimana layaknya negara yang beradab. Suatu negara di mana pejabat betul-betul pelayan bagi rakyat; militer tidak berada di atas hukum; wakil rakyat benar-benar perpanjangan lidah rakyat; lapangan pekerjaan menyediakan sebanyak-banyaknya kesempatan bekerja; pendidikan dan layanan kesehatan terjangkau bagi semua; pun harapan-harapan lain yang tak terhingga.
Dalam konteks ini, keberadaan Entrok bukan sekadar teks sastra, tapi sekaligus “kitab” berisi “ayat-ayat inspiratif” agar kita bangkit dari kematirasaan psikis (psychic numbing), penyakit yang kita derita akibat teror bertubi-tubi yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama—seperti nasib Sumarni, Rahayu atau Ndari. Kematirasaan psikis pemicu kebangkrutan jiwa yang membuat manusia siap untuk menerima dan membiarkan segala macam kebejatan berlangsung di hadapannya tanpa munculnya rasa marah, sedih, atau benci, seolah-olah dunia batinnya tertidur lelap atau mati suri. Ini dampak lain dari atmosfer refresif rezim Orde Baru. Filsuf Kierkegaard menyebut kondisi seperti ini sebagai the corruption of the will yang bisa meluluhlantakkan semangat, bahkan kemanusiaan itu sendiri.[3] Artinya, di tangan kitalah terletak ihwal menciptakan iklim berdemokrasi yang berulu pada nurani.
Pada akhirnya, upaya serius Okky untuk memindahkan peristiwa ke dalam cerita adalah lelaku estetik yang layak mendapat acungan jempol. Dia seorang “juru kabar” yang dengan cergas mengabarkan rentetan kemalangan dan ketakbahagiaan yang dialami banyak rakyat di negeri tercinta ini. Dia mengusung pelbagai kritik dengan cara yang samar, santun, dan menyentuh. Dia menyuguhkan langgam penceritaan yang khas, walaupun bukan sesuatu yang baru di ranah kesusastraan kita.
Dan, semoga Entrok bukan awal yang merangkap sebagai akhir. Semoga! []

Bogor, September 2010
Khrisna Pabichara, motivator dan penyuka sastra. Tiga cerpennya dimuat di Kolecer & Hari Raya Hantu (SPT, 2010). Buku terbarunya, Rahasia Melatih Daya Ingat (Kayla Pustaka, 2010).


[1] Damhuri Muhammad (2010). Romantika Pasca-Enam Lima dalam Darah-Daging Sastra Indonesia. Jalasutra.
[2] Radhar Panca Dahana (2007). Keserakahan Intelektual dalam Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia. Resist Book.
[3]  A. Malik Giswar (2010). Kewarganegaraan dan Kebangsaan Pasca-Mei 1998 dalam Revolusi Setengah Matang. Hikmah (Mizan Grup).

[TULISAN RINGAN] Jurus Ampuh “Menjual” Karya

Catatan: Tulisan ini disampaikan dalam Seminar/Workshop Tips dan Trik Mempublikasikan Karya di Ruang Kuliah Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Sabtu, 30/10/2010). Semoga bermanfaat!


Jurus Ampuh “Menjual” Karya
Oleh Khrisna Pabichara

Menulis itu menyembuhkan. Ketika seseorang mengalami kejadian pahit yang membuat hatinya terluka, menulis—semisal di diari atau diolah menjadi cerita fiksi—dapat mengurangi “rasa sakit” yang dideritanya. Ketika seseorang mengalawi peristiwa menggembirakan yang membuat hatinya bahagia, menulis—dikemas menjadi tulisan inspiratif yang menggugah—dapat menularkan kisah sukses dan bahagianya itu kepada orang lain. Dalam hal ini, menulis dapat menjadi obat yang mujarab bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Menulis itu mengayakan. Ketika seseorang—sekadar menyebut nama, Andrea Hirata—membabar pikiran-pikiran dan imaji-imaji yang selama ini mengendap di benaknya ke dalam sebentuk tulisan, entah buku fiksi ataupun nonfiksi, tulisannya itu akan menjadi seperti “sawah subur” bagi petani atau “mesin duit” bagi pengusaha yang tak henti menghasilkan uang. Pekerjaan sebagai penulis pun tak lagi bisa dipandang sebelah mata, sebab sudah ada penulis yang berpenghasilan hingga Rp 30.000.000 setiap bulannya hanya karena royalti sebesar 10% dari buku yang dianggitnya. Tetapi, “mengayakan” yang saya maksudkan bukanlah semata mengayakan secara finansial, tetapi juga mengayakan secara emosional dan spiritual. Kebahagiaan tak terperikan ketika buku yang kita tulis dibaca dan diapresiasi orang lain adalah mata air kepuasan batin yang tak pernah kering membahagiakan hati.

Bermula dari kedua alasan itulah saya bismillah memilih jalan hidup sebagai penulis—yang menjanjikan bagi saya, dan seharusnya bagi yang lain juga—dengan segala risiko dan konsekuensi yang menyertainya. Pastilah seorang penulis skenario, misalnya, tidak akan lebih terkenal dari artis yang membintangi karyanya, namun jika karyanya itu laris bak popcorn di pelataran bioskop, ia akan merasakan ekstase yang tak terbandingkan dengan harta. Semacam katarsis yang menyucikan jiwa dan menyehatkan raga.

Maka, jadilah “Penulis” sebagai merek pekerjaan langka yang menghiasi segala jenis tanda pengenal saya.

Hanya saja, untuk menghasilkan tulisan yang “menyembuhkan” dan “mengayakan”, taklah semudah membalik telapak tangan. Butuh ketekunan, kesungguhan, danketeguhan. Ketika hendak mulai menceburkan diri ke samudra kepengarangan,ketekunan menjadi jurus pertama yang mutlak kita miliki. Guna menghasilkan karya bermutu yang bisa diterima khalayak pembaca, belajar dari pengalaman penulis ternama adalah sesuatu yang niscaya. Apa yang mesti kita pelajari? Jawabannya, banyak. Tapi cukuplah saya sebutkan dua di antaranya, yakni kemampuan mencari dan meracik ide dan kemampuan menjual karya. Ibarat seorang koki, kita harus piawai mengolah dan mengemas makanan agar sedap dicecap lidah pelanggan. Tapi, itu saja belum cukup. Apabila kita tidak memiliki kemampuan promosi atau publikasi, restoran kita bakal sepi pengunjung. Artinya, jago menulis mestinya disertai pula dengan kepiawaian “menjual”.

