Rabu, 14 April 2010

CERPEN "Lebang dan Hatinya"

Catatan: Cerpen ini dimuat di Jurnal Bogor, Edisi Minggu (11/04/2010). Cerpen ini juga dirancang untuk menjadi bagian dari novel "Natisha: Perempuan Simpanan". Jika Sahabat sekalian ingin mendapatkan bagian awal kisahnya, sila Anda baca juga cerpen "Selasar" di catatan saya, dan "Hati Perempuan Sunyi" yang akan saya posting kemudian.

Terima kasih berkenan membaca cerpen ini. Tak lupa terima kasih sangat atas sulutan ide dari Nisa Elvadiani dan Dhya Bella untuk membuat versi lain dari cerita ini. Salam takzim.



LEBANG DAN HATINYA
Oleh Khrisna Pabichara


1

AKU MENIKAH dengan lelaki yang kelak akan sangat kubenci. Rangka namanya. Aku tak pernah merindui atau mencintai apalagi bermimpi akan dinikahi olehnya, karena aku punya kamu, lelaki yang kurindui dan kucintai dan kuharap bisa menikahiku. Tapi nasib menggiringku pada kenyataan yang sama sekali tak kudambakan, ya, aku dipaksa takdir menelan getir menjadi istri ketiga Rangka, lelaki kaya raya yang durjana itu.

Aku tak pernah berniat mengkhianatimu, Sayang, sungguh!

2

AKU YAKIN kamu tahu, tak pernah sedetik pun melintas di benakku untuk berucap selamat tinggal atau kalimat lain yang mengisyaratkan aku hendak menjauh darimu, tidak. Aku mencintaimu lebih dari cintaku pada diri sendiri. Itulah mengapa sehingga aku selalu melarang kamu ikut pabbatte—lomba pencak tradisional Turatea, yang kerap kamu ikuti setiap pesta pernikahan atau hajat sunatan. Kamu pasti ingat, aku paling benci mendengar kamu menang, apalagi kalah, karena tak ingin kamu terluka. Bilamana aku tuding kamu tak lebih dari ayam sabung, kamu selalu bisa berkilah dengan alasan yang sama, “Ini warisan leluhur.” Seharusnya kamu menyadari, tidak semua tradisi layak dilestarikan. Adakah layak dibanggakan bila tradisi melesakkan penderitaan?

Tapi kamu selalu menampik segala pintaku. Kamu tetap bertarung. Lagi, dan lagi.

Tak terhitung lelaki yang tumbang di kakimu. Hingga suatu ketika, setahun silam, aku ingat peristiwa di pesta pernikahan putri Pak Camat. Waktu itu Rangka berdiri angkuh di tengah arena. Tangannya berkacak, memandangimu dengan tajam dan ganas seolah hendak melumpuhkan kamu hanya lewat sorot matanya. Yang paling menyakitkan, ia menantangmu dengan menjadikan diriku sebagai taruhan. Aku sakit, Sayang, sangat sakit. Lebih sakit lagi karena kamu terima tantangan itu. Aku tiba-tiba membencimu. Oh, sebatas itukah cintamu? Bagaimana jika ternyata kamu kalah? Apa kamu kira aku rela berpindah ke hatinya? Kenapa kamu begitu berani mempertaruhkan mimpi masa depan kita?

Padahal, sebulan lagi kita menikah, Sayang.

Betapa pun aku bersyukur karena akhirnya kamulah pemenangnya. Bukan sarung sutra yang membuat hatiku bangga dan bahagia, melainkan karena aku tak terjatuh ke pelukan bandit mata keranjang itu. Aku ingat sekali, ia berjalan meninggalkan arena dengan mata merah menyala, menguarkan kobar amarah dan dendam angkara. Tahukah kamu, ketika ia melintas di depanku, ia menoleh dan tersenyum sinis seolah ingin menelanjangi tubuhku, dan matanya itu, o, matanya mengirimkan hawa dingin yang membuat jantungku menggigil. Aku ingin kamu di sampingku saat itu, tapi kamu malah tertawa kegirangan merayakan kemenangan di tengah lapangan, sementara aku tersiksa oleh rupa-rupa keanehan yang sama sekali tak bisa kumengerti. Ada sesuatu yang entah apa menguyupi hatiku.

Tiba-tiba segala kebencian kepadanya menguap berganti gairah yang meruap. Aku diseret olehnya menjauh dari kerumunan, dan tak seorang pun yang peduli kepadaku, termasuk kamu. Aku tak mengerti kenapa aku sekonyong-konyong menjadi begitu jinak, penurut, dan takzim padanya. Yang kutahu, ia membawaku pergi. Jauh, ke negeri entah.

Dan, dari sana bermula silsilah luka.