Selanjutnya, kita pun mutlak membekali diri dengan jurus keduakesungguhan. Ya, hasrat menulis saja belumlah cukup. Bakat menulis—jika kita merasa memilikinya—masih belum cukup. Bersungguh-sungguh melatih diri menulis setiap hari adalah satu-satunya cara merintis jalan menuju kegemilangan. Apalagi bila mengingat kesibukan sehari-hari, tanpa kesungguhan, mustahil kita bisa menyempatkan diri melawan “kuman” mengerikan: penat dan letih. Jangan menyangka para penulis ternama memiliki jam biologis lebih banyak daripada kita. Itu salah besar! Mereka punya waktu sehari semalam seperti kita, sama-sama 24 jam. Hanya saja, mereka mampu mengelola waktunya dengan baik sehingga mereka bisa menghasilkan mahakarya, dan itu tersebabkan mereka selalu bersungguh-sungguh.

Kemudian, setelah menguasai kedua jurus awal, kita pun perlu membekali diri denganjurus ketigaketeguhan. Manakala orang-orang di sekitar Anda mencibir karena ketaklaziman yang Anda pilih dengan menjadi penulis, keteguhanlah yang bisa menguatkan hati. Manakala apa saja yang kita tulis ditolak di mana-mana—baik media cetak maupun penerbitan—keteguhan pula yang menjadi vitamin pembangkit semangat. Manakala satu buku, misalnya, yang kita tulis belumlah laris di pasar buku, keteguhan juga yang mampu menguatkan diri agar kita tetap istiqomah di jalan kepengarangan.

Begitulah, ketika kita memiliki ketiga jurus dasar tadi, maka jalan menuju keberhasilan akan terbuka semakin lapang.

Barulah kemudian kita mempelajari jurus-jurus berikutnya, yakni memikat, menggugah,dan mengubah. Ketika gairah menulis kita semakin menggelegak, perlu kita bekali diri dengan kemampuan “memikat”. Kebernasan ide, kedalaman makna, dan kekhasan kemasan menjadi prasyarat agar tulisan yang kita hasilkan bisa “memikat”. Jangan sampai kita menyuguhkan “pepesan kosong” ke hadapan pembaca. Begitu kita melakukan hal seperti itu, tak ubahnya mencoreng arang ke kening sendiri. Kita bakal kehilangan minat beli, kehilangan penggemar fanatik, bahkan kehilangan “masa depan” sebagai penulis. Apa ini terlalu mengerikan? Tidak. Faktanya, banyak orang yang berhasil menulis satu-dua buku, tapi gemanya tak lebih lama dari dentang lonceng jam di tengah malam senyap. Untuk menguasai jurus “memikat” ini, kita harus mulai mendisiplinkan diri agar rajin berjalan, rajin membaca, dan rajin mendengar. Penulis yang memiliki masa depan gemilang bukan mereka yang asyik-masyuk menenggelamkan diri di dalam kamar, berkutat sepanjang hari di depan laptop, atau sibuk berpindah-pindah dari lamunan yang satu ke lamunan yang lain.

Tulisan yang kita hasilkan pun haruslah bisa menjadi semacam dongkrak yang memiliki daya gugah. Ini yang kerap diabaikan banyak calon penulis. Paradigma—yang meski tak sepenuhnya salah—biarkan saja mengalir apa adanya, sudah bukan masanya kita rawat di tengah ketatnya persaingan. Cerita pendek, misalnya, bisa berkisar 100-300 yang masuk ke laci redaktur budaya satu media cetak. Jika cerita pendek karangan kita tak punya “nilai jual” lebih dari yang lainnya, karya yang setengah mati kita hasilkan itu akan “basi” dan tamat riwayatnya sebelum sampai ke pangkuan pembaca. Pun begitu dengan menulis buku. Setiap hari, sebagai penyunting di sebuah penerbitan, naskah yang sampai ke meja saya bisa berkisar dari dua hingga delapan setiap hari. Bayangkan jika Anda mengirim manuskrip buku yang “tak punya daya gugah”, nasibnya akan selesai pada kalimat, “Maaf, naskah Anda perlu dikemas ulang agar diterima dengan riang oleh ‘umat’ pembaca.” Nah, di sinilah pentingnya kita menguasai jurus “menggugah”.

Akhirnya, tiba masanya kita membincangkan jurus “mengubah”. Aturan dasarnya adalah tulisan yang kita anggit haruslah memberikan manfaat bagi pembaca. Camkanlah, seseorang membeli buku atau koran atau bacaan apa pun, pastilah mengeluarkan uang. Kemudian, mereka sengaja meluangkan waktu untuk membacanya. Maka, alangkah sadis dan bengisnya kita apabila ide yang kita babarkan tidak bermakna apa-apa bagi mereka (maksudnya: pembaca). Oleh karenanya, wajib hukumnya bagi kita untuk berusaha dengan optimal agar melahirkan karya yang “mencerahkan”, bahkan jika bisa: “mencerdaskan”. Di titik ini, penting bagi kita untuk terus melatih jurus “mengubah”.

Inilah bekal yang perlu kita miliki sebelum terjun ke gelanggang perang.

Jika segala jurus di atas telah kita kuasai, maka tiba waktunya kita “mencari berkah” dari apa yang kita daras. Banyak orang yang ujug-ujug terkenal karena buku anggitannya bestseller. Jangan mengira mereka mendapatkannya karena jurus “kebetulan”. Buku pertama saya, 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang, misalnya, bukanlah makanan instan yang cukup dengan air panas sudah siap saya santap. Bertahun-tahun saya mengasah dan membekali diri—sebagai seorang motivator—untuk selalu menyiapkan tulisan sependek apa pun sebagai menu yang memperkaya materi yang saya sajikan. Kumpulan tulisan itulah yang kemudian saya kemas ulang agar “layak” dinamai buku. Setelah naskahnya siap, saya pelajari dengan tekun jurusmengatasi rasa malu. Saya kirimkan pesan pendek ke pengarang yang “menyeret” saya ke kegairahan mengarang—Bambang Trim—sambil melatih jurus “keyakinan” menunggu jawaban setiap hari. Bak gayung bersambut, keajaiban mengatasi rasa malu itu membuahkan hasil, buku pertama saya pun akhirnya beredar di pasar. Keyakinanbahwa apa yang saya babarkan dalam buku itu memenuhi segala aturan dari jurus-jurus di atas, akhirnya berbuah royalti yang hingga kini masih saya terima.