3

AKU TERJAGA oleh suara-suara di kegelapan, oleh aura asing di tengah nyanyian-nyanyian ganjil dan tatapan hangat dua perempuan yang kelak memanggilku “madu-muda”. Aku terkepung aroma duka dan bau kematian yang menyengat. Dua perempuan itu mengelus-elus rambut dan wajahku, seolah-olah aku punya ikatan batin dengan mereka. Segalanya bagiku terasa aneh, sangat aneh. Aku berjalan terhuyung-huyung dengan kaki gemetaran. Dua perempuan itu menuntunku dengan lembut memasuki sebuah ruangan, membuka daun pintu, dan—sembari mengerdipkan mata—mereka serempak berkata, “Masuklah, suami kita sudah menunggumu.”

Suami? Suami kita? Suami siapa?

Seorang lelaki duduk angkuh di kursi. Dan bukan kamu. Aku mengenalinya, Rangka. Ruangan ini sangat sempit, dijejali aroma terapi yang merangsang imaji dan berahi. Aku tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dan mengapa dua perempuan itu menyebut Rangka sebagai suami kita. Suami siapa? Apakah aku telah menikah dengannya? Bilamana? Otakku yang kusut tak bisa mengurai semuanya. Yang kutahu, ia seperti raksasa dengan kedua kaki diselonjorkan di atas meja, menatapku garang sembari mengepul-ngepulkan asap rokok kretek berbau tajam dan memberi isyarat agar aku segera mendekat padanya. Anehnya, ketika hatiku ingin menjauh, kakiku malah berjalan mengikuti perintah dan kuasanya. Aku ditatapnya dengan mata nyalang dan merah. Di atas meja besar, di sisi kaki besar lelaki itu, teronggok botol bir setengah kosong, asbak, dan satu pak rokok. Ia masih menatapku, lekat sekali. Kedua tangannya direntangkan, seolah memanggilku agar segera menghambur ke dalam pelukannya.

Petir menyambar di luar, hujan tumpah begitu deras. Aku terentak. Kesadaranku pulih seketika. Ini ruangan asing, yang bukan kamarku. Dan lelaki itu, o, lelaki berkaki raksasa itu tak lain adalah Rangka. Kenapa aku bisa ada di ruangan ini? Mana kamu, Tutu, kekasih hatiku? Aku langsung berlari ke arah pintu, ia memburuku. Tungkai kakinya yang panjang berhasil menjejeriku, aku berbalik ke belakang meja menjauh darinya, tapi ia terus memburuku dan aku lari mengitari meja agar tubuhku dan tubuhnya terpisahkan oleh meja. Aku tak mengerti kenapa harus berlari menjauhinya, atau, kenapa ia mengejarku. Yang pasti, aku berharap kamu ada di sini melindungi aku dan menaklukkannya. Tapi sia-sia, kamu ada entah di mana dan ia tetap mengejarku. Begitu ia lengah, aku segera menghambur ke pintu dan berlari keluar, terus, terus hingga selasar dan akhirnya menjejak di tanah menerabas hujan deras. Hujan mengembalikan ingatanku, dan aku tak ingin jadi istrinya. Najis! Aku belari, terus, dan terus, menerobos hujan, menyeret penderitaan dan kesakitan. Bagaimana bisa aku kehilangan kegembiraan dan kebahagiaan hanya dalam bilangan kejapan mata?

Aku masih setia, Sayang.

Akan tetapi, ia berhasil menangkapku di bawah hujan yang ganas. Sembari berteriak kegirangan ia melontar-lontarkan tubuhku ke udara dalam rengkuh tangannya. Aku panik, meraung-raung ketakutan. Kamu di mana, Sayang, aku butuh bantuanmu. Aku diseret ke dalam rumah, lalu ia menggagahiku dengan buas. Kali ini kesedihan serasa mencekikku. Semua mimpi yang aku bangun bersama kamu sekarang terasa jauh. Tingkahnya semakin mirip binatang liar. Tubuhku terasa pecah. Aku sering mendengar kisah malam pertama dari teman-temanku. Yang indah dan membahagiakan, yang tidak semestinya menyakitkan. Tapi, malam ini, aku terbaring sambil menggigit bibir hingga berdarah, karena ia biadab memperlakukanku tanpa perasaan.

Aku berdoa agar Tuhan segera mencabut nyawaku. Aku pernah membaca bahwa doa orang teraniaya selalu berterima. Tapi Tuhan seolah tak peduli. Dan petir masih menyambar-nyambar, hujan belum juga reda. Namun, semuanya kalah oleh deritaku yang mengerikan. Tiba-tiba ia berhenti, berbaring tak bergerak, hanya memperdengarkan suara dengkur yang menjijikkan. Kudorong tubuhnya menjauh dariku. Aku berniat segera kabur dan mendapati kenyataan betapa pintu itu terkunci dari luar, dan aku hanya bisa menangis tanpa suara; memikirkan segala yang berjalan tidak semestinya, memikirkan ketak-menentuan yang menimpa tiba-tiba, memikirkan kamu yang kuyakin tak akan pernah kutemukan.