Tak berbeda jauh ketika saya berniat menekuni dunia sastra. Alkisah, ketika saya menemukan fenomena bagaimana karya-karya prosa—baik novel maupun cerpen—bisa sedemikian banyak umatnya, saya berselancar dari satu portal ke portal lain hanya demi memuaskan rasa ingin tahu. Terutama membongkar laci arsip www.sriti.com, situs yang mengarsipkan cerpen-cerpen yang dimuat di media cetak. Bahkan, saya mempelajari secara khusus media mana yang paling tepat bagi saya untuk “menjual diri”. Sejak itu, saya mengungsikan diri ke dunia maya guna menilik, menyelisik, dan memahami karakter cerpen yang dimuat di media “sasaran” itu. Sesudahnya, cerpen pertama saya, Rumah Panggung di Kaki Bukit, dimuat di Republika. Semudah itu? Tidak. Untuk mengasah kemampuan menulis cerpen, meskipun tulisan non-fiksi saya sudah tiga buku, saya tetap memposisikan diri sebagai “gelas separuh isi separuh kosong” agar bisa belajar dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Saya bahkan—dengan menggunakan jurus mengatasi rasa malu—mengikuti kuliah “Menulis Karangan Popular” sebagai “mahasiswa tamu” di kelas kritikus sastra, Maman S. Mahayana, dan berguru secara “liar” dari pengarang satu ke pengarang lain.

Kedua jurus itulah yang saya gunakan sepanjang karier saya sebagai penulis. Tidak muluk-muluk, tapi sekaligus bukan sesuatu yang enteng. Manakala ada karya kita yang ditampik—baik oleh penerbit maupun media cetak—bukan berarti dunia telah kiamat. Ada banyak alasan yang membuat karya kita tertolak, dan alasan yang paling saya sukai adalah bahwa karya saya mungkin saja tidak sesuai dengan selera atau aliran “Sang Penolak” itu. Meskipun demikian, saya tetap mengasah diri. Terus belajar. Lagi, dan lagi.

Jurus terakhir yang paling kerap saya gunakan untuk “menjual diri”—dalam makna yang positif—adalah jurus narsis. Saya pernah dituding lebay karena kerap memajang status di Facebook ihwal karangan saya (puisi, esai, cerpen, atau artikel) yang dimuat di media cetak. Tapi tudingan itu saya anggap angin lalu belaka, karena ketika ada “alat iklan” yang gratis, mudah, dan akurat itu adalah keuntungan bagi saya. Lagi-lagi, iklan gratis itu pula yang membuat banyak penerbit melirik tulisan saya. Bahkan tulisan ringan tentang kisah-kisah masa kecil yang saya olah ulang dan menambahkannya dengan terapi asyik untuk mencerdaskan hati, tidak lama lagi akan terbit dengan judul,Terapi Ikhlas: Langkah Ringan Mengayakan Hati. Inilah hadiah dari jurus “narsis” yang saya gunakan. Anggap saja, iseng-iseng berhadiah.

Bagaimana dengan Anda?

Oleh karena kita memiliki tabiat dan karakter berbeda, boleh jadi jurus-jurus di atas tidak tepat bagi Anda. Tapi, setidaknya, Anda akan memiliki bahan pembanding. Semacam timbangan yang dapat menemani Anda untuk menakar sendiri apa danbagaimana cara Anda menjual karya. Bagaimanapun, seperti nasihat pendahulu kita, banyak jalan menuju Roma. Dan, yang perlu Anda lakukan—termasuk saya—adalah memberanikan diri untuk mulai melangkah.

Pada akhirnya, tahukah Anda bahwa segala yang saya tuturkan ini sebagian besar karena saya meyakini keampuhan jurus “narsis”? (*)

Bogor, Oktober 2010

Kamis, 28 Oktober 2010

[TULISAN RINGAN] Mendidik Anak Lewat Dongeng

MENDIDIK ANAK LEWAT DONGENG[1]
Oleh Khrisna Pabichara[2]

Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dongeng berarti cerita yang dikarang-karang semata dan kerap tidak menyerupai kenyataan hidup sehari-hari—misalnya ada binatang yang bisa berbicara—demi tujuan tertentu. Adapun mendongeng berarti bercerita atau menceritakan dongeng. Banyak pakar anak dan ahli neuropsikologi menyatakan bahwa pembentukan kecerdasan melalui dongeng merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat efektif. Dongeng yang dituturkan dengan bik akan tertanam dalam memori jangka panjang seorang anak, bahkan kelak hingga ia dewasa.
Pertanyaannya, dongeng seperti apa yang tepat diceritakan kepada anak-anak? Tentulah kita menyadari bahwa sangat banyak dongeng yang terkesan mustahil atau muskil terjadi. Sebut seperti dongeng yang tokohnya bisa tiba-tiba menghilang. Di satu sisi, dongeng seperti ini dapat menimbulkan keraguan bagi anak yang kritis, tetapi juga dapat mengembangkan imajinasi anak yang kreatif. Boleh jadi, seorang anak yang kritis akan mempertanyakan ulah kancil ketika memperdaya buaya dengan berjejer di sungai agar ia dapat menyeberang dengan selamat, sementara anak yang imajinatif akan menganggap kancil itu cerdas dalam menjaga keselamatan dirinya. Pada kondisi seperti ini, kepiawaian pendongeng menjadi sesuatu yang niscaya.
Lantas, modal apa yang dibutuhkan seorang pendongeng? Ada tiga modal dasar yang “wajib” dimiliki seorang pendongeng. Pertama, kemampuan bercerita. Pendongeng yang baik harus memiliki kemampuan bercerita. Ia mesti piawai memainkan intonasi suara, ekspresi, dan bahasa tubuh. Kedua, kemampuan berbahasa. Perlu kita sadari, bahasa adalah jembatan komunikasi bagi setiap anak. Karena itu, dongeng memiliki posisi strategis dalam mengembangkan kecerdasan berbahasa bagi anak didik. Melalui dongeng, seorang pendidik dapat merangsang kecerdasan intelegensia, kemampuan berpikir secara logis sistematis, kemampuan beriteraksi dengan sesama anak, maupun selera berbahasa dan nilai seni. Ketiga, kemampuan berimajinasi. Pendongeng yang baik mutlak memiliki daya imajinasi yang tinggi. Melalui kemampuan berimajinasi, cerita yang biasa-biasa saja akan disulapnya mejadi “lebih dari biasa”. Imajinasi itu pula yang akan merangsang pertumbuhan otak kanan dan kepekaan panca indra anak didik.
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa dongeng bukan sekadar cara menyampaikan bahan ajar atau bahan didik, tapi sekaligus menjadi metode pembelajaran yang “penting”, baik bagi pendidik maupun bagi anak didiknya.

Setelah membincangkan manfaat dongeng dan apa saja yang mestinya dimiliki seorang pendongeng, sekarang tiba waktunya kita membahas dongeng seperti apa yang layak dan patut diceritakan bagi anak didik. Pada umumnya, anak usia dini—terutama di bawah usia lima tahun—memiliki aktivitas yang spontan, alami, dan sangat bersemangat untuk mengetahui hal-hal yang baru ditemui atau dialaminya. Setiap pendongeng perlu memahami kondisi anak didik, terutama proses tumbuh-kembang kreativitasnya. Karena itu, dongeng yang diceritakan harus dipilah secara bijak dan tepat.
Ada beberapa kriteria dongeng yang baik dan layak diceritakan. Pertama, memiliki kandungan moral. Selama ini asupan pendidikan lebih ditekankan pada pengembangan kecerdasan intelegensia anak didik. Sementara kecerdasan hati—meliputi kecerdasan emosional dan spiritual—kadang dikesampingkan. Banyak dongeng yang mengusung nilai moral dasar, baik yang berasal dari Nusantara maupun dari mancanegara.
Kedua, merangsang imajinasi dan kreativitas. Dongeng petualangan termasuk dalam kategori dongeng yang mampu merangsang imajinasi dan kreativitas anak. Dongeng sejenis ini juga akan membantu perkembangan kecerdasan estetika dan kemampuan menganalisa masalah, yang kelak akan berguna bagi diri anak didik itu sendiri dan bagi lingkungannya.
Ketiga, membangkitkan semangat dan disiplin. Tidak bisa dinafikan, oleh sebab besarnya rasa ingin tahu setiap anak, banyak anak yang cenderung aktif secara fisik dan menguras banyak energi mereka. Kesadaran berdisiplin dapat ditanamkan melalui dongeng-dongeng yang mengandung nilai-nilai kedisiplinan. Dongeng seperti ini lebih ditekankan pada sebab dan akibat apabila sang tokoh dalam cerita tidak disiplin melakukan sesuatu.
Keempat, menyuguhkan jawaban rasa ingin tahu. Dongeng juga perlu memiliki unsur jawaban terhadap beberapa hal yang ingin diketahui anak didik. Namun, untuk dongeng seperti ini, dibutuhkan kreativitas pendongeng dalam mengemas dan mengembangkan cerita.

Pertanyaan terakhir yang dapat kita ajukan bersama adalah bagaimana dan dari mana seorang pendongeng dapat memperoleh bahan dongeng? Jawaban paling sederhana atas pertanyaan tersebut adalah membaca. Dewasa ini, banyak buku atau majalah yang menyuguhkan dongeng yang tepat dan layak diceritakan bagi anak didik. Bukan hanya bahan cerita, membaca juga dapat membantu para pendongeng—dalam hal ini Sang Guru—dalam mengembangkan kemampuannya bercerita. Hanya saja, tidak banyak Guru yang memiliki minat tinggi dalam hal membaca. Bahkan ketika ada seorang Guru memiliki minat baca tinggi, terkadang mengalami kendala terbatasnya bahan baca yang dimilikinya.
Maka, kreativitas untuk mengatasi keterbatasan menjadi hal lain yang pelu dimiliki seorang pendongeng. Nah…. (*)

Bogor, 23 Oktober 2010


[1] Disampaikan pada Pelatihan Guru-Guru PAUD se-Kecamatan Tajurhalang pada 23 Oktober 2010 bertempat di PAUD Aisyah Adinda Kalisuren, Tajurhalang, Bogor.
[2] Praktisi neurologi, Penulis buku bestseller “Rahasia Melatih Daya Ingat” dan “12 Rahasia Pembelajar Cemerlang”.

Rabu, 06 Oktober 2010

[TULISAN RINGAN] Kisah Perempuan Pendoa

Catatan: Tulisan ringan ini hanyalah refleksi belaka. Tak ada niat menghujat, menggugat, apalagi menggurui. Kebahagiaan tak terperi bagi saya bila Anda berkenan singgah dan membacanya. Tak perlu mengerutkan kening, tak perlu menekurkan kepala. Santai saja. Semoga berfaedah!


KISAH PEREMPUAN PENDOA
Oleh Khrisna Pabichara

Orang bijak tahu apa yang harus dia lakukan, orang bestari benar-benar melakukannya.
David John Star

TERSEBUTLAH kisah perempuan renta yang hidup sebatang kara. Tanpa sanak kerabat, tanpa siapa-siapa. Sendiri. Bergelut melawan ganasnya sepi, bertarung menantang kemiskinan. Setiap hari dia cukupi kebutuhan hidupnya dengan mengumpulkan kayu bakar, lalu menjualnya kepada penduduk lain di kampungnya. Begitu selalu. Saban malam, dia tenggelamkan diri ke dalam samudra doa. Tak ada satu malam pun berlalu tanpa lantunan doanya yang miris dan mengiris. Ya, baginya, doa adalah ritual hati yang teduh dan meneduhkan, yang tenang dan menenangkan. Baginya, doa adalah upacara jiwa untuk menguatkan dan menyabarkan hati.