Tahukah kamu, aku dan malam menua bersama!

4

HARI-HARI sesudahnya adalah kiamat bagiku. Ia dan kedua sekutunya, perempuan-perempuan yang sama tak berdayanya dengan diriku, memperlakukan aku layaknya budak atau jongos atau hamba sahaya. Setahun sudah aku nikmati hidup tak lebih buruk dari neraka. Setiap hari aku menganyam asa, berharap kamu datang membebaskan aku dari cengkeramannya. Aku ingin pulang, sungguh. Aku ingin tidur di pangkuan Ibu sambil menikmati elusan lembut jemarinya di helai rambutku. Aku ingin berlabuh di pelukan Bapak sembari menyeruput teh dan menyimak jejak sejarah keluarga. Aku ingin duduk bersisian denganmu di selasar sambil membaca detak jantung yang ganjil tak beraturan. Tapi, aku masih di sini, di penjara mengerikan ini.

Aku ingin pulang, Sayang.

Tahukah kamu aku sekarang mulai keranjingan minuman keras? Kamu pasti marah, Sayang, tapi tak ada yang bisa melepaskanku dari penderitaan ini selain tetesan bir atau minuman apa saja yang melenakan. Aku sendiri kerap merasa janggal kenapa aku bisa begitu larut. Setiap mabuk, ketika kepala mulai terasa sangat berat, pikiranku terbebas dari cengkeraman doti—mantra yang membuat aku takluk padanya—dan aku selalu minum bir lebih banyak lagi karena mendengar kabar bahwa lelaki sering melarikan diri dari beban hidupnya dengan bermabuk-mabukan. Gagasan melarikan diri itu selalu terngiang-ngiang di benakku. Kalau saja bir atau minuman apa saja bisa menyelamatkanku, aku akan tenggak semuanya hingga tak ada minuman keras tersisa di pasar, di bar, atau di mana saja.

Tapi kamu hanya ada selama aku mabuk, setelah itu selalu Rangka—bandit tua berperilaku bandot—yang terkekeh memamerkan gigi kuning dan gusi bengkaknya.

5

KIAMAT KEDUA terjadi. Hari ini Rangka memaksaku melayani hasrat keji teman bisnisnya. Terang saja aku menolak. Namun, aku tak berdaya di bawah ancaman badik. Lihatlah, lihat, ia tertawa kegirangan dengan badik teracung di udara.

“Perempuan sundal, melacurlah untukku,” serunya begitu mengerikan.

“Bajingan!” sengitku.

“Aku tak suka kamu membantah!”

Air mataku meleleh. Begitu terhinanya diriku. Alangkah! Aku terentak. Amarahku menggelegak. Tapi aku tak bisa melawan. Hingga kilat badik yang masih teracung di udara itu seolah memberiku jalan keluar dari belitan nestapa. Sekali sentak, badik itu menyelusup di sela tulang igaku, menyentuh hati, merembeskan darah, membuat tubuhku berkelojotan lembut, lalu tak merasa apa-apa lagi. Samar terdengar teriakan histeris dari mulut bacinnya sambil berusaha menarik badik dari tubuhku.

“Perempuan bodoh!”

Dan semua berubah gelap. Hitam, pekat.

6

HUJAN MENYERBU sepenuh tenaga. Angin menderu begitu kencang. Sayang, lihatlah, aku datang. Orang-orang kampung mengusung tubuhku. Bapak dan Ibu berhambur keluar. Dan kamu, o, kamu bertahan di selasar. Tahukah kamu apa yang paling kuinginkan saat ini? Aku ingin kamu turun dari selasar itu dan membopong tubuhku, ya, tapi kamu terpaku di bilah-bilah papan, tak beringsut sesenti pun. Lalu, kulihat Ibu pingsan dan Bapak histeris. “Sayang, ia hendak menjual tubuhku,” teriakku mengalahkan ganas hujan, meski tak yakin kamu bisa mendengarnya.

Sungguh, banyak sekali yang ingin kukabarkan padamu. Tapi, dunia kita berbeda! (*)


Jakarta, Maret 2010

Khrisna Pabichara
, lahir di Makassar, 10 November 1975. Saat ini bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan Komunitas Planet Senen.

Senin, 05 April 2010

Artikel Ringan "Rahasia Menjalin Koneksi Otak"

Catatan: Tulisan ini dimuat di Rubrik OkeLearning, http://www.inioke.com.
Silakan menyalin atau menyebarkan tulisan ini, siapa tahu bermanfaat bagi rekan, kerabat, atau orang-orang di sekitar Anda.