Namun karena kebiasaannya itu pula, tetangga sebelah rumahnya merasa sangat terganggu. Maklum, rumah reyot mereka hanya terpisahkan oleh dinding dari bambu yang dianyam ala kadar saja. Maka, tidak heran jika suara dari satu rumah pasti terdengar di rumah lainnya, apalagi di tengah keheningan malam. Sebenarnya sudah beberapa kali Sang Tetangga mengingatkan Sang Perempuan Renta untuk merendahkan suaranya ketika berdoa, namun Sang Perempuan Renta tidak mengacuhkannya.

Akhirnya, suatu ketika, saat matahari baru sepenggalah, Sang Tetangga menyambangi Sang Perempuan Renta—yang sedang bersiap-siap mencari kayu bakar.

“Mak, hargailah tetanggamu. Biarkan kami tidur dengan nyenyak. Cukuplah hari-hari kami dibayangi penderitaan. Jangan ditambah lagi dengan rengekan doa Emak setiap malam,” tegur Sang Tetangga.

Sang Perempuan Renta tertegun. “Maaf. Saya tidak bermaksud mengganggu ketenanganmu, Nak. Tapi saya memang tidak akan berhenti berdoa, sebelum doa saya dikabulkan oleh-Nya.”

“Tidak mungkin, Mak. Mustahil berharap uang jatuh dari langit!”

“Mustahil atau tidak, itu urusan saya dengan Dia!”

“Tapi apa yang Mak lakukan mengusik ketenangan keluarga saya.”

“Baiklah, Nak. Saya akan merendahkan suara dan berharap sebentar malam doa yang saya panjatkan tidak mengganggu kalian.”

Sang Tetangga pun berlalu. Sang Perempuan Renta, seperti hari-hari sebelumnya, mencari kayu-kayu kering di tepi hutan. Dan, malam kembali tiba. Tak ada yang berbeda dari malam sebelumnya. Doa Sang Perempuan Renta kembali membelah malam. Suaranya melesat ke sela-sela bilik.

“Duhai Tuhanku Pemilik Segalaharta, limpahkan segala yang masih tersembunyi untukku di langit lapis ketujuh atau segala yang masih terpendam untukku di tanah lapis ketujuh. Amin!”

Doa itu dilafalkannya berulang-ulang. Kadang sangat nyaring, kadang sangat lirih. Alhasil, karena merasa terganggu, Sang Tetangga bangkit dari peraduannya. Berjalan ke luar rumah, sebelum terlebih dahulu menyambar karung yang sering dia gunakan untuk mengumpulkan rumput hasil sabitannya. Lalu, dia isi karung itu dengan beling, pecahan genting, dan kerikil. Tak lupa diikatnya karung itu agar isinya tidak berhamburan ketika dijatuhkan. Sambil membayangkan muslihat yang sedang dirancangnya akan membungkam doa-doa Sang Perempuan Renta, dia tersenyum puas.

Sang Tetangga pun naik ke bubungan atap rumahnya, melemparkan karung itu tepat ke arah kamar tempat Sang Perempuan Renta sedang khusyuk berdoa. Karung itu meninggalkan lubang menganga, setelah menghantam genteng dan kayu bubungan atap. Sang Perempuan Renta terkejut melihat sebuah karung berdebum beberapa jengkal saja di hadapannya. Segera saja tali pengikat karung itu dilepaskan olehnya, dan alangkah! Karung itu ternyata berisi setumpuk uang dan emas batangan. Mata Sang Tetangga terbeliak, seolah tak percaya pada penglihatannya.

Sejak itu, Sang Perempuan Renta rajin bersedekah sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang diterimanya. Dan, Sang Tetangga mulai rajin berdoa, siapa tahu ada yang berkenan melemparkan sekarung uang dan emas batangan ke hadapannya.

***

BERBURUK sangka kepada Sang Mahasegala adalah salah satu sifat yang kadang menghinggapi diri kita. Uniknya, sering tidak kita sadari. Benarlah kiranya seperti ditandaskan banyak kitab suci bahwa manusia memang memiliki kecenderungan suka berkeluh kesah ketika tertimpa musibah, tapi lalai bersyukur manakala mereka dilimpahi banyak anugerah. Akan tetapi, naïf juga rasanya bila yang kita tumbuh-kembangkan dalam hati adalah “gugatan” kepada Tuhan karena tak kunjung mengabulkan doa-doa kita.

Ya, tanpa disadari, kita gemar memelihara syak-wasangka, bahkan jauh sebelum doa kita lantunkan. Ada yang meragukan kasih sayang dan cinta-Nya. Ada pula yang menyangsikan Tuhan berkenan memenuhi permintaannya. Bahkan ada yang menggugat kuasa Tuhan yang dianggapnya hanya menimpakan kesedihan dan penderitaan saja kepadanya.

Padahal, sejatinya, banyak rahasia besar yang tersimpan dari segala ketetapan dan kehendak Tuhan. Boleh jadi, apa yang kita minta, semisal harta duniawi, dapat merugikan dan menggelincirkan “hati” kita. Mungkin juga permohonan untuk memperoleh kemuliaan lewat kedudukan atau jabatan tinggi berpeluang meruntuhkan “keteguhan keyakinan” kita, hingga kita lalai—seperti menyalahgunakan wewenang, korupsi, berbuat semena-mena, dan sebagainya—dan lupa pada hakikat keberadaan kita sebagai manusia. Mungkin pula harapan-harapan lain yang kita tuturkan pun membuat kita serba lupa—lupa diri, lupa daratan, lupa segalanya.

Belum lagi kita suka mengabaikan betapa nikmat yang kita terima sebenarnya adalah jawaban dari doa yang kita panjatkan. Hanya saja, ada yang dilimpahkan sekaligus, ada yang bertahap, bahkan ada yang sedikit demi sedikit. Kadang pula jawaban doa itu tidak dalam bentuk persis seperti yang kita dambakan, melainkan jalan lain agar kita lebih mudah meraih apa yang kita impikan. Laksana petuah bijak, “Meminta ikan, diberi kail.” Begitulah. Kita hanya dilimpahi kuasa meminta, sedangkan wewenang mengabulkan tetap ada pada-Nya.

Maka, bijaklah kiranya jika kita becermin pada keteguhan Sang Perempuan Renta yang tak pernah putus pengharapan. Dan, barulah akan bestari jika kita tidak meneladani lelaku Sang Tetangga yang piawai meledek dan meremehkan ritual spiritual orang lain, dan baru membuka akalnya ketika keajaiban terjadi di depan mata.

***

BERBAIK sangka kepada Sang Mahasegala mestinya menjadi pilihan terbaik bagi kita. Sama baiknya dengan berbaik sangka kepada sesama. Buruk sangka mengalirkan energi negatif, sementara baik sangka memastikan energi positif merasuki tubuh kita. Buruk sangka melahirkan putus asa, sedangkan baik sangka menularkan pengharapan tak berhingga. Oleh karena kita diberkahi akal, maka yang baik mestinya keniscayaan untuk diraih, dan yang buruk seharusnya langsung kita jauhi.

Sang Perempuan Renta adalah sosok yang bersikukuh pada keyakinannya dan selalu berbaik sangka. Meskipun bertahun-tahun doa yang dilantunkannya menunjukkan gejala tidak bakal makbul, dia tetap meneguhkan hati. Tak goyah barang sekejap, tak goncang barang sedetik. Bermalam-malam, berbulan-bulan, bertahun-tahun.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita adalah pribadi yang berkelimpahan hati seperti Sang Perempuan Renta, atau malah berkekurangan hati layaknya Sang Tetangga? Benarkah doa yang kita panjatkan adalah buah dari kerendahan hati atau akibat dari kekesalan hati? Yakinkah kita bahwa kita benar-benar meminta atau malah sebenarnya sedang memerintah? Mari kita menyelam ke dasar hati, mencari hakikat kenapa, bagaimana, dan untuk apa selama ini kita berdoa. Jangan tunggu sampai kita terjerumus ke dalam lembah “pendoa berdosa”.

Suatu ketika, Mark Twain berpetuah, “Yang menjadi dengan akal sehat adalah tidak semua orang memilikinya.” Boleh pula kita camkan nasihat Ibnu Khaldun, “Doa bukan sekadar memejamkan mata atau menengadahkan kepala, tapi lebih pada mengasah hati.” Inilah sejatinya karakter pendoa. Di balik tumpukan harapan, hati dan akal harus tetap bekerja secara harmonis. Yang satu tidak boleh berjalan lebih cepat dan meninggalkan yang lainnya. Harus seiring, harus sejalan. Ketika hati bersikukuh, otak mestilah bersiteguh. Hati—sebagai pusat rasa—harus selalu sarat ketaatan, dan otak—sebagai pusat pikiran—harus selalu sarat keyakinan.

Dengan kecerdasan akal—bersama sekian keturunannya berupa rupa-rupa kecerdasan badaniah—kita belajar membilang berapa banyak anugerah yang telah terima. Meskipun, sejatinya, menghitung nikmat adalah pelajaran yang paling sulit untuk kita terapkan. Sementara itu, dengan kecerdasan hati—bersama keturunannya berupa kecerdasan emosional dan spiritual—kita belajar bersyukur atas segala anugerah yang telah kita terima.

Akal dan hati ibarat dua sisi mata uang. Yang satu melengkapi yang lainnya, yang lain menggenapi yang satunya.

***

PASANGAN sejati doa adalah bersyukur. Kita harus berupaya sekuat tenaga dan menikmati hidup dengan sepenuh hati. Artinya, daripada sibuk mengeluh dan menyumpahi harga yang terus melambung, lebih baik kita mensyukuri nikmat kesehatan dan kesempatan untuk mengusahakan agar yang mahal itu tetap bisa terbeli. Dengan kata lain, tak perlu kita pusingkan kekacauan di luar diri kita dan mengabaikan kekacauan di dalam diri kita. Betapapun, mustahil membetulkan kekacauan di luar diri manakala hati sendiri masih berantakan.

Bersyukur pun adalah anak tangga pertama menuju gedung megah bernama Doa Mustajab. Dari sana kita mulakan apa yang hendak dituju dan bagaimana mencapainya. Dari sana kita tempatkan diri sebagai yang meminta untuk mendatangi dengan takzim yang dimintai. Dari sana kita pastikan bahwa segala yang kita terima di dunia tidaklah berarti, sebelum apa yang kita tinggalkan di dunia memberi arti bagi sesama. Dari sana kita camkan bahwa untuk mendapat lebih banyak, kita harus memberi lebih banyak. Dengan keyakinan seperti itu, gedung megah bernama Doa Mustajab, bukan lagi sesuatu yang mustahil.

Pendek kata, doa dan bersyukur adalah jembatan untuk mencerahkan dan mengayakan kecerdasan spiritual kita. Karenanya, jadilah pendoa yang “meminta”, bukan “memerintah”. []