Anda juga bisa membaca tulisan ini di http://www.inioke.com/?mod
=konten&id=1019


RAHASIA MENJALIN KONEKSI OTAK
Oleh 
Khrisna Pabichara



SAYA yakin kamu tahu atau mengenal atau pernah mendengar informasi tentang lebah. Ya, binatang penghasil madu ini memiliki kapasitas 7.000 sel otak. Tentulah sangat jauh jika dibandingkan dengan otak manusia yang mencapai 100.000.000.000 (seratus miliar sel). Akan tetapi, meskipun hanya memiliki 7.000 sel otak, lebah mampu terbang ke sana-ke mari mencari madu, memberitahukan lokasi madu temuannya kepada teman-temannya, lalu pulang dengan selamat ke sarangnya tanpa harus menggunakan peta atau kompas. Lebah juga sanggup menjalankan amanat dan tugas yang dibebankan padanya, tanpa harus menyabot atau mencaplok wewenang lebah lainnya. Bahkan, lebah dapat membentuk koloni yang terorganisasi dengan baik. Bayangkan. Hanya dengan 7.000 sel otak, lebah sudah sedemikian hebat.

Bagaimana dengan manusia? Tentu saja, dengan kapasitas seratus miliar sel otak yang dimilikinya, manusia memiliki kehebatan 14.285.714 lipat dari lebah. Hanya saja, kehebatan otak manusia, termasuk saya dan kamu, masih sebentuk potensi, barulah akan berguna jika potensi itu ditumbuh-kembangkan atau didaya-gunakan. Artinya, potensi otak kita bukan garansi yang menjamin kita bakal cerdas. Tingkat kecerdasan kita tergantung pada seberapa mampu kita memanfaatkan potensi itu. 

Maka, hanya ada satu rahasia untuk menjadi pembelajar yang cerdas dan gemilang, yakni melatih otak. Caranya? Dengan sering menggunakannya. Mudah sebenarnya, tetapi banyak di antara kita yang abai melakukannya. Kita sering menganggap bahwa berpikir adalah pekerjaan refleks, yang bisa dilakukan secara naluriah atau otomatis. Padahal, sama seperti bagian tubuh lainnya, otak pun harus sering dilatih.

Oh ya, sel otak kita baru akan berfungsi dengan baik jika terjadi koneksi antarsel. Konon, koneksi antarsel itu bisa mencapai kemungkinan antara 1 hingga 20.000 koneksi. Artinya, semakin sering kita melatih dan menggunakan otak, semakin besar peluang terjadinya koneksi antarsel. Dan, semakin besar pula kemampuan daya ingat kita. Namun, sebaliknya, otak yang jarang dilatih atau digunakan akan berakibat kurangnya koneksi antarsel. Akibatnya, kemampuan otak untuk menyimpan memori jadi terbatas, efek sampingnya akan memicu kita jadi pelupa. 

Jadi, jika kita tidak ingin diserang virus pelupa, sering-seringlah melatih otak. 

Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara melatih otak dengan tepat? Jangan cemas. Banyak ahli otak yang sudah mengembangkan beberapa "jurus ampuh" atau "rahasia jitu" untuk melatih otak. Entah lewat kuis, games, atau permainan berpikir yang menuntut otak berpikir maksimal. Banyak pula di antara kuis-games-permainan berpikir itu yang dikemas secara ringan, sehingga kita bisa melakukannya dengan santai, enjoy, dan menyenangkan.

Hanya saja, ada tiga syarat awal yang kita butuhkan sebelum melatih otak. Pertama, pusatkan konsentrasi. Ini syarat pertama yang harus kita miliki. Bahkan, ini harus jadi prioritas pertama kita. Dengan konsentrasi tinggi, terpusat hanya pada apa yang sedang kita hadapi atau pelajari, informasi dapat tercerap dan terekam dalam ingatan kita. Kuncinya, semakin fokus, semakin bagus.

Kedua, bangkitkan emosi positif. Carilah alasan emosional yang bisa memicu minat dan semangat untuk mempelajari sesuatu. Tanamkan bahwa "apa yang kita tahu" sebenarnya adalah "banyak yang belum kita ketahui". Artinya, ikatan emosional yang kuat akan mempermudah bagi kita untuk memahami dan menguasai apa saja yang kita pelajari. Bahasa sederhananya, tumbuhkan cinta. Dengan cinta, segala yang rumit akan terlihat sederhana, dan segala yang sulit akan tampak mudah. 

Ketiga, terus berlatih. Jangan pernah berpuas diri. Kepuasan akan menghambat perkembangan otak Anda. Ingatlah, mustahil bagi kita untuk mendongkrak kecerdasan hati (spiritual-emosional), jika kita tidak meningkatkan kinerja otak. Artinya, Semakin sering kita berlatih, semakin besar peluang berhasil. Semakin rajin otak dilatih, semakin besar kemungkinan kita meningkatkan kecerdasan yang lainnya dalam diri kita. Jadi, jangan bosan. Terus melatih diri.

Akhirnya, semuanya berpulang pada diri kita sendiri. Betapa pun banyak teori kita lahap, jika kita tidak gigih dan bersungguh-sungguh, tak banyak hasil yang bisa kita dapatkan. Salam sukses selalu!(*)

Minggu, 04 April 2010

[Artikel Ringan] Mengapa Kita Sulit Belajar?

Catatan: Tulisan ini dimuat di Rubrik OkeLearning, www.inioke.com. Semoga bermanfaat.
Sila diklik juga tautan ini, http://www.inioke.com/?mod=konten&id=955, dan Anda akan menemukan tulisan ringan lainnya tentang kinerja otak. 

Mengapa Kita Sulit Belajar?

DIAN adalah murid sebuah sekolah menengah di Makassar. Ia mengalami kesulitan belajar. Guru dan orangtuanya juga mengeluhkan kemampuan daya ingatnya. Selain itu, Dian juga sulit konsentrasi dan mudah putus asa. Itu sebabnya mengapa dia kurang bersemangat belajar dan mengerjakan tugas sekolah.  Hari ini guru atau orangtuanya mulai mengajarkan sesuatu, lima belas menit kemudian Dian sudah lupa. 
Hal lain menimpa Alfi, siswa sebuah madrasah di Parung, Bogor. Dia sulit fokus, perhatiannya mudah terganggu. Matanya selalu melirik ke mana-mana. Tubuhnya tak mau diam, selalu ingin bergerak. Setiap diingatkan, dia diam sejenak, sesudah itu kumat lagi. Kondisi seperti itu berlangsung terus-menerus. Bukan itu saja, kadang dia juga suka usil mengganggu temannya yang sedang asyik belajar.
Apa yang menimpa Dian dan Alfi banyak dialami oleh siswa yang lainnya. Potensi belajar mereka akan menurun karena kerap mengalami gangguan atau kesulitan belajar (learning disability). Kesulitan belajar ini biasanya terjadi pada saat mereka juga mengalami hambatan sosial emosional. Akibatnya, mereka (1) tidak teliti, tidak semangat, (3) tidak konsentrasi, (4) bersikap masa bodoh, (5) tidak menyelesaikan tugas, (6) mudah menyerah, (7) sulit beradaptasi, dan (8) suka mengganggu. Dan, buahnya adalah (9) prestasi belajar anjlok.
Pada sebuah seminar tentang Merangsang Minat Belajar di Kerinci (Januari 2010), Makmur Maradona, seorang pemerhati pendidikan, bertanya tentang faktor-faktor penyebab gangguan belajar. Baiklah, kita simak bersama beberapa virus penyebab gangguan belajar itu.
1.     Faktor Genetik. Pepatah mengingatkan kita, “Buah jatuh tak jauh dari batangnya.” Begitu pula dengan riwayat kesulitan belajar itu. Jika orangtuanya memiliki riwayat “kesulitan belajar”, maka anaknya pun memiliki kecenderungan yang sama. Pendek kata, jika dulu orangtuanya menderita virus “sulit belajar”, maka tidak perlu panik jika anaknya mengalami hal yang sama. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengobati dan menyembuhkan penyakit itu.
2.     Faktor Perkembangan Kematangan. Setiap anak memiliki tingkat perkembangan kematangan yang berbeda, meskipun usianya sama. Ada yang cakap di satu bidang, namun lemah di bidang lainnya. Ada malah yang cenderung “lemah” di semua bidang pengetahuan. Ada anak yang sudah lancar lari di usia 14 bulan, sementara anak yang lainnya masih sulit berdiri di usia yang sama. Jadi, butuh kesabaran yang khas dan khusus.
3.     Pengaruh Emosi. Suasana hati sangat mempengaruhi tingkat konsentrasi. Ketika hati kita sedang sedih, kecewa, marah, atau suasana hati lain yang tidak stabil, akan sulit bagi kita untuk fokus atau berkonsentrasi.
4.     Metode Belajar. Nah, faktor ini yang paling kerap kita abaikan. Padahal, ketika kita tidak menyukai satu metode belajar, maka berat bagi kita untuk “menyukai” apalagi larut dalam suasana belajar. Kita selalu membutuhkan suasana belajar yang “menyenangkan” dan “menantang”. Yang berbeda dari biasanya. Jadi sesekali, cari belajar dengan gaya yang baru.
5.     Tingkat Inteligensi. Pengaruh tingkat inteligensi juga ada dalam proses belajar. Pada prinsipnya, tingkat inteligensi dibagi tiga, yakni (1) di bawah rata-rata, (2) rata-rata, dan (3) di atas rata-rata. Lazimnya lagi, yang kerap mengalami gangguan belajar adalah mereka yang memiliki tingkat inteligensi di bawah atas di atas rata-rata. Sementara itu, perkembangan inteligensi juga banyak dipengaruhi oleh perkembangan emosional. Jadi, jangan semata memikirkan untuk mengisi otak, tetapi juga harus memperhatikan ihwal mengisi “asupan hati”.
Begitulah. Setiap kita pasti pernah mengalami gangguan ketika belajar. Namun, cara kita menyikapi dan mengatasi gangguan itu yang semestinya kita perhatikan. Bukan sibuk mengeluh atau berputus asa.
Sekarang saatnya bangkit![*]

Jakarta, Maret 2010
Khrisna Pabichara

Sabtu, 03 April 2010

Cerpen "ULU BADIK ULU HATI"

Catatan: Cerpen ini dimuat di Rebana, Analisa Medan, edisi Minggu (04/04/2010).

Sila diklik juga tautan ini: http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=49980:ulu-badik-ulu-hati&catid=113:cerita-pendek&Itemid=122



Ulu Badik Ulu Hati
Khrisna Pabichara

1

GEGER. Hanya kata itu yang tepat untuk menggambarkan situasi kampung Ciguha. Sebuah kampung berhawa sejuk di kaki Gunung Pongkor, ketika silang sengketa petang dan malam, mulai terjadi. Betapa tidak, sosok Hasan -jawara yang ditakuti dan disegani- ditemukan sedang terkapar bermandi darah di mulut kampung, dengan sebilah badik tertancap tepat di ulu hatinya.

Badik berulu elok itu, milik Sampara, jagoan lain yang juga sangat ditakuti dan disegani dan dikenal sebagai sahabat dekat Hasan. Kenapa Hasan bisa mati? Bagaimana bisa Sampara menghabisi sahabatnya sendiri? Begitulah kasak-kusuk yang merebak sore itu.

2

Dulu, jauh sebelum memutuskan kisah ini akan kami ceritakan padamu. Matanya selalu bercahaya. Ya, matanya sungai misteri yang tak mengenal muara, selalu tenang mengalir dari hulu ke hilir, hingga getir kehilangan meredupkan cahaya itu. Malam ini, kami merasa dia sangat asing seolah belum pernah bertemu atau mengenalnya.

Supaya kamu tahu latar ceritanya, baiklah kami sampaikan siapa sebenarnya lelaki yang sedang kita bincangkan. Namanya Sampara. Bukan nama yang lumrah bagi orang Sunda atau Jawa. Dia seorang perantau, tapi bukan orang baru bagi kami.

Sudah puluhan tahun dia hidup beranak-pinak di kampung kami. Konon, dia pelarian dari Jakarta, tapi tak pernah ada yang berani bertanya dari mana asal-usulnya. Kami tahu, dia jago berkelahi. Kulitnya keling tubuhnya ceking. Ototnya biasa saja. Kenyal, alot dan licin. Kamu jangan menduga dia kebal senjata, parut di pelipis dan codet di lehernya, bukti dia bisa terluka.

Kami pernah berpikir, setiap orang Makassar pasti berperangai kasar. Ternyata, tidak! Dia sangat santun, jauh dari kesan arogan atau jagoan. Dia rendah hati, lembut budi dan gemar berbagi. Meski jarang bicara, kata-katanya bijak. Dia selalu punya berangkai kata yang hidup, yang bernyawa. Dia bukan tukang kibul, apalagi tukang bual, meskipun dia mahir menebarkan semangat agar kami lebih sigap bertahan hidup.

Ketika tambang emas--atas nama Negara--dijaga ketat oleh polisi-polisi sangar, dia berdiri paling depan mengeruk diam-diam emas itu lewat lubang tikus. Dari sana lahir istilah gurandil, gelar bagi penambang emas liar. Dari sana pula nasib kami berubah. Rumah-rumah jadi lebih mewah. Motor dan mobil mulai marak. Parabola menjamur. Gaya berpacaran anak muda pun makin berani dan terbuka, seperti yang dicontohkan acara janggal di televisi.

Tiba masa suram, gurandil ditangkapi. Gelundung--tempat mengolah emas tradisional--ditutup paksa. Dia lenyap tiba-tiba. Kami kira dia telah mati. Ternyata belum. Dia muncul lagi, kali ini bersama teman-temannya. Katanya, mereka berasal dari pelbagai daerah. Lantas meletup lagi gairah kami mencari emas di tanah kelahiran. Sejak itu, polisi-polisi sangar itu kewalahan lagi.

Pada subuh yang dingin, seorang perempuan belia terbujur kaku di mulut kampung. Kelaminnya koyak, tubuh dan kepalanya tak terkenali. Dia yakin itu putrinya, anak semata wayangnya. Sepasang baju berwarna hitam teronggok tak jauh darinya. Ia kenali itu baju Hasan, temannya dari Lebak. Dia bergegas balik ke rumah, pasti mencari Hasan. Tak ada sesiapa. Bahkan semua temannya yang dari Banten bak lenyap di telan bumi.

Gempar itu belum juga bersudah. Sore harinya, Hasan ditemukan terbujur kaku di ujung kampung. Seperti telah kami ceritakan padamu, badik Sampara tertancap di ulu hatinya. Kamu menduga dia pelakunya? Kami juga. Tak ada pemilik senjata tajam jenis badik berulu elok di kampung kami, selain milik Sampara. Tak heran jika segala curiga bermuara padanya. Akan tetapi, maaf, kami tak mau banyak bicara.

3

Malam ini cuaca sangat buruk. Bukan karena kabut, udara dingin atau hujan. Kematian Hasan pemicunya. Kerabatnya tak bisa terima. Mereka telah berkirim kabar akan segera balas dendam. Dari sana bermula kami dicekam ngeri, seolah maut mengintai setiap demi setiap detik. Jauh sebelum gelap tiba, rumah-rumah sudah sepi. Mencekam. Mengerikan.

Sebelumnya kami sadar, cuaca sedang tidak peduli jeritan kulit-kulit telanjang. Maaf, kami merasa lebih baik dikoyak dingin ketimbang harus lebih lama berdiam di rumah menyaksikan aroma ketakutan memancar dari mata istri dan anak-anak.

Bertemulah kami di warung Mang Mista, kedai kopi paling ramai di kampung kami. Seperti biasa, kami termangu melihatnya berbicara dengan gaya orang yang sedang mencicitkan amarah. Emas membuat kita jadi boneka mainan yang tak henti mengunyah pedih, katanya.

Seperti biasa pula, kami hanya mengangguk. Bukannya kaya raya, kita malah jadi tikus yang sekarat di lumbung emas, katanya lagi. Kali ini dengan suara meninggi. Kami menyimak dengan takzim dan kehilangan alasan untuk menoleh. Matanya menatap kami satu-satu. Dingin. Mengalahkan dingin cuaca. Emas telah membuat desa teduh ini mendidih. Seperti kawah, diam tapi bergolak. Seperti kuburan, riuh isak tapi senyap, katanya dengan suara makin tinggi, makin dingin. Tak ada yang menyela. Semua sepakat menjadi pendengar setia. Kemudian dia berkicau tentang wasangka yang membiak di benaknya.

Baginya, putrinya tidak wafat karena kebiadaban Hasan. “Ini adu domba. Aku kenal Hasan. Dia setia.”

“Lalu, siapa yang membunuh putrimu, daeng?” tanya seseorang, lirih. Bagi kami adalah harga mati, bahwa Hasan pembunuh putrinya. Sudah cukup bukti. Mungkin saja dia menduga lain karena Hasan sahabat sejatinya. Aneh jika menduga bukan Hasan pelakunya.

“Baju Hasan ada di sana. Itu fakta!” sela seseorang.

“Bisa saja baju Hasan hanya pengalih…” sergahnya agak ragu. Tiba-tiba kami merasa pendapatnya juga benar. Bisa saja ini buah adu domba. Hasil rekayasa. Siapa dalang yang menjadi otak segala muslihat ini? Apa gunanya? Bagaimana menurut kamu? Jangan-jangan Hasan memang hanya korban fitnah.

“Bagaimana dengan badik yang menancap di tubuh Hasan?” tanya seseorang.

Dia menarik napas. Merah di wajahnya semakin nyala. “Aku tidak bodoh. Jika benar aku membantai Hasan, sangat naif meninggalkan barang bukti. Sama saja bunuh diri…”

“Dari mana mereka curi badik daeng?” sergah yang lainnya. Dia menggeleng, lalu mendesis.

“Aku tahu siapa pelakunya. Aku sudah tahu. Salah besar jika mereka menduga aku jerih. Sampara bin Lappasa dilahirkan tanpa rasa takut. Aku sudah tahu siapa yang harus bertanggung jawab!”

Kemudian dia pergi meninggalkan kami. Lantas, siapa gerangan biang keladi yang ada di benaknya? Kamu tahu?

4

Malam lambat berjalan, pukul setengah tiga, seakan sengaja tak henti menyiksa kami. Hawa dingin membuat suasana makin mencekam. Tiba-tiba gelegar salak pistol mengoyak sunyi. Suaranya bergema, menambah amuk rasa takut.

Kami bergegas ke arah tembakan. Kami yakin itu berasal dari Pos Polisi di ujung kampung. Oh, kamu harus tahu, setibanya di sana, mata kami terbeliak. Lima orang polisi bersimbah darah. Mati dalam posisi berbeda-beda. Di tubuh mereka sama-sama tertancap panah beracun. Sementara dia, oh, dia telah tiada. Delapan butir peluru mengoyak tubuhnya.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Jakarta, Maret 2010

Kamis, 01 April 2010

[Artikel Ringan] Jihad dan Keluarga

Catatan: Tulisan ini dimuat di Tabloid Assalamu'alaikum, di Rubrik Usrah, Edisi April 2010.



JIHAD DAN KELUARGA
Oleh Khrisna Pabichara


RIWAYAT MENCATAT, seorang sahabat bernama Jahimah pernah menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin berjihad. Aku datang menemuimu untuk meminta nasihat.” Ketika itu, Rasulullah Saw. menjawab, “Apakah Ibumu masih hidup?” Jahimah menjawab, “Ya.” Kemudian Rasulullah Saw. menegaskan, “Teguhlah berbakti kepadanya, karena surga berada di telapak kakinya!”

Melalui seloroh ringan dalam sebuah seminar “Keluarga Samara” di Kerinci (7 Januari 2010), saya menjawab pertanyaan Ibu Fadilah, peserta seminar, bahwa berpijak dari pernyataan Rasulullah, jika Anda ingin menikmati “hidup di dunia” layaknya di surga, maka berbaktilah kepada Ibu. Sederhana sekali. Syaratnya pun ringan dan mudah. Tidak perlu ada garansi berupa sertifikat tanah atau BPKB kendaraan bermotor. Juga tidak harus menjaminkan SK Pegawai berikut lampiran slip gaji. Kebahagiaan—dalam hal ini dilambangkan dengan surga—sangat dekat dengan kita, di hati Ibu yang ikhlas dan ridha. Sementara Ibu ialah simbol dari sebuah keluarga. Maka, jelaslah bahwa keluarga adalah unit terkecil dari sebuah “jihad”, tapi merupakan pusat dari “jihad” itu sendiri.

Begitulah. Tak dapat disangkal, bahwa jihad membela Agama atau Negara itu penting, bahkan mahapenting, tapi jangan sampai kita lupakan jihad “kecil” yang sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari kita: Jihad membahagiakan keluarga. Keluarga yang di dalamnya tertanam kukuh nilai-nilai kemanusiaan, akan saling menghargai-menghormati-mengasihi. Keluarga yang senantiasa mengedepankan cinta-kasih akan meletakkan manusia pada harkat yang sama, dan memperlakukan orang lain layaknya memperlakukan diri sendiri. Jika kondisi ini tercipta, tidak akan terjadi silang-sengketa, perang, pembunuhan, penipuan, korupsi, atau hal yang merugikan orang lain.

Akan tetapi, tidak mudah menciptakan kondisi ideal sebuah keluarga. Karena itu dibutuhkan “jihad”. Masalahnya, kita sering meremehkan kepentingan keluarga—bahkan mengalahkannya—demi kepentingan lain, semisal kepentingan bisnis, pertemanan, atau hura-hura. Kecerdasan intelektual menjadi target utama, sedangkan kecerdasan emosional kerap diabaikan—otak terus diisi, hati dilupakan. Tidak heran jika generasi yang lahir lebih banyak “besar kepala” daripada “besar hati”.

Bagaimanapun, membangun keluarga yang ideal selalu menuntut kesungguhan. Dan, itu “jihad”.


DARI RIWAYAT Jahimah di atas, kita bisa becermin mengacakan diri. Sejauh mana kita paham makna “bakti” itu? Bahwa Ibu jadi “tokoh utama” tempat segala bakti bermuara, memang benar. Akan tetapi, jika kita mau sejenak saja bermenung, maka kita akan paham bahwa Ibu hanyalah tamsil, pengandaian, atau ibarat. Yang ditekankan oleh Rasulullah, boleh jadi, adalah keluarga.

Pertanyaannya sekarang, seberapa penting arti keluarga bagi Anda? Jika jawaban Anda adalah “paling penting”, maka berbahagialah. Anda adalah seorang mujahid paling gemilang. Kenapa? Keluarga—dengan rumah sebagai markas besarnya—adalah kawah paling menentukan dalam penggodokan generasi sejati. Ma’ruf Musthafa Zurayq, psikolog ternama dari Damaskus, menegaskan, “Seorang manusia tidak akan menjadi manusia sejati, jika pada masa kanak-kanaknya dia tidak menjadi seorang anak sejati.”

Maka, apabila keinginan berjihad demikian menggebu di hati Anda, ayo kita mulai berjihad dari arena perjuangan yang paling dekat dengan kita, keluarga.

Jakarta, Maret 2010
Khrisna Pabichara, motivator dan penyuka sastra