Jakarta, Oktober 2010

Selasa, 05 Oktober 2010

[ESAI] Kearifan Tukang Cerita

Kearifan Tukang Cerita
Oleh Khrisna Pabichara

Cerita pendek bagi saya lebih dari makanan bergizi. Tidak sekadar mengenyangkan dan merangsang imaji, tetapi juga menggiurkan dan menyehatkan. Sejak dahulu, saya selalu kagum pada tukang cerita—di antaranya ada yang dinamai sastrawan. Betapa tidak, setiap sastrawan dalam proses penciptaan karyanya tidak semata-mata meniru kenyataan, tetapi sekaligus menciptakan sebuah “dunia baru” dengan kekuatan daya kreatifnya. Karena itu, Aristoteles memandang dunia rekaan sastrawan itu sebagai sesuatu yang tinggi dan filosofis, bahkan menempati “maqam” yang melampaui karya sejarah (Luxemburg dkk, 1992). Artinya, potensi besar yang membedakan sastrawan dengan manusia lainnya adalah kuasa imajinasinya untuk membangun “dunia beradab”.
Setelah dewasa, saya sempat berkenalan dengan banyak sastrawan. Termasuk “empat sekawan”: Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedi, Agnes A. Majestika, dan Ryana Mustamin. Empat sekawan ini bersekutu membuhul cerita demi cerita dalam sebuah buku yang dijuduli, Tukang Bunga dan Burung Gagak.
Cerita pertama yang saya baca, Tukang Bunga dan Burung Gagak. Alasannya sederhana. Oleh karena cerita ini didapuk jadi judul buku, berarti ada argumen yang melatari keterpilihan cerita ini. Seusai membaca cerita anggitan Kurniawan Junaedhie itu, hati saya tertohok. Si Tukang Bunga, tokoh soliter yang “punya banyak bunga sehingga dibagikan gratis kepada siapa saja”, memilih sahabat-sahabat yang tak seperti orang lain memilih pertemanan. Ia bersahabat dengan Si Burung Gagak (tokoh imajiner pembawa berita kematian, yang selalu dinantikan kabarnya oleh Si Tukang Bunga), Si Penyiar (yang berhenti menguarkan maklumat kematian), dan Si Istri Pejabat (yang kehadirannya bak dicantolkan begitu saja). Si Tukang Bunga memilih kaum penyendiri yang lebih suka beralienasi atau riuh dengan diri sendiri, tokoh-tokoh yang dapat kita jumpai di mana dan kapan saja dalam kehidupan menyehari. Bukan karena ingin berbagi, tapi lebih karena ingin mendengar kabar “ada lagi yang mati”, agar bunganya terbeli.
Lalu saya pindah ke cerpen Langkah, yang dikemas oleh Agnes A. Majestika dari sesuatu yang biasa menjadi lebih dari biasa, seolah mereka-ulang (reconstitutions) realitas yang menyehari di sekitarnya, dan berupaya keras menyingkap dan membentuk-ulang (re-establish) tradisi keintiman antar-masyarakat yang mulai tergerus modernitas.
Kurnia Effendi, lewat Ikebana bagi Calon Mama, memotret wajah perempuan pemilik cinta yang dikagumi banyak orang. Cerpen ini begitu menyentuh. Kejutan di awal cerita, kelok di pertengahan, dan tikungan indah di akhir cerita. Saya seolah menonton sebuah film pendek tentang seorang duda yang setia pada mendiang istrinya tapi ingin memberikan yang terbaik bagi putrinya, ihwal seorang lelaki yang ikhlas mencintai dan perempuan yang berkenan mengalahkan keinginan sendiri demi kebahagiaan orang lain. Amboi, seandainya di dunia kenyataan masih ada tokoh-tokoh sebersahaja ini. Alangkah!
Hingga tiba masa saya membabar Tenriawaru. Ryana Mustamin meracik cerita ini dengan apik. Bermula dari kisah perjalanan Sekar, kemudian beralih ke penokohan Tenriawaru—perempuan dengan gaya berpikir rasional bak laki-laki, akhirnya bersedia hidup seatap dengan lelaki yang benihnya tertanam di rahimnya tanpa ikatan yang bisa memberatkan di antara mereka. Ryana menawarkan “dunia imajinatif” yang didaraskan lewat cerpen ini—dengan nuansa lokalitas yang kental—dari ketaklaziman menjadi ramuan imajiner yang menampar. Berangkat dari kegelisahan tentang kesalahpahaman dan kesalahmaknaan selaput dara, sekaligus rupa-rupa tanya perihal ketergeseran—atau malah kehilangan—nilai-nilai kearifan lokal dan moralitas dalam masyarakat modern, seperti petuah Aristoteles.
Begitulah. Empat pengarang itu bertutur dengan langgam penceritaan yang khas. Yang berbeda dengan tukang cerita lainnya. (*)

Bogor, September 2010

[TULISAN RINGAN] Kisah Rusa Berkawan Anjing

Catatan: Tulisan ini terilhami oleh tanggapan Hanna Fransisca, Sahabat saya yang memiliki senyum tertulus, terhadap tulisan ringan saya sebelumnya, Elang Berperilaku Ayam. Semoga tulisan ringan ini bermanfaat bagi kita semua, teruta bagi diri saya sendiri. Salam takzim.


KISAH RUSA BERKAWAN ANJING
Oleh Khrisna Pabichara


Tidak ada orang yang begitu baik sampai-sampai tidak memiliki kekurangan, dan tidak ada orang yang begitu jahat sampai-sampai tidak memiliki kebaikan.”
Napoleon Hill


TERSEBUTLAH dalam riwayat, seperti dulu dituturkan oleh Liu Zongyuan, ada seorang warga Lingjiang pergi berburu dan mendapat seekor anak rusa. Hatinya girang bukan kepalang. Anak rusa itu dia bawa pulang ke rumahnya untuk dipelihara. Ketika dia melangkah masuk ke rumah, anjing peliharaannya menyongsong kedatangannya dengan mulut meneteskan air liur dan ekor bergoyang-goyang. Orang ini sangat marah, dengan suara keras dia menghalau anjing-anjingnya.

Sejak itu dia selalu membawa anak rusa mendekati anjingnya, agar mereka terbiasa melihat anak rusa. Pelan-pelan anak rusa dan anjing menjadi akrab dan mau main bersama. Tidak perlu waktu yang lama, seperti lazimnya anjing lain yang selalu bisa patuh dan taat kepada tuannya, ternyata anjing itu juga dapat mengikuti keinginan tuannya.

Setelah agak besar, anak rusa jadi lupa bahwa dirinya adalah rusa, bukan anjing. Sang Rusa pun tumbuh seperti anjing. Dia menganggap anjing ialah dirinya atau, setidaknya, teman terbaiknya. Saling menjilat, saling mengejar, dan tidur bersama. Sebenarnya, Sang Anjing sangat takut pada tuannya, itulah mengapa sebhingga ia sangat ramah terhadap rusa. Meskipun, kadang-kadang, setiap melihat tubuh rusa yang gemuk, anjing itu masih juga melelehkan air liur.

Tiga tahun kemudian, rusa keluar rumah, dan dia melihat ada segerombolan anjing di sisi jalan. Dia pun berjalan mendekati gerombolan anjing itu karena hasrat ingin bermain bersama mereka. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Gerombolan anjing itu sangat gembira dan menyeringai, ramai-ramai menyerang dan membunuh Sang Rusa. Daging rusa mereka makan bersama, tulang-belulangnya mereka tinggalkan di jalan.

Akhir kisah, Sang Rusa hingga mati juga tidak dapat mengerti dirinya.

***


KEHIDUPAN berlalu begitu cepat. Saking cepatnya, kita lebih sering tidak menyadarinya. Meskipun ada sebagian di antara kita memiliki kegemaran “berbincang dengan hatinya”, tapi masih ada juga yang kerap mengabaikan suara hatinya. Beberapa hari yang lalu seorang perempuan renta bernama Mak Enah bercerita kepada saya bahwa dia adalah perempuan yang sangat menikmati hidupnya. Dia memaknai kepahitan hidup bukan sebagai penderitaan—apalagi malapetaka—melainkan sebentuk ujian yang semakin mengayakan dan mencerahkan hidupnya. Dia disiplin mendengarkan kata hatinya dan berani mengikutinya. Secara harta, dia bukan siapa-siapa. Akan tetapi, matanya memancarkan kekayaan hati yang seolah tak pernah berhenti bercahaya. Sungguh menarik!

Lalu, saya pun mulai menyambangi hati. Apa sebenarnya yang saya inginkan dalam hidup ini? Apa saja yang bisa membuat hidup saya lebih kaya dan lebih bahagia? Kelak, jika usia saya semakin uzur, apakah saya bisa menikmati kebahagian layaknya cahaya yang memancar dari mata Mak Enah? Setiap demi setiap pertanyaan seolah kunci pembuka gerbang utama “pencerahan”. Ternyata banyak hal yang belum saya pahami karena indra saya tersungkupi tabir kebiasaan-kebiasaan. Saya terperangkap dalam rutinitas dan penggambaran terhadap makna hidup yang keliru—seperti rusa dalam cerita di atas yang mengira dirinya bisa leluasa bermain dengan anjing mana saja.

Ketika saya berada di tengah situasi yang serba melilit, saya lebih nyaman mengambil langkah aman yang biasa saya lakukan. Saya tidak memiliki keberanian untuk berlama-lama, bahkan sekadar berpikir untuk mencoba solusi atau alternatif baru. Saya cederung lebih fokus pada masalah dan mengabaikan solusi. Padahal, saya tahu, W. Clement Stone pernah berpesan, “Emosi-emosi tidak selalu bergantung pada alas an, mereka selalu bergantung pada tindakan.” Dan tindakan yang saya pilih lebih condong pada “jalur kebiasaan”, jarang sekali mencoba menempuh “jalur yang tak lazim”. Saya sangat takut menjadi Sang Rusa yang terperangkap mengira dirinya adalah “anjing”, sehingga ketika memutuskan untuk bergaul dengan sesama “anjing”, kematian malah menjemputnya.

Di tempat bekerja pun kerap seperti itu. Saya memilih menjadi “anjing yang manis”. Yang serba patuh dan selalu taat. Anjing yang diam-diam memendam hasrat, harapan, keinginan gila, atau pembangkangan terpendam. Pendek kata, saya lebih suka memilih menjadi “anjing” yang melelehkan air liur secara diam-diam, ketimbang berterus terang kepada Sang Tuan bahwa kehadiran Sang Rusa sungguh-sungguh bisa membuat saya lupa diri. Alhasil, saya pun tidak berbuat apa-apa—termasuk menjelaskan kepada Sang Rusa siapa dirinya yang sebenarnya, agar ketika dia bertemu dengan anjing selain dirinya akan tetap selamat—dan membiarkan kesalahan, penyelewengan, atau penyalahgunaan jabatan berlangsung gemilang di depan mata.

Tapi, jangan kuatir, itu terjadi pada diri saya. Bukan Anda!

***


KEHIDUPAN selalu berlalu begitu cepat. Sebutlah, hanya tiga tahun setelah bertumbuh bersama Sang Anjing, Sang Rusa akhirnya mati mengenaskan. Begitulah pula kehidupan memperlakukan kita—saya dan Anda. Pada suatu ketika, kita lebih memilih dikendalikan oleh segala yang dari luar diri kita, seperti Sang Anjing yang dikendalikan Tuannya dan Sang Rusa yang berperilaku layaknya Sang Anjing. Kita gagal menafsirkan apa yang sebenarnya kita inginkan, apa yang sejatinya kita kehendaki, dan apa yang semestinya kita lakukan. Kita lebih banyak membiarkan diri kita diatur oleh keadaan.

Padahal, kitalah yang semestinya menunggangi hidup kita, bukan sebaliknya. Di sinilah letak pentingnya sikap dan pikiran positif. Ya, betapapun, pikiran dan tindakan kitalah yang menentukan apakah kita ini seorang penunggang atau seekor kuda. Mak Enah, misalnya, adalah contoh hidup yang layak menjadi cermin bagi kita bagaimana semestinya berpikir dan bertindak. Dia memilih apa pun yang diinginkannya, mengetahui risiko atas semua pilihannya, dan siap bertanggung jawab atas hidup yang dilakoninya. Ya, bagaimanapun, tentulah kita tak menghendaki sepanjang hidup kita hiasa dengan pelbagai penyesalan.

Memang, untuk menjalani hidup seperti Mak Enah tidaklah mudah. Coba kita renungkan. Bukan perkara mudah mendisiplinkan diri untuk mendengarkan suara hati. Yang lebih tidak gampang lagi adalah memberanikan diri untuk mengikuti bisikan hati kita. Lalu, cobalah sebelum menengok orang lain di sekitar kita lebih dahulu kita melongok ke dalam bilik hati sendiri. Bagaimana perilaku kita sehari-hari? Apakah sudah mencerminkan bisikan hati? Jika “ya”, bersyukurlah, itu langkah cemerlang yang layak kita rayakan. Akan tetapi, jika jawabannya “belum”, kita tak perlu berkecil hati, masih ada waktu untuk memperbaiki diri.

Yang utama adalah keinginan kita untuk menuju ke yang lebih baik. Dan, kesadaran hakiki bahwa kemauan saja belumlah cukup. Kita—Anda dan saya—butuh tindakan nyata.



***

KEHIDUPAN pasti selalu berlalu begitu cepat. Dan, yang bijak bagi kita adalah tidak menjadi Sang Rusa yang salah langkah atau Sang Anjing yang tak memahami hakikat kepatuhan dan ketaatannya. Memang, kesalahan menentukan pilihan adalah hal yang manusiawi. Namun, yang terbaik bagi kita adalah kemampuan memilih secara tepat. Seperti memilih patuh atau taat setelah memahami untuk apa dan mengapa kita harus melakukan kedua hal itu: kepatuhan dan ketaatan.

Maka, berpikir dan bertindak adalah hal niscaya bagi kita. []


Bogor, Oktober 2